45 1 142KB
LAPORAN PENDAHULUAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK) A. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa telinga tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus menerus atau hilang timbul dari liang telinga (Sari Jenny T. Y. dkk, 2018). Otitis media supuratif kronik adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga lebih dari dua bulan, baik terus-menerus maupun hilang timbul (Farida Y., dkk, 2016). 2. Klasifikasi Otitis media supuratif kronis dibedakan atas dua yaitu OMSK tanpa kolesteatom dan OMSK dengan kolesteatom. Otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatom disebut juga tipe aman. Pada tipe aman peradangan terjadi pada mukosa dan tidak mengenai tulang. Perforasi membran timpani terletak di sentral. Tipe ini jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Otitis media supuratif kronis yang disertai dengan kolesteatom disebut juga tipe bahaya. Perforasi membran timpani letaknya marginal atau di atik. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK dengan kolesteatom ini. Kolesteatom sendiri merupakan suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi ini terbentuk terus menerus dan menumpuk sehingga kolesteatom semakin besar (Sari Jenny T. Y. dkk, 2018). 3. Manifestasi Klinis Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen atau mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga, dan kadang-kadang vertigo. OMSK dapat menyebabkan gangguan pendengaran sehingga menimbulkan dampak yang serius terutama bagi anak-anak, karena dapat menimbulkan pengaruh jangka panjang pada kemampuan komunikasi anak, perkembangan bahasa, proses pendengaran, psikososial, dan perkembangan kognitif serta kemajuan pendidikan (Wirawan, dkk., 2020).
a. Perforasi pada marginal atau pada atik. b. Abses atau kiste retroaurikuler (belakang telinga) c. Polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah. d. Terlihat kolesteatom pada telinga tengah (sering terlihat di epitimpanum). e. Sekret berbentuk cairan atau nanah dan kadang berbau khas (aroma kolesteatom) f. Terlihat bayangan kolesteatom pada foto rontgen mastoid 4. Etiologi Faktor yang menyebabkan otitis media akut menjadi kronik antara lain pemberian terapi yang terlambat, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang kuat, daya tahan tubuh yang rendah dan higienis yang jelek (Sari Jenny T. Y. dkk, 2018). Faktor risiko dari OMSK belum jelas, namun infeksi saluran napas atas berulang dan kondisi sosio-ekonomi yang buruk (perumahan padat, higienitas dan nutrisi yang buruk) mungkin berhubungan dengan perkembangan dari OMSK. Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri aerob yang paling sering ditemukan pada pasien OMSK, diikuti dengan Proteus vulgaris dan Klebsiella pneumoniae (Farida Y., dkk, 2016). Menurut WHO pada tahun 2004, OMSK dapat dibedakan dengan otitis media akut (OMA) melalui pemeriksaan bakteriologi. Pada OMA dapat disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan Micrococcus catarrhalis. Pada OMSK menunjukkan etiologi yang berasal dari infeksi campuran bakteri Gram-negatif, Gram-positif, aerob, dan bakteri anaerob. Beberapa penelitian di seluruh dunia telah melaporkan bahwa mikroorganisme yang paling
umum
terisolasi
dari
pemeriksaan
adalah
Pseudomonas
spp
dan
Staphylococcus aureus, diikuti oleh bakteri Gram negatif seperti Proteus spp, Klebsiella spp, Escherichia spp, dan Haemophilus influenza. Yang paling sering terisolasi adalah organisme anaerob Bacteroides spp dan Fusobacterium spp (Wirawan, dkk., 2020).
5. Komplikasi
Komplikasi pada OMSK berhubungan erat dengan kombinasi dari destruksi tulang, jaringan granulasi dan kolesteatom. Bakteri dapat mencapai struktur yang terlibat terutama melalui jalur langsung dari mastoid atau melalui vena dari mastoid ke struktur di sekitarnya. Jalur langsung dapat terbentuk akibat osteitis karena kolesteatom, tindakan bedah mastoid sebelumnya, fraktur tulang temporal, atau dehisen kongenital. Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi dua yaitu komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis nervus fasialis dan fistula labirin. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau jaringan granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik, meningitis dan abses subdural. Saat terjadi komplikasi, gejala biasanya berkembang dengan cepat. Demam menandakan terjadinya proses infeksi intrakranial atau selulitis ekstrakranial. Edema dan kemerahan di belakang telinga menandakan terjadinya mastoiditis yang berhubungan dengan abses subperiosteal. Nyeri retroorbita berhubungan dengan petrositis. Vertigo dan nistagmus mengindikasikan terjadinya labirintitis atau fistula labirin. Paresis nervus fasialis perifer biasanya ipsilateral dengan telinga yang terinfeksi yang disebabkan oleh OMSK dengan kolesteatom. Papil edema terjadi akibat adanya peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dan letargi biasanya juga menyertai komplikasi intrakranial. Meningismus berkaitan dengan meningitis dan kejang biasanya diakibatkan oleh abses otak (Sari Jenny T. Y. dkk, 2018). 6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami komplikasi. Diantaranya pemeriksaan laboratorium darah dan tomografi komputer. Tomografi komputer dapat dilakukan dengan cepat dan sangat terpercaya dalam menilai telinga tengah, pneumatisasi air sel mastoid dan adanya komplikasi ke intrakranial. Pemeriksaan penunjang lain yang biasa dilakukan adalah pungsi lumbal, untuk menilai adanya meningitis. Pungsi lumbal biasanya dilakukan setelah pemeriksaan laboratorium darah dan tomografi komputer yang menggambarkan adanya komplikasi ke intrakranial. Pungsi lumbal ini menjadi kontraindikasi pada pasien dengan abses otak dan empiema subdural (Sari Jenny T. Y. dkk, 2018).
a. Otoskop : Untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar. Ada atau tidaknya lesi pada telinga luar, edema pada membrane timpani. Periksa adanya pus dan rupture pada membrane timpani. b. Timpanogram : Untuk mengukur kesesuaian dan kekauan membran timpani. c. Kultur dan uji sensitifitas : Dilakukan bila timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani). d. Pemeriksaan audiometri Biasanya di dapatkan tuli konduktif. Tetapi dapat pula sensorineural. Beratnya ketulian tergantung besar dan letaknya perforasi membran timpani serta keluhan dan mobilitas sistem penghantar suara di telinga tengah. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, berat dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau tes berisik). Derajat ketulian nilai ambang pendengaran : Normal = 10Db sampai 26 Db Ringan = 27Db sampai 40 Db Sedang = 41Db sampai 55 Db Sedang berat = 56Db sampai 70 Db Berat = 71 Db sampai 90 Db Total = lebih dari 90 Db e. Tes Garpu Tala : Biasanya dipakai garpu tala 512 Hz. f. Tes Rinne : Dalam keadaan normal, hantaran melalui udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Pada uji rinne didapatkan hasil negatif. g. Tes Webber : Bila bunyi terdengar lebih keras pada telinga yang sakit berarti terdapat tuli konduktif pada telinga tersebut. Sebaliknya bila terdengar lebih keras pada telinga yang sehat berarti pada telinga yang sakit terdapat tuli saraf (sensorineural). Pada tes ini didapatkan lateralisasi kea rah telinga yang sakit. h. Tes Schwabach : memanjang berarti terdapat tuli konduktif pada pasien dan bila memendek terdapat tuli saraf. i. Pemeriksaan radiologi 1) Proyeksi Schuller. Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen.
2) Proyeksi Mayer atau Owen. Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur3. 3) Proyeksi Stenver. Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran 4) Proyeksi Chause III. Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang karena kolesteatom. 7. Penatalaksanaan a. Farmakologi Prinsip pengobatan tergantung jenis penyakit dan luasnya infeksi dimana pengobatan dapat dibagi atas : Konservatif Pembedahan 1) Otitis media kronis tipe benigna atau tanpa kolesteatoma Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas kesehatan memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran. Bila sekret yang keluar terus menerus maka diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Obat tetes telinga jangan diberikan secara terus meneru lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat.
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti (operasi rekonstruksi) yang bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat. 2) Otitis media kronis tipe maligna atau dengan kolesteatoma Tipe terapi ini ialah pembedahan. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum dilakukan pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dilakukan antara lain : a) Miringotomi Miringotomi adalah prosedur tindakan insisi pada pars tensa membrane timpani, agar terjadi drenase secret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan syarat tindakan ini harus dilakukan dengan syarat tindakan harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung). Lokasi miringitomi ialah di kuadran posterior-inferior. b) Mastoidektomi Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak
sembuh,
dengan
tindakan
operasi
ini
dilakukan
pembersihan ruang mastoid dari jareingan patologik. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Tujuan: Supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. c) Timpanoplasti Operasi ini bekerja pada OMSK tipe aman dalam kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medical mentosa. Pada operasi ini selain recontruksi membrane timpani seringkali harus dilakukan juga recontruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk recontruksi
tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah
timpanoplasti tipe II, tipe III, tipe IV, tipe V. Sebelum recontruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi cavum timpani dengan atau tanpa
mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tujuan operasi adalah ntuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. b. Non Farmakologi Edukasi penting untuk mencegah penyakit ini aktif kembali. Pada pasien dengan OMSK benigna tenang tidak memerlukan pengobatan. Pasien diingatkan untuk tidak mengorek telinga, menjaga agar air tidak masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang, dan segera berobat bila menderita ISPA. B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Riwayat Keperawatan 1) Riwayat kesehatan dahulu : Apakah pernah menderita gangguan pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana kebiasaan membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenang, daerah industry daerah polusi). 2) Riwayat kesehatan sekarang : Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat anamnesa, seperti penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri yang dirasakan. 3) Riwayat kesehatan keluarga : Ada atau tidak riwayat penyakit saluran nafas atas yang berulang dan riwayat alergi pada anggota keluarga. b. Pemeriksaan Fisik: Data Fokus 1) Tes pendengaran, memeriksa membrane timpani. 2) Ada atau tidaknya nyeri pada telinga. 3) Penurunan/tidak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga. 4) Ada atau tidaknya tinnitus (telinga berdengung). 5) Ada atau tidaknya perasaan penuh pada telinga. 6) Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan. 7) Vertigo, pusing, gatal pada telinga. 8) Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40℃), demam. 9) Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras. 10) Ada atau tidaknya cairan telinga (Hitam, kemerahan, jernih, kuning. 11) Jumlah cairan (ada 2 tipe warna jumlah cairan).
12) Ada atau tidaknya alergi. 13) Dengan otoskop tuba eustachius ada atau tidaknya bengkak, merah, suram. 2. Patofisiologi OMSK
Pengobatan OMA yang tidak adekuat
Infeksi virus oleh bakteri
Perforasi yang sudah terbentuk
Melalui tuba eustachius
Keluarnya secret yang terus menerus
Otitis media berulang
OMK
Menyerang telinga tengah Infeksi di telinga tengah
Perubahan persepsi sensori b.d infeksi di telinga tengah
Ansietas b.d kurang kurang pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi pencegahannya
Melalui perforasi membrane timpani
Gangguan fungsi tuba eustachius
Misanya adanya sumbatan pada tuba eustachius Enzim pelindung bulu halus tidak berfungsi
Bakteri dapat masuk melalui saluran napas
ISPA Inflamasi Pembengkakan saluran eustachius
Demam
Nyeri
Nyeri b.d proses peradangan
Terjadi peningkatan lendir dan nanah
↑ Tekanan cairan
Merobek gendang telinga Gangguan komunikasi b.d efek kehilangan pendengaran
Kehilangan pendengaran
3. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan infeksi telinga tengah, obstruksi, atau kerusakan di syaraf pendengaran b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera faktor biologis : inflamasi telinga c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran d. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi dan tindakan pencegahannya 4. Perencanaan a. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan infeksi telinga tengah, obstruksi, atau kerusakan di syaraf pendengaran Tujuan : memperbaiki fungsi pendengaran Kriteria hasil: - Tidak keluar cairan pada telinga - Membrane timpani yang bocor tertutup kembali - Tidak ada serumen pada telinga - Tidak berdenging dan gatal pada telinga Berikan
Intervensi pemahaman
tentang Sebagai
Rasional informasi yang
baik
sebelum dilakukan tindakan prosedur irigasi Anjurkan pasien agar menghindari Mencegah infeksi yang sewaktuwaktu bisa terjadi
masuknya air ke telinga
Kolaborasi dengan dokter dalam Dapat melembutkan serumen dan hydrogen kotoran yang akan dikeluarkan
pemberian peroksida/H2O2untuk tindakan
pengambilan
melakukan serumen,
cairan dengan irigasi dan suction Kolaborasi dalam pemberian obat Mempercepat tetes telinga dan antibiotik
pertumbuhan
membrane timpani yang pecah dan mencegah infeksi lebih jauh.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera faktor biologis : inflamasi telinga Tujuan : mengurangi nyeri Kriteria : - Tidak ada nyeri pada telinga - Ekspresi wajah ceria - Skala keluhan nol Intervensi Kaji lokasi, tingkat nyeri, skala
Mengetahui
nyeri, durasi dan penyebaran Kaji faktor penyebab nyeri Lakukan teknik tindakan
yang dirasakan Membantu dalam pemberian terapi Dapat mengurangi respon nyeri
non
farmakologi seperti, nafas dalam,
Rasional karakteristik
nyeri
yang muncul
mamase, maupun distraksi Kaji dan catat respon pasien
Membantu
terhadap intervensi Kolaborasi dengan dokter dalam
intervensi selanjutnya Mengurangi nyeri,
dalam
memberi dengan
memblokir reseptor nyeri yang
pemberian analgetik
timbul c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran Tujuan: Melakukan komunikasi Kriteria hasil: - Meningkatkan keterampilan yang telah dipelajari untuk komunikasi - Menunjukkan tingkah laku koping positif - Menerima keterbatasan yang disebabkan oleh gangguanpendengaran Intervensi Kaji dan bangun cara berkomunikasi
Rasional Mengetahui kemampuan pasien berkomunikasi
Berbicara
dengan
lambat
mengucapkan kata dengan jelas
dan Agar
pasien
dapat
menerima
pembicaraan dengan jelas
Hanya berbicara dengan satu orang Menghindari kebingungan pasien d dalam satu waktu
alam menangkap pembicaraan
Berdiri agar pasien dapat melihat Memungkinkan pasien memahami mulut anda dengan jelas
pembicaraan dari gerakan bibir
Bicara dengan satu kalimat sederhana Mengukur
kemampuan
pasien
dahulu untuk menentukan tingkat dalam menangkap pembicaraan keterampilan pasien Tunjukkan objek pembicaraan dengan Memperjelas tepat
penerimaan
pasien
tentang objek pembicaraan
Gunakan cara alternatif lain dalam Agar pasien bisa lebiih mengerti berkomunikasi (bahasa isyarat, kertas dan pensil) jika perlu
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi dan pencegahanya Tujuan : mengurangi ansietas Kriteria : - Pasien mengerti tentang penyakit OMSK - Keadaan umum dan TTV membaik - Pasien tidak gelisah Intervensi Dengarkan dengan cermat apa yang
Rasional Mendengar memungkinkan
dikatakan klien tentang penyakit dan
deteksi dan koreksi mengenai
tindakanya
kesalahpahaman dan kesalahan
Berikan penjelasan singkat tentang organisme penyebab dan pencegahanya Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya dan berdiskusi
informasi Pengetahuan tentang diagnose spesifik dan tindakan dapat meningkatkan kepatuhan berikan Pertanyaan klien menandakan masalah yang perlu diklarifikasi
Daftar Pustaka Arif Mansjoer, 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2013. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: EGC Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika Sari, Jenny T. Y., Yan Edward, Rossy Rosalinda. 2018. Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer. Jurnal Kesehatan
Andalas.
Diunduh
pada
tanggal
28
November
2020
dalam
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/931 Farida Y., Hanggoro Sapto, Dwita Oktaria. 2016. Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Diunduh pada tanggal 28 November
2020
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/877/pdf Wirawan, T. H., I Made Sudipta, Sari Wulan Dwi Sutanegara. 2020. Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Januari-Desember 2014. Jurnal Medika Udayana, Vol. 9 No.3