LP Hemodialisa [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HEMODIALISA

Oleh : KETUT ELFIRASANI NIM. P07120320069 PROGRAM PROFESI NERS KELAS B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN 2021

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HEMODIALISA A. Konsep Dasar Hemodialisa 1. Pengertian Hemodialisa Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah dan dialisis = pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut atau secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Terapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisa dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian (Muttaqin dan Sari, 2011). Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner and Suddarth, 2013). Hemodialisa merupakan suatu proses yang dilakukan pada pasien gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen dengan suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari darah seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui

membran semipermeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi (Haryono, 2013). Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zatzat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2013). Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksis lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan

cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser. Membran

semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori pori membrane memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, keratin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati poripori membrane (Wijaya, dkk., 2013). Hemodialisa adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada hemodialisa, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali dalam tubuh. Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam (Mahdiana, 2011). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hemodialisa merupakan proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme dan zat toksik lainnya dari darah seperti seperti air,

natrium, kalium, hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui membran semipermeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dimana terjadi proses difusi, osmosis dan

ultrafiltrasi, ketika secara akut atau secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. 2. Tujuan Hemodialisa Menurut, Suharyanto dan Madjid (2013) ; Haryono (2013) tujuan dari dilakukannya hemodialisa adalah sebagai berikut : a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatin, dan sisa metabolisme yang lain. b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat. c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain. e. Mempertahankan atau mengembalikan sistim buffer tubuh. f. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektronik tubuh. Secara umum tujuan dilaksanakannya terapi hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat toksik nitrogen dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Smeltzer and Bare, 2013). 3. Indikasi Hemodialisa a. Indikasi tindakan terapi dialysis menurut Sukandar (2011) yaitu : 1) Indikasi absolut

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut yaitu perikarditis, ensefalopati, neuropati perifer, hiperkalemia dan asidosis metabolik, hipertensi maligna, edema paru, oliguri berat atau anuria bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg%. 2) Indikasi elektif Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) antara 5-8 mL/menit/1,73 m2, mual, anoreksia, muntah, Sindroma Uremia, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan, dan astenia berat. Laboratorium abnormal : asidosis metabolik, azotemia (kreatinin 8-12 mg%, BUN 100120 mg%, CCT kurang dari 5-10 mL/menit) b. Indikasi pada gagal ginjal stadium terminal, yaitu : Indikasi dilakukannya hemodialisa pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara lain karena telah terjadi : 1) Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensefalopati uremik) 2) Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, misalnya : asidosis metabolik, hiperkalemia dan hiperkalsemia 3) Edema paru sehingga menimbulkan sesak napas berat 4) Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptom) c. Indikasi pada gagal ginjal kronik Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2010) umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit) sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di bawah : 1)

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

2)

K serum > 6 mEq/L

3)

Ureum darah > 200 mg/L

4)

Ph darah < 7,1

5)

Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

6)

Fluid overloaded.

d. Indikasi pada gagal ginjal akut Terapi dialisis pada gagal ginjal akut memudahkan dalam pemberian cairan dan nutrisi. Indikasi terapi dialisis ditetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan, bila diberikan pada saat yang tepat dan cara yang benarakan memperbaiki morbiditas, dan mortalitas. Pada gagal ginjal akut berat yang pada umumnya dirawat di unit perawatan intensif, terapi dialisis diberikan lebih agresif. Menunda terapi dialisis pada gagal ginjal akut berat hanya akan memperburuk gangguan fisiologis dengan konsekuensi peningkatan mortalitas. Adapun indikasi dialisis pada gagal ginjal akut antara lain : 1) Severe fluid overload 2) Refractory hypertention 3) Hiperkalemia yang tidak terkontrol 4) Mual, muntah, nafsu makan kurang, gastritis dengan perdarahan 5) Letargi, malaise, somnolence, stupor, coma, delirium, asterixis, tremor, seizure, perikarditis (resiko perdarahan atau tamponade) 6) Perdarahan diatesis (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan lainlain) 7) Asidosis metabolik berat 8) Blood Urea Nitrogen (BUN) > 70-100 mg/dl 4. Kontraindikasi Hemodialisa Dalam kaitan dengan kontraindikasi absolut hemodialisis, ada sangat sedikit kontra indikasi untuk hal ini dan mungkin yang paling sering adalah tidak adanya akses vaskular dan toleransi pada hemodialisis prosedur yang buruk, selain juga terdapat ketidakstabilan hemodinamik yang parah (PERNEFRI, 2010) Sedangkan kontraindikasi relatif terapi dialisis menurut PERNEFRI (2010) antara lain :

a. Malignansi stadium akhir (kecuali multiple myeloma) b. Penyakit Alzheimer c. Multi infarct dementia d. Sindrom hepatorenal e. Sirosis hati tingkat lanjut dengan ensefalopati f. Hipotensi g. Penyakit terminal h. Organic brain syndrom 5. Faktor Yang Mempengaruhi Hemodialisa a. Aliran darah Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang membatasi kemungkinan tersebut antara lain : tekanan darah, jarum. Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada penderita. b. Luas selaput/membran yang dipakai Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1-1,5 cm2 tergantung dari besar badan/ berat badan pasien. c. Aliran dialisat Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisis, sehingga dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan. d. Temperatur suhu dialisat Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi spasme dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita menggigil. Temperatur dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan hemolisis. 6. Konsep Fisiologi Hemodialisa Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar

dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner and Suddarth, 2013). Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. (Pori-pori kecil dalam membran semipermeable tidak memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein) (Brunner and Suddarth, 2013). Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan; dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan). (Brunner & Suddarth, 2013). Sistem dapar (buffer sisite) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena pasien. (Brunner & Suddarth, 2013).

7. Komponen Hemodialisa Ada 3 komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisa, yaitu alat dialiser (ginjal buatan), cairan dialisat dan sistem penghantaran darah. a. Dialiser adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen kompartemen di dalamnya dengan dibatasi membrane semipermeabel, bertujuan supaya darah dan cairan dialisat tidak bercampur b. Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah limbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki resiko lebih kecil untuk menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium. Kadar setiap zat di cairan dialisat juga perlu diatur sesuai kebutuhan. Sementara itu, air yang digunakan harus diproses agar tidak menimbulkan resiko kontaminasi. c. Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian di mesin dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagi yang dimesin terdiri atas pompa darah, sistem pengaliran dialisat dan berbagai monitor. Sementara akses dialisis di tubuh pasien dibagi atas 2 bagian yaitu fistula dan graf/katerer. Prosedur yang dimulai paling efektif adalah dengan membuat suatu fistula dengan cara membuat sambuangan secara anastomis antara arteri dan vena. Salah satu prosedur yang paling umum adalah menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica yang biasa disebut fistula ciminobrechia (Carpenter and Lazarus, 2012) 8. Prosedur Hemodialisa a. Prosedur Tindakan Akses ke sistem sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan yaitu vistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan darah

yang masuk kedalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada fistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah (National Kidney Foundation, 2015). Kantong cairan normal saline yang diklem selalu disambungkan ke sirkuit tetap sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal saline yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan (Yoo, 2014). Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir kedalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati kondektor udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialisis diberikan melalui port obar-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun, bahwa kebanyakan obat-obat ditunda pemberiannya sampai dialisis selesai kecuali memang diperintahkan harus diberikan. Darah yang telah melewati dialisis

kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang

Posdialiser. Setelah waktu tindakan yang dijadwalkan, dialisis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka slang cairan normal saline, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser (Santoro, 2014). Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialisis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib digunakan oleh tenaga pelaksana hemodialisa. Efektivitas hemodialisa dapat tercapai bila dilakukan 2-3 kali dalam seminggu

selama 4-5 jam, atau paling sedikit 10-12 jam seminggu. Hemodialisa di Indonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan lama hemodialisa 5 jam, atau dilakukan 3 kali seminggu dengan lama hemodialisa 4 jam. Sebelum hemodialisa

dilakukan

pengkajian

pradialis,

dilanjutkan

dengan

menghubungkan pasien dengan mesin hemodialisa dengan memasang blood line dan jarum ke akses veskuler pasien, yaitu akses masuknya darah ke dalam tubuh. Arteio venous fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman bagi pasien (Brunner and Suddart, 2013). Setelah blood line dan vaskuler terpasang, proses hemodialisa dimulai. Saat dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser. Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi introdialis. Infus heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan yang digunakan. Darah mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan zat sisa. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh pasien dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui akses venosa. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah dari pasien. Pada akhir dialisis sisa akhir metabolisme dikeluarkan. Keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer system telah diperbarui (Supeno, 2010).

Gambar 1. Prosedur Tindakan Hemodialisa b. Teknik Dan Prosedur Hemodialisis Menurut Niken (2011) prosedur tindakan hemodialisa dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Pengertian : Suatu tindakan memasukkan jarum AV Fistula ke dalam pembuluh darah untuk sarana hubungan sirkulasi yang akan digunakan selama proses hemodialisis.

2) Tujuan: Agar proses hemodialisis dapat berjalan lancar sesuai dengan hasil yang diharapkan. Punksi dan kanulasi terdiri dari Punksi Cimino dan Punksi Femoral a) Punksi Cimino (1) Persiapan Alat-alat (a) 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari :3 buah mangkok kecil (1 untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat Betadine, 1 untuk Alkohol 20%, 1 Arteri klem) (b) 1 spuit 20 cc (c) 1 spuit 10 cc (d) 1 spuit 1 cc (e) Kassa 5 lembar (secukupnya) (f) IPS sarung tangan (g) Lidocain 0,5 cc (bila perlu) (h) Plester (i) Masker (j) 1 buah gelas ukur / math can (k) 2 buah AV Fistula (l) Duk steril (m) Perlak untuk alas tangan (n) Plastik untuk kotoran (2) Persiapan Pasien (a) Timbang berat badan (b) Observasi tanda-tanda vital dan anamnesis (c) Raba desiran pada cimino apakah lancar (d) Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin

(e) Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh pasien (f) Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai (g) Letakkan perlak di bawah tangan pasien (h) Dekatkan alat-alat yang akan digunakan (3) Persiapan Perawat (a) Perawat mencuci tangan (b) Perawat memakai masker (c) Buka bak instrumen steril (d) Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%, dan Betadine (e) Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrumen (f) Perawat memakai sarung tangan (g) Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan) (h) Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV Fistula (4) Memulai Desinfektan (a) Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu masukkan kassa bekas ke kantong plastik (b) Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan vena lain dengan cara seperti no.1 (c) Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering, masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di gelas ukur (d) Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di tangan (5) Memulai Punksi Cimino

(a) Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain. (b) Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose (c) Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm (d) Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain (e) Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril (6) Memasukkan Jarum AV Fistula (a) Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat pada saat pemberian anestesi lokal (b) Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester (c) Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm (d) Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang sensor monitor (e) Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien (f) Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan penusukan pada daerah femoral (g) Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat dipakai kembali di bawa ke ruang disposal (h) Pensukan selesai, perawat mencuci tangan b) Punksi Femoral (1) Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan penusukan (2) Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan ditusuk fleksi

(3) Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas arteri (4) Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum AV Fistula c) Melakukan Kanulasi Double Lumen (1) Cara kerjanya : (a) Observasi tanda-tanda vital (b) Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan (c) Berikan posisi tidur pasien yang nyaman (d) Dekatkan alat-alat ke pasien (e) Perawat mencuci tangan (f) Buka kassa penutup catheter dan lepaskan pelan-pelan (g) Perhatikan posisi catheter double lumen -

Apakah tertekuk?

-

Apakah posisi catheter berubah?

-

Apakah ada tanda-tanda meradang / nanah? Jika ada laporkan pada dokter

(2) Memulai desinfektan (a) Desinfektan kulit daerah kateter dengan kassa betadine, mulai dari pangkal tusukan kateter sampai ke arah sekitar kateter dengan cara memutar kassa dari dalam ke arah luar (b) Bersihkan permukaan kulit dan kateter dengan kassa alkohol (c) Pasang duk steril di bawah kateter double lumen (d) Buka kedua tutup kateter, aspirasi dengan spuit 10 cc / 20 cc yang sudah diberi NaCl 0,9% yang terisi heparin. (3) Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar (4) Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup dengan kassa steril (5) Kateter difiksasi kencang

(6) Kateter double lumen siap disambungkan dengan arteri blood line dan venus line (7) Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-alat yang terkontaminasi (8) Bersihkan alat-alat (9) Perawat cuci tangan (10) Kateter double lumen mempunyai 2 cabang berwarna (a) Merah untuk inlet (keluarnya darah dari tubuh pasien ke mesin) (b) Biru untuk outlet (masuknya darah dari mesin ke tubuh pasien) 9. Keunggulan dan Kelemahan dari Hemodialisa a. Keunggulan Hemodialisa membersihkan darah dengan efektif dalam waktu singkat, waktu dialisis cepat dan resiko kesalahan teknik kecil, tidak perlu menyiapkan peralatan hemodialisa sendiri, kondisi pasien lebih terpantau karena prosedur hemodialisa dilakukan di rumah sakit oleh tenaga kesehatan terlatih, dan jumlah protein yang hilang selama proses hemodialisa lebih sedikit. Keunggulan hemodialisa menurut Nuryandari (2010) sebagai berikut : 1) Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan 2) Waktu dialisis cepat Dialiser akan mengeluarkan melekul dengan berat sedang dengan laju yang lebih cepat dan melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi hal ini di perkirakan akan memperkecil kemungkinan komplikasi dari hemodialisis misalnya emboli udara dan ultrafiltrasi yang tidak kuat atau berlebihan (hipotensi, kram otot, muntah). 3) Resiko kesalahan teknik kecil 4) Adequasy dapat ditetapkan sesegera, underdialisis segera dapat dibenarkan Adequasy hemodialisis atau kecukupan hemodialisis segera dapat ditetapkan dengan melihat tanda-tanda tercapainya berat badan

kering/tidak ada oedema, pasien tampak baik, aktif, tensi terkendali dengan baik, hb >10 gr% demikian juga bila terjadi keluhan-keluhan tersebut berarti tidak terpenuhinya kecukupan dialisis sehingga dapat di benarkan terjadi underdialisis. b. Kelemahan Kelemahannya yaitu fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun, ketergantungan pasien dengan mesin hemodialisa, akses vaskular dapat menyebabkan infeksi dan trombosis, sering terjadi hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan cairan dan diet lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah sehingga kebutuhan akan eritropoetin lebih tinggi. (Musyaffa, 2010). Kelemahan hemodialisa menurut Nuryandari (2010) sebagai berikut: a) Tergantung mesin b) Sering terjadi hipotensi, kram otot, disequilibrium sindrom c) Terjadi activasi: complemen, sitokines, mungkin menimbulkan amyloidosis d) Vasculer access: infeksi, trombosis e) Sisa fungsi ginjal cepat menurun, dibandingkan peritoneal dialisis. 10. Dampak Hemodialisa a. Dampak Fisik Dampak hemodialisis terhadap fisik menjadikan klien lemah dan lebih dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama

setelah hemodialisi.

Adapun dampak fisik akibat dari hemodialisa menurut Sullivan (2010) antara lain : 1) Rasa sakit fisik mencegah dalam beraktifitas 2) Rasa kurang aman dalam kehidupan sehari-hari 3) Kurang memiliki vitalitas yang cukup untuk beraktifitas sehari-hari 4) Tidak dapat menerima penampilan tubuh

5) Kurang puas dengan tidurKurang puas dengan kemampuan untuk menampilkan aktifitas sehari-hari. 6) Kurang puas dengan kemampuan untuk bekerja 7) Kurang puas terhadap diri sendiri. b. Dampak psikologis Adapun dampak psikologis akibat dari hemadialisa menurut Sullivan (2010) antara lain: 1) Sering membutuhkan terapi medis untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. 2) Kurang menikmati hidup 3) Merasa hidup tidak berarti. 4) Tidak mampu berkonsentrasi 5) Kurang puas dengan kehidupan seksual 6) Sering merasa kesepian, putus asa, cemas dan depresi. c. Dampak sosial Adapun dampak sosial akibat dari hemadialisa menurut Sullvian (2010) antara lain: 1) Mempengaruhi kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2) Kurang ketersediaan informasi bagi kehidupan dari hari ke hari 3) Kurang memiliki kesempatan untuk bersenang-senang/rekreasi. 4) Kurang baik kemampuan dalam bergaul 5) Kurang puas dengan hubungan sosial d. Dampak lingkungan Adapun dampak lingkungan akibat dari hemodialisa menurut Sullvian (2010) anara lain : 1) Mempengaruhi kesehatan lingkungan dimana tinggal (berkaitan dengan sarana dan prasarana) 2) Kurang puas dengan dukungan yang diperoleh dari teman 3) Merasa kurang puas dengan kondisi tempat anda tinggal saat ini 4) Merasa kurang puas dengan akses anda terhadap layanan kesehatan

5) Merasa kurang puas dengan trasportasi yang harus jalani

11. Komplikasi Tindakan Hemodialisa Meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengendalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Diantaranya yaitu penyakit kardiovaskuler arterisklerotik, gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia), gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pektoris, stroke dan insufiensi vaskuler perifer aka memperberat fungsi ginjal dengan tindakan hemodialisis (Suharyanto & Majid, 2013). Beberapa komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisis menurut Smeltzer and Bare (2013) antara lain : a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi hemodialisis ketika cairan dikeluarkan. b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistim vaskuler pasien. c. Nyeri dada dapat terjadi ketika PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh. d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit. e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral

dan

muncul

sebagai

serangan

kejang.

Komplikasi

ini

kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel. g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Pathway HD Kerusakan fungsi ginjal Kerusakan pada glomerulus dan tubulus Filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi tidak adekuat Produk hasil metabolisme (ureum, kreatinin, dan kalium) tidak bisa difiltrasi dan sekresi Ginjal tidak mampu membuang limbah Hasil metabolisme dan zat toksik kembali ke peredaran darah Produk substansi tertimbun dalam darah Sindrom uremik

Penumpukan pigmen terrutama urokromdi kulit dan kalsium dalam kulit

Ada rasa gatal

pH darah < 7,1

Menyebabkan anuria berkepanjangan > 5 hari

Ureum > 200 mg/dl

Hiperkalemia Retensi urine

Indikasi penggantian fungsi ginjal

Kulit kekuningkuningan dan kering

Hemodialisa

Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

Kalsium serum > 6 mEq/l

Pre HD

Intra HD

Post HD

Pre HD

Kurang paparan informasi mengenai HD dan proses HD

cemas mengenai HD

Ansietas Defisit Pengetahuan

Tindakan invasivf Akses Vaskular tindakan fistula Arteri dan Vena

Adanya jalur masuk mikroorganisme

Resiko infeksi

Nyeri akut

Luka di permukaan kulit daerah AV Shunt Mengenai saraf nyeri di kulit Klien mengeluh nyeri

Intra HD Pemakaian cairan dialisat terlalu panas dan terdapat bakteri masuk ke dalam darah

Pemakaian cairan dializatasetat Reaksi antigen-anibodi (hipersensitivitas) Pengeluaran sitokin

Reaksi pirogen endogen

Merangsang hipotalamus mengeluarkan prostaglandin

Terasa gatal pada kulit

Adanya ultrafiltrasi yang cepat dan lama Penarikan cairan berlebih dan cepat ke dalam dialiser

Penurunan volume cairan dan elektrolit dalam tubuh

Gangguan Rasa Nyaman

Hipovolemia

Termostat suhu terganggu Suhu tubuh meningkat

Penarikan darah ke mesin terlalu berlebih

Hipertermia Penurunan volume cairan intravaskuler

Perfusu ke area lambung menurun, peningkatan HCL

Nausea

Post HD

Pemakaian cairan dialisat terlalu panas dan terdapat bakteri masuk ke dalam darah Hemolisis terjadi pada RBC

Tindakan invasivf Akses Vaskular tindakan fistula Arteri dan Vena

Penggunaan heparin berlebih

Adanya jalur masuk mikroorganisme

Faktor pembekuan darah menurun

Resiko infeksi

Risiko Perdarahan

Hb menurun

Risiko Infeksi

B. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease (CKD) 1. Pengertian Chronic Kidney Disease (CKD) Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010). Sedangkan menurut Terry & Aurora, 2013 CKD merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir. Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu akut dan kronik. CKD atau gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung bertahun-tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau minggu (Price & Wilson, 2013). CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme,

cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2013). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis merupakan suatu

penyakit perubahan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan

irreversible yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan oleh berbagai hal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia 2. Klasifikasi Penyakit Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat berdasarkan LFG, yang digunakan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas dasar derajat peyakit Derajat Penjelasan 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat 2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 5 Gagal ginjal terminal Sumber: (Sudoyo, 2010)

LFG (ml/mnt/1,73m2) ≥ 90 60 – 89 30 – 59 15 – 29 < 15 atau dialysis

3. Etiologi Menurut Brunner & Suddarth 2013, gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh : a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih), glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang. b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis. Disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut dan kronik. c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif. Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun dalam tubu menyerang jaringan sehat, sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ. d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi rusak. e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang ditandai dengan adanya kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon dan enzim. Proses metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan lemak dalam makanan untuk menghasilkan energi. f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal. Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga penggunaan berbagai prosedur diagnostik. g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah yaitu hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. Merupakan penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih. 4. Manifestasi Klinis a. Gejala dini : Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi. Sakit kepala awalnya pada penyakit CKD memang tidak akan langsung terasa, namun jika terlalu sering terjadi maka akan mengganggu aktifitas. Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen dalam jumlah cukup akibat kekurangan sel darah merah, bahkan otak juga tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala akan menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah dengan anemia. b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut yang kuat yang menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa bertahan sepanjang waktu hingga sama sekali tidak bisa makan. Pada nafsu makan turun disebabkan karena penurunan nafsu makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring semua racun menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh. c. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2013) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin - aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). d. Manifestasi klinik menurut Nahas &Levin (2010) adalah sebagai berikut: 1)

Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa terjadi pada bagian pergelangan kaki, tangan, wajah, dan

betis. Kondisi ini disebabkan ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan semua cairan yang menumpuk dalam tubuh, genjala ini juga sering disertai dengan beberapa tanda seperti rambut yang rontok terus menerus, berat badan yang turun meskipun terlihat lebih gemuk. 2)

Gangguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.

3)

Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

4)

Gangguan musculoskeletal Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).

5)

Gangguan Integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

6)

Gangguan endokrim Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.

7)

Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

8)

System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

5. Patofisiologi Disfungsi ginjal mengakibatkan keadaan patologik yang komplek termasuk diantaranya penurunan GFR (Glumerular Filtration Rate), pengeluaran produksi urine dan eksresi air yang abnormal, ketidakseimbangan elektrolit dan metabolik abnormal. Homeostatis dipertahankan oleh hipertropi nefron. Hal ini terjadi karena hipertrofi

nefron hanya dapat mempertahankan eksresi solates dan sisa-sisa produksi dengan jalan menurunkan reabsorbsi air sehingga terjadi hipostenuria (kehilangan kemampuan memekatkan urin) dan polyuria adalah peningkatan output ginjal. Hipostenuria dan polyuria adalah tanda awal CKD dan dapat menyebabkan dehidrasi ringan. Perkembangan penyakit selanjutnya, kemampuan memekatkan urin menjadi semakin berkurang. Osmolitasnya (isotenuria). Jika fungsi ginjal mencapai tingkat ini serum BUN meningkat secara otomatis, dan pasien akan beresiko kelebihan beban cairan seiring dengan output urin yang makin tidak adekuat. Pasien dengan CKD mungkin menjadi dehidrasi/ mengalami kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal ginjal. Perubahan metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan eksresi BUN dan kreatinin. Kreatinin sebagian dieksresikan oleh tubulus ginjal dan penurunan fungsi ginjal berdampak pada pembentukan serum kreatinin. Adanya peningkatan konsentrasi BUN dan kreatinin dalam darah disebut azotemia dan merupakan salah satu petunjuk gagal ginjal. Perubahan kardiak pada CKD menyebabkan sejumlah gangguan system kardiovaskuler. Manifestasi umumnya diantaranya anemia, hipertensi, gagal jantung kongestif, dan perikaraitis, anemia disebabkan oleh penurunan tingkat eritropetin, penurunan masa hidup sel darah merah akibat dari uremia, defisiensi besi dan asam laktat dan perdarahan gastrointestinal. Hipertropi terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat overlood cairan dan sodium dan kesalahan fungsi system renin. Angiostin aldosteron CRF menyebabkan peningkatan beban kerja jantung karena anemia, hipertensi, dan kelebihan cairan. Tahap gangguan ginjal antar lain: a. Tahap 1 : Diminishid Renal Reserve Tahap ini penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak terjadi penumpukan sisasisa metabolik dan ginjal yang sehat akan melakukan kompensasi terhadap gangguan yang sakit tersebut. b. Tahap II : Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal) Pada tahap ini dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang apabia 15-140% fungsi normal dan berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-20%. Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai berakumulasi dalam darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat ridak dapat berkompensasi secara terus menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, Kreatinin, asam urat, dan fosfor mengalami peningkatan tergntung pada tingkat penurunan fungsi ginjal.

c. Tahap III : End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut) Sejumlah besar sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi dalam darah dan ginjal tidak mampu mempertahankan hemostatis. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi bila segera dianalisa akan menjadi fatal/ kematian. (Brunner & Suddart, 2013).

Pathway CKD Infeksi Saluran Kemih Penyakit vaskuler hipertensi

Penyakit metabolik (DM) Gangguan jaringan ikat

Nefropati toksik Gangguan Kongenital

CKD Penurunan laju glomelurus

Angiostensi I meningkat

Ginjal tak mampu mengencerkan urine secara maksimal Produk urine turun dan kepekatan urine meningkat Dysuria/ anuria

Proteinuria

Renin Meningkat

Peningkatan Na&K Masuk ke vaskuler

Kadar protein dalam darah turun

Angiostensi II meningkat Vasokontriksi pembuluh darah Tekanan darah meningkat Resiko penurunan curah jantung

Berikatan dengan air

Beban jantung meningkat

Pola nafas tidak efektif

Peningkatan kadar creatinin dan BUN serum

Penurunan fungsi ginjal

Asotemia

Penurunan fungsi ginjal (Produksi eritroprotein menurun

Penurunan teknan osmotik Cairan keluar ke kardiovaskuler

Syndrome uremia

Penurunan pembentukan eritrosit

Organ GI Mual, muntah

Anemia

Edema

Defisit Nutrisi

Intoleransi aktivitas

NaOH Peningkatan volume vaskuler

Tekanan hidrostatik menignkat

Sifat semipermeable pembuluh darah meningkat

Uremia

Resiko Perfusi Renal tidak efekif

Sumber: Brunner & Suddart, 2013

Levin, 2010 Price, 2013 Smeltzer, 2013

Ekstravasasi Hipervolemia Edema

6. Pemeriksaan Penunjang Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain : a. Hematologi (Hemoglobin, Hematokrit, Eritrosit, Leukosit, Trombosit) b. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin) c. LFT (Liver Fungsi Test) d. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium) e. Koagulasi studi PTT, PTTK f. BGA BUN/ Kreatinin : meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 10mg/dl diduga tahap akhir (rendahnya yaitu 5). Hitung darah lengkap : hematokrit menurun, HB kurang dari 7-8 g/dl. SDM : waktu hidup menurun pada defisiensi erritripoetin seperti azotemia. AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 : 2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hidrogen dan ammonia atau hasil akhir. Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis SDM pada tahap akhir perubahan EKG tidak terjadi kalium 6,5 atau lebih besar. g. Urine rutin Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu Volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria Warna : secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel, koloid dan fosfat. Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin. Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan kerusakan ginjal berat. h. ECG i. ECO EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan elektrolit dan asam basa. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk menentukkan pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif. j. USG abdominal k. CT scan abdominal

l. BNO/IVP, FPA m. Renogram RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun PC02 menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal dan ureter. 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu : a. Konservatif 1) Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine 2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan berat badan, urine serta pencatatan keseimbangan cairan. 3) Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendaah Protein). Diet rendah protein (20-240 gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia serta menurunkan kadar ereum. Hindari pemasukan berlebih dari kalium dan garam. 4) Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung pada tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti hipertensi. 5) Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia hindari pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga 60 mmol/hr), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (penghambat ACE dan obat anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kalium plasma dan EKG. b. Dialysis Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis). c. Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan: AV fistule : menggabungkan vena dan arteri Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung) Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain. d. Operasi 1) Pengambilan batu 2) Transplantasi ginjal 8. Komplikasi a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebih. b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renninangiotensin-aldosteron d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama hemodialisa e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal. f. Asidosis metabolic g. Osteodistropi ginjal h. Sepsis i. Neuropati perifer j. Hiperuremia (Brunner & Suddarth, 2013).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas pasien Identitas pasien berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, suku, pendidikan,alamat, nomor rekam medis, tanggal masuk rumah sakit b. Identitas penanggung jawab Identitas penanggung jawab berisikan nama, hubungan dengan pasien, alamat dan nomor telepon c. Keluhan utama Keluhan yang paling dirasakan saat ini oleh pasien diantara keluhan lain yang dirasakan yang didapatkan secara langsung dari pasien ataupun keluarga. d. Riwayat kesehatan 1) Riwayat Kesehatan Sekarang Riwayat kesehatan sekarang didapatkan mulai dari pasien mengalami keluhan sampai mencari pelayanan kesehatan sampai ,mendapatkan terapi dan harus menjalani terapi HD (pasien HD pertama). Kondisi atau keluhan yang di rasakan oleh pasien setelah HD sampai HD kembali (bagi pasien menjalani HD rutin). 2) Riwayat kesehatan dahulu Riwayat kesehatan dahulu di dapatkan dari pengalaman pasien mengalami kondisi yang berhubungan dengan gangguan system urinaria (misal DM, hipertensi, BPH dll). Riwayat Kesehatan dahulu juga mencakup apakah pernah melakukan operasi atau tidak. 3) Riwayat kesehatan keluarga Di dapatkan dari riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit pasien sekarang (DM, hiperensi, penyakit sistem perkemihan). 4) Riwayat alergi Perlu dikaji apakah pasien memiliki alergi terhadap makanan, binatang, ataupun obat-obatan yang dapat mempengaruhi kondisi pasien. 5) Riwayat obat-obatan Mencakup obat-obatan apa saja yang dikonsumsi oleh pasien selama ini.

e. Pengkajian pola fungsional Gordon 1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien Berisi pandangan pasien tentang keadaannya saat ini, apa yang dirasakan tentang kesehatannya sekarang. Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari. 2) Pola nutrisi dan metabolik Mengkaji nafsu makan pasien saat ini, makanan yang biasa dimakan, frekuensi dan porsi makanan serta berat badan pasien. Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan.Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun. 3) Pola eliminasi Mengkaji warna, frekuensi dan bau dari urine pasien. Kaji juga apakah pasien mengalami konstipasi atau tidak, serta bagaimana warna, frekuensi dan konsistensi feses pasien. Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu. 4) Aktifitas dan latian Kaji apakah pasien mampu melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, di bantu atau sama sekali tidak mampu melakukan aktifitas secara mandiri. Dalam hal ini juga dapat dikaji apakah pasien pernah jatuh atau tidak dengan menggunakan pengkajian resiko jatuh. Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu sebagian atau penuh. 5) Pola istirahat dan tidur Kaji bagaimana istirahat dan tidur pasien. Apakah ada kebiasaan saat tidur maupun kebiasaan pengantar tidur, adakah hal yang mengganggu saat akan tidur, apakah sering terbangun dimalam hari dan berapa jam tidur pasien setiap hari. Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata dan pasien terliat sering menguap.

6) Pola persepsi dan kognitif Kaji apakah ada penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas. 7) Pola hubungan dengan orang lain Kaji bagaimana hubungan pasien dengan orang-orang disekitarnya, baik keluarga maupun tenaga kesehatan,

apakah pasien sering menghindari

pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas. 8) Pola reproduksi Kaji apakah ada penurunan keharmonisan pasien, adanya penurunan kepuasan dalam hubungan, adakah penurunan kualitas hubungan. 9) Pola persepsi diri Kaji bagaimana pasien memandang dirinya sendiri, menanyakan bagian tubuh manakah yang sangat disukai dan tidak disuki oleh pasien, apakah pasien mengalami gangguan citra diri dan mengalami tidak percaya diri dengan keadaannya saat ini. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan. 10) Pola mekanisme koping. Kaji emosional pasien apakah pasien marah-marah, cemas atau lainnya. Kaji juga apa yang dilakukan pasien jika sedang stress. Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi. 11) Pola kepercayaan Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah agama.Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya. f. Pengkajian fisik 1) Penampilan / keadaan umum. Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma. 2) Tanda-tanda vital Tekanan darah naik, respirasi rate naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.

3) Antropometri Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan. 4) Kepala Rambut kotor bahkan rontok, mata kuning dan kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung ada tarikan cuping hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor. 5) Leher dan tenggorok Hiperparathyroid

karena

peningkatan

reabsorbsi

kalsium

dari

tulang,hiperkalemia, hiperkalsiuria, prembesaran vena jugularis. 6) Dada Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung. 7) Abdomen Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, ascites. 8) Neurologi Kejang karena keracunan pada SSP, kelemahan karena suplai O2 kurang, baal (mati rasa dan kram) karena rendahnya kadar Ca dan pH. 9) Genital Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus. 10) Ekstremitas Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 3 detik. 11) Kulit Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan dari asuhan keperawatan pada pasien dengan Haemodialisa antara lain: a. Gangguan Intergritas Kulit b. Hipervolemia c. Resiko Penurunan Curah Jantung d. Resiko Perfusi Renal Tidak Efektif e. Nausea f. Defisit Pengetahuan g. Hipertermia h. Resiko Infeksi i. Resiko Perdarahan j. Nyeri Akut k. Ansietas l. Pola Napas Tidak Efektif m. Hipovolemia n. Retensi Urine o. Gangguan Rasa Nyaman

3. Rencana Keperawatan No

Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) Gangguan Integritas Kulit / Jaringan Penyebab  Perubahan sirkulasi  Perubahan status nutrisi (kelebihan/kekurangan)  Kekurangan / kelebihan volume cairan  Penurunan mobilitas  Bahan kimia iritatif  Suhu lingkungan yang ekstrem  Faktor mekanis (mis. Penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elektris (elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)  Efek samping terapi radiasi  Kelembaban  Proses penuaan  Neuropati perifer  Perubahan pigmentasi  Perubahan hormonal  Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/melindungi integritas jaringan Gejala dan Tanda Mayor  Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit Gejala dan tanda Minor  Nyeri

Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x … jam, diharapkan masalah gangguan integritas kulit/jaringan teratasi dengan kriteria hasil: Integritas Kulit dan Jaringan  Elastisitas meningkat  Hidrasi meningkat  Perfusi jaringan meningkat  Kerusakan jaringan menurun  Kerusakan lapisan kulit menurun  Nyeri menurun  Perdarahan menurun  Kemerahan menurun  Hematoma menurun  Pigmentasi abnormal menurun  Jaringan parut menurun  Nekrosis menurun  Abrasi kornea menurun  Suhu kulit membaik  Sensasi emmbaik  Tekstur membaik  Pertumbuhan rambut membaik

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) Perawatan Integritas Kulit Observasi  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis, perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas) Terapeutik  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring  Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu  Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare  Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering  Gunakan produk berbahan ringan/alami den hipoalergik pada kulit sensitive  Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering Edukasi  Anjurkan menggunakan pelembab (mis, lotion, serum)  Anjurkan minum air yang cukup  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi  Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur  Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem  Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada di luar rumah

  

Perdarahan Kemerahan Hematoma



Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

Perawatan Luka Observasi  Monitor karakteristik luka (mis, drainase, warna, ukuran, bau)  Monitor tanda-tanda infeksi Terapeutik  Lepaskan balutan dan plester secara perlahan  Cukur rambut disekitar daerah luka, jika perlu  Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan  Bersihkan jaringan nekrotik  Berikan salep yag sesuai ke kulit / lesi, jika perlu  Pasang balutan sesuai jenis luka  Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka  Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase  Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondiis pasien  Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dengan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari  Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis, vitamin A, vitamin C, zinc, asam amino), sesuai indikasi  Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transcutaneous), jika perlu Edukasi

 

Hipervolemia : Peningkatan volume cairan intravascular, interstisial, dan/atau intraselular Penyebab : 1. Gangguan mekanisme regulasi 2. Kelebihan asupan cairan 3. Kelebihan asupan natrium 4. Gangguan aliran balik vena 5. Efek agen farmakologis Gejala dan Tanda Mayor 1. Ortopnea 2. Dispnea 3. Paroxymal nocturnal dyspnea (PND) 4. Edema anasarka atau edema perifer 5. Berat badan meningkat dalam waktu singkat 6. Jugular Venous Pressure (JVP) atau Central Venous Pressure (CVP) meningkat 7. Refleks hepatojugular positif Gejala dan Tanda Minor

SLKI: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama.. x.. jam diharapkan keseimbaangan cairan meningkat dengan kriteria hasil : 1. Asupan cairan meningkat 2. Haluaran urin meningkat 3. Kelembaban membrane mukosa meningkat 4. Asupan makanan meningkat 5. Edema menurun 6. Dehidrasi menurun 7. Asites menurun 8. Konfusi menurun 9. Tekanan Darah membaik 10. Denyut nadi radial membaik 11. Membran mukosa membaik 12. Turgor kult membaik 13. Berat Badan membaik

Jelaskan tanda dan gejala infeksi Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein  Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi  Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika perlu  Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu Manajemen Hipervolemia Tindakan Observasi □ Periksa tanda dan gejala hypervolemia ( mis. Dyspnea, edema, JVP dan CVP meningkat, suara napas tambahan ) □ Identifikasi penyebab hypervolemia □ Monitor status hemodinamik (mis. Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,CVP,PAP) jika tersedia □ Monitor intake dan output cairan □ Monior tanda hemokonsentrasi □ Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma □ Monitor kecepatan infus □ Monitor efek samping diuretik Terapeutik □ Timbang berat badan setiap hari pada wakt yang sama □ Batasi asupan cairan dan garam □ Tinggikan tempat tidur 30-40 derajat Edukasi □ Anjurkan melapor jika haluaran urin 1 kg dalam sehari □ Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan □ Ajarkan cara membatasi cairan Kolaborasi □ Kolaborasi pemberian deuritik □ Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat deuritik Pemantauan Cairan Tindakan Observasi : □ Monitor frekuensi dan kekuatan nadi □ Monitor frekuensi napas □ Monitor tekanan darah □ Monitor berat badan □ Monitor elastisitas atau turgor kulit □ Monitor jumlah warna dan berat jenis urine □ Monitor kadar albumin dan protein total □ Monitor hasil pemeriksaan serum o ( mis. Hematocrit, natrium, kalium, BUN) □ Monitor intake dan output cairan □ Identifikasi tanda-tanda o hipervolemia □ Identifikasi kator risiko ketidakseimbangan cairan (mis. Penyakit ginjal, difungsi intestinal) Terapeutik □ Dokumetasikan hasil pematauan Edukasi □ Jelaskan tujuan dan prosedur pematauan Setelah

diberikan

asuhan

keperawatan

Perawatan Jantung

Faktor Risiko :  Perubahan irama jantung  Perubahan frekuensi jantung  Perubahan kontraktilitas  Perubahan preload  Perubahan afterload Kondisi Klinis Terkait :  Gagal jantung kongestif  Sindrom coroner akut  Gangguan katup jantung (stenosis/regurgitasi aorta, pulmonalis, trikuspidalis, atau mitralis)  Atrial/ ventricular septal defect  aritmia

selama …... x …… jam, diharapkan tidak terjadi penurunan curah jantung dengan kriteria hasil : Curah jantung:  Kekuatan nadi perifer normal  Cardiac index dalam batas normal  Tidak ada palpitasi  Tidak ada takikardia  Tidak ada gambaran EKG aritmia  Tidak mengalami Lelah  Tidak ada edema  Tidak ada distensi vena jugularis  Tidak ada dyspnea  Tidak terjadi Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)  Tidak terjadi ortopnea  Tidak ada batuk  Berat badan normal  CRT 94% Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu

Perawatan Jantung Akut Observasi  Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu, Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan frekuensi)  Monitor EKG 12 sadapan untuk

perubahan ST dan T  Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)  Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia (mis kalium, magnesium serum)  Monitor enzim jantung (mis, CK, CKMB, tromponin T, tromponin I)  Monitor saturasi oksigen  Identifikasi stratifikasi pada sindrom coroner akut (mis, skor TIMI, Killip, crusade) Terapeutik  Pertahankan tirah baring minimal 12 jam  Pasang akses intravena  Puasakan hingga bebas nyeri  Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress  Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan  Siapkan menjalani intervensi coroner perkutan, jika perlu  Berikan dukungan emosional dan spiritual Edukasi  Anjurkan segera melapor nyeri dada  Anjurkan menghindari maneuver valsava (mis mengedan saat BAB atau batuk)  Jelaskan tindakan yang dijalani pasien  Ajarkan teknik menurunkan kecemasan atau ketakutan Kolaborasi

       Risiko Perfusi Renal tidak efektif Faktor Risiko : 1. Kekurangan volume cairan 2. Embolisme vaskuler 3. Vaskulitis 4. Hipertensi 5. Disfungsi Ginjal 6. Hiperglikemia 7. Keganasan 8. Pembedahan jantung 9. Baypass kardiopulmonal 10. Hipoksemia 11. Hipoksia 12. Asidosis metabolic 13. Trauma 14. Sindrom kompartmen abdomen 15. Luka bakar 16. Sepsis 17. Sindrom respon inflamasi sistemik

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .. x .. jam diharapkan perfusi renal meningkat dengan kriteria hasil : SLKI 1. Jumlah urine meningkat (Balance cairan) 2. Nyeri abdomen menurun 3. Mual menurun 4. Muntah menurun 5. Distensi Abdomen menurun 6. Kadar urea nitrogen darah membaik 7. Kadar kreatinin plasma membaik 8. Kadar elektrolit membaik

Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu Kolaborasi pemberian antianginal (mis, nitrogliserin, beta blocker, calcium channel blocker) Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah maneuver valsava (mis, pelunak tinja, antiemetic) Kolaborasi pencegahan thrombus dengan antikoagulan, jika perlu Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

SIKI Pencegahan Syok Observasi □ Monitor status kardiopulmonal (frekuensi, dan kekuatan nadi, frekuensi napas, TD) □ Monitor status oksigenasi (oksimeteri nadi) □ Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit dan CRT) □ Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil □ Periksa riwayat alergi Terapeutik □ Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen □ Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu □ Pasang jalur IV, jika perlu □ Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine, jika perlu □ Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi

18. Lanjut usia 19. Merokok 20. Penyalahgunaan zat

Edukasi □ Jelaskan penyebab/faktor risiko syok □ Jelaskan tanda dan gejala awal syok □ Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal syok □ Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral □ Anjurkan menghindari allergen Kolaborasi □ Kolaborasi pemberian IV, jika perlu □ Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu □ Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu

Kondisi Klinis Terkait : 1. Diabetes mellitus 2. Hipertensi 3. Aterosklerosis 4. Syok 5. Keganasan 6. Luka bakar 7. Pembedahan jantung 8. Penyakit ginjal 9. Trauma Nausea : perasaan tidak nyaman pada bagian belakang tenggorok atau lambung yang dapat mengakibatkan muntah Penyebab : 1. Gangguan biokimiawi 2. Gangguan pada esophagus 3. Distensi lambung 4. Iritasi lambung 5. Gangguan pankreas 6. Peregangan kapsul limpa 7. Tumor terlokalisasi 8. Peningkatan tekanan intrabdominal 9. Peningkatan tekanan intrakranial 10. Peningkatan tekanan intraorbital 11. Mabuk perjalanan 12. Kehamilan 13. Aroma tidak sedap 14. Rasa makanan/minuman yang tidak enak

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .. x .. jam diharapkan tingkat nausea menurun dengan kriteria hasil : SLKI (Tingkat Nausea) 1. Perasaan ingin muntah menurun 2. Perasaan asam di mulut menurun 3. Sensasi panas menurun 4. Sensasi dingin menurun 5. Diaforesis menurun 6. Takikardi menurun 7. Pucat membaik 8. Dilatasi pupil membaik 9. Nafsu makan membaik 10. Jumlah saliva membaik 11. Frekuensi menelan membaik

SIKI Manajemen Mual Observasi □ Identifikasi pengalaman mual □ Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan □ Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup □ Identifikasi faktor penyebab mual □ Identifikasi antiemetic untuk mencegah mual □ Monitor mual □ Monitor asupan nutrisi dan kalori Terapeutik □ Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual □ Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual □ Berikan makanan dalam jumlah kecil dan

15. Stimulus penglihatan menyenangkan 16. Faktor psikologis 17. Efek agen farmakologis 18. Efek toksin Gejala dan Tanda Mayor : 1. Mengeluh mual 2. Merasa ingin muntah 3. Tidak berminat makan Gejala dan Tanda Minor 1. Merasa asam di mulut 2. Sensasi panas/dingin 3. Sering menelan 4. Saliva meningkat 5. Pucat 6. Diaphoresis 7. Takikardi 8. Pupil dilatasi

tidak

menarik Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan tidak berwarna, jika perlu Edukasi □ Anjrkan istirahat dan tidur yang cukup □ Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika merangsang mual □ Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak □ Anjurkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi mual Kolaborasi □ Kolaborasi pemberian antiemetic, jika perlu □

Manajemen Muntah Observasi □ Identifikasi karakteristik muntah □ Periksa volume muntah □ Identifikasi riwayat diet □ Identifikasi faktor penyebab muntah □ Identifikasi kerusakan esophagus dan faring posterior jika muntah terlalu lama □ Monitor efek manajemen muntah secara menyeluruh □ Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Terapeutik □ Kontrol faktor lingkungan penyebab muntah □ Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab muntah □ Atur posisi untuk mencegah aspirasi □ Pertahankan kepatenan jalan napas □ Bersihkan mulut dan hidung □ Berikan dukungan fisik saat muntah □ Berikan kenyamanan selama muntah



Defisit Pengetahuan Penyebab 1. Keterbatasan kognitif 2. Gangguan fungsi kognitif 3. Kekeliruan mengikuti anjuran 4. Kurang terpapar informasi 5. Kurang minat dalam belajar 6. Kurang mampu mengingat 7. Ketidaktahuan menemukan informasi

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x… jam diharapkan tingkat pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil :  Perilaku sesuai anjuran meningkat  Verbalisasi minat dalam belajar meningkat  Kemampuan menjelaskan pengetahuan sumber tentang suatu topik meningkat  Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai Gejala dan tanda mayor topik meningkat Subjektif :  Perilaku sesuai dengan pengetahuan  Menanyakan masalah yang dihadapi  Pertanyaan tentang masalah yang Objektif : dihadapi menurun  Menunjukkan perilaku tidak sesuai  Persepsi yang keliru terhadap masalah anjuran menurun  Menunjukkan persepsi yang keliru  Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat terhadap masalah menurun  Perilaku membaik Gejala dan tanda minor Subjektif : Objektif :  Menjalani pemeriksaan tidak tepat  Menunjukkan perilaku berlebihan

Berikan cairan yang tidak mengandung karbonasi minimal 30 menit setelah muntah Edukasi □ Anjurkan membawa kantong plastic untuk menampung muntah □ Anjurkan memperbanyak istirahat □ Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengelola muntah Kolaborasi □ Kolaborasi pemberian antiemetik Edukasi Menyusui Observasi  identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi  identifikasi tujuan atau keinginan menyusui Terapeutik  sediakan materi dan media pendidikan kesehatan  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan  Berikan kesempatan untuk bertanya  Dukung ibu meningkatkan kepercayaan diri dalam menyusui  Libatkan sistem pendukung : suami, keluarga, tenaga kesehatan dan masyarakat Edukasi  Berikan konseling menyusui  Jelaskan manfaat menyusui bagi ibu dan bayi  Ajarkan 4 posisi menyusui dan perlekatan dengan benar  Ajarkan perawatan payudara antepartum



Hipertermia Penyebab □ Dehidrasi □ Terpapar lingkungan panas □ Proses penyakit (mis. Infeksi dan kanker) □ Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan □ Peningkatan laju metabolissme □ Respon trauma □ Aktivitas berlebih □ Penggunaan incubator Gejala dan tanda a. Mayor Subyektif Tidak tersedia Obyektif □ Suhu tubuh diatas nilai normal b. Minor Subyektif Tidak tersedia Obyektif □ Kulit merah □ Kejang □ Takardi □ Tachipnea □ Kulit terasa hangat

SLKI : Termoregulasi Setelah dilakukan intervensi selama ….x…… jam, maka hipertermia menurun dengan keriteria hasil □ □ □ □ □ □ □ □ □ □ □ □ □ □

Menggigil menurun Tidak tampak kulit yang memerah Tidak ada kejang Tidak tampak Akrosianosis Konsumsi oksigen menurun Piloereksi menurun Idak tampak pucat Tidak terdapat takikardia Tidak tampak takipnea Tidak terdapat bradikardia Tidak ada hipoksia Suhu tubuh membaik Suhu kulit membaik Kadar glukosa membaik

dengan mengkompres dengan kapas yang telah diberikan minyak kelapa Ajarkan perawatan payudara post partum ( mis memerah ASI, pijat payudara, pijat oksitosin)

SIKI Nyeri dan Kenyamanan Manajemen Nyeri Observasi □ Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri □ Identifikasi skala nyeri □ Identifikasi respons nhyeri non verbal □ Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri □ Identifikasi pengetahuan dan keyaninan tentang nyeri □ Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri □ Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup □ Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan □ Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik □ Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri □ Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri □ Fasilitasi istirahat dan tidur □ Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Kondisi Klinis Terkait □ Proses infeksi □ Hipertiroid □ Stroke □ Dehidrasi □ Trauma □ Prematuritas

Edukasi □ Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri □ Jelaskan strategi meredakan nyeri □ Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri □ Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat □ Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi o Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Terapi relaksasi Observasi o Identifikasi penurunan energi, ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengangu kemampuan kognitif o Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan o Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya o Monitor respons terhadap terapi relaksasi Terapeutik o Ciptakan lingkungan yang tenang dan tenang tanpa gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruangan nyaman, jika memungkinkan o Gunakan pakaian longgar o Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama o Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau

Risiko Infeksi Faktor risiko  Penyakit kronis  Efek prosedur invasive  Malnutrisi  Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan  Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer  Gangguan peristaltic  Kerusakan integritas kulit  Perubahan sekresi pH  Penurunan kerja siliaris  Merokok  Statis cairan tubuh  Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder  Penurunan hemoglobin  Imunosupresi  Leukopenia

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ……. X …… diharapkan risiko infeksi berkurang dengan kriteria hasil : Tingkat Infeksi  Demam menurun  Kemerahan menurun  Nyeri menurun  Bengkak menurun  Vesikel menurun  Cairan berbau busuk menurun  Sputum berwarna hijau menurun  Drainase purulent menurun  Piuna menurun  Periode malaise menurun  Periode mengigil menurun  Lelargi menurun  Gangguan kognitif menurun  Kadar sel darah putih membaik  Kultur darah membaik  Kultur urine membaik

tindakan medis lain , jika sesuai Edukasi o Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia o Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih o Anjurkan mengambil posisi nyaman o Anjurkan rileks dan merasakan sensai relaksasi o Anjurkan sering mengulamgi atau melatih teknik yang dipilij o Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi Pencegahan Infeksi Observasi  Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik Terapeutik  Batasi jumlah pengunjung  Berikan perawatan kulit pada area edema  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien  Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi Edukasi  Jelaskan tanda dan gejala infeksi  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar  Ajarkan etika batuk  Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

 

Supresi respon inflamasi Vaksinasi tidak adekuat

Kondisi Klinis terkait  AIDS  Luka Bakar  PPOK  Diabetes Melitus  Tindakan invasive  Kondisi penggunaan terapi steroid  Penyalahgunaan obat  Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW)  Kanker  Gagal Ginjal  Imunosupresi  Lymphedema  Leujositopenia  Gangguan Fungsi Hati Risiko Perdarahan Faktor Risiko:  Aneurisma  Gangguan gastrointestinal  Gangguan fungsi hati (mis. Sirosis hepatis)  Komplikasi kehamilan (mis. Ketuban pecah dini, plasenta previa, kehamilan kembar, dll)  Komplikasi pasca partum (mis. Atoni uteri, retensi plasenta)  Gangguan koagulasi  Efek agen farmakologis  Tindakan pembedahan

  

Kultur sputum membaik Kultur area luka membaik Kultur feses membaik

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x… jam diharapkan Tingkat perdarahan menurun dengan kriteria hasil :  Kelembapan membarane mukosa meningkat  Kelembapan kulit meningkat  Kognitif meningkat  Hemoptisis menurun  Hematemesis menurun  Hematuri menurun  Perdarahan anus menurun  Distensi abdomen menurun  Perdarahan vagina menurun

 Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi  Kolaborasi pemberian imunisasi

Pencegahan perdarahan 1. Observasi a. Monitor tanda dan gejala perdarahan b. Monitor nilai hematokrit/hrmoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah c. Monitor tanda-tanda vital ortostatik d. Monitor koagulasi (mis. Prothrombin time, fibrinogen, degradasi fibrin) 2. Terapeutik  Pertahankan bed rest selama perdarahan  Batasi tindakan invasif, jika perlu  Gunkan kasur pencegah dekubitus  Hindari pengukuran suhu rektal  3. Edukasi

  

Trauma  Kurang terpapar informasi tentang  pencegahan perdarahan  Proses keganasan   

Perdarahan pasca operasi menurun Hemoglobin membaik Hematokrit membaik Tekanan darah membaik Denyut nadi apikal membaik Suhu tubuh membaik

      4.   

Jelaskan tanda dan gejala perdarahan Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan Anjurkan meningkatkan makanan dan vitamin K Anjurkan segera lapor segera jika terjadi perdarahan Kolaborasi Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

Perawatan area insisi 2. Observasi  Perisa lokasi insisi adanyakemerahan bengkak atau tanda-tanda dehisen atau eviserasi  Monitor penyembuhan area insisi  Monitor tanda dan gejaka-gejala infeksi 3. Terapeutik  Bersihkan area insisi dengan pembersihan yang tepat  Usap area insisi dari area yang bersih menuju area yang kurang bersih.  Berikan salep asepti, jika perlu 4. Edukasi

 Nyeri akut SLKI: Penyebab :    Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Agen pencedra fisiologis (mis. Inflamasi selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri pada iskemia, neoplasma) pasien berkurang dengan kriteria hasil : 2. Agenpencedera kimiawi (mis. Terbakar, Tingkat Nyeri bahan kimia iritan) 1. Nyeri berkurang dengan skala 2 3. Agen pencedera fisik (mis. Abses, 2. Pasien tidak mengeluh nyeri amputasi, prosedur operasi, taruma, dll) 3. Pasien tampak tenang 4. Pasien dapat tidur dengan tenang Gejala dan tanda mayor 5. Frekuensi nadi dalam batas normal (60Subjektif : mengeluh nyeri 100 x/menit) Objektif 6. Tekanan darah dalam batas normal (90/60 mmHg – 120/80 mmHg)  Tampak meringis 7. RR dalam batas normal (16-20 x/menit)  Bersikap proaktif (mis. waspada, Kontrol Nyeri posisi menghindari nyeri) 1. Melaporkan bahwa nyeri berkurang  Gelisah dengan menggunakan manajemen nyeri  Frekuensi nadi meningkat 2. Mampu mengenali nyeri (skala,  Sulit tidur intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Gejala dan tanda minor Status Kenyamanan Subjektif : 1. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri Objektif berkurang  Tekanan darah meningkat  Pola nafas berubah  Nafsu makan berubah  Proses berpikir terganggu  Menarik diri  Berfokus pada diri sendiri  diaforesisi

Ajarkan meminimalkan penekanan pada area insisi Ajarkan cara merawat area insisi.

 SIKI : Manajemen nyeri Observasi - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri - Identifikasi skala nyeri - Identifikasi respon nyeri nonverbal - Identifikasi factor yang memperingan dan memperberat nyeri - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri - Identifikasi budaya terhadap respon nyeri - Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien - Monitor efek samping penggunaan analgetik - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan Terapeutik - Fasilitasi istirahat tidur - Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri ( missal: suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan). - Beri teknik non farmakologis untuk meredakan nyeri (aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback, teknik imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas dalam dan kompres hangat/ dingin) Edukasi - Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri - Jelaskan strategi meredakan nyeri

-

Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat - Anjurkan monitor nyeri secara mandiri Kolaborasi - Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Ansietas

Pola nafas tidak efektif Penyebab  Depresi pusat pernapasan  Hambatan upaya napas  Deformitas dinding dada  Deformitas tulang dada  Gangguan neuromuscular  Gangguan neurologis  Penurunan energy

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Reduksi ansietas selama .....x24 jam diharapakan kecemasan 1. Monitor tanda-tanda ansietas menurun atau pasien dapat tenang dengan 2. Ciptakan suasana terapeutik untuk kriteria : menumbuhkan kepercayaan SLKI : 3. Pahami situasi yang membuat ansietas Tingkat ansietas 4. Diskusikan perencanaan realistis tentang 1. Menyingkirkan tanda kecemasaan. peristiwa yang akan datang 2. Tidak terdapat perilaku gelisah 5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan 3. Frekuensi napas menurun persepsi 4. Frekuensi nadi menurun 6. Anjurkan keluarga untuk selalu disamping 5. Menurunkan stimulasi lingkungan ketika dan mendukung pasien cemas. 7. Latih teknik relaksasi 6. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas. 7. Konsentrasi membaik 8. Pola tidur membaik Dukungan sosial 1. Bantuan yang ditawarkan oleh oranglain meningkat SIKI SIKI Respirasi : Manajemen jalan nafas Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi keperawatan ...x... jam, maka pola  Monitor pola nafas (frekuensi, nafas tidak efektif menigkat dengan kedalaman, usaha nafas) kriteria hasil :  Monitor bunyi nafas tambahan  Penggunaan otot bantu nafas (mis. Gurgling, mengi, menurun wheezing, ronkhi)  Dispnea menurun 2. Terapeutik  Pemanjangan fase ekspirasi  Posisikan semi fowler

 

Obesitas Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru  Sindrom hipoventilasi  Kerusakan inervasi diafragma  Cedera pada medulla spinalis  Efek agen farmakologis  Kecemasan Gejala dan tanda mayor Subjektif  Dyspnea Objektif  Penggunaan otot bantu pernafasan  Fase ekspirasi memanjang  Pola nafas abnormal Gejala dan tanda minor Sujektif  Ortopnea Objektif  Pernafasan pursed lips  Pernapasan cuping hidung  Diameter thoraks anterior posterior meningkat  Ventilasi semenit menurun  Kapasitas vital menurun  Tekanan ekspirasi menurun  Tekanan inspirasi menurun  Ekskursi dada berubah Kondisi klinis terkait  Depresi system saraf pusat  Cedera kepala  Trauma thoraks

 

menurun Frekuensi nafas membaik Kedalaman nafas membaik

 Berikan minuman hangat  Berikan oksigen 3. Edukasi  Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari, jika tidak kontraindikasi  Ajarkan teknik batuk efektif 4. Kolaborasi  Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu Pemantauan respirasi 1. Observasi  Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas  Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, ataksisk)  Monitor saturasi oksigen  Auskultasi bunyi nafas  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru  Monitor nilai AGD  Monitor hasil x-ray thoraks 2. Terapeutik  Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien  Dokumentasikan hasil pemantauan 3. Edukasi  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan  Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

 Gullian bare syndrome  Multiple sclerosis  Myasthenia gravis  Stroke  Kuadriplegia 1. Intoksikasi alcohol Hipovolemia Penyebab :  Kehilangan cairan aktif  Kegagalan mekanisme regulasi  Peningkatan permiabelitas kapiler  Kekurangan intake cairan  Evaporasi Gejala dan tanda Mayor Subjektif (tidak tersedia) Objektif  Frekuensi nadi meningkat  Nadi teraba lemah  Tekanan darah menurun  Tekanan darah menyempit  Turgor kulit menurun  Membrane mukosa kering  Volume urin menurun  Hematocrit meningkat Minor Subjektif  Merasa lemah  Mengeluh haus Objektif  Pengisian vena menurun  Status mental berubah  Suhu tubuh meningkat

SLKI Setelah diberikan intervensi selama …x…. jam maka status cairan membaik, dengan kriteria hasil :  Kekuatan nadi meningkat  Turgor kulit meningkat  Ortopnea menurun  Dyspnea menurun  Frekuensi nadi membaik  Tekanan darah membaik  Tekanan nadi membaik  Membrane mukosa membaik  Kadar hb membaik  Kadar ht membaik  Intake cairan membaik

Manajemen hypovolemia Observasi  Periksa tanda dan gejala hypovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi terba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urin menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah)  Monitor intake dan output cairan Terapeutik  Hitung kebutuhan cairan  Berikan posisi mified tredelenburg  Berikan asupan cairan oral Edukasi  Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral  Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak Kolaborasi  Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)  Kolaborasi pemberiancairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)  Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. Albumin, plasmanate  Kolaborasi pemberian produk darah

 Konsentrasi urine meningkat  Berat badan turun tiba-tiba Kondisi klinis terkait  Penyakit adison  Trauma (pendarahan)  Luka bakar  AIDS  Penyakit crohn  Muntah  Diare  Colitis ulseratif  Hipoalbuminemia

Manajemen syok hypovolemia Observasi  Monitor status kardiopulmogonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi nafas, TD, MAP)  Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)  Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)  Periksa tingkat kesadarajndan respon pupil  Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS (deformity/ deformitas, open wound/luka terbuka, tenderness/nyeri tekan, swelling/bengkak Terapeutik  Pertahankan jalan nafas paten  Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%  Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu  Lakukan penekanan langsung (direct pressure) pada perdarahan eksternal  Berikan posisi syok (modified tredelenberg)  Pasang jalur IV berukuran besar (mis. 14 atau 16)  Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine  Pasang selang nasogastric untuk dekompresi lambung  Ambil sampel darah untuk pemeriksaan

Retensi Urine Penyebab 1. Peningkatan tekanan uretra 2. Kerusakan arkus reflex 3. Blok sfingter 4. Disfungsi neurologis (mis. Trauma, penyakit saraf) 5. Efek agen farmakologis (mis.atropine, belladonna, psikotropik, antihistamin, opiate) Gejala dan tanda mayor Subjektif : 1. Sensasi penuh pada kandung kemih Objektif : 1. Disuria atau anuria 2. Distensi kandung kemih Gejala dan tanda minor Subjektif : 1. Dribbling Objektif : 1. Inkontinensia berlebih 2. Residu urine 150 ml atau lebih

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama…x…jam diharapkan masalah retensi urine membaik dengan kriteria hasil: □ Sensasi berkemih meningkat □ Distensi kandung kemih menurun □ Berkemih tidak tuntas menurun □ Volume residu urine menurun □ Urine menetes (dribbling) menurun □ Disuria menurun □ Frekuensi BAK membaik □ Karakteristik urine membaik

darah lengkap dan elektrolit Kolaborasi  Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 1-2 L pada dewasa  Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20 mL/kgBB pada anak  Kolaborasi pemberian transfuse darah, jika perlu Manajemen Eliminasi Urine Observasi 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi urine 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi urine 3. Monitor eliminasi urine (mis.frekuensi, konsistensi, aroma, volume dan warna) Terapeutik 1. Catat waktu dan haluaran berkemih 2. Batasi asupan cairan, jika perlu Edukasi 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih 2. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine 3. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih 4. Ajarkan terapi modalitas penguatan otototot panggul/berkemih 5. Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi 6. Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat Supositoria uretra jika perlu

Perawatan Kateter Urine Observasi 1. Monitor kepatenan kateter urine 2. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran kemih 3. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine 4. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantung urine 5. Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan karakteristik) Terapeutik 1. Gunakan teknik aseptic selama perawatan kateter urine 2. Pastikan kateter dan kantung urine terbebas dari lipatan 3. Pastikan kantung urine diletakkan di bawah ketinggian kandung kemih dan tidakdi lantai 4. Lakukan perawatan perineal minimal 1x sehari 5. Kosongkan kantung urine jika kantung urine sudah terisi setengahnya 6. Lepaskan kateter urine sesuai kebutuhan 7. Jaga privasi selama melakukan tindakan Edukasi 1. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur dan risiko sebelum pemasangan kateter Perawtaan Retensi Urine Observasi 1. Identifikasi penyebab retensi urine 2. Monitor efek agens farmakologis 3. Monitor intake dan output cairan

4. Monitor tingkat distensikandung kemih dengan palpasi atau perkusi Terapeutik 1. Sediakan privasi untuk berkemih 2. Berikan rangsangan berkemih (mis. Kompres dingin pada abdomen) 3. Fasilitasi berkemih dengan interval yang teratur Edukasi 1. Jelaskan penyebab retensi urine 2. Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urine 3. Ajarkan cara melakukan rangsangan berkemi

4.

Implementasi Keperawatan Dilaksanakan sesuai dengan intervensi

5.

Evaluasi Keperawatan Langkah ini sebgai pengecekan apakah rencana asuhan keperawatan trsebut efektif dalam pelaksanaanya. Untuk pencatatan asuhan dapat diterapkan dalam SOAP (Salmah, 200 : 157-164) S : Data subjektif diperoleh melalui anamnesa O : Data objektif diperoleh dari hasil pemeriksaan klien dan pemeriksaan pendukung lainya A : Analisis interprestasi berdasarkan data yang terkumpul dibuat kesimpulan P : Penatalaksanaan merupakan tindkaan dari diagnose yang telah dibuat

DAFTAR PUSTAKA A.S. Levey, R. Atkins, J. Coresh, E. P. Cohen, A. J. Collins, K-U Eckardt, M.E. Nahas, B. L. Jaber, M. Jadoul, A. Levin, N. R. Powe, J. Rossert, D. C. Wheeler, N. Lameire, G. Eknoyan, 2010. Kidney International, Chronic Kidney Disease As A Global Public Health Problem. Available From Http://Www.Medscape.Com/Viewarticle/561254 Brunner and Suddarth 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol. 2. Jakarta : EGC Haryono, Rudy. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan. Yogyakarta : Rapha Publishing Mahdiana. 2011. Panduan Kesehatan Jantung dan Ginjal. Yohyakarta : Citra Medikal Muttaqin dan Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika National Kidney Foundation. 2015. A-Z Health Guide. Hemodialysis Catheters: How to Keep Yours Working Well. Available at www.kidney.org Niken D. C. 2011. Hemodialisis (Cuci Darah) Panduan Praktis Perawatan Gagal Ginjal. Jogjakarta : Mitra Cendikia Press PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI. Price, S.A., Wilson, L.M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC Santoro, et al. 2014. Vascular Access for Hemodialysis: Current Perspectives. Doi: 10.2147/IJNRD.S46643. Available at www.ncbi.nlm.nih.gov Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Edisi 12. Jakarta: Kedokteran EGC Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;

Suharyanto, Toto dan Abdul Madjid. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Rineka Cipta Terry, Cynthia Lee & Aurora Weaver. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha Publishing Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta Selatan : DPP PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan : DPP PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan : DPP PPNI. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta : Nuha Medika Yoo, et al. 2014. Successful Access Rate and Risk Factor of Vascular Access Surgery in Arm for Dialysis. Doi : 10.5758/vsi.2014.30.1.33. Available at www.ncbi.nlm.nih.gov.

Gianyar , Pembimbing Praktik / CI

Mahasiswa

(Ns. Ni Ketut Seriwati, S. Kep.)

(Ketut Elfirasani)

NIP. 196712311989022014

NIM.P07120320069

Pembimbing Akademik / CT

Ns. I. G. A. Ari Rasdini., S. Pd., S. Kep., M. Pd. NIP: 195910151986032001

April 2021