Asuhan Keperawatan Komunitas Populasi Rentan [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?

1

2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ? 3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ? 4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ? 5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi rentan ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan 2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental 3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan 4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar 5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi rentan.

2

BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP TEORI 1. Populasi Rentan Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees (pengungsi) b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar) c. National Minoritie (kelompok minoritas) d. Migrant Workers (pekerja migran ) e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya) f. Children (anak) g. Women (wanita) Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. 3

Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental. 2. Penyandang Cacat / Disabilitas a. Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,

penyandang

disabilitas

adalah

setiap

orang yang

mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hakhaknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ

4

(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,

penyandang

disabilitas

adalah

setiap

orang yang

mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. b. Jenis-jenis Disabilitas Terdapat

beberapa

jenis

orang

dengan

kebutuhan

khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan

5

bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 : 1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari: a) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas. b) Mental Rendah Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. c) Berkesulitan Belajar Spesifik Berkesulitan

belajar

berkaitan

dengan

prestasi

belajar

(achievment) yang diperoleh 2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7: a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa) Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh. b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra) Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu) Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena

6

memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. d. Kelainan Bicara (Tunawicara) Adalah

seseorang

yang

mengalami

kesulitan

dalam

mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara. 3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

3. Tunawisma/ Gelandangan a. Definisi Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun

7

penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang. b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma 1) Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung. 2) Rendah tingginya pendidikan Rendahnya

pendidikan

sangat

berpengaruh

terhadap

kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. 3) Keluarga Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken

home

membuat

8

mereka

merasa

kurang

perhatian,kemyamanan

dan

ketenangan

sehingga

mereka

cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain. 4) Umur Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup. 5) Cacat Fisik Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 )) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan. 6) Rendahnya ketrampilan Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. 7) Masalah sosial budaya Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain: a. Rendahnya harga diri.

9

Rendahnya

harga

diri

kepada

sekelompok

orang,

mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif. b. Sikap pasrah pada nasib. Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan. c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang. 8) Faktor Lingkungan Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup. 9) Letak Geografis Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami

kemiskinan

dan

membuat

masyarakat

harus

meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta

10

10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya.

Pada

kenyataannnnya,

penanganan

ini

tidak

menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis. c. Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah Kesehatan Pada Tunawisma 1) Kemiskinan, antara lain mengakibatkan: a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak. c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik. 2) Gender Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda. 3) Pendidikan yang rendah

11

Kemiskinan

mempengaruhi

kesempatan

untuk

mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat. 4) Kawin muda Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan. 5) Seks bebas Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini

12

menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS. 6) Penggunaan Drugs Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif

lainnya.

Mereka

menggunakan

itu

karena

ingin

menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015) 7) Eksploitasi Seksual Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam. d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma 1. Gangguan Fisik Akut Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Gangguan fisik akut ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Trauma-cedera ringan hingga berat Penyakit kulit TBC Terserng kutu dan tungau Gizi buruk/ kekurangan gizi -

Gangguan fisik kronik Kecanduan alkohol dan zat lain Hipertensi Gangguan pencernaan Gangguan sistem saraf tepi Masalah gigi Diabetes melitus HIV/AIDS

2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak

13

Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti : 1) Kegelisahan 2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi 3) Masalah bahasa dan berbicara 4) Penyakit pernafasan atas dan asma 5) Infeksi telinga 6) Gangguan pencernaan/mata 7) Trauma 8) Terserang kutu rambut 3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan 1) Perawatan pre-natal yang kurang baik 2) Kurang nutrisi 3) Komplikasi kehamilan 4. Masalah kesehatan mental 1) Skizofrenia 2) Gangguan bipolar 3) Depresi 4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial 5) Kepribadian yang kacau

e. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma) 1) Perawat sebagai pemberi perawatan Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan

14

kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik atau menyeluruh. 2) Perawat sebagai pendidik Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal. 3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring) Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau pengumpulan data. 4) Perawat sebagai panutan (role model) Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka. 5) Perawat sebagai komunikator Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi. 6) Perawat sebagai rehabilitator Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka

dan

perawat

membantu

mereka

semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

15

untuk

beradaptasi

f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma) 1) Pencegahan Primer Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu: a) Bantuan finansial Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan

publik,

mengetahui

tersedianya

dana,

dan

mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan. b) Bantuan hukum Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya pengusiran. c) Saran finansial Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma. d) Program relokasi Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan kebutuhan dasar. 2) Pencegahan Sekunder Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah : a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen terapi.

16

b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut. d) Memberikan

vitamin

kepada

tunawisma

untuk

mengompensasi defisit nutrisi e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan 3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi) Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain: a) Bimbingan mental Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya

saja

belum

memiliki

penyaluran

atau

sarana

penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan

17

terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis. b) Bimbingan kesehatan Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,

terlebih

dahulu

para penyandang

masalah

kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka. c) Bimbingan ketertiban Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng)

18

dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.

d) Bimbingan keagamaan Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis. g. Perspektif Homeless Atau Gelandangan Di Indonesia 1. UUD 1945 Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya, sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan, pengemis, masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar. Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. 2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless atau gelandangan di Indonesia Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

19

karena

itu

perlu

diadakan

usaha-usaha

penanggulangan.

Penanggulangan tersebut bertujuan untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut : 1)

Usaha preventif Adalah

usaha

secara

terorganisir

yang

meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan tercegah terjadinya : a.

Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya

b.

Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya

c.

Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan : 1.

Penyuluhan dan bimbingan sosial

2.

Pembinaan sosial

3.

Bantuan sosial

20

4.

Perluasan kesempatan kerja

5.

Pemukiman lokal

6.

Peningkatan derajat kesehatan

2) Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi, tindakan selanjutnya terdiri dari : a.

Dilepaskan dengan syarat

b.

Dimasukkan dalam panti sosial

c.

Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya

d.

Diserahkan ke pengadilan

e.

Diberikan pelayanan kesehatan

3) Usaha Rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengahtengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai 21

dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing. 4. Gangguan Mental (Mental Disorder) a. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut: 1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku

22

Sindrom atau pola psikologik 2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll. 3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli

ekstern

dan

ketegangan-ketegangan;

sehingga

muncul

gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan

dan

kondisi

lingkungan

yang

mengakibatkan

ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya. b. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).

23

Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut: 1) Gangguan mental organik dan simtomatik; Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22). 2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36). 3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272). 4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60). 5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.

24

Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72). 6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90). 7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim, tth:102). 8) Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119). 9) Gangguan perkembangan psikologis. Gangguan

yang

disebabkan

kelambatan

perkembangan

fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).

10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak. Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya

25

terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptif pada anak-anak. b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental. c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat. d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap gangguan dan kelainan. e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif. f) Gila

(insanity),

merupakan

istilah

hukum

yang

mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak

26

mampu

untuk

mengelolah

masalah-masalahnya

atau

melihat konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak. c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder) Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu: 1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia. 2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang mengakibatkan

ketidakseimbangan

mental

dan

desintegrasi

kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut. 3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi

27

sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis. d. Pencegahan Gangguan Mental Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yang sakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental. 1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205). Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai dengan kemampuannya. 2) Upaya pencegahan Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah: a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri

28

Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83). b) Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84). c) Pewujudan diri (aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah

pada

kemampuan

dasar

manusia

seperti

menggembangkan bakat dan sebagainya. d) Kemampuan menerima orang lain Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan

29

persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya

pencegahannya

manusia

sedapat

mungkin

menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya. e) Agama dan falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92). f) Pengawasan diri Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114).

30

Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.

31

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN I.

PENGKAJIAN

A. Data Inti Komunitas 1. Sejarah / Riwayat Daerah Komunitas a. Desa huntu barat merupakan satu desa yang berada di kecamatan bulango selatan kabupaten bone bolango provinsi gorontalo. Menurut sejarah desa ini sudah melewati beberapa kali pemekaran, sejak kemerdekaan indonesia desa ini yang awalnya dari desa huntu kemudian dimekarkan menjadi huntu selatan dan huntu utara. Pada saat provinsi gorontalo baru terbentuk dan kabupaten bone bolango dibentuk oleh peraturan undang-undang nomor 19 tahun 2007 desa huntu utara di mekarkan menjadi desa huntu utara dan desa mekar jaya, kemudian desa mekar jaya di ubah nama menjadi desa huntu barat. Desa ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa. b. Riwayat : 1) Usia penderita: Anak

: 15 – 20 tahun

Orang tua : 32-49 tahun 2) Jenis mental disorder yang pernah diderita: gangguan konsep diri: harga diri rendah, memandang dirinya tidak sebaik temantemannya di sekolah. 3) Riwayat trauma

: takut yang berlebihan

4) Konflik : penganiayaan 2. Data Demografi - Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia Dan Jenis Kelamin Jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa terdiri dari: 

Pria 549

32



-

Wanita 597

Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan No Pendidikan

Frekuensi

1

Belum Sekolah

75

2

TidakSekolah

0

3

TK

34

4

SD

266

5

SMP

273

6

SMA

403

7

Perguruan Tinggi

95

Total

1.146

Distribusi penduduk berdasarkan pendidikan terdiri dari belum sekolah yaitu bayi sampai balita 0-5 tahun sebanyak 75 anak, tidak sekolah tidak ada, TK sebanyak 34 orang terdiri dari anak usia dini, SD terdiri dari anak usia sekolah dan masyarakat yang hanya lulusan SD 266, SMP terdiri dari anak remaja dan masyarakat yang lulusan SMP 273, SMA terdiri dari remaja dan masyarakat yang lulusan SMA sebanyak 403 dan perguruan tinggi terdiri dari mahasiswa/mahasiswi dan masyarakat yang menempuh perguruan tinggi sebanyak 95.

-

Distribusi Pekerjaan No Jenis Pekerjaan

Frekuensi

1

Pelajar/belum bekerja

447

2

Tidak Bekerja/IRT

94

3

PNS

52

4

TNI/POLRI

3

33

5

Pensiunan

59

6

Swasta

491

Total

1.146

Distribusi pekerjaan yakni pelajar/belum bekerja terdiri dari anak belum sekolah dan pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa Universitas sebanyak 447, tidak bekerja atau IRT sebanyak 94, 92 oleh IRT yang tidak bekerja, PNS sebanyak 73, TNI/POLRI sebanyak 3 , pensiunan 59, swasta sebanyak 470. Distribusi Ras Dan Etnis

-

Penduduk desa huntu barat dihuni oleh sebagian besar suku gorontalo. 6. Nilai – Nilai, Keyakinan Dan Agama No

Agama Yang Dianut

Frekuensi

1

Islam

1.146

2

Kristen

0

3

Hindu

0

4

Budha

0

5

Konghucu

0

Total

1.146

Agama yang dianut masyarakat desa 100% islam

34

% 100%

B.Data Subsistem Komunitas 1. Lingkungan Fisik

No

a.

k yang

Kondisi Air

Frekuensi

1

Berwarna

5

2

Berbau

0

3

Berasa

0

4

Tidak

berasa/Tidak 565

berwarna

Kualitas Air ualitas

air

terdapat dalam desa huntu barat

Jumlah

sebagian

besar

tidak

berasa/tidak berwarna dan hanya terdapat 5 berwarna. Desa huntu barat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada yang memakai air sumur dan ada yang menggunakan PAM. b. Pembuangan Limbah No

Tempat Pembuangan

Frekuensi

1

Resapan

30

2

Selokan

54

3

Sembarang tempat

10

Jumlah

94

Pembuangan limbah di desa terdiri dari resapan sebanyak 55, selokan 38, sembarang tempat 10. Untu serapan karena masih banyak terdapat pepohonan di desa yang mampu menampung air, ketersediaan air bersih akan terpenuhi. c. Kualitas Udara Kualitas udara di Kelurahan Patimuan cukup bersih tidak ada polusi udara, karena Kelurahan tersebut masih banyak terdapat pohon-pohon rindang.

35

d. Perumahan 1. Tipe Perumahan No

Tipe Rumah

Frekuensi

1

Pemanen

531

2

Semipermanen

45

3

Tidak permanen

0

Jumlah

576

Tipe rumah di desa huntu barat permanen sebanyak 531 rumah , semipermanen 45, tidak permanen tidak ada. 2. Status Kepemilikan rumah Status kepemilikan rumah sebanyak 534 kepala keluarga mengatakan rumah milik

No

Kepemilikan

sewa,

dan

1

Milik Sendiri

534

numpang

terdiri

dari

2

Numpang

122

122.

3

Sewa

30

Jumlah

3. No

686

Lantai

sendiri,

30

Jenis Lantai

Frekuensi

1

Tanah

3

2

Papan

4

3

Tegel

498

4

Semen

59

Jumlah

Frekuensi

564

Jenis lantai di rumah masyarakat terdiri dari lantai tanah 3, papan 4, tegel 498, semen 59. 4. Sitem Ventilasi Rumah

36

No

Jendela

1

Ada

2

Tidak Ada

Frekuensi 564

Jumlah Rata-rata rumah di desa memiliki ventilasi

5. Sistem Pencahayaan Rumah Pada Siang Hari No besar rumah remang6.

Jarak

Dengan

Pencahayaan

Frekuensi

1

Terang

511

2

Remang-Remang

43

3

Gelap

0

Jumlah No

564

Jarak Rumah

terang, remang 43. Rumah Tetangga

Frekuensi

1

Bersatu

0

2

Dekat

204

3

Terpisah

360

Jumlah

sebagian

564

Jarak rumah antara rumah satu dengan yang lain terdiri dari yang bersatu tidak ada, rumah yang berdekatan sekitar