39 2 157KB
ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS ”POPULASI TERLANTAR” Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas Dosen Pembimbing: Lilis Lismayanti, M. Kep Nina Pamelasari, M.Kep Miftahulfalah, MSN
Disusun Oleh: Kelompok 6/3A Ilham Aminudin Jasmin Maturidi Nadya Paramitha Puja Cahya Utami Selsa Permatasari
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA 2019
BAB I LATAR BELAKANG A. LATAR BELAKANG Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Jadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu. Penelantaran atau neglect merupakan hal yang sudah tidak asing, lansia atau anak yang tidak diasuh dan dirawat sebagaimana mestinya oleh anak atau keluarganya serta penelantaran lansia karena berbagai alasan dari keluarga sangat sering terjadi. Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah penelantaran lansia dapat kita lihat dengan penitipan lansia di panti jompo tanpa pernah di jenguk lagi. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah yang dimaksud dengan populasi terlantar ? 2. Apa sajakah factor penyebab munculnya populasi terlantar? 3. Bagaimanakah level pencegahan populasi terlantar? 4. Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Lansia yang terlantar? C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan populasi terlantar. 2. Untuk mengetahui factor penyebab munculnya populasi terlantar. 3. Untuk mengetahui level pencegahan populasi terlantar. 4. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Lansia yang terlantar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Populasi terlantar menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Populasi terlantar biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi populasi terlantar bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi populasi terlantar karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, Populasi terlantar lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang. B. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA POPULASI TERLANTAR 1) Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya Populasi terlantar, gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung. 2) Rendah Tingginya Pendidikan Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. 3) Keluarga Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang perhatian, kenyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain. 4) Umur Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk
memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup. 5) Cacat Fisik Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani, 2012) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan. 6) Rendahnya Keterampilan Keterampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. 7) Masalah Sosial Budaya Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi Populasi terlantar, gelandangan dan pengemis. Antara lain: a. Rendahnya harga diri Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif. b. Sikap pasrah pada nasib Mereka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan. c. Kebebasan dan kesenangan hidup sebagai Populasi terlantar 8) Faktor Lingkungan Menjadi Populasi terlantar gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup. 9) Letak Geografis Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta. 10)Lemahnya penanganan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis. C. LEVEL PENCEGAHAN POPULASI TERLANTAR 1) Pencegahan Primer Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga Populasi terlantar agar tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu: a) Bantuan finansial Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik, mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi Populasi terlantar yang membutuhkan. b) Bantuan hukum Membantu Populasi terlantar untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya pengusiran. c) Saran finansial Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada Populasi terlantar. d) Program relokasi Memberikan dana yang dibutuhkan bagi Populasi terlantar untuk membayar rumah dan kebutuhan dasar. 2) Pencegahan Sekunder Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah : a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi terlantar adalah mereka menjalani medikasi dan regimen terapi. b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan agar Populasi terlantar tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut. d) Memberikan vitamin kepada Populasi terlantar untuk mengompensasi defisit nutrisi e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para Populasi terlantar selalu melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para Populasi terlantar agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan 3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi) Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada Populasi terlantar antara lain: a) Bimbingan mental Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis. b) Bimbingan kesehatan Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para Populasi terlantar gelandangan dan pengemis.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS A. KASUS Saat perawat melakukan pengkajian ke panti Tresna Werdha terdapat 50 lansia yang menetap disana. Saat dilakukan pengkajian pada salah seorang perawat sebagian besar lansia yang di tempatkan di Tresna Werdha tersebut di telantarkan oleh keluarganya ataupun tidak memiliki tempat tinggal. Dan saat dilakukan pengkajian pada 20 orang lansia yang ada di panti tersebut sebagian besar berkata di antar oleh anak mereka, dan alasan mengapa mereka ditempatkan disana karena alasan anaknya yang sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu untuk merawat mereka, selain itu ada yang beralasan karna memang mereka tidak memiliki tempat tinggal, anak, dan beralasan tidak ingin merepotkan anaknya. Saat dilakukan pengkajian juga di dapat data bahwa sebagian besar lansia yang ditempatkan di panti Werdha tersebut merasa sedih, dan merasa dirinya seperti tidak di butuhkan lagi, dan
selain itu sebagian lansia terlihat kurang memperhatikan penampilan dan kebersihan badannya. Dan didapat data sebagai berikut : No.
Karakteristik
Frekuensi/ jumlah
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
20 orang 30 orang
Tingkat pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA
5 orang 10 orang 25 orang 10 orang
Tamat Sarjana Umur 60 - 65 tahun 66 – 70 tahun
20 orang 30 orang
B. PENGKAJIAN Data Inti 1. Riwayat atau sejarah perkembangan komunitas Panti Sosial Tresna Werdha adalah unit pelaksanaan teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas memberikan pelayanan sosial bagi para lansia, sehingga mereka dapat menikmati sisa hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin. Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan didirikan pada tanggal 1 Oktober 1979 dengan nama Sasana Tresna Werdha (STW) “Sejahtera” Pandaan yang mula-mula berkapasitas 50 orang, dan pada tanggal 17 Mei 1982 oleh Menteri Sosial Bapak Saparjo diresmikan pemakaiannya berdasarkan KEP. MENSOS RI NO. 32/HUK/KEP/VI/82 dengan kapasitas tampung 110 orang dan menempati area seluas 16.454 m2. Pada tahun 1994 mengalami pembakuan penamaan UPT Pusat/Panti/Sasana dilingkungan Departemen Sosial sesuai SK
Mensos RI. No. 14/HUK/1994 dengan nama Panti Sosial Tresna Werdha “Sejahtera” Pandaan. Melalui SK Mensos RI No. 8/HUK/1998 ditetapkan termasuk kategori panti percontohan tingkat Provinsi dengan kapasitas tampung 110 orang Perda No. 12 th 2000 tentang Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat bahwa Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan, merupakan unit pelaksana teknis Dinas sosial Provinsi Jawa Barat. Dengan keluarnya Perda No. 14 th 2002 yang merubah Perda No. 12 th 2000 tentang Dinas Sosial yang berisi bahwa Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan berubah menjadi Panti Sosial Tresna Werdha PandaanBangkalan yang merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. 2. Status kesehatan komunitas Dari pengkajian (anamnesa) dan kuesioner yang dilakukan perawat langsung kepada para lansia di Panti Sosial Tresna Werdha. Keluhan yang dirasakan saat ini oleh komunitas : 30 orang lansia (60%) mengeluhkan sudah terbiasa dan mengiklaskan dengan kesendirian mereka terutama saat di tinggal oleh pasangan mereka sendiri, dan mereka sadar bahwa suatu saat pasti akan sendiri bahkan anak nya pun tidak ingin merawat mereka karna di anggap merepotkan. 10 orang lansia (20%) mengeluhkan mereka tidak mampu merawat dan memperhatikan diri mereka dengan baik dan benar.sedangkan 10 orang lansia (20%) lainnya mengeluh jika mereka merasa tidak di butuhkan dan masih suka merindukan anak mereka dan ingin berkumpul dengan anak cucu mereka .
3. Tanda-tanda vital TD: < 110/70 mmHg
: 25 orang (50%)
110/70mmHg-130/90mmHg
: 20 orang (40%)
>130/90 mmHg
: 5 orang (10%)
Nadi: 60-80x/menit
: 30 orang (60%)
80-100x/menit
: 20 orang (40%)
RR:
16-24x/menit
: 50 orang (100%)
>24x/ menit
: 0 orang (0%)
Suhu tubuh: 36,5°C-37°C
: 50 orang (100%)
4. Kejadian penyakit HDR
: 30 orang (60%)
Depisit perawatan diri
: 10 orang (20%)
Tidak mengeluhkan keduanya : 10 orang (20%) 5. Riwayat penyakit komunitas Data diambil dari 20 orang lansia (40%) diantaranya 10 orang lansia (20%) mengeluhkan mereka tidak mampu merawat dan memperhatikan diri mereka dengan baik dan benar. Sedangkan 10 orang lansia (20%) lainnya mengeluh jika mereka merasa tidak di butuhkan dan masih suka merindukan anak mereka dan ingin berkumpul dengan anak cucu mereka . Kami melakukan pengkajian dengan memberikan kuesioner kepada 20 orang lansia tersebut, dengan hasil:
No.
Karakteristik
Frekuensi
Presentase %
1.
Mengeluh belum bisa mengikhlaskan 10 orang jauh dari keluarga
50%
2.
Mengeluh sudah mengikhlaskan jauh 10 orang dari keluarga
50%
3.
Berkata di antar oleh anak
12 orang
60%
4.
Berkata hanya di antar oleh orang lain karena tidak memiliki rumah
8 orang
40%
5.
Merasa di buang oleh keluarga
12 orang
60%
6.
Merasa tidak mampu merawat dan memperhatikan kebersihan diri
10 orang
50%
7
Merasa masih bisa merawat dan memperhatikan kebersihan diri 10 orang meskipun sebagian
50%
6. Pola pemenuhan kebutuhan nutrisi komunitas Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan pola makan pada lanjut usia di wisma adalah 3 kali/hari dengan prosentase 96 %. Sebagian klien ada yang makan 1-2 kali/hari karena faktor spiritual (kepercayaan) seperti : puasa. 7. Pola pemenuhan cairan dan elektrolit Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pola minum pada lanjut usia di wisma adalah >5 kali/hari dengan presentase 80 %.
8. Pola istirahat tidur Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pola aktivitas (istirahat dan tidur) pada lanjut usia di wisma adalah tidak terganggu dengan prosentase 90%. 9. Pola eliminasi Saat dilakukan anamnesa kepada para lansia Sebanyak 5 orang semuanya mengatakan tidak pernah mengalami keluhan pada pola eliminasi baik BAK maupun BAB. 10. Pola aktivitas gerak Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan keterampilan dan kesenian pada lanjut usia di wisma sebagian besar lansia mengalami kesulitan dalam bergerak karna alasan factor usia. 11. Pola pemenuhan kebersihan diri
Berdasarkan data saat dilakukan anamnesa sebagian kecil lansia melakukan aktifitas kebersihan dengan baik, seperti pola mandi minimal 2x/hari, sisanya masih kurang memperhatikan kebersihan dirinya. 12. Status psikososial Antar kelompok lansia tidak pernah mengalami pertengkaran atau perselisihan karena mereka menganggap semua lansia saling bersaudara. 13. Status pertumbuhan dan perkembangan Pola pemanfaatan fasilitas kesehatan Panti Sosial Tresna Werdha adalah unit pelaksanaan teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas memberikan pelayanan sosial bagi para lansia, sehingga mereka dapat menikmati sisa hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin. Kegiatan yang ada di panti ini tidak hanya berasal dari Dinas Sosial tetapi ada juga kegiatan yang bekerja sama dengan Departemen Agama, bimbingan mental agama yang ada di wisma-wisma, dengan Debdikbud untuk pengadaan kegiatan dan lain sebagainya. Selain itu, panti bekerjasama dengan RSUD Soekardjo, dan Pemda setempat untuk menunjang kondisi kesehatan para lansia.
No.
Karakteristik
Frekuensi
Presentase (%)
1.
Lansia yang memeriksakan kesehatan secara rutin ke klinik
15 orang
75%
2.
Lansia yang memeriksakan kesehatannya saat sakit saja
5 orang
25 %
3.
Lansia yang tidak pernah/ belum pernah datang ke klinik untuk memeriksakan kesehatannya
0 orang
0%
14. Hasil tidak sehat dalam komunitas Didapat hasil bahwa 20 orang lansia (40%) diantaranya 10 orang lansia (20%) mengeluhkan mereka tidak mampu merawat dan memperhatikan diri mereka dengan baik dan benar.sedangkan 10 orang lansia (20%) lainnya mengeluh jika mereka merasa tidak di
butuhkan dan masih suka merindukan anak mereka dan ingin berkumpul dengan anak cucu mereka . C. DATA LINGKUNGAN FISIK Panti Sosial Tresna Werdha didirikan dengan kapasitas tampung 110 orang dan menempati area seluas 16.960 m2 . Panti Sosial Tresna Werdha didirikan diatas tanah seluas 16.960 m2, tanah tersebut terbagi menjadi dua yaitu untuk perumahan dan untuk tempat pemakaman. Tanah untuk perumahan terbagi atas: Gedung wisma sebanyak 5 wisma meliputi wisma cendana, seruni, kenanga, mawar, melati,. Gedung tersebut dibangun diatas tanah seluas 1320 m2. Wisma-wisma ini memiliki fasilitas diantaranya ruang tamu, kamar tidur, ruang rekreasi, dapur, dan kamar mandi. Gedung kantor seluas 210 m2. Gedung lokal kerja 70 m2. Musholla seluas 160 m2. Dapur umum seluas 160 m2. Aula seluas 160 m2. Pos satpam seluas 6 m2. Rumah dinas tipe 50. Rumah dinas tipe 36. Sumber air bersih berasal dari sumur bor yang terletak dibelakang wisma dan bantuan air dari perusahaan air minum Vivi. Setiap wisma minimal memiliki 1 kamar mandi, dan setiap wisma mempunyai septic tank sendiri dimana septic tank ini tidak terhubung antar yang satu dengan yang lainnya. Setiap wisma terdapat sarana pembuangan air limbah yang dialirkan sampai ke tempat pembuangan limbah akhir. Panti Sosial Tresna Werdha memiliki satu musholla yang terletak disebelah barat panti. Dibelakang panti terdapat kebun dan kolam ikan.
D. PELAYANAN KESEHATAN DAN SOSIAL Panti Sosial Tresna Werdha adalah unit pelaksanaan teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas memberikan pelayanan sosial bagi para lansia, sehingga mereka dapat menikmati sisa hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin. Kegiatan yang ada di panti ini tidak hanya berasal dari Dinas Sosial tetapi ada juga kegiatan yang bekerja sama dengan Departemen Agama, bimbingan mental agama yang ada di wismawisma, dengan Debdikbud untuk pengadaan kegiatan dan lain sebagainya. Selain itu, panti bekerjasama dengan RSUD Soekardjo, Puskesmas Tamansari, RSU Islam, Dan Pemda Setempat. E. EKONOMI Sebagian besar dana kegiatan yang diadakan di Panti berasal dari APBD/Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. F. KEAMANAN DAN TRANSPORTASI Untuk kegiatan di dalam panti biasanya para lansia hanya berjalan kaki untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Panti juga menyediakan kendaraan berupa mobil untuk keadaan darurat,
misalnya keadaan dimana lansia harus segera mendapat penanganan di rumah sakit. Selain itu, masing-masing wisma juga dijaga oleh tenaga keamanan yang diperkerjakan di panti tersebut G. POLITIK DAN KEAMANAN Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang memiliki struktur organisasi sesuai dengan Perda Provinsi Jawa Barat No. 14 Tahun 2002 yang terdiri dari: Kepala Panti, Kelompok Jabatan Fungsional, Ka. Sub. Bagian Tata Usaha, Ka. Sie Unit Pelayanan Sosial Pandaan dan Bangkalan. Panti Sosial Tresna Werdha juga memiliki prosedur pelayanan yang sistemastis untuk mencapai lansia yang sejahtera. Panti Sosial Tresna Werdha Pandaan memiliki 33 pegawai yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing. H. SISTEM KOMUNIKASI Panti Sosial Tresna Werdha memiliki fasilitas ruang tamu dan aula yang biasa dimanfaatkan oleh para lansia untuk berkumpul dan melakukan aktivitas sehari-hari. I.
PENDIDIKAN Dalam Panti Sosial Tresna Werdha, para lansia banyak sekali difasilitasi dengan berbagai kegiatan yang meliputi kegiatan keagamaan, ketrampilan dan kesenian, bimbingan sosial serta senam yang bertujuan untuk menjaga kebugaran para lansia.
J.
REKREASI Para lansia biasa mengisi waktunya dengan berbagai aktivitas yang diselenggarakan oleh panti. Di sela-sela aktivitas biasanya mereka mengobrol, membaca koran atau sekedar menonton TV di dalam ruangan rekreasi yang disediakan sebagai fasilitas panti. Selain itu lansia juga bisa berjalan-jalan di kebun belakang panti dan disana terdapat kolam ikan yang bisa digunakan untuk memancing.
ANALISA DATA
NO.
DATA
ETIOLOGI
1
DS:
Ketidak Harga mampuan rendah komunitas untuk meningkatkan
10 orang lansia (20%) mengeluh jika mereka merasa tidak di butuhkan dan
PROBLEM diri
masih suka merinduka anak mereka dan ingin berkumpul dengan anak cucu mereka .
stresor kognitif
DO: Saat dilakukan pengkajian terlihat sebagian besar lansia terlihat sedih, menunduk dan berkata mereka tidak punya penyemangat hidup. 2
DS: 10 orang lansia (20%) mengeluhkan mereka tidak mampu merawat dan memperhatikan diri mereka dengan baik dan benar.
Ketidak Defisit mampuan perawatan diri komunitas untuk merawat diri
DO: Saat dilakukan pengkajian terlihat beberapa lansia kotor dan berpakaian tidak rapih SKORING DIAGNOSA KEPERAWATAN KOMUNITAS
Masalah kesehatan
Motivasi Kesadaran masyaraka masyarakat t dalam akan adanya menyelesai masalah kan masalah
Kemampuan perawat untuk mempengar uhi dalam penyelesaia n masalah
Ketersedia an keahlian yang relevan
Konsekuensi jika masalah tidak terselesaika n
Percepatan penyelesaia n masalah yang dapat dicapai
Kriteria:
Kriteria :
Kriteria :
Kriteria :
Kriteria :
Kriteria :
Tinggi (3)
Tinggi (3)
Tinggi (3)
Tinggi (3)
Tinggi (3)
Tinggi (3)
Sedang (2)
Sedang (2)
Sedang (2)
Sedang (2)
Sedang (2)
Sedang (2)
Rendah (1)
Rendah (1)
Rendah (1)
Rendah (1)
Rendah (1)
Rendah (1)
Bobot 5
Bobot 10
Bobot 5
Bobot 7
Bobot 8
Bobot 8
Ju m la h ni lai
PRI ORI TAS
HDR
3
1
3
3
2
2
14
Defisit perawatan diri
2
1
3
3
2
2
13
Harga Diri Renda h
DIAGNOSA PERAWATAN BERDASARKAN SKORING /PRIORITAS : 1. Harga diri rendah berhubungan dengan Ketidak mampuan komunitas untuk meningkatkan stressor kognitif
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
No
DX KEP KOM
RENCANA KEGIATAN
EVALUASI
STRATEGI
KRITERIA
TUJUAN INTERVENSI
STANDAR
1.
DS:
Tujuan Umum
10 orang lansia 1. Setelah (20%) mengeluh intervensi jika mereka keperawatan merasa tidak di selama 3 hari, Pendidika n butuhkan dan diharapkan kesehatan masih suka sebagian merindukan anak besar mereka dan ingin komunitas berkumpul dapat dengan anak cucu meningkatka mereka . n harga diri mereka. DO: Saat dilakukan pengkajian terlihat sebagian besar lansia terlihat sedih, menunduk dan kurang kooperatif ketika diajak berbicara.
Tujuan Khusus: 1. meningkatnya harga diri sebagian besar lansia 2. Meningkatnya stresor kognitif lansia
Melaksanakan kegiatan pendidikan kesehatan kepada para lansia mengenai pentingnya meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri.
Terlaksanaya penyuluhan kesehatan tentang peningkatan harga diri dan kepercayaan diri
Tersedianya media pendidikan kesehatan Terjadinya peningkatan harga diri pada lansia yang HDR
Pembuatan media untuk pendidikan dengan bentuk leaflet, lembar balik, dan flipchart
Terbentukny a leaflet, lembar balik dan flif chart tentang peningkatan harga diri dan kepercayaan diri.
75% leaflet terdistribusi kepada para lansia
Menyebarkan/ mendistribusi kan kembali informasi dalam bentuk media (leaflet) pada kegiatan yang ada di panti werdha
Terlaksanaya n penyuluhan kesehatan tentang peningkatan harga diri dan kepercayaan diri
Terjadinya peningkatan harga diri pada lansia yang HDR
3. Meningkatnya harapan hidup para lansia 4. Meningkatnya kepercayaan diri para lansia 5. Meningkatkan keihlasan para lansia untuk tinggal di panti werdha
Mengadakan kegiatan kerohanian seperti mendengarkan ceramah mengenai keikhlasan dan arti hidup untuk meningkatkan semangat hidup para lansia
TABEL REVIEW JURNAL Judul :
Terlaksanany a kegiatan kerohanian seperti mendengarka n ceramah mengenai keikhlasan dan arti hidup untuk meningkatka n semangat hidup para lansia
Terjadinya peningkatan harga diri pada lansia yang HDR dan terjadinya peningkatan kepercayaan diri serta keihklasan lansia untuk menerima keaadaan dan komunitas mereka sekarang ini.
1. KONDISI PEREKONOMIAN DAN PENGETAHUAN KELUARGA YANG RENDAH MEMICU PENGABAIAN LANSIA PEREMPUAN DI KELUARGA BESAR (Poverty and Lack of Knowledge Cause Negligence on Female Elders Lived in Extended Families) 2. KEPERAWATAN LANSIA KOMPREHENSIF DENGAN PENDEKATAN TEORI FAMILY CENTRED NURSING DAN FUNCTIONAL CONSEQUENCES DALAM PENCEGAHAN PENGABAIAN LANSIA DALAM KELUARGA 3. BEBAN KELUARGA MERAWAT LANSIA DAPAT MEMICU TINDAKAN KEKERASAN DAN PENELANTARAN TERHADAP LANSIA 4. OPTIMALISASI PERAN KELUARGA DALAM MENGURANGI RESIKO NEGLECT PADA LANSIA Pengarang
Tujuan
Metode
Hasil
Diskusi
Setho Hadisuyat mana, M Ruli Maulana, Makhfudli
untuk mengeksplorasi faktor berhubungan dengan kasuskasus yang tidak dilaporkan pada kelompok lansia tersebu
menggunakan pendekatan cross sectional secara deskriptif analitik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan keluarga memiliki korelasi yang kuat dengan peristiwa pengabaian lansia (p = 0,000 dengan r = 0.643).
Analisis temuan ini menunjukkan bahwa tidak hanya kurangnya pengetahuan keluarga, tetapi juga situasi ekonomi yang buruk memicu mereka secara tidak sengaja mengabaikan orang tua perempuan mereka. Hasil ini menutup kesenjangan kurangnya bukti yang dapat menjelaskan faktor-faktor berhubungan dengan kejadian pengabaian lansia di kawasan timur Indonesia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan signifikansi dan luasan dampak dari pengabaian terhadap lansia. Peneliti menyarankan bahwa Dinas Kesehatan, Puskesmas dan profesional kesehatan
2015
memiliki peran penting untuk mendidik masyarakat sebagai langkah pertama untuk meningkatkan kualitas hidup dan menciptakan proses penuaan yang sejahtera bagi lansia. Dyah pitaloka 2018
Mengidentifikasi keperawatan lansia komprehensif dengan pendekatan teori family centered nursing dan functional consequences dalam pencegahan pengabaian lansia dalam keluarga.
Desain penelitian ini explanatory survey dengan pendekatan cross sectional. Menggunakan teknik simple random sampling.
Didapatkan keperawatan lansia komprehensif dengan pendekatan teori family centered nursing dan teori functional consequences yang berhubungan faktor struktur peran, fungsi keperawatan keluarga, fungsi ekonomi, stres jangka panjang, kesehatan fungsi, informasi, kondisi patologis lansia. Tujuh faktor tersebut berfungsi untuk pencegahan pengabaian lansia. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin lansia mengalami pengabaian paling tinggi adalah lakilaki dengan tipe keluarga extended dengan status
Didapatkan faktor yang berhubungan dengan pengabaian lansia didalam keluarga, sehingga model keperawatan lansia komprehensif dalam pencegahan pengabaian lansia di keluarga terdiri dari: struktur peran, fungsi keperawatan keluarga, fungsi ekonomi, stres jangka panjang, kesehtan fungsi, informasi, kondisi patologis lansia.
kesehatan yang rendah terjadi resiko pengabaian lansia dalam keluarga. R.Siti Maryam, Rosidawati, Ni Made Riasmini, Eros siti suryati 2012
Fitri Firranda Nurmalisya h,Desy Siswi Anjarsari, Zuliani, Dyah Pitaloka 2016
Untuk mendapatkan gambaran tentang faktorfaktor berhubungan dengan beban keluarga merawat lansia.
Deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan bermakna antara usia keluarga (p= 0,052;ɑ=o,o5), status kesehtan (p= 0,018;ɑ=o,o5), pengetahuan (p= 0,046;ɑ=o,o5) dan kepuasan (p= 0,033;ɑ=o,o5) dengan beban merawat lansia. Faktor yang paling berkontribusi terhadap beban merawat adalah status kesehtan keluarga (OR=2,632).
Rekomndasi hasil penelitian yaitu gambaran terhadap beban yang dialami keluarga dalam merawat lansia dapat dijadikan sebagai masukan untuk mengembangkan program pemberdayaan keluarga serta program promosi kesehatan untuk mengurangi beban merawat yang pada akhirnya dapat mengurangi tindakan kekerasan dan penelantaran.
Untuk mencegah terjadinya neglect pada lansia, maka perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang neglect atau pengabaian lansia agar keluarga dapat melakukan perawatan pada lansia, sehingga tidak terjadi neglect atau
Survei lapangan, Koordinasi dengan pihak kepala desa , Sosialisasi Program, Pelaksanaan Program
Perubahan perubahan yang terjadi pada lansia baik perubahan fisiologis maupun psikososial menyebabkan lansia mengalami kelemaham dan keterbatasan fungsi. Perubahan fungsi fisiologik berupa keterbatasan, kelemahan dan ketergantungan
Pendidikan tentang perawatan lansia dan neglect atau pengabaian lansia perlu diberikan sebagai upaya memperbaiki kondisi lansia khususnya kondisi psikologis lansia yang dirawat keluarga
pengabaian pada lansia
akan mempengaruhi kondisi psikososial lansia berupa gangguan atau perubahan fungsi psikososial. Perubahan fungsi psikososial pada lansia akan berdampak terhadap terjadinya kerusakan fungsi psikososial pada lansia. Kerusakan fungsi psikososial menjadi faktor resiko bagi lansia. Kerusakan fungsi psikososial pada lansia menjadi faktor resiko terhadap kejadian pengabaian pada lansia
DAFTAR PUSTAKA Budi Anna Kelliat. 2012. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC Efendi, Ferry Uddan Makhfudi. 2010. Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Wulandari, Sri. Dkk. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi Rentan : Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar Di akses tanggal 13 Mei 2019 Darmawan, Lili. Dkk. 2017. Penyakit Mental, Kecacatan Dan Populasi Terlantar Di akses tanggal 13 Mei 2019 Iman B, Aisiyah. Dkk. 2017. Askep Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi Rentan (Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar)
Diakses tanggal 13 Mei 2019