Skrip Si [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

SKRIPSI PENGARUH TERAPI OKUPASI MENGGAMBAR TERHADAP PENURUNAN TINGKAT HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI PONDOK PESANTREN AL-ASY'ARI DANDER BOJONEGORO

AHMAD ARI ZAKI NIM. 15.02.01.1937

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2021

1

PENGARUH TERAPI OKUPASI MENGGAMBAR TERHADAP PENURUNAN TINGKAT HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI PONDOK PESANTREN AL-ASY'ARI DANDER BOJONEGORO

PROPOSAL

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi S1- Keperawatan Universitas Muhammadiyah Lamongan Sebagai Salah Satu Syarat Melanjutkan Penelitian

AHMAD ARI ZAKI NIM. 15.02.01.1937

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2021 i

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini NAMA

: AHMAD ARI ZAKI

NIM

: 1502011937

TEMPAT, TANGGAL LAHIR

: BOJONEGORO, 27 MEI 1997

INSTITUSI

: UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

Menyatakan bahwa proposal yang berjudul “Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Pondok Pesantren Al Asy’ari Dander Bojonegoro” adalah bukan proposal orang lain baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan sumbernya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapat sanksi akademis.

Lamongan, 23 Maret 2021 yang menyatakan

AHMAD ARI ZAKI NIM. 15.02.01.1937

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Oleh

: AHMAD ARI ZAKI

NIM

: 15.02.01.1937

Judul

: PENGARUH

TERAPI

OKUPASI

MENGGAMBAR

TERHADAP PENURUNAN TINGKAT HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA Di PONDOK

PESANTREN

AL

ASY’ARI

DANDER

BOJONEGORO Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Proposal pada bulan Maret 2021.

Oleh: Mengetahui : Pembimbing I

Pembimbing II

Hj. Siti Sholikah., S.Kep., Ns., M.Kes NIP. 19790306 2006306 017

LIilis Magfiroh., S.Kep., Ns., M.Kes NIK. 19830626 200809 040

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Diuji Dan Disetujui Oleh Tim Penguji Pada Ujian Sidang Proposal Skripsi Di Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi S1-Keperawatan Universitas Muhammadiyah Lamongan Tanggal :

PANITIA PENGUJI

Tanda tangan Ketua

: Dr.H.Masram.,MM.,M.MKes

............................

Anggota

: 1. Hj. Siti Sholikah., S.Kep., Ns., M.Kes

............................

2. Lilis Magfiroh, S.Kep., Ns., M.Kes

............................

Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan

Arifal Aris, S. Kep., Ns., M. Kes NIK. 19878 08 21 2006 01 015

iv

CURICULUM VITAE

Nama

: AHMAD ARI ZAKI

Tempat, Tanggal lahir

: Bojonegoro, 27 Mei 1997

Alamat

: Desa Ngemplak Kec Baureno Kab Bojonegoro

Riwayat Pendidikan

:

1.

SDN Ngemplak 2 lulus tahun 2009

2.

SMP Negeri 1 Baureno Lulus tahun 2012

3.

SMA Negeri 1 Baureno Lulus tahun 2015

4.

Prodi S-1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Lamongan mulai tahun 2015 sampai sekarang.

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Pengaruh Terapu Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran pada pasien Skizofrenia di Pondok Pesantren Al Asy’ari Dander Bojonegoro” sesuai waktu yang ditentukan. Proposal ini penulis susun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan di Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan. Dalam penyusunan, penulis mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak/ Ibu : 1.

Drs. H. Budi Utomo, M.Kes, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan.

2.

Arifal Aris, S.Kep., Ns., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan.

3.

Suratmi, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Lamongan.

4.

Hj.Siti Sholikhah., S.Kep., Ns., M.Kes selaku pembimbing I, yang telah banyak memberikan petunjuk, saran, dorongan moril selama penyusunan proposal.

5.

Lilis magfiroh., S.Kep., Ns., M.Kes selaku pembimbing II, yang telah banyak memberikan petunjuk, saran, dorongan moril selama penyusunan proposal.

vi

6.

Istri saya Risky Dwi Ristiana Ambarwati yang selalu berjuang dan memotivasi saat bersama-sama menempuh skripsi untuk memperoleh gelar sarjana.

7.

Ibunda Rumiyati, Ayahanda Jaelani dan adik-adik tercinta terima kasih atas curahan kasih sayang dorongan doa, nasihat, motivasi dan pengorbanan materilnya selama penulis menempuh studi di fakultas kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan.

8.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil yang tidak bisa saya sebut satu persatu dalam terselesaikannya proposal ini. Semoga Allah SWT memberi balasan pahala atas semua amal kebaikan yang diberikan. Penulis menyadari proposal ini masih banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan, akhirnya penulis berharap semoga proposal ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.

Lamongan,

Maret 2021

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

i

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................

ii

LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................

iv

CURICULUM VITAE.....................................................................................

v

KATA PENGANTAR....................................................................................

vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL...........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR......................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xiii

BAB 1 : PENDAHULUAN.............................................................................

1

1.1 Latar Belakang......................................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................

5

1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................

6

1.3.1 Tujuan Umum..............................................................................

6

1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................

6

1.4 Manfaat Penelitian................................................................................

6

1.4.1 Bagi Akademis............................................................................

6

1.4.2 Bagi Praktisi................................................................................

7

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA...................................................................

8

2.1 Konsep Skizofrenia..................................................................................

8

2.1.1 Pengertian Skizofrenia.................................................................

8

2.1.2 Faktor Penyebab Skizofrenia.......................................................

9

2.1.3 Tanda Dan Gejala Skizofrenia.....................................................

10

2.1.4 Fase Skizofrenia...........................................................................

12

2.2 Konsep Halusinasi Pendengaran............................................................. 13 2.2.1 Pengertian Halusinasi Pendengaran............................................

13

2.2.2 Rentang Respon Halusinasi.........................................................

14

viii

2.2.3 Faktor Penyebab Halusinasi........................................................

14

2.2.4 Batasan Karakteristik...................................................................

16

2.2.5 Jenis Halusinasi...........................................................................

17

2.2.6 Psikopatologi...............................................................................

18

2.2.7 Tanda dan Gejala Halusinasi.......................................................

18

2.2.8 Fase Halusinasi............................................................................

19

2.3 Konsep Terapi Okupasi Menggambar..................................................... 20 2.3.1 Pengertian Terapi Okupasi..........................................................

20

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi.............................................

22

2.3.3 Dimulainya Terapi Okupsi..........................................................

26

2.3.4 Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis.....................

27

2.3.5 Peranan Terapi Okupasi atau Pekerjaan dalam Pengobatan........ .....................................................................................................

28

2.3.6 Indikasi Terapi Okupasi..............................................................

33

2.3.7 Proses Terapi Okupasi.................................................................

34

2.3.8 Evaluasi Terapi Okupasi..............................................................

35

2.3.9 Penata Laksanaan Terapi Okupasi Menggambar........................

36

2.4 Kerangka Konseptual Dan Hipotesis Penelitian..................................... 41 2.4.1 Konsep.........................................................................................

41

2.4.2 Hipotesis......................................................................................

42

BAB 3 : METODE PENELITIAN................................................................... 43 3.1 Desain Penelitian..................................................................................... 43 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................. 44 3.3 Kerangka Kerja....................................................................................... 44 3.4 Populasi, Sampel dan Sampling Desain................................................... 46 3.4.1 Populasi Penelitian.......................................................................

46

3.4.2 Sampel Penelitian.........................................................................

46

3.4.3 Sampling......................................................................................

47

3.5 Identifikasi Variabel Penelitian................................................................ 47 3.5.1 Variabel Independen (Bebas)......................................................

47

3.5.2 Variabel Dependen (Tergantung)................................................

48

ix

x

3.6 Definisi Operasional Variabel.................................................................. 48

3.7 Pengumpulan Data dan Analisa Data....................................................... 50 3.7.1 Pengumpulan Data.......................................................................

50

3.7.2 Instrument dan Prosedur Pengumpulan Data..............................

51

3.7.3 Analisa Data................................................................................

51

3.8 Etika Penelitian......................................................................................... 55 3.8.1 Informed Consent atau Lembar Persetujuan Menjadi Responden

55

3.8.2 Anonymity atau Tanpa Nama.......................................................

55

3.8.3 Confidentiality atau Kerahasiaan.................................................

55

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 57 LAMPIRAN....................................................................................................... 59

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Definisi Operasional Prosedur Pengaruh Terapi Okupasi Menggbar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia Di Pondok Pesantren Al.Asy’ari Dander Bojonegoro................................................... 49

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Pondok Pesantren Al-Asy’ ari Dander Bojonegoro................................................................ 41 Gambar 3.1 Rancangan Desain Penelitian One Group Pretest-Posttest Design.................................................................................... 43 Gambar 3.2 Kerangka Kerja Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Pondok Pesantren Al Asy’ari Dander Bojonegoro................................................................ 45

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Jadwal Penyusunan Proposal

Lampiran 2

Surat Permohonan Ijin Melakukan Survey Awal dari Universitas Muhammadiyah Lamongan

Lampiran 3

Surat Balasan Survey Awal dari Pondok Pesantren Al Asy’Ari Dander Bojonegoro

Lampiran 4

Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 5

Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6

Lembar Standart Operasional Prosedur (SOP)

Lampiran 7

Lembar Kuisioner

Lampiran 8

Lembar Konsultasi

xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Perawatan psikiatrik/keperawatan kesehatan jiwa: proses dimana perawat

membantu individu atau kelompok dalam mengembangkan konsep diri yang positif, Meningkatkan pola hubungan antar pribadi yang lebih harmonis serta agar lebih berperan lebih produktif di masyarakat (Dorothy, Cecelia). Klien gangguan jiwa memiliki hubungan yang tidak harmonis misalnya bermusuhan dengan orang lain dan mengancam (aggresion) atau curiga yang berlebihan (paranoid). Klien gangguan jiwa juga seringkali tidak produktif di masyarakat, bahkan cenderung merugikan masyarakat misalnya mencuri (cleptomany), malas (abulia), atau prilaku deviasi sosial lain seperti pemakaian zat adiktif [CITATION IYU11 \l 1057 ]. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan biopsikososial [CITATION stu13 \l 1057 ].

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakitnya biasanya akut dan bisa kronis atau menahun. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan,

1

2

memalukan dan aib bagi keluarganya. Pandangan lain yang beredar di masyarakat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh guna-guna orang lain. Ada kepercayaan di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul karena musuhnya roh nenek moyang masuk kedalam tubuh seseorang kemudian menguasainya [CITATION Haw12 \l 1057 ].

Menurut Word Health Organization (WHO, 2015) kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Hal ini berarti seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, pesikis maupun sosial. Apabila fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosial pun sehat demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnya pun sakit. Kesehatan harus dilihat secara menyeluruh sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan Sedangkan gangguan jiwa menurut kamus besar bahasa Indonesia ketidak seimbangan jiwa yang mengakibatkan terjadinya ketidak normalan sikap atau tingkah laku atau dengan kata lain disebut gangguan jiwa. Gangguan jiwa ada beberapa macam seperti gangguan jiwa halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, resiko bunuh diri, waham, defisit perawatan diri dan perilaku kekerasan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Menurut The World Health Organization dalam Global Health Estimasi 2000 – 2016. Data tahun 2000 menyebutkan jumlah penderita skizofrenia seluruh dunia sebesar 10.484.572 juta jiwa di seluruh dunia sedangkan data di tahun 2016 menunjukkan peningkatan jumlah pasien yang menderita skizofrenia sebesar

3

13.540.991 juta jiwa di seluruh dunia. sehingga dapat disimpulkan penderita skizofrenia seluruh dunia mengalami peningkatan (WHO-GHE, 20OO-2016). Data Riskesdas 2018 prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah sebesar (7%) permil dan provinsi terbanyak ada pada Provinsi Bali dengan prevalensi penderita sebesar (11%) permil diikuti oleh Jogjakarta dan NTB dengan prevalensi penderita sebesar (10%) permil, serta jawa timur sendiri memiliki prevalensi gangguan jiwa berat sebesar (6%) (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Menurut data dari Ponpes Al Asy`ari Dander Bojonegoro pravelensi penderita skrizofrenia dengan halusinasi sebanyak (38%), perilaku kekerasan (30%), isolasi soSial (2%). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah keperawatan halusinasi merupakan masalah nomor satu di Ponpes Al Asy`ari Dander Bojonegoro. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (Halusinasi & Waham), ketidakmampuan berkomunikasi, afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari [ CITATION Kel10 \l 1057

].

Pasien

skizofrenia

mengalami

halusinasi

disebabkan

karena

ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi seperti bicara sendiri, senyum sendiri, tertawa sendiri, menarik diri dari orang lain, tidak dapat membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata [ CITATION Mar10 \l 1057 ]. Halusinasi yang tidak

mendapatkan

pengobatan

maupun

perawatan

lebih

lanjut

dapat

4

menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri, menarik diri dari lingkungan, dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan [CITATION stu13 \l 1057 ].

Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa bervariasi tergantung pada jenisjenis gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu. Beberapa hal yang menjadi penyebab adalah ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini, serta ada beberapa stigma mengenai gangguan jiwa ini [ CITATION Haw12 \l 1057 ].

Terapi okupasi atau suatu pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia. Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan diri dengan selalu bekerja secara sadar dan jangan bermalasmalasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka okupasi terapi mulai berkembang dan diterapkan pada abad 19. Philipina pinel memperkenalkan terapi kerja pada tahun 1786 disuatu rumah sakit jiwa diparis. Dia mengatakan bahwa dengan okupasi/pekerjaan pasien jiwa akan dikembalikan kearah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya. Juga sekaligus memelihara dan mempraktikan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.

5

Tindakan keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran difokuskan pada aspek fisik, intelektual, emosional dan sosio spiritual. Satu diantaranya penanganan pasien skizofrenia dengan halusinasi pendengaran adalah terapi okupasi aktivitas menggambar. Wahyuni (2010) meneliti pengaruh terapi okupasi aktivitas menggambar terhadap frekuensi halusinasi pasien skizofrenia diruang Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Hasil penelitian menunjukkan p=0,018. Hasil penelitian tersebut menemukan adanya pengaruh terapi okupasi aktivitas menggambar terhadap frekuensi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Aktivitas menggambar yang dilakukan bertujuan untuk meminimalisasi interaksi pasien dengan dunianya sendiri, mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi yang selama ini mempengaruhi perilaku yang tidak disadarinya, memberi motivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan perhatian pasien dari halusinasi yang dialami sehingga pikiran pasien tidak terfokus dengan halusinasinya (Susana dan Hendarsih, 2011). Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Untuk Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran di Pondok Pesantren Al Asy`ari Dander Bojonegoro“. Diharapkan terapi ini mampu mengajak santri gangguan jiwa untuk menurunkan tingkat halusinasi pendengaran yang sedang dialami. 1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada maka akan dirumuskan masalah

sebagai berikut “Apakah Ada Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap

6

Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia Di pondok pesantren Al-Asy’ari Dander Bojonegoro”.

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi menggambar terhadap penurunan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di pondok pesantren Al Asy`ari Dander Bojonegoro. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi

penurunan

tingkat

halusinasi

pendengaran

sebelum

diberikan terapi okupasi menggambar pada pasien skizofrenia di Pondok Perantren Al-Asy’ari Dander Bojonegoro. 2) Mengidentifikasi penurunan tingkat halusianasi pendengaran sesudah diberikan terapi okupasi menggambar pada pasien skizofrenia di Pondok Pesantren Al-Asi’ari Dander Bojonegoro. 3) Menganalisis penurunan tingkat halusinasi pendengaran sebelum diberikan terapi okupasi menggambar pada pasien skizofrenia di Pondok Pesantren AlAsi’ari Dander Bojonegoro. 4) Menganalisis penurunan tingkat halusinasi pendengaran sesudah di berikan terapi okupasi menggambar pada pasien skizofrenia di Pondok Pesantren AlAsi’ari Dander Bojonegoro.

7

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Akademis Merupakan sumbangan ilmu terapi penyembuhan salah satunya terapi okupasi untuk penurunan tingkat halusinasi pendengaran. 1.4.2 Bagi Praktisi 1) Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan; sebagai bahan masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya di Kabupaten Bojonegoro dalam memberikan terapi okupasi menggambar terhadap penurunan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. 2) Bagi Profesi Keperawatan; diharapkan penelitian ini manpu memberikan masukan

profesi

dalan

mengembangkan

perencanaan

keperawatan

komplementer dalam bidang pemberian terapi okupasi. 3) Bagi Peneliti ; merupakan peroses pembelajaran dan memperluas wawasan untuk mempublikasikan hasil penelitian dalam asuhan keperawatan dalam pemberian terapi okupasi menggambar terhadap penurunan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. 4) Bagi Peneliti Lain ; sebagai bahan atau sumber data bagi peneliti selanjutnya dan bahan pembanding bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan penelitian sejenis dengan variabel yang berbeda dan populasi yang lebih besar. 5) Bagi Penderita Gangguan Jiwa ; sebagai sumber informasi dalam pemberian terapi okupasi menggambar terhadap kemampuan penurunan tingkat

8

halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia serta bertujuan mengurangi terjadinya komplikasi yang berkelanjutan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan disajikan beberapa tinjauan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian antara lain: Konsep Skizofrenia, Konsep Halusinasi Pendengaran, Terapi Okupasi Menggambar, Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian. 2.1

Konsep Skizofrenia

2.1.1 Pengertian Skizofrenia Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar; serta terganggunya relasasi personal (Stauss Et al dalam Gabbard, 1994). Tampak bahwa gejala-gejala skizofrenia menimbulkan gejala berat dalam kemampuan individu berpikir dan memecahkan masalah, kehidupan afek dan meganggu relasi sosial. Kesemuanya itu mengakibatkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain (Iman, 2016). Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Menurut (Andreas, 2011), dalam Broken Brain, The biological Revolution in psychiatry, bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia merupakan

9

10

sesuatu hal yang melibatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi Perubahan stuktur fisik otak, dan faktor genetik. Menurut Melinda Hermann (2008) yang dikutip dalam (Direja, 2011) mendefinisikan skizofrenia sebagai penyakit neurologis yng memengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi dan perilaku sosialnya (Neurological disease that affects a person’s perception, thinking, language, emotion, and social behavior). Skizofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis. Pasien psikotik dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Arif, 2011). 2.1.2 Faktor Penyebab Skizofrenia Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain: 1) Faktor Genetic Kemungkinan bahwah skizofrenia merupakan kondisi kompleks warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.

11

Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan. 2) Virus, Virus atau inveksi lain selama kehamilan yang dapat meganggu perkembangan otak janin, hal ini terjadi karena adanya oteraksi antara abnormal gen. 3) Auto Antibody, Menurunnya auto imun yang mungkin disebabkan inveksi selama kehamilan. 4) Malnutrisi, yaitu kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada trimester kehamilan (Yosep, 2011). 2.1.3 Tanda Dan Gejala Skizofrenia Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1) Gejala Positif Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterprestasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Klen skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory Hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu klien merasan tanda suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukan hati, member kedamaian, kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.

12

Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterprestasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya pada penderita skizofrenia, lampu trafik dijalan raya yang berwarna merah kuning hijau dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi seorang paranoid. Mereka selalu merasa sedang diamat-amati, diintai, atau hendak diserang. Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien skizofrenia tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Kebanyakan klien tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika. Karena klien skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan dan tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidak

mampuan

dalam

berpikir

megakibatkan

ketidak

mampuan

mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa memerdulikan sekelilingnya. Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakain, dan tidak mengerti apa itu manusia. Dia juga tidak bisa mengingat kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya. 2) Gejala Negative Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energy dan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang yang malas. Karena klien skizofrenia hanya memiliki energy yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosi klien skizofrenia menjadi datar. Klien skizofrenia tidak memiliki

13

ekspresi baik dari raut muka mapun gerakan tangannya, seakan-akan di tidak memiliki emosi apapun. Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka. Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia. Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal cinta. Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Di samping itu, Perubahan otak secara biologis juga memberi andil dalam depresi. Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien skizofrenia menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sndirian. Dalam beberapa kasus, skizofrenia menyerang manusia usia muda antara 15 hingga 30 tahun, tetapi serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita skizofrenia sebanyak 1 % dari jumlah manusia yang ada di bumi (Yosep, 2011). 2.1.4 Fase Skizofrenia Fase Skizofrenian terbagi menjadi 3 (tiga), antara lain: 1.

Fase Prodromal

1) Kemunduran dalam waktu lama (6 sampai 12 bulan) dalam tingkat fungsi perawatan diri, social, waktu luang, pekerjaan, atau akademik. 2) Timbul gejala positif dan negative. 3) Periode kebingungan pada klien dan keluarga.

14

2.

Fase Aktif

1) Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi. 2) Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lainnya. 3) Perawatan difokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar untuk hidup dengan penyakit yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku. 3.

Fase Residual

1) Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala. 2) Pengurangan dan penguatan gejala. 3) Adaptasi (Copel, 2007). 2.2

Konsep Halusinasi Pendengaran

2.2.1 Pengertian Halusinasi Pendengaran Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstren atau persepsi palsu (Prabowo, 2014). Halusinasi adalah kesalahan sensori persepsi yang menyerang pancaindera, hal umum yang terjadi yaitu halusinasi pendengaran dan pengelihatan walaupun halusinasi pencium, peraba, dan pengecap dapat terjadi (Townsend, 2010). Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Dermawan dan Rusdi, 2013). Sedangkan menurut Kusumawati (2010) halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang jelas maupun tidak jelas, dimana suara tersebut bisa mengajak klien berbicara atau melakukan sesuatu.

15

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesipulan bahwa pengertian halusinasi pendengaran adalah suatu bentuk kesalahan presepsi sensori pada daerah telinga yang dapat membuat seseorang untuk mengerjakan atau mempersepsikan sesuatu yang tidak pernah terjadi 2.2.2 Rentang Respon Halusinasi Halusinasi merupakan salah satu respon mal adaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologis (Stuart,2013). Ini merupakan respon persepsi paling mal adaptif. jika klien sehat persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima memalui pancaindra pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan, dan perabaan klien dengan halusinasi mempersepsikan stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tidak ada respon individu karena suatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang di sebut ilusi klien mengalami ilusi jika interpepretasi yang dilakukan terhadap stimulus pancaindra tidak akurat sesuai dengan stimulus yang diterima rentang respon tersebut digambarkan seperti pada gambar dibawah ini. 2.2.3 Faktor Penyebab Halusinasi Menurut Yosep (2014) terdapat dua faktor penyebab halusinasi, antara lain: 1.

Faktor Presdisposisi

1) Faktor Perkembangan Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.

16

2) Faktor Sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi sehingga akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. 3) Faktor Biokimia Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidak seimbangan acetylchoin dan dopamine. 4) Faktor Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien mengambil keputusan tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. 5) Faktor Genetik Pola Asuh Penelitian Menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia . Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. 2.

Faktor Presipitasi Menurut Rawlins dan Heacock dalam Yosep (2014) dalam hakekatnya

seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur bio-psiko-sosiospiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:

17

1) Dimensi Fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama. 2) Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi. Halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tida sanggup menentang sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3) Dimensi Intelektual Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,namun menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. 4) Dimensi Sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosialdi dalam fase awal dan

comforting

menganggap

bahwa

bersosialisasi

nyata

sangat

membahayakan. Klien halusinasi lebih asyik dengan halusinasinya seolaholah itu tempat untuk bersosialisasi. 5) Dimensi Spiritual Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. 2.2.4 Batasan Karakteristik Batasan karakteristik klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi menurut Nanda-I (2012) yaitu perubahan dalam pola perilaku, perubahan dalam

18

kemampuan menyelesaikan masalah, perubahan dalam ketajaman sensorik perubahan dalam respon yang biasa terhadap stimulus, disorientasi, halusinasi, hambatan komunikasi, iritabilitas, konsentrasi buruk, gelisah,distrosi sensori 2.2.5 Jenis Halusinasi Menurut Yosep dalam Prabowo (2014) halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya: 1) Halusinasi pendengaran (audotorik) Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. 2) Halusinasi pengelihatan (visual) Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan. 3) Halusinasi penghidu (olfaktori) Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum. 4) Halusinasi peraba (taktil) Gangguan stimulusyang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain. 5) Halusinasi pengecap (gustatorik) Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatuyang busuk, amis, dan menjijikan. 6) Halusinasi sinestetik Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.

19

2.2.6 Psikopatologi Pada model stres dan adaptif dalam keperawatan jiwa halusinasi disebabkan oleh faktor berikut ini antara lain faktor predisposisi, stresor presifitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon Stuart (2007). Model Stres Adaptif Stuart 2.2.7 Tanda dan Gejala Halusinasi Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat menetapkan masalah halusinasi, antara lain: 1.

Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri.

2.

Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.

3.

Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.

4.

Disorientasi.

5.

Tidak mampu atau kurang konsentrasi.

6.

Cepat berubah pikiran.

7.

Alur pikiran kacau.

8.

Respon yang tidak sesuai.

9.

Menarik diri.

10. Sering melamun.

20

2.2.8 Fase Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo (2014) menunjukan tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu: 1.

Fase I Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata cepat,dan asyik sendiri.

2.

Fase II Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul peningkatan tanda-tanda vital.

3.

Fase III Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi. Disini pasien sukar berhubungan dengan orang lain, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama berhubungan dengan orang lain.

4.

Fase IV Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.

21

2.3

Konsep Terapi Okupasi Menggambar

2.3.1 Pengertian Terapi Okupasi Terapi okupasi atau occupational theraphy berasal dari kata occupational dan theraphy, occupational sendiri berarti aktivitas dan theraphy adalah penyembuhan dan pemulihan. Eleonor Clark Slagle adalah salah satu pioneer dalam pengembangan ilmu OT atau terapi okupasi, bersama dengan Adolf Meyer, William Rush Dutton (E.Kokasih, 2012). Menurut (Sujarwanto, 2012) terapi okupasi adalah usaha penyembuhan terhadap seseorang yang mengalami kelainan mental, dan fisik dengan jalan memberikan suatu keaktifan kerja dimana keaktifan tersebut untuk mengurangi rasa penderitaan yang dialami oleh penderita. Sedangkan pengertian okupasi terapi menurut keputusan menteri kesehatan No. 571 Tahun 2008 adalah profesi kesehatan yang menangani pasien atau klien dengan gangguan fisik dan atau mental yang bersifat sementara atau menetap. Dalam praktiknya okupasi terapi menggunakan okupasi atau aktivitas terapiutik dengan

tujuan

mempertahankan

atau

meningkatkan

komponen

kinerja

okupasional (senso-motorik, persepsi, kognitif, sosian dan spiritual) dan area kinerja okupasional (perawatan diri, produksivitas dan pemanfaatan waktu luang) sehingga pasien atau klien mampu meningkatkan kemandirian fungsional, meningkatkan derajat kesehatan dan partisipasi di masyarakat sesuai perannya. Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan. Dengan bekerja seseorang akan menggunakan otot-otot dan

22

pikirannya, misalnya dengan melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, di mana hal ini akan memengaruhi kesehatannya juga (Astati, 2012). Pada Tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul karena ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan Plato (400 SM) mempercayai adanya hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobat pasiennya. Di Mesir dan Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan adalah salah suatu media terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain musik, bermain boneka untuk anak-anak, dan bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia. Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan dini dengan selalu bekerja secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan okupasi/ pekerjaan, pasien jiwa akan dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif (Astati, 2012). Pada tahun 1982, Adolf Meyer melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan baik yaitu dengan melakukan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar terapi pasien neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. istrinya

23

adalah seorang pekerja sosial dan mulai menyusun suatu dasar yang sistematis tentang penggunaan aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa. Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal yang berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah satu terapi khususnya untuk pasien mental. Risetpun masih tetap dilakukan guna lebih mengefektitkan penggunaan okupasiterapi untuk terapi pasien mental. Terapi okupasi berasal dan kata Occupational Therapy. Occupational berarti suatu pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk pendenita cacat mental maupun fisik (American Occupational Therapist Association). Terapi okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang (Astati, 2012). 2.3.2 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi Terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi.

24

Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud sebagai berikut: 1.

Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.

2.

Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.

3.

Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.

4.

Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.

5.

Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.

6.

Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.

7.

Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.

8.

Membantu pasien untuk menyesuaikan din dengan pekerjaan rutin di rumahnya dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.

9.

Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.

25

10.

Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dan si pasien dalam mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.

11.

Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama masa rawat dengan berguna.

12.

Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga. Program terapi okupasi adalah bagian dan pelayanan medis untuk tujuan rehabilitasi total seorang pasien melalui kerjasama dengan petugas lain di rumah sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja sama yang terkoordinir dan terpadu. Tujuan

dan

pelatihan

Terapi

okupasi

itu

sendiri

adalah

untuk

mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat. Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang telah dianalisis dan diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan kebutuhan khususnya. Secara garis besar intenvensi difokuskan pada halhal berikut:

26

1.

Kemampuan (Abilities)

1)

Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).

2)

Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).

3)

Kesadaran anggota tubuh (body awareness).

4)

Kemampuan keterampilan motorik halus (fine motor skill) seperti memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, misal penggunaan pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain.

5)

Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor shill) seperti lari, lompat, naik-turun tangga jongkok jalan dan lain-lain.

6)

Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception).

7)

Merespon stimuli, membedakan input sensori (sensory integration).

8)

Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lainlain.

2.

Keterampilan (Skill)

1)

Aktivitas sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum, berpakaian mandi, dan lain-lain.

2)

Pre-academik skill.

3)

Keterampilan social.

4)

Keterampilan bermain.

3.

Faktor Lingkungan

1)

Lingkungan fisik.

2)

Situasi keluarga.

3)

Dukungan dan komunitas.

27

4.

Terapi Okupasi Sebagai Konsultan

1)

Okupasi terapis sebagai konsultan pada area berikut ini: Program intervensi awal.

2)

Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain.

3)

Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar.

4)

Alat bantu.

5.

Strategi Perilaku Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua

prinsip kerja, yaitu sebagai berikut: 1)

Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk menghilangkan dan perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat didalam melakukan latihan.

2)

Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan motorik kasar (gross motor) maupun motorik halus, (fine motor) serta meningkatkan konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun sikap.

2.3.3 Dimulainya Terapi Okupsi Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan observasi dan tes sederhana. Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam kecacatan (Cerebral Palsy atau Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan

28

dan penderita itu sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi atau dihindarkan untuk segi keamanan penderita. Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan, agar sesual dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang diberikan di bagian terapi okupasi adalah sebagai berikut: 1) Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas ini diberikan agar penderita dapat mandini tanpa tergantung orang lain. 2) Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi, koordinasi, motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan. 3) Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam mencapai suatu hasil yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan dan kerumah tangga yang disesuaikan dengan kapasitas penderita. Terapi didalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut untuk kreatif, selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta orang tua dalam proses latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukanmasukan kepada orang tua penderita untuk berlatih di rumah. 2.3.4 Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau memperbaiki ketidak normalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan.

29

Terapi okupasi lebih dititik beratkan pada kemampuan yang masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya. Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan) sebagai media. Tugas pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemilihan terapis disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi, bukan hanya sekedar kegiatan untuk membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan orang lain. Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas usaha medis, sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin. Sementara itu, rehabilitasi medis adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi invaliditas atau mencegah memburuknya invaliditas yang ada. 2.3.5 Peranan Terapi Okupasi atau Pekerjaan dalam Pengobatan Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi, mengembangkan kemampuan. dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental. Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis. terapi. maupun rehabilitasi.

30

Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dan pasien tersebut. Penting untuk diingat bahwa aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penyelesaian suatu aktivitas adalah sangat penting karena dalarn kesenipatan tersebut terapis dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalannya. Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk berkomunikasi lehih baik dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang dilakukan oleh pasien. Alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalam

melakukan suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan kenyataan

terutama dalam hal kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya untuk berhubungan dengan orang lain. Aktivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi di mana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut:

31

1.

Jenis- jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai berikut:

1)

Latihan gerak badan.

2)

Olahraga.

3)

Permainan.

4)

Kerajinan tangan.

5)

Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi.

6)

Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari).

7)

Praktik pre-vokasional.

8)

Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain).

9)

Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain).

10)

Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan lingkungan).

2.

Karekteristik Aktivitas Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat

menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai karekteristik sebagai berikut: 1)

Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan hanya sekedar menyibukkan pasien.

2)

Mempunyai arti tertentu hagi pasien, artinva dikenal oleh atau ada hubungannya dengan pasien.

32

3)

Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.

4)

Harus dapat melihatkan pasien secara aktif walaupun minimal.

5)

Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.

6)

Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.

7)

Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.

8)

Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan kemampuan pasien. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih aktivitas adalah sebagai

berikut: a) Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor, halus, dan sebagainya, b) Apakah aktivitas rumit atau tidak, c) Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan, d) Cara pemberian instruksi bagaimana, e) Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai, f) Apakah perlu pasien membuat keputusan, g) Apakah perlu konsentrasi, h) Interaksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan, i) Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi, j) Berapa lama dapat diselesaikan, k) Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterampilan pasien. 3.

Analisis Aktivitas Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam

rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut:

33

1)

Jenis aktivitas.

2)

Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi).

3)

Bahan yang digunakan:

(1)

Khusus atau tidak

(2)

Karekteristik bahan: (1) Mudah ditekuk atau tidak, (2) Mudah dikontrol atau tidak, (3) Menimbulkan kekotoran atau tidak.

(3)

Rangsangan yang dapat ditimbulkan: (1) Taktil, (2) Pendengaran, (3) pembauan, (4) Penglihatan, (5) Perabaan, (6) Gerakan sendi, dan sebagainya.

(4)

Warna

(5)

Macam-macamnya dan namanya

(6)

Banyaknya aktivitas yang diberikan

4)

Bagian-bagian aktivitas

(1)

Banyaknya bagian

(2)

Rumit atau sederhana

(3)

Apakah membutuhkan pengulangan

(4)

Apakah membutuhkan perhitungan matematika

5)

Persiapan pelaksanaan: (a) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu. (b) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan, (c) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu, (d) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur.

34

6)

Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya: (a) Konsentrasi, (2) Ketangkasan, (b) Rasa sosial di antara pasien, (c) Kemampuan mengatasi masalah, (d) Kemampuan bekerja sendiri, (e) Toleransi terhadap frustasi, (f) Kemampuan mengikuti instruksi, (g) Kemampuan membuat keputusan.

7)

Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara mereka.

8)

Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.

9)

Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan lain-lain.

10)

Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak

hati-hati

karena

dapat

berbahaya

bagi

pasien

maupun

sekelilingnya. 11)

Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.

2.3.6 Indikasi Terapi Okupasi 1.

Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitankesulitan

yang

dihadapi

dalam

pengintegrasian

perkembangan

psikososialnya. 2.

Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang lain.

3.

Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitif.

35

4.

Ketidakmampuan mengisiterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula.

5.

Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami kemunduran.

6.

Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas dari pada dengan percakapan.

7.

Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikkannya daripada dengan membayangkan.

8.

Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.

2.3.7 Proses Terapi Okupasi Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga data mengenai pasien berupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa yang perlu diperbuat dengan pasien tersehut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien berada di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut: 1.

Koleksi data. Data biasa didapatkan dan kartu rujukan atau status pasien yang disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan mengadakan wawancara dengan pasien atan keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data ini diperlukan untuk menyusun rencana terapi bagi pasien. Proses ini dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.

36

2.

Analisis data dan identifikasi masalah. Dan data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara tentang masalah dan/atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.

3.

Penentuan tujuan. Dan masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar tujuan terapi sesuai dengan prioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.

4.

Penentuan aktivitas. Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas yang dapat mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses pasien dapat di ikut sertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan

sehingga pasien merasa ikut bertanggungjawab

atas

kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal ini harus diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif (Sujarwanto, 2012). 2.3.8 Evaluasi Terapi Okupasi Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat dipergunakan untuk merencanakan hal-hal mengenai penyesuaian jenis

37

aktivitas yang akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas dapat dilakukan setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut: Kemampuan membuat keputusan, Tingkah laku selama bekerja, Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan sendiri, Kerjasama, Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lainlain), Inisiatif dan tanggung jawab, Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding, Menyatakan perasaan tanpa agresi, Kompetisi tanpa permusuhan, Menerima kritik dari atasan atau teman bekerja, Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut, Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya, Wajar dalam penampilan, Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain, Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya, Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi, Kerapian bekerja, Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan, Toleransi terhadap frustasi, Lambat atau cepat. 2.3.9 Penata Laksanaan Terapi Okupasi Menggambar 2.3.9.1 Pengertian Terapi Okupasi Menggambar Terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik atau mental dengan menggunakan latian/aktivitas

mengerjakan

sasaran

yang

terseleksi

(okupasi)

untuk

meningkatkan kemandirian (World Federation of Occupation Therapy, 2010). Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni

38

untuk berkomunikasi. Media seni dapat berupa pensil , kapur bewarna, warna, cat, potongan-potongan kertas dan tanah liat (Adriani & Satiadarma, 2011). Terapi menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan kreativitass pasien. Menurut The British Association of Art Therapist (2018) mendefinisikan Art therapy sebagai suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai cara utama ekspresi dan komunikasi. Art therapy atau terapi menggambar telah banyak di lingkungan medis, salah satunya untuk pengobatan penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri melalui cara non verbal dan membangun komunikasi . 2.3.9.2 Mekanisme Kerja Terapi Okupsi Menggambar 1.

Penyembuhan pribadi. Terapi seni bisa membantu memahami perasaan pribadi dengan mengenali dan mengatasi kemarahan, kekesalan dan emosiemosi lainnya. Terapi ini bisa membantu menyegarkan kembali semangat pasien.

2.

Pencapaian pribadi. Menciptakan sebuah karya seni bisa membangun rasa percaya diri dan memelihara rasa cinta dan menghargai diri sendiri.

3.

Menguatkan. Terapi seni bisa membantu menggambarkan emosi dan ketakutan yang tidak bisa Anda ungkapkan dengan kata-kata. Dengan cara ini, pasien lebih bisa mengontrol perasaan-perasaan.

4.

Relaksasi dan meredakan stres. Stres kronis bisa membahayakan baik tubuh maupun pikiran. Terapi menggambar bisa digunakan sebagai penanganan tunggal atau dipadukan dengan teknik relaksasi lainnya untuk meredakan stres dan kecemasan.

39

5.

Meredakan sakit. Terapi seni juga bisa membantu Anda mengatasi rasa sakit. Terapi ini bisa digunakan sebagai terapi pelengkap untuk mengobati pasien yang sakit.

6.

Metode terapi okupasi dapat dilakuakan baik secara individual maupun berkelompok, tergantung keadaan pasien, tujuan terapi, dll. Metode individu dilakukan bertujuan untuk a) pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi sekaligus untuk evaluasi pasien, b) pasien yang belum dapat atau belum mampu berinteraksi di dalam suatu kelompok sehingga di anggap mengganggu kelancaran suatu kelompok bila pasien tersebut di masukan dalam kelompok tersebut c) pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar pasien dapat di evaluasi terapis lebih efektif

7.

Metode kelompok dilakukan untuk pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir bersamaan, atau dalam melakuakan aktifitas untuk tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegitan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.

8.

Terapi okupasi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individu maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu,

40

tersedianya tenaga, fasilitas, dan sebagainya. Setiap kegiatan dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama 1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan terminasi (Riyadi & Purwanto, 2009). 2.3.9.3 SOP Pemberian Terapi Okupsi Menggambar A

PERSIAPAN (5 Menit)

1

Membuat kontrak dengan klien

2

Mempersiapkan alat dan tempat

B

ORIENTASI (5 Menit)

1

Mengucapkan salam terapeutik

2

Menanyakan perasaan klien hari ini

3

Menjelaskan tujuan kegiatan

4

Menjelaskan aturan main :

a.

Klien harus mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir

b.

Bila ingin keluar harus meminta izin

c.

Lama kegiatan 35 menit

C

KERJA (20 Menit)

1

Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan yaitu menggambar dan menceritakan tentang hasil gambarnya

2

Membagikan kertas, pensil, pensil warna, krayon kepada klien

3

Menjelaskan tema gambar yaitu menggambar sesuatu yang disukai atau perasaan saat ini

41

4

Setelah selesai menggambar terapis mempinta klien untuk menjelaskan gambar apa dan makna gambar yang telah dibuat

5

Terapis memberikan pujian kepada klien setelah klien selesai menjelaskan isi gambarnya

D

TERMINASI (5 Menit)

Evaluasi 1.

Menanyakan perasaan klien setelah melakukan tindakan

2.

Terapis memberikan pujian pada klien

Rencana tindak lanjut: Terapis menuliskan kegiatan menggambar pada tindakan harian klien 3 Kontrak yang akan datang 1.

Menyepakati tindakan terapi menggambar yang akan datang

2.

Menyepakati waktu dan tempat

3.

Berpamitan dan mengucapkan salam

42

2.4

Kerangka Konseptual Dan Hipotesis Penelitian

2.4.1 Konsep Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti) yang membantu penelitian dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori (Nursalam, 2008) Terapi Penurunan halusinasi pendengaran 1. Penatalaksanaan Farmakologi 1) Terapi Somatik (Medikamentosa). (1) Anti Psikotik Konvensional : Haldol (haloperidol), Mellaril (thioridazine), Navane (thiothixene), Prolixin (fluphenazine) Stelazine (trifluoperazine), Thorazine (chlorpromazine), Trilafon (prephenzine). (2) Newer Atypical Antipsychotic: Risperdal (risperidone), Seroquel (quetiapine), Zyprexa (olanzopine). (3) Clorazil 2. Penatalaksaan Non Farmakologi (Terapi Psikososial) 1) Terapi perilaku 2) Terapi berorintasi-keluarga 3) Terapi kelompok 4) Psikoterapi individual 5) Terapi Okupasi (menggambar)

1. 2. 3. 4.

Faktor Penyebab Skizofrenia: Faktor genetik Virus Auto antibody Malnutrisi

Keterangan :

Skizofrenia

Penur unan Tingk at Halus

Baik Cukup Kurang

: Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Pondok Pesantren Al-Asy’ ari Dander Bojonegoro

43

2.4.2 Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan peneliti, suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antar dua variabel atau lebih yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan (Hidayat, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini H1 yaitu ada Pengaruh Terapi okupasi menggambar terhadap penurunan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di pondok Al-Asy’ari dander Bojonegoro.

BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini akan disajikan 1) Desain Penelitian, 2) Waktu dan Tempat Penelitian, 3) Kerangka Kerja, 4) Populasi, Sampel dan Sampling Desain, 5) Identifikasi Variabel, 6) Definisi Operasional, 7) Pengetahuan Data dan Analisa Data serta 8) Etika Penelitian. 3.1

Desain Penelitian Desain penelitian pada hakekatnya merupakan hasil akhir dari suatu tahap

keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan[CITATION Nur081 \l 1057 ]. Desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pra eksperimental one group pretest-posttest design, yaitu penelitian untuk menguji hipotesis berbentuk sebab-akibat melalui pemanipulasian variabel independent (misal: treatment, stimulus, kondisi) dan menguji perubahan yang diakibatkan oleh pemanipulasian[ CITATION Was08 \l 1057 ]. Prestest

Perlakuan

Posttest

X1 oX2 Gambar 3.1 Rancangan Desain Penelitian One Group Pretest-Posttest Design Keterangan: X1

= Penurunan tingkat halusinsi sebelum dilakukan perlakuan

O

= Perlakuan dengan pemberian terapi okupasi menggambar

X2

= Penurunan tingkat halusinasi setelah dilakukan perlakuan

44

45

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di pondok pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro. 3.2

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2021 di pondok pesantren Al-

Asy'ari Dander Bojonegoro 3.3

Kerangka Kerja Penelitian Kerangka kerja penelitian merupakan bagan kerja terhadap kegiatan

penelitian yang akan dilakukan, meliputi siapa saja yang akan diteliti atau subjek penelitian, variabel yang akan diteliti, dan variabel yang mempengaruhi dalam penelitian[CITATION Ali07 \l 1057 ].

46

Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut: Populasi: Seluruh pasien Skizofrenia yang mengalami halusinasi pendengaran di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro sebanyak 30 pasien pada bulan Maret 2021.

Teknik sampling: Purposive sampling Sampel : Sebagian pasien Skizofrenia yang mengalami Halusinasi Pendengaran di Pondok pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro sebanyak 30 pasien pada bulan Maret 2021 Desain penelitian : Pra- eksperimen dengan menggunakan pendekatan One group pra test – post test design. Pre test:Penurunan Tingkat Halusinasi pendengaran sebelum pemberian terapi okupasi Pemberian terapi okupasi Post test: Penurunan Tingkat Halusinasi pendengaran setelah di berikan terapi okupasi stopping Alat ukur: SOP dan Lembar Observasi Pengumpulan data dan pengelolaan data dengan: Editing, coding, scoring, tabulating dan Uji Wilcoxon Penyajian hasil Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.2

Kerangka Kerja Penelitian Pengaruh Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro.

47

3.4

Populasi, Sampel dan Sampling Desain

3.4.1 Populasi Penelitian Populasi adalah sekelompok individu atau obyek yang memiliki karakteristik sama, seperti sekelompok individu di masyarakat yang mempunyai umur, seks, pekerjaan, status sosial yang sama, atau obyek lain yang mempunyai karakteristik sama seperti golongan darah A, AB, dan O[ CITATION Cha14 \l 1057 ]. Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh pasien Skizofrenia yang mengalami Halusinasi pendengaran di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro. 3.4.2 Sampel Penelitian Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi[CITATION Hid101 \l 1057 ]. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah Sebagian pasien Skizofrenia yang mengalami Halusinasi Pendengaran di Pondok Pesantren AlAsy'ari Dander Bojonegoro yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 30 responden. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu: 1) Kriteria Inklusi Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian dapat mewakili

dalam

sampel

penelitian

yang

memenuhi

syarat

sebagai

sampel[ CITATION Hid101 \l 1057 ]. Pada penelitian ini sampel yang layak digunakan adalah: (1) Pasien dengan gangguan jiwa Halusinasi Pendengaran (Skizofrenia) yang di pondok pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro, (2) Pasien dengan gangguan jiwa Halusinasi Pendengaran (Skizofrenia) yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

48

2) Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subyek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian, seperti adanya hambatan etis, menolak menjadi responden atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian[ CITATION Hid101 \l 1057 ].

Pada

penelitian ini kriteria eksklusi yaitu (1) pasien Halusinasi Pendengaran (Skizofrenia) yang tidak menetap di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro, (2) pasien Skizofrenia yang tidak bersedia menjadi responden. 3.4.3 Sampling Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada [CITATION Ali07 \l 1057 ]. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang dilakukan[ CITATION Not10 \l 1057 ].

3.5

Identifikasi Variabel Penelitian Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap suatu benda[CITATION Nur081 \l 1057 ]. Pada penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu: 3.5.1 Variabel Independen (Bebas) Variabel independent adalah suatu stimulus aktivitas yang dimanipulasi oleh penelitian untuk menciptakan suatu dampak pada variabel dependent[ CITATION

49

Nur081 \l 1057 ]. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pegaruh terapi

okupasi menggambar. 3.5.2 Variabel Dependen (Tergantung) Variabel dependent adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain [ CITATION Nur081 \l 1057 ]. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah penurunan Halusinasi Pendengaran 3.6

Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel merupakan variabel yang telah didefinisikan

perlu dijelaskan secara operasional, sebab setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berlainan. Penelitian adalah proses komunikasi dan komunikasi memerlukan akurasi bahasa agar tidak menimbulkan perbedaan pengertian antar orang dan orang lain dapat mengulangi penelitian tersebut. Jadi definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi, komunikasi dan replikasi. Definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut[ CITATION Nur081 \l 1057 ].

50

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian Pengaruh Terapi okupasi Menggambar Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro Definisi Operasional Variabel yaitu independen: tindakan Pegaruh terapi dengan cara okupasi memberikan Menggambar kegiatan dan kesibukan kerja untuk penderita cacat mental maupun fisik. Variabel

Indikator

1. Persiapan lingkungan: a) Berikan lingkungan yang aman, nyaman dan tenang 2. Pelaksanaan: a) Aktivitas bermain. Bermain ini diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi, koordinasi, motorik. b) Seni dan hasta karya. Untuk memberikan pengetahuan dan pengontrolan halusinasi yang disesuaikan dengan kapasitas penderita. Variabel Tahap 1. Frekuensi dependen: perkembangan halusinasi Penurunan psikososial 2. Durasi halusinasi Halusinasi seseorang 3. Lokasi halusinasi Pendengaran yang ditandai 4. kekuatan suara dengan 5. keyakinan asal keyakinan dan suara pendirian pengetahuan individu tentang halusinasi yang dapat memengaruhi hubungannya dengan orang lain.

Alat Ukur

Skala Data

Skor

SOP Pemberian terapi okupasi Menggambar

Observasi (Tabel ceklist)

Ordinal 1. Ringan (kode=1) 2. Sedang (kode=2)

3. Berat (kode=3)

51

3.7

Pengumpulan Data dan Analisa Data

3.7.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian [ CITATION Nur081 \l 1057 ].

Dalam sebuah penelitian pastinya melewati beberapa tahapan. Dalam penelitian ini sebagai tahap awal peneliti mengajukan syarat untuk menyusun proposal penelitian. Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan membuat surat izin yang dapat digunakan melakukan penelitian. Surat langsung dikirim ke tempat tujuan penelitian yaitu di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro, dengan tujuan untuk mendapatkan surat ijin dari Kepala Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro untuk melakukan survey. Dengan demikian penelitian dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya dengan melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara peneliti datang ke Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro untuk melakukan pendekatan kepada pasien Halusinasi Pendengaran (skizofrenia) yang memenuhi kriteria inklusi untuk mendapat persetujuan sebagai subjek penelitian dengan cara menandatangani lembar persetujuan (informed consent) dan menjelaskan kepada responden mengenai maksud dan tujuan penelitian. Setelah itu barulah proses pengumpulan data yang mana variabel independen “Terapi Okupasi Menggambar” dan variabel dependen “Penurunan Tingkat Halusinasi Pendengaran pada pasien skizofrenia di Pondok Pesantren Al-Asy'ari Dander Bojonegoro”. Beserta mengadakan

52

pendekatan kepada pasien Skizofrenia yang memililki kriteria inklusi penelitian untuk mendapatkan persetujuan dari pasien Skizofrenia sebagai responden. Sebelum dilakukan intervensi pemberian terapi okupasi menggambar dilakukan observasi pengetahuan tentang mengontrol halusinasi pendengaran. Setalah itu akan dilakukan observasi lagi setelah dilakukan pemberian terapi okupasi menggambar. Selanjutnya hasil penurunan Halusinasi Pendengaran pre dan post akan ditabulasi. Kemudian diberi perlakuan oleh peneliti dengan memberikan terapi okupasi menggambar selama 7 hari dengan frekuensi pemberian sebayak 14 kali dalam 7 hari. 3.7.2 Instrument dan Prosedur Pengumpulan Data Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrument penelitian ini dapat berupa: kuesioner, formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya [ CITATION Not10 \l 1057 ]. Pada variabel independen yaitu pemberian terapi okupasi Menggambar sesuai dengan prosedur standart operasional atau SOP tentang terapi okupasi menggambar sedangkan variabel dependen yaitu penurunan halusinasi dengan Lembar Observasi (Tabel ceklist). 3.7.3 Analisa Data Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap fenomena[ CITATION Nur081 \l 1057 ].

53

Data yang sudah terkumpul diolah dan diidentifikasi, kemudian analisa data dimasukkan untuk mengetahui apakah ada pengaruh variabel independen (pengaruh terapi okupasi menggambar) terhadap variabel dependen (penurunan tingkat halusinsi pendengaran). Adapun langkah-langkah analisa data meliputi: 1) Editing Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau yang dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul[ CITATION Ali07 \l 1057 ]. Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diteliti kembali dengan maksud untuk megetahui kelengkapan data yang diperoleh dari responden. 2) Entry Entry yaitu jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer. Alat ukur yang digunakan pada penurunan halusinasi pendengran adalah lembar observasi yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya. Hasilnya baik jika skor responden 0-18 poin, hasilnya cukup jika skor responden 19-37 poin, hasilnya kurang jika skor responden 38-55 poin. 3) Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori[ CITATION Hid101 \l 1057 ]. Jawaban dari responden dikategorikan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada

54

masing-masing jawaban. Langkah ini dilakukan dengan memberi kode pada variabel untuk memudahkan analisa data. Setelah terkumpul, data penelitian diklasifikasikan berdasarkan masingmasing variabel. Pada variabel pemberian terapi okupasi diberikan acuan SOP. Sedangkan variabel dependen penurunan halusinasi pendengaran ringan kode 1, sedang kode 2, berat kode 3. 4) Scoring Scoring merupakan menentukan skor atau nilai terhadap hasil pengamatan yang diperoleh. Hasil presentase kemudian diinterpretasikan dengan modifikasi kesimpulan menurut kriteria[CITATION Ari08 \l 1057 ]. Pada variabel independent pemberian terapi okupasi dengan standart operasional prosedur, Sedangkan untuk variabel dependen penurunan tingkat halusinasi : Hasil presentase kemudian diinterpretasikan dengan modifikasi Subjek mengalami penurunan halusinsi pendengaran jika beberapa indikator dalam aspek lembar observasi terpenuhi. 5) Tabulating Tabulating merupakan proses penyusunan data dalam bentuk tabel. Pada data telah dianggap sebagai proses sehingga dalam suatu pola formal yang telah direncanakan[ CITATION Nur081 \l 1057 ]. Data hasil observasi penurunan halusinsi pada pasien skizofrenia dengan pemberian terapi okupasi yang sudah di skor diberi kode kemudian ditabulasi dan dimasukkan kedalam tabel. Selanjutnya data yang sudah dikelompokkan dan

55

diprosentasikan dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi kemudian dianalisis sesuai dengan pendapat[ CITATION Not10 \l 1057 ]. Seluruhnya: 100 %, hampir seluruhnya

:76–

99

%,

lebih

dari

sebagian: 51 – 75 %, setengah: 50 %, hampir sebagian: 26 – 49 %, sebagian kecil: 1 - 25 % , tidak satupun: 0 % . 6) Uji Statistik Data yang telah dikumpulkan diolah dengan uji statistik. Uji yang dilakukan pada masing-masing kelompok perlakuan dilakukan uji ststistik wilcoxon dengan taraf signifikan ≤ 0,05 dan menggunakan SPSS. Syarat untuk bisa dilakukan uji wilcoxon yakni uji komparasi, experiment dengan pre dan post tanpa adanya pembanding (control), skala ordinal (Sugiyono,2013). Rumus : T− Z−



[

1 ( N +1) 4N

]

1 24 N ( N +1)(2 N + 1)

TN atau

Z−



( N4 +1)

N ( N +1 )( 2 N +1) 24

Keterangan : Z

= Hasil uji Wicoxon

T

= Jumlah ranking dari nilai selisih yang negatif atau positif

N

= Jumlah data

Pembacaan Hasil Uji dan Penarikan Kesimpulan Piranti yang digunakan menganalisa adalah secara komputerisas idengan program statisfical product and service solution (SPSS) versi 16 sehingga penarikan kesimpulan hasil uji statistic adalah jika P sign