KDP KLP 1 Eliminasi Fekal Sdki Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI FEKAL (BOWEL ELIMINATION)

Oleh : KELOMPOK 1 1. PUTU CANDRA PRADNYASARI

(P07120320037)

2. NI PUTU RIKA UMI KRISMONITA

(P07120320038)

3. I KOMANG SUTHA JAYA

(P07120320039)

4. DEWA AYU PUTRI WEDA DEWANTI

(P07120320040)

5. KADEK MEISA RUSPITA DEWI

(P07120320041)

6. NI LUH GEDE INTEN YULIANA DEWI

(P07120320042)

7. LUH EKA DESRIANA PUTRI

(P07120320043)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2020

1

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI FEKAL (BOWEL ELIMINATION)

A. Konsep dasar Eleminasi Fekal 1. Pengertian Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan dapat melalui urine ataupun bowel (Tarwoto Wartonah Edisi 4). Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan sisa metabolisme yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada GI dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai berapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkanpun bervariasi jumlahnya tiap individu. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa feses (bowel). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada system gastrointestinal dan system tubuh lainya. Karena fungsi usus bergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola dan kebiasaan eliminasi bervariasi di antara individu. Namun, telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson dan Weigley,1989 dalam Potter & Perry Edisi 4)

2

2. Fisiologi Defekasi. Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan fisiologi defekasi adalah mekanisme perjalanan makanan hingga akhirnya keluar menjadi feses melalui anus dalam proses defekasi. Frekuensi defekasi sangat bersifat individual, yang beragam dari beberapa kali sehari hingga dua atau tiga kali seminggu. Jumlah yang dikeluarkan juga bervariasi pada setiap orang. Jika gelombang peristaltic menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf sensorik di rektum di stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi. Jika sfingter anal internal relaks, maka feses akan bergerak menuju anus. Setelah individu di dudukkan pada toilet, sfingter anal eksternal akan berelaksasi secara volunter. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang meningkatkan tekanan abdomen dan oleh kontraksi otot dasar panggul, yang memindahkan feses ke saluran anus. Berikut ini akan dibahas secara singkat organ-organ yang berperan dalam sistem pencernaan beserta fungsinya. a. Mulut Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan akan dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk ke mulut dipotong menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan untuk memperluas permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah makanan dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, maka selanjutnya makanan akan diteruskan ke faring dengan bantuan lidah. b. Faring Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi sebagai penghubung antara mulut dan esofagus. c. Esofagus Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring dan lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang peristaltik yang akan mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke lambung.

3

d. Lambung Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di dalam lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus halus. Sebelum makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan dihaluskan dan dicampurkan kembali sehingga menjadi campuran cairan kental yang biasa disebut dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus ke usus halus sesuai dengan kapasitas usus halus dalam mencerna dan menyerap makanan dan biasanya satu porsi makanan menghabiskan waktu dalam hitungan menit. e. Usus halus Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung. f. Usus besar Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan. Kolon mengekstrasi H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat yang disebut feses. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses sebelum defekasi. Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon asendens, kolon transversal, kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus. Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa. Serat otot yang dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan longitudinal yang memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena itu usus besar membentuk kantung atau yang biasa disebut dengan haustra. Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena mensekresikan lendir. Lendir ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat pembentukan asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan materi fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas bakteri. Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan haustral churning, peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan haustral churning akan menggerakan makanan ke belakang dan ke depan yang berperan untuk menyatukan materi feses, membantu penyerapan air dan untuk menggerakan isi usus kedepan. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai

4

gelombang yang akan mendorong isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat dan diduga sangat sedikit menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus besar. Yang ketiga adalah gerakan peristalsis massa. Gerakan ini melibatkan suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga menggerakkan sebagian besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi setelah makan, distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus. Gerakan peristalsis massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.

g. Rektum dan Anus Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15 cm sedangkan saluran anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di dalam rektum terdapat lipatanlipatan yang dapat meluas secara vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan arteri. Diyakini bahwa lipatan ini membantu menahan feses di dalam rektum. Jika vena mengalami distensi seperti yang dapat terjadi jika terdapat tekanan berulang. Saluran anus diikat oleh otot sfingter internal dan eksternal. Sfingter internal berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi oleh sistem saraf otonom, sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter dan dipersarafi ooleh sistem saraf somatik. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan dan haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan dan prosedur medis, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.

5

a. Perkembangan Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi. 1) Bayi yang baru lahir Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir, normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi sering mengeluarkan feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus belum matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan sering dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat. Setelah makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang. 2) Batita Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1

½

sampai 2 tahun.

Pada saat ini anak – anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah terbentuk cukup baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan untuk mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum dimulai pada saat anak menyadari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang kotor dan sensasi yang menunjukkan kebutuhan untuk defekasi. Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun., setelah sebuah proses pelatihan eliminasi. 3) Anak usia sekolah dan remaja Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah

dapat menunda

defekasi karena aktivitas seperti bermain. 4) Lansia Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat, serta kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan” berarti melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini sering kali mencari obat yang dijual bebas untuk meredakan kondisi yang

6

mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia harus dijelaskan bahwa pola normal eliminasi fekal sangat beragam. Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain, dua kali dalam satu hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6 sampai 8 gelas sehari merupakan upaya pencegahan yang essensial terhadap konstipasi. Berespons terhadap refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon setelah makanan memasuki lambung) juga merupakan pertimbangan yang sangat penting. Individu paruh baya harus diperingatkan bahwa penggunaan laksatif secara konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga menyebabakan konstipasi dan bukan menyembuhkannya. b. Diet Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang memiliki massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk menstimulasi refleks defekasi. Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk dicerna oleh beberapa orang. Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat menghasilkan feses yang encer. c. Cairan Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah) cairan berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali cairan dari kime saat bergerak di sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu pengurangan asupan cairan memperlambat perjalanan kime disepanjang usus, makin meningkatkan penyerapan kembali cairan dari kime. d. Aktivitas Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak efektif dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol defekasi. e. Faktor psikologis Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya, beberapa orang

7

yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi. Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari perbedaaan individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap vagal dari otak. f. Kebiasaan defekasi Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu yang teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. g. Obat-obatan Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi normal. Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat penenang tertentu dalam dosis besar dan pemberian morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan

konstipasi

karena

obat

tersebut

menurunkan

aktivitas

gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf pusat. h. Proses diagnostik Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien dilarang mengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan terjadi sampai klien mengomsumsi makanan kembali. i. Anastesia dan pembedahan Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang mendapatkan anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini. Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini disebut ileus. j. Kondisi patologis Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk merespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau seorang klien dapat mengalami inkontinensia buruknya fungsi sfingter anal.

8

fekal karena

DIARE

k. Nyeri Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering menekan keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya klien tersebut dapat mengalami konstipasi.

Klien yang meminum analgesik narkotik untuk

mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat tersebut. 4. Pohon masalah a. Diare (Nanda International2012). Faktor infeksi

Faktor malabsorpsi karbohidrat, protein, lemak

Masuk dan berkembang dalam usus

Tekanan osmotik meningkat

Hipersekresi air dan elektrolit (meningkat isi rongga usus)

Faktor makanan

Toksin tak dapat diserap

Faktor psikologi

cemas

Hiperperistaltik menurun kesempatan usus menyerap makanan

Pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus

DIARE

9

b. Konstipasi dan Risiko konstipasi (Nanda International2012). Diet rendah serat, asupan cairan kurang, kondisi psikis, kondisi metabolik, dan penyakit yang di derita

Penggunaan obat-obatan tertentu (seperti, gol. Opiat)dan mengandung AL dan Ca

Absorbsi cairan dan elektrolit

Memperpanjang waktu transit di kolon

Memperpanjang waktu transit di kolon karena absorbsi terus berlangsung

Memberi efek pada segmen usus

Feses mengeras

Kontraksi tidak mendorong

Gangguan defekasi

Rangsangan refleks penyebab rekto anal

Relaksasi sfingter interna dan eksterna

Membran mukorektal dan muskulatur tidak

Tekanan intra abdomen meningkat

Diperlukan rangsangan yang lebih kuat untuk mendorong feses Spasme setelah makan nyeri kolik pada abdomen bawah Kolon kehilangan tonus

RISIKO KONSTIPASI Tidak responsif terhadap rangsangan normal 10

KONSTIPASI

5. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Eliminasi Fekal Berikut ini adalah masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu: a. Konstipasi Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering (SDKI, 2016). Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usu besar. Konstipasi mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan otot-otot volunter defekasi. Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait dengan pola eliminasi regular sesorang. Beberapa orang secara normal melakukan defekasi hanya beberapa kali seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih dari satu kali sehari. Pengkajian cermat mengenai kebiasaan seseorang dibutuhkan sebelum diagnosa konstipasi dibuat. Contoh Batasan Karakter Konstisipasi a. Penurunan frekuensi defekasi b. Feses keras, kering, memiliki bentuk c. Mengejan saat defekasi; defekasi terasa nyeri d. Melaporkan tentang rasa penuh pada rektum atau mengejan atau mengeluarkan feses secara tidak komplet. e. Nyeri abdomen, kram, atau distensi f. Penggunaan laksatif g. Penurunan nafsu makan h. Sakit kepala Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yaitu: a. Ketidakcukupan asuran serat b. Ketidakcukupan asuran cairan c. Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas d. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur e. Perubahan rutinitas harian

11

f. Kurangn privasi g. Penggunaan laksatif atau enema kronis h. Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental i. Medikasi seperti opiat atau garam zat besi. Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat konstisipasi seringkali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini dapat menyebabkan masalah serius pada penderita penyakit jantung, cedera otak, atau penyakit pernapasan. Menahan napas meningkatkan tekanan intratoraks dan intrakranial. b. Impaksi Fekal Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan fese yang keras didalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan. Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon sigmoid dan sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ad feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar dari massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari tangan, yang sering kali dapat mempalpasi massa yang mengeras. Seiring dengan pembesaran cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan defeksi dan sering mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan umum menalami suatu penyakit; klien anoreksik, abdomen menjadi terdistensi, dan dapt terjadi mual dan muntah. Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang bukruk dan konstipasi. Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaanatas dan bawah juga menjasi sebuat faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini, laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran barium. Pemeriksaan impaksi menggunakan jari di rektum harus dilakukan secara lembut dan hati-hati. Walaupun pemeriksaan digital (jari tangan) berada dalam ruang lingkup praktik keperawatan, beberapa kebijakan lembaga memerlukan impaksi fekal secara digital.

12

Walaupun impaksi fekal secara umum dapat dicegah, kadng kala dibutuhkan terapi untuk feses yang mengalami impaksi. Jika dicurigai adanya impaksi fekal, klien sering kali diberikan suatu minyak sebagai enema retensi, lalu diberikan enema pembersih pada 2 sampai 4 jam kemudian, dan enema pembersih tambahan setiap hari, supositoria, atau pelunak feses setiap hari. Jika upaya ini gagal, sering kali dibutuhkan pengeluaran feses secara manual. c. Diare Diare menunjuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit. Beberapa orang mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang berlebihan. Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak mungkin mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama. Diare dan ancaman inkontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu. Sering kali kram spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus meningkat. Dengan diare persisten, biasanya terjadi iritasi di dareah anus yang meluas ke perineum dan bokong. Keletihan, kelemahan, lelah dan emasiasi (kurus dan lemah) merupakan akibar dari diare yang berkepanjangan. Apabila penyebab diare adalah karena adanya iritan di saluran usus, diare diduga sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang dapat terjadi dalam periode waktu singkat yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia. Penyebab utama diare dan respon fisiologi tubuh: Penyebab

Efek Fisiologis

Stress psikologis

Meningkatkan motilitas usus dan sekresi

(mis.,ansietas) Obat-obatan Antibiotik

lendir Inflamasi dan infeksi mukosa akibat pertumbuhan mikroorganisme usus yang

13

Zat Besi Katartik

berlebihan Iritasi mukosa usus Iritasi mukosa usus

Alergi terhadap makanan,

Pencernaan makann atau cairan yang tidak

cairan, obat-obatan Intoleransi terhadap makanan atau cairan Penyakit kolon (mis., Sindrom malabsorpsi

komplet Peningkatan motilitas usus dan sekresi lendir Penurunan cairan absorpsi Inflamasi mukosa sering kali menyebakan

penyakit Crohn) pembentukan tukak Feses bersifat asam dan mengandug enzim pencernaan yang sangat mengiritasi kulit. Oleh karena itu, area di sekitar area anus harus dijaga tetap bersih dan kering dan dilindungi dengan zink oksida atau salep lain. Selain itu, pengumpul fekal dapat digunakan d. Inkontinensia Alvi Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal. Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah makan, atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi digambarkan: parsial dan mayor. Inkontinensia parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal. Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi sfingter anal atau suplai sarafnya, seperti beberapa penyakit neuromuskular, trauma medula spinalis, dan tumor pada otot sfingter anal eksternal. Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke dalam rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di dalam kamar mereka meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa prosedur bedah digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal. Penatalaksanaan ini meliputi perbaikan sfingter dan disversi fekal atau kolostomi. e. Flatulens

14

Terdapat tiga sumber utama flatus: 1) Kerja bakteria dalam kime di usus besar. 2) Udara yang tertelan 3) Gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus. Sebagian besar gas yang tertelan akan dikeluarkan melalui mulut dengan sendawa. Namun, sejumlah gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi lambung. Gas yang terbentuk di usus besar terutama diabsobsi melalui kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti makanan (mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik. Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas tersebut dapat diabsobsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang berlebihan tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukkan slang rektal untuk mengeluarkannya. 6. Penatalaksanaan medis a. Diare Abnormalitas berupa kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi (feses cair) disebut dengan diare (Brunner & Suddarth, 1996). Penatalaksanaan medis diarahkan pada pengendalian atau pengobatan penyakit dasar. Obat tertentu dapat mengurangi beratnya diare dan penyakit (cari dosis obat diare). Dalam penatalaksanaan untuk diare ringan, cairan oral harus segera ditingkatkan dan glukosa oral serta larutan elektrolit dapat diberikan untuk rehidrasi pasien. Pada diare sedang sebagai akibat dari sumber non-infeksius, obat tidak spesifik seperti difenoksilat (Lomotil) dan loperamid (Imodium) diberikan untuk menurunkan motilitas. Bila diare sangat berat atau preparat infeksius teridentifikasi maka preparat antimikrobial diberikan. Untuk hidrasi yang cepat, mungkin diperlukan juga terapi cairan intravena (biasanya pada anak kecil atau lansia). Adapun penatalaksanaan pada diare akut menurut (Sudoyo & Setiyohadi, 2006) terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti-diare dan obat antimikroba. 15

1) Rehidrasi Jika pasien pada keadaan umum baik dan tidak dehidrasi maka asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, dan sup. Jika pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi maka penatalaksanaan yang dilakukan leibh agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula atau starch harus diberikan. Untuk memberikan rehidrasi, perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Dehidrasi ringan jika pasien mengalami kekurangan cairan 2-5 % dari berat badan. Sedang jika 5-8% dan berat jika 8-10%. Dalam menentukan jumlah cairan yang akan diberikan sesuai yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Ada beberapa macam pemberian cairan: a) BJ plasma

b) Metode Pierce Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg) Dehidarasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x berat badan (kg) Dehidrasi berat, kebutuhan cairan= 10% berat badan (kg) c) Metode Daldiyono Jika skor < 3 dan tidak ada syok maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Jika skor lebih atau sama 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. Pemberian cairan rehidrasi dapat melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena. Jika dehidrasi ringan/sedang pasien dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik kecuali bila kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl tiap liter. Contohnya oralit generik, renalyte, pharolit, dll. Pemberian cairan terbagi atas:

16

a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial)  jumlah total kebutuhan cairan pada rumus BJ plasma/Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam agar rehidrasi optimal. b) 1 jam berikut/jam ke-3 (tahap 2)  pemberian berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian rehidrasi inisial sebelumnya. Jika tidak syok atau skor Daldiyono < 3 dapat diganti cairan per oral. c) Jam selanjutnya cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan

Jika

dehidrasi sedang/berat maka sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus pembuluh darah. 2) Diet Jika tidak muntah-muntah hebat maka pasien diare tidak dianjurkan puasa. Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol juga harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus. 3) Obat anti-diare Woodley & Whelan menyebutkan bahwa obat anti diare non spesifik umumnya digunakan secara berlebihan. Pada diare akut tidak diperlukan. Obat anti peristaltik bisa mencetuskan megacolon toxica pada pasien dengan infeksi balterial invasif. Obat diare non spesifik terdiri dari agensia pebentuk tinja yang mempat (bulk forming), absorben dan agensia opioid (berhati-hati pada pasien dengan asma, penyakit paru kronis, hipertrofi prostat benigna dan glaucoma akut bersudut sempit. Adapun obat yang dapat mengurangi gejala. 1) paling efektif  derival opioid (loperamide, difenoksilat-atropin dan tinkur opium). Bismuth subsalisilat dapat digunakan terapi kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth. Obat antimotilitas harus hati-hati pada pasien disentri yang panas (e.g infeksi Shigella) bila tanpa anti mikroba karena dapat memperlama penyembuhn penyakit. 2) obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3 x 1 saset diberikan tiap diare encer sampai diare berhenti. 3) obat anti sekretorik/anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari. 4) Obat antimikroba.

17

Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalmi infeksi bakteri invasif, diare turis, atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2x/hari selama 5 – 7 hari). Obat ini baik untuk bakteri patogen invarsif (Campylobacter, Shigella, Salmonella, yersinia dan Aeromonas

species).

Alternatif

lain

yaitu

kontrimoksazol

(trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2x/hari atau eritromisin 250 – 500 mg 4x/hari), Metronidazol 250 mg 3x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigai giardiasis. b. Konstipasi Konstipasi merupakan tidak teraturnya defekasi dan abnormal, selain itu juga terjadi pengerasan feses yang tidak normal dan membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri (Brunner & Suddarth, 1996). Penatalaksanaan medis konstipasi ditujukan pada penyebab dasar konstipasi. Salah satunya adalah penghentian penyalahgunaan laksatif. Laksatif dipakai untuk mengeluarkan feses (Kee & Hayes, 1993). Adapun penatalaksanaan lain meliputi anjuran memasukan serat dalam diet dengan peningkatan asupan cairan dan pembuatan program latihan rutih untuk memperkuat otot abdomen. Hasilnya dapat berupa dampak biologis berupa teknik yang dapat digunakan untuk membantu pasien belajar merelaksasi mekanisme sfingter untuk pengeluaran feses. Dalam program diet sangatlah dianjurkan untuk menambahkan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam. Hal ini untuk memunculkan gerakan yang cepat pada kolon dan feses dalam jumlah banyak dan lembut, konseling diet harus menganjurkan diet tinggi sisa. Jika penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari hal berkut ini dapat dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik, lubrikan, stimulan atau pelunak feses. Osmotik laktasif mecakup garam atau salin, laktulose dan glieserin. Garam hiperosmolar menarik air ke kolon dan meningkatkan air di dalm tinja untuk menambah bentuk sehingga meningkatkan peristaltik (Kee & Hayes, 1993). Laksatif pembentuk bulk merupakan bahan-bahan berserat yang meningkatkan ukuran tinja dengan menyerap air ke dalam usus, meningkatkan ukuran tinja dan peristaltik. Defekasi biasanya timbul dalam 6-24 jam (Kee & Hayes, 1993). Untuk konstipasi, enema dan supositoria rektal secara umum tidak dianjurkan dan harus diberikan untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan

18

usus untuk pembedahan atau prosedur diagnostik.

Jika penggunaan laksatif

jangka panjang benar-benar diperlukan maka preparat pembentuk-bulk diberikan dalam kombinasi dengan laksatif osmotik. Selain itu, diperlukan juga terapi obatobatan khusus yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi motorik instrinsik usus. Sebagai contoh penggunaan preparat prokinetik seperti Cisaprinde dapat menigkatkan frekuensi defekasi. Menurut Sudoyo et. All (2006), pengobatan untuk konstipasi idiopatik berupa diet tinggi serat 20-30 gram per hari, banyak minum, jika mungkin hentikan laksatif dan obat-obat tidak penting (**lihat penjelasan sebelumya mengenai laksatif). Jika hal ini tidak berhasil, lakkan pemeriksaan motilitas (manometri anus dan tes transit kolon). Pada keadaaan ini baru dapat dipakai laksatif berupa laktulosa, serat. Obat-obat prokinetik seperti cisapride, tegaserod dapat dipakai. Sjamsuhidayat & Jong dalam Buku Ajar Ilmu Bedah menyatakan bahwa diperlukan juga pemeriksaan rektum digital (rectal toucher) jika konstipasi merupakan gangguan. Jika penyumbatan feses diteruskan harus dikeluarkan secara digital bahkan proses sedasi ataupun anestesi mungkin diperlukan. Penyumbatan feses yang letaknya agak tinggi dapat dibantu dengan minyak enema. Shrock dalam Handbook of Surgery menyebutkan bahwa penyeluaran feses yang tertumpuk di rektum dapat memperbesar kemungkinan terjadinya hemoroid, fisura anus dan tukak. c. Obstipasi Obstipasi merupakan konstipasi berat dimana biasanya disebabkan karena pergerakan feses dalam usus terhalang (adanya obstruksi usus). Obstipasi disebabkan karena obstruksi intestinal. Beberapa penatalaksanaannya meliputi: Perawatan Medis. Resustasi untuk mengoreksi cairan dan elektrolit tubuh, pengobatan untuk mencegah parahnya sakit dan nasograstis decompression pada obstruksi parah untuk mencegah muntah dan aspirasi.

1) Operasi

19

Obstipasi obstruksi total bersifat sangat urgent untuk dilakukan tindakan operasi karena jika terlambat akan terjadi perforasi usus akibat tekanan tinggi. 2) Diet Pada obstruksi total dianjurkan untuk tidak makan apa-apa. Pada obstruksi parsial dapat diberikan makanan cair dan obat-obatan. Tjay & Rahardja (2007) mengemukakan bahwa pengobatan untuk obstipasi disesuaikan dengan penyebabnya. Obstipasi insidentil (dikarenakan tinja keras) ditangani dengan penggunaan laksans dengan daya melunakkan (gliserol dan bisakodil). Obstipasi kronis diatasi dengan laksansia dengan daya memperbesar isi usus (laktulosa & Psyllium). Pilihan lainnya adalah garam-garam anorganik (MgSO4, Mg-Oksida). Obat-obat ini paling aman, jika masih tidak bisa diatasi, bisa diberikan bisakodil. Jika obstipasi tidak diatasi maka akan menyebabkan tinja membatu, wasir, fisura bahkan inkontinensi tinja. B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen, menginspeksi karikteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang berhubungan a. Identitas pasien dan penanggung jawab Mengkaji mengenai identitas pasien dan keluarga untuk kelengkapan berkas pasien. b. Riwayat keperawatan Banyak riwayat keperawatan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi. 1) Penentuan pola eliminasi klien yang biasa, termasuk frekuensi dan waktu defekasi dalam sehari. 2) Identifikasi rutinitas yang dilakukan untuk meningkatkan eliminasi normal. Contoh rutinitas tersebut adalah konsumsi cairan panas, penggunaan laksatif, pengonsumsian makanan tertentu, atau mengambil waktu untuk defekasi selama kurun waktu tertentu dalam satu hari.

20

3) Gambaran setiap perubahan terbaru dalam pola eliminasi 4) Deskripsi klien tentang karakteristik feses. Perawat menentukan wama khas feses, konsistensi feses yang biasanya encer atau padat atau lunak atau keras 5) Riwayat diet. Perawat menetapkan jenis makanan yang klien inginkan dalam sehari. perawat menghitung penyajian buah-buahan, sayur-sayuran, sereal, dan roti 6) Gambaran asupan cairan setiap hari. Hal ini meliputi tipe dan jumlah cairan 7) Riwayat olahraga. perawat meminta klien menjelaskan tipe dan jumlah olahraga yang dilakukannya setiap hari secara spesifik 8) Pengkajian penggunaan alat bantuan buatan di rumah. Perawat mengkaji apakah klien menggunakan enema, laksatif, atau makanan khusus sebelum defekasi. 9) Riwayat pembedahan atau penyakit yang mempengaruhi saluran GI. Informasi ini seringkali dapat membantu menjelaskan gejala-gejala yang muncul. 10) Keberadaan dan status diversi usus. Apabila klien memiliki ostomi, perawat mengkaji frekuensi drainase feses, karakter feses, penampilan dan kondisi stoma 11) Riwayat pengobatan. Perawat menanyakan apakah klien mengonsumsi obat-obatan (seperti laksatif, antasid, suplemen zat besi, dan analgesik) yang mungkin mengubah defekasi atau karakteristik feses. 12) Status emosional. Emosi klien dapat mengubah frekuensi defekasi secara bermakna. Selama pengkajian, observasi emosi klien, nada suara, dan sikap yang dapat menunjukkan perilaku penting yang mengindikasikan adanya stres. 13) Riwayat

sosial.

Klien

mungkin

memiliki

banyak aturan

dalam

kehidupannya. Tempat klien tinggal dapat mempengaruhi kebiasaan klien dalam defekasi dan berkemih.

21

14) Mobilitas dan ketangkasan. Mobilitas dan ketangkasan klien perlu dievaluasi untuk menentukan perlu tidaknya peralatan atau personel tambahan untuk membantu klien. c. Pola fungsional Gordon Menurut pola fungsi Gordon 1982, terdapat 11 pengkajian pola fungsi kesehatan sebagai berikut (Potter, 1996) : 1) Pola persepsi - Managemen kesehatan Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan keseshatan, persepsi terhadap arti kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan. 2) Pola Nutrisi – Metabolik Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan, mual/muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah/penyembuhan luka pada kulit, maknan kesukaan. 3) Pola Eliminasi Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguri, disuri, dll), penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urine dan feses, pola input cairan, infeksi saluran kemih, masalah bau badan perspitasi berlebih, dll. URINE Jumlah dalam 24 jam

: 1.200 – 1.500 ml

Warna

: Kuning, jernih

Konsistensi

: Cairan jernih

Bau

: Aroma khas

Sterilitas

: Tidak ada mikroorganisme

pH

: 4,5 – 8

Berat jenis

: 1,003 – 1.030

Glukosa

: Negative

Badan keton (aseton)

: Negative

Darah

: Negative

22

FESES Warna

: Cokelat

Konsistensi

: Lembap, berbentuk

Bau

: Aromatik (dipengaruhi oleh makanan)

Frekuensi

: Bervariasi (1-3 kali sampai setiap kali tiap 3 hari)

Bentuk

: Silindris

Jumlah

: 100-400 g setiap hari (tergantung, sesuai diet)

Kandungan lemak

: