29 1 168KB
ASKEP KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI TERLANTAR, MISKIN & TUNAWISMA
Disusun Oleh : Kelompok 2 Damaris Taruk Fransiska Dias Paginta Leonardus Muh. Ilyas Oci OrlIana Rinna Merlin Sorongan Yulita Gustin Token
STIK STELLA MARIS MAKASSAR PRODI SI KEPERAWATAN TAHUN 2018/2019
A. DEFINISI Populasi berasal dari Bahasa latin yaitu populous (rakyat,berarti penduduk) . jadi populasi adalah kumpulan indivudu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu Komunitas pada populasi terlantar, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan layak, orang yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau orang yang berpindah-pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan dan minum disembarangan tempat. Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna wisma merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk. Terbatasnya lapangan pekerjaan, pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi gelandangan. Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok yang terisolasi, terpinggirkan, tidak beruntung dan kelompok rentan. Definisi pemerintah tentang gelandangan atau tuna wisma yang dapat diterima secara luas pada saat sekarang adalah orang yang kekurangan suatu tempat tinggal permanen pada malam hari, atau yang memiliki tempat tinggal hanya pada saat malam hari
sebagai tempat bermukim sementara seperti pada fasilitas publik atau tempat– tempat pribadi / swasta yang tidak dirancang sebagai akomodasi tempat tidur bagi manusia (Situmorang, 2008 ). Tunawisma atau gelandangan ada yang berusia produktif, ada pula yang lanjut usia. Tunawisma atau gelandangan lanjut usia adalah orang atau lanjut usia yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya menjamin nasib kaum ini. Namun Undang-Undang belum dapat terlaksanakan di seluruh lapisan masyarakat, dikarenaka bahwa kebijakan pemerintah selama ini hanyalah kebijakan yang menyentuh dunia perkotaan secara makroskopis dan bukan mikroskopis. Pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan mekanisme lanjutan kepada para stakeholder sehingga terkesan demi menjadikan sesuatu lebih baik, mereka mengorbankan hak-hak individu orang lain.
B. PREVELENSI Penanganan masalah gelandangan dilakukan dengan melibatkan Dinas Sosial beserta Satuan Polisi Pamong Praja yaitu dengan melakukan razia, kemudian yang tertangkap dilakukan pembinaan serta pelatihan ketrampilan, dan dikirim ke tempat asal mereka. Masalah gelandangan masih relatif tinggi, hal ini dibuktikan dengan data pada tahun 2004-2009 jumlah populasi gelandangan dan fakir miskin di Indonesia tercatat 36,10 juta, sedangkan tahun 2009 berjumlah 32, 5 juta orang (Badan Pusat Statistik, Februari 2009) Menurut data Dinas Sosial di seluruh Indonesia yang dihimpun Kementerian Sosial (Kemensos), angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada 2017 ada sebanyak 23.595 pengemis dan 30.019 gelandangan. Sedangkan data PMKS 2018, ada sebanyak 22.797 pengemis dan 56.785 gelandangan. Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 26.766 orang gelandangan dari 2017 ke 2018. Kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Edi Suharto, sebetulnya ada empat faktor permasalahan adanya PMKS, Pertama adalah kemiskinan, tingkat pendidikan, rendahnya keterampilan dan moralitas," Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut, jumlahnya mencapai 4,1 juta anak, dan jumlah itu bertambah. Kondisi tersebut mencerminkan amanat Konstitusi agar fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, Kemsos juga menyebut sedikitnya 35.000 anak mengalami eksploitasi. Keberadaan anak-anak telantar tersebut, antara lain masih minimnya rumah singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Belum semua provinsi memiliki RSPA. Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar tersebut mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini
tercatat masih relatif tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan kesejahteraan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Data terbaru yang dirilis secara resmi oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengenai jumlah anak jalanan pada tahun 2007 di seluruh Indonesia mencapai 104.497 anak. Provinsi dengan jumlah anak jalanan terbanyak berturut-turut adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307 anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak, sedangkan 3 provinsi dengan jumlah anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan Kepulauan Riau 186 anak.12 Data tersebut adalah data yang paling baru yang dirilis resmi, dan untuk Tahun 2014 ini belum ada data terbaru yang dirilis secara resmi oleh kementrian manapun terkait dengan jumlah anak jalanan. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media cetak nasional pada tahun 2011 Menteri Sosial Dr. Salim Segaf Al-Jufri, M.A menyatakan bahwa saat itu jumlah anak jalanan Indonesia mencapai 230.000 anak namun, belum ada rilis resmi atas data yang mencengangkan tersebut terkait peningkatan jumlah anak jalanan Indonesia yang sangat besar. Kota Makassar yang merupakan satu dari empat kota di Indonesia telah menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan namun berdasarkan data jumlah pengemis serta gelandangan sekitar 42.986 orang. C. KARAKTERISTIK POPULASI TERLANTAR Indonesia masih tergolong Negara yang berkembang dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini pengemis, gelandangan dan orang terlantar adalah masalah yang harus di perhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar. Keberadaan PGOT saat ini
semakin banyak dan sulit diatur, Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum di kota-kota besar, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif di kota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka 2 memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh
dan
lain
sebagainya
untuk
beristirahat,
mereka
tinggal
tanpa
memperdulikan norma social. Karakteristik dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu : 1. Tidak memiliki tempat tinggal Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini mereka tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal mereka ini biasa mengembara di tempat umum. 2. Hidup di bawah garis kemiskinan, Para gepeng mereka tidak memiliki pengahsialn tetap yang bis amenjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk sehari hari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3. Hidup dengan penuh ketidak pastian, Para gepeng mereka hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya mereka ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu BPJS untuk berobat dan lain lain. 4.
Memakai baju yang compang camping, Gepeng bisanya tidak pernah mengunakan baju yang rapi atau berdasi melaikan baju yang kumal dan dekil.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP POPULASI TERLANTAR Menurut Parsudi Suparlan (1984: 2009) mengemukakan bahwa standar kehidupan yang rendah ini secara langsung mempengaruhi tingkat kesehatan, kehidupan moral dan rasa percaya diri mereka yang tergolong orang miskin. Mereka diwarnai oleh mentalitas yang mendambakan pola kehidupan bebas tanpa diikat oleh norma-norma sosial yang ada sehingga dengan pola pikir yang demikian mereka serasa bebas untuk memenuhi setiap kehendaknya misalkan: kawin tanpa harus mengurus surat nikah, dengan begitu pun masyarakat tidak ada yang menggunjingnya sebagai kumpul kebo. Kemiskinan sebagai realitas pada kaum tuna wisma sebenarnya bukan sesuatu yang dikehendakinya. Unsur keterpaksaan lebih menunjukkan unsur relevansinya. Hal-hal yang melatar belakangi tuna wisma atau gelandangan disebabkan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: malas, tidak mau bekerja keras, mental yang tidak kuat, sedangkan faktor eksternal yaitu: faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, kultural, lingkungan, dan agama. Artidjo Alkotsar (Suroto, 2004: 56) mengemukakan bahwa yang melatar belakangi gelandangan dan tuna wisma yaitu:
1. faktor ekonomi (kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan perkapita dan tidak tercukupi kebutuhan hidup); daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak memungkinkan untuk pengolahan lahan; 2. faktor sosial, arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial; 3. faktor pendidikan, relatif rendahnya pendidikan sehingga kurangnya bekal ketrampilan untuk hidup layak dan kurangnya bekal pendidikan informal dalam keluarga; 4. faktor psikologis, adanya perpecahan dalam keluarga dan keinginan untuk melupakan masa lalu yang menyedihkan serta kurangnya semangat kerja; 5. faktor kultural, pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan hambatan mental; 6. faktor lingkungan, khususnya pada tuna wisma yang berkeluarga atau mempunyai anak secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan tuna wisma; 7. faktor agama, kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya iman membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha. Gelandangan tidak saja merupakan penyakit sosial, tetapi juga merupakan suatu masalah yang memerlukan penanganan dan pembinaan yang cukup serius. Oleh karena ini apabila tidak segera ditangani maka penyakit masyarakat ini akan merajarela, sehingga diperlukan suatu langkah positif yang berupa tindakan penanganan dari pemerintah. Gambaran latar belakang timbulnya gelandangan dan tuna wisma tersebut di atas jelas ada banyak faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh antara lain: faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesiapan kerja (intern dan ekstern). Faktor yang berhubungan dengan urbanisasi yang masih
ditambah lagi dengan faktor pribadi, tidak perlu mengindahkan kaidah normatif yang barlaku umum, biasanya hidup sesuai dengan keinginan sendiri, biasanya memuaskan kebutuhan secara cepat, dapat dikatakan mereka hidup dalam taraf primer. E. STATUS KESEHATAN TUNAWISMA Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak untuk menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma juga merupakan klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat kesehatan komunitas. Teori Perawatan Diri banyak digunakan dalam ilmu keperawatan untuk memberikan kerangka kerja konseptual sebagai panduan praktik dan membangun pengetahuan perawatan diri melalui riset. Orem mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini juga digunakan dalam konteks tuna wisma oleh banyak ahli. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep Teori Perawatan Diri Orem, mendeskripsikan kondisi perawatan diri tuna wisma, dan mengaplikasikan Teori Perawatan Diri Orem dalam konteks tuna wisma. Tuna wisma, dengan segala kondisi lingkungan dan kemampuan yang seadanya, melakukan perawatan diri dengan seadanya pula. Hal ini menimbulkan banyak masalah kesehatan yang muncul pada populasi tersebut. Setiap warga negara berhak atas kesehatan tidak terkecuali tuna wisma. Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak untuk menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma juga merupakan klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat kesehatan komunitas. Kebutuhan Perawatan Diri pada Tuna Wisma Kebutuhan perawatan diri merupakan hal yang tidak dapat dielakkan mengingat kondisi minimnya
perlindungan dari segi fisik dan psikologis bagi mereka. Ditinjau dari jenis kebutuhan perawatan diri Orem, tuna wisma mempunyai semua jenis kebutuhan yang ada. Kebutuhan perawatan diri universal dibutuhkan oleh semua tuna wisma sebagai manusia. Mulai dari kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi, istirahataktivitas, menyendiri dan interaksi sosial, serta pencegahan dari bahaya. Kondisi tuna wisma membuat kebutuhan-kebutuhan perawatan tersebut terganggu. Udara jalanan yang penuh dengan polusi, air yang kotor, makanan yang kurang higienis, tempat eliminasi, interaksi sosial yang keras, serta bahaya-bahaya fisik dan psikologis yang ditemui di jalanan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian penting perawat. Kebutuhan perawatan diri perkembangan disesuaikan dengan tahap perkembangan individu dan keluarga. Misalnya tahap perkembangan bayi baru lahir hingga lansia sebagai individu, atau tahap perkembangan keluarga pasangan baru menikah hingga keluarga dengan lansia. Tahap perkembangan ini perlu diperhatikan karena masingmasing tahap perkembangan pada tuna wisma mempunyai karakteristik misalnya anak jalanan yang sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terikat membutuhkan strategi untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri mereka. Gagalnya memenuhi tugas perkembangan akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan diperlukan sesuai dengan kondisi-kondisi masalah yang banyak ditemui pada tuna wisma. Misalnya masalah anemia, malnutrisi, penyakit kulit, infeksi telinga, gangguan mata, masalah gigi, infeksi saluran pernafasan atas, dan masalah gastrointestinal. Masalah kesehatan mental yang ditemukan pada tuna wisma anakanak meliputi keterlambatan perkembangan, depresi, ansietas, keinginan bunuh diri, gangguan tidur, pemalu, penarikan diri, dan agresi. Perawat perlu mencari sumber masalah dan berusaha menyelesaikan penyebab untuk mengatasi masalah yang ada.
Praktik keperawatan pada konteks tuna wisma dilakukan karena kurangnya akses pelayanan kesehatan yang tersedia bagi mereka. Pelayanan yang dapat diberikan kepada mereka mencakup pelayanan kesehatan primer, nutrisi, pelayanan legal, peer education, bantuan finansial, dan konseling NARKOBA. Perawat sebagai case manager melakukan home visit (kunjungan ke tempat persinggahan mereka) untuk melakukan pengkajian, intervensi dan rujukan kepada agen perawatan diri lain yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang ditemui. Mengingat keunikan kondisi klien tuna wisma, asuhan keperawatan yang diberikan harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut ini : a. Accessibility : kemampuan tuna wisma untuk menggunakan pelayanan, meliputi jarak, usaha, biaya, dan kesadaran tentang butuhnya perawatan diri sebagai kunci bagi para tuna wisma. Akses meliputi waktu dan lokasi pelayanan. b. Acceptability : tingkat penerimaan tuna wisma yang dapat mereka gunakan. Hal ini ditinjau dari perspektif individu, keluarga, dan komunitas. Tuna wisma akan
memilih
menggunakan
pelayanan
kesehatan
berdasar
persepsi
kompetensi perawatan, pengalaman sebelumnya, bahasa, dan budaya atau sensitivitas perilaku pemberi pelayanan kesehatan (Magilvy, Congdon, & Martinez, 1994). c. Affordability : kesanggupan ekonomi. Kondisi tuna wisma yang kurang mampu dalam perekonomian dapat dibantu oleh pemerintah. Diperlukan suatu bentuk pelayanan yang optimal dengan dukungan dari pemerintah berupa dana dan kebijakan. d. Appropriateness : Bentuk asuhan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan perawatan diri tuna wisma dan hal ini merasa dibutuhkan sebagai kebutuhan utama bagi mereka. Perawat perlu menumbuhkan
kepedulian tuna wisma tentang kebutuhan perawatan diri yang diperlukan mereka. e. Adequacy : Keadekuatan intervensi keperawatan berbasis komunitas meliputi kualitas dan kelengkapan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sesuai dengan tingkat kebutuhannya (wholly compensatory, partially compensatory, atau supportive-educative system). Diperlukan rancangan program yang sangat bagus untuk dapat menghasilkan outcome yang optimal pada populasi tuna wisma dengan segala kondisi yang ada. F. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN MASALAH KESEHATAN TUNAWISMA 1.
Kemiskinan, Antara lain : makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi, persediaan air yang kurang, tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2.
Pendidikan yang rendah, kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai.
3.
Kawin muda, hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah diusia tertentu diangap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawab dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya.
4.
Seks bebas. Dari perilaku seksual usia dini anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahundan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri.
G. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNAWISMA 1. Pengkajian a. Struktur dan sifat keluarga - Kepala keluarga (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku, pendidikan) b. Kebutuhan Nutrisi - Cara menyaji makanan - Kebiasaan mengolah air minum - Kebiasaan keluarga mengelolah makanan c. Kebutuhan istirahat dan tidur - Kebiasaan tidur dalam keluarga d. Ekonomi - Berapa pe e. Sosial f. Pendidikan g. Psikologis h. Spiritual i. Faktor lingkungan j. Pemeriksaan status mental: -
Tingkat kesadaran: sadar/ tidak sadar
-
Memori : mampu mengingat memori jangka pendek/ panjang
-
Konsentrasi atau kalkulasi: daya kemampuan berhitung dan fokus
-
Informasi dan intelegensi
-
Penilaian: mampu membuat keputusan sendiri berbagai pilihan dengan alasan tertentu/ tidak
-
Penghayatan atau insight: mampu memahami keadaan diri/ tidak
-
Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
-
Ketidak mampuan berhias atau berdandan ditandai dengan rambut acak – acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki- laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
-
Ketidak mampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidak mampuan mengambil makanan sendiri, makan bececeran dan tidak pada tempatnya.
-
Ketidak mampuan BAB/BAK secara mandiri, di tandai dengan BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK.
2. Diagnosa Keperawatan a.
defisit perawatan diri mandi atau kebersihan b.d hambatan lingkungan
b.
Resiko kekerasan terhadap diri sendiri b.d kesehatan mental ( depresi berat,
psikokis,
gangguan
personalitas
berat,
penyalahgunaan
alcohol/obat). c.
Pola seksualitas tidak efektif b.d kurang pengetahuan/ ketrampilan mengenai respon alternative terhadap kesehatan yang berubah.
3. Intervensi No 1
Diagnosa Keperawatan defisit perawatan diri mandi atau kebersihan b.d hambatan lingkungan Batasan karakteristik -
ketidakmampuan untuk mandi ketidakmampuan untuk berpakaian ketidakmampuan untuk makan ketidakmampuan untuk toileting
Tujuan
Intervensi
NOC : NIC : Self Care assistane : ADLs Self care : Activity of Daily Living (ADLs) - Monitor kemempuan klien Setelah untuk perawatan diri yang dilakukan intervensi mandiri. keperawatan - Monitor kebutuhan klien selama …x 24 untuk alat-alat bantu untuk jam diharapkan klien kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan. mampu mengontrol Sediakan bantuan sampai diri dan klien mampu secara utuh perilaku kekerasan tidak untuk melakukan self-care. terjadi dengan kriteria - Dorong klien untuk hasil : melakukan aktivitas seharihari yang normal sesuai - Klien terbebas dari kemampuan yang dimiliki. bau badan Dorong untuk melakukan - Menyatakan secara mandiri, tapi beri kenyamanan bantuan ketika klien tidak terhadap mampu melakukannya. kemampuan untuk Ajarkan klien/ keluarga melakukan ADLs untuk mendorong - Dapat melakukan kemandirian, untuk ADLS dengan memberikan bantuan hanya bantuan jika pasien tidak mampu untuk melakukannya. - Berikan aktivitas rutin seharihari sesuai kemampuan. - Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
2
Resiko kekerasan terhadap
Setelah dilakukan intervensi keperawatan diri sendiri b.d kesehatan selama …x 24 jam mental ( depresi diharapkan klien mampu mengontrol diri dan berat, psikokis, perilaku kekerasan tidak gangguan terjadi dengan kriteria personalitas berat, hasil : penyalahgunaan
Impulse Control (1405):
alcohol/obat )
- Mampu mengidentifikasi perilaku emosi - Mampu mengidentifikasi perasaan yang mendorong kearah kekerasan - Mampu mengidentifikasi konsekuensi dari perilaku kekerasan terhadap diri dan orang lain - Mampu menghindari situasi dan lingkungan yang beresiko menimbulkan perilaku kekerasan\ - Menyatakan secara lisan mampu mengendalikan emosi Mempertahankan pengendalian diri tanpa adanya pengawasan
Emotional support -
-
-
-
Diskusikan dengan pasien tentang pengalaman emosi Dukung penggunaan mekanisme yang tepat Bantu pasien mengenali perasaannya seperti cemas, marah atau kesedihan Mendengarkan ungkapan perasaaan klien dan menanamkan kepercayaan Diskusikan konsekuensi dari tidak menghadapi rasa bersalah dan malu Fasilitasi pasien untuk mengidentifikasi pola respon yang biasa dilakukan pada saat mengatasi rasa takut Sediakan dukungan selama penolakan, marah tawar menawar dan fase penerimaan dari berduka Identifikasi fungsi marah, frustasi, dan kegusaran klien Dukung pembicaraan atau biarkan pasien menangis sebagai alat untuk menurunkan emosi Temani klien dan sediakan jaminan keamanan selama periode cemas Sediakan bantuan dalam membuat keputusan Turunkan kebutuhan dalam fungsi kognisi pada saat pasien sakit atau lelah
Environmental management -
-
Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik dan cognitif dan riwayat tingkah laku masa lalu Pindahkan lingkungan yang berbahaya Pindahkan obyek yang berbahaya dari lingkungan
Activity Therapy -
Berkolaborasi dengan terapis lain dalam memberikan terapi aktivitas Ajak pasien untuk berkomitmen tentang peningkatan jumlah aktivitas Ajak pasien untuk mengenal aktivitas yang disenangi Identifikasi adanya penurunan minat pada saat beraktivitas Ajak pasien untuk ikut serta dalam terapi aktivitas kelompok Berikan terapi yang tidak berkompetisi dan aktif Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam aktifitas Sediakan aktifitas motorik untuk menghilangkan
-
3
Ketidakseimbangan kurang
nutrisi NOC:
NIC:
dari
kebutuhan Nutrional status: food and tubuh b/d ketidakmampuan fluid intake
-
untuk
-
memasukan
atau Weight control mencerna nutrisi oleh Setelah dilakukan karena faktor ekonomi intervensi keperawatan selama …x 24 jam diharapkan klien mampu mengontrol diri dan perilaku kekerasan tidak terjadi dengan kriteria hasil : -
ketegangan otot Bantu dalam aktifitas fisik teratur Berikan reinforcement positif atas apa yang telah dicapai pasien monitor keadaan respon emosional, fisik, social, dan spiritual terhadap aktivitas yang dilakukan.
Albumin serum Pre albumin serum Hematokrit Hemoglobin Total iron binding capacity Jumlah limfosi
-
Kaji asupan nutrisi klien Monitor adanya penurunan berat badan Monitor lingkungan selama makan Monitor turgor kulit Monitor kekeringan, rambut kusam Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtiva Informasikan pada klien tentang manfaat nutrisi Anjurkan banyak minum Kolaborasi dengan team kesehatan yang lain untuk memenuhi nutrisi pasien
DAFTAR PUSTAKA Riskawat. I., Syani. A.(2012). Faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis.jurnal sosiologie. Vol.1.No.1:43-52 Anderson, Judith A. (2001). Understanding homeless adults by testing the theory of self-care. Nursing Science Quarterly, 14(1), 59-67 Dianne, McCormack. (2003). An examination of the self-care concept uncovers a new direction for healthcare reform. Nursing Leadership (CJNL), 16(4), 4865 Meleis, Afaf Ibrahim. (1997). Theoretical Nursing : Development and progress. (3rd Ed.). Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher. Orem, D. E., (1985). Nursing : Concept of practice. (3rd Ed.). New York : McGraw-Hill. Orem, D. E., (2001). Nursing : Concept of practice. (6th Ed.). St. Louis : Mosby Inc. Perry, Merry Lynn & Jones, Polite Aretha. Project house call : Preventing Homelessness through improved adherence and continuity of care. Savanah : Union Mission, Inc. http://www.anacnet.org/media/docs/posterabstracts.htm., diperoleh 15 Desember 2006. Parker, Marlin E. (Editor) (2006). Nursing theories and nursing practice. (2ndEd). Philadelphia : F.A. Davis Company. Nursing Diagnoses:Definition and Classification 2005-2006/NANDA:alih bahasa, Budi Santosa:editor, Budi Santosa:Prima Medika,2005