27 1 236KB
MAKALAH TRAUMA PERSALINAN Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Maternitas II Dosen : Yuyun Sarinengsih, S.Kep., Ners., M.Kep
Disusun oleh : Kelompok 1 Kelas E Tk. 2 Irma Gustiarni
: AK.1.17.068
M. Iqbal Fauzi
: AK.1.17.072
Siti Rodiayanti
: AK.1.17.085
Shifa Nadziha
: AK.1.17.082
Wita Belalestari : AK.1.17.091 Yuli Yuliwati
: AK.1.17.094
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI KENCANA BANDUNG 2019
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga tercurah limpah pada junjunan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, hingga sampai kepada kita selaku umatnya. Pada kesempatan kali ini kami akan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam proses pembuatan makalah ini. Baik bantuan secara moril atau pun materi sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “TRAUMA PERSALINAN” sebagai salah satu tugas Mata kuliah Maternitas II di STIKes Bhakti Kencana Bandung. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami, umumnya bagi pembaca. Kritik dan saran sangat kami dambakan agar suatu saat nanti kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi.
Bandung, 5 Mei 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i DAFTAR ISI......................................................................................................ii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang..................................................................................1 1.2.Rumusan Masalah.............................................................................2 1.3.Tujuan Penulisan...............................................................................2 BAB 2 KONSEP DASAR 2.1.Definisi Trauma Persalinan...............................................................3 2.2.Etiologi Trauma Persalinan...............................................................4 2.3.Macam-Macam Tauma Persalinan....................................................4 2.4.Gejala dan Dampak Dari Trauma Persalinan....................................5 2.5.Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma Persalinan....................6 2.6.Definisi Inkontinensia Urine.............................................................9 2.7.Penyebab dan Factor Resiko.............................................................10 2.8.Terapi dan Penatalaksanaan...............................................................12 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS 3.1.Pengkajian Data.................................................................................16 3.2.Diagnosa Keperawatan......................................................................19 3.3.Intevensi Keperawatan......................................................................19
ii
BAB 4 PENUTUP 4.1.Kesimpulan...................................................................................22 4.2.Saran.............................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan/gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001: 229). Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis persalinan. Inkontinensia
urin
menurut
International
Continence
Society
didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan hygiene serta secara objektif tampak nyata. International Consultation on Incontinence membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6 yaitu, Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress, inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua. Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi. Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul.
1
1.2. Rumusan Masalah 1. Apa itu definisi trauma persalinan? 2. Bagaimana etiologi trauma persalinan? 3. Apa saja macam-macam trauma persalinan? 4. Apa saja gejala dan dampak trauma persalinan? 5. Apa itu definisi inkontinensia urin? 6. Apa saja yang menjadi penyebab dan risiko inkontinensia? 7. Apa saja terapi dan penatalaksanaan inkontinensia urin? 1.3. Tujuan Penulisan 1. Memahami definisi dari trauma persalinan 2. Memahami apa saja etiologi trauma persalinan 3. Mengetahui apa saja macam-macam trauma persalinan 4. Memahami apa saja yang menjadi gejala dan dampak dari trauma 5. 6. 7.
persalinan Memahami apa itu inkontinensia urin Mengetahui apa saja penyebab dan risiko inkontinensia urin Mengetahui terapi apa saja dan penatalaksanaan untuk inkontinensia urin
BAB II KONSEP DASAR 2.1. Definisi Trauma Persalinan
2
Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan/gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001: 229). Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis persalinan. Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi. Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan bayi. Cara kelahiran bayi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Angka kejadian trauma lahir yang mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7 per seribu kelahiran hidup. Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian trauma lahir antara lain adalah makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda, disproporsi sefala pelvik, kelahiran dengan tindakan persalinan lama, persalinan presipitatus, bayi kurang bulan, distosia bahu, dan akhirnya faktor manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat trauma lahir sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang dilakukan penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian cara lahir tertentu umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula. Secara klinis trauma lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh 3
sendiri atau bersifat laten yang dapat meninggalkan gejala sisa.Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara hipoksik selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per intraventrikuler dalam otak. 2.2. Etiologi Trauma Kelahiran Menurut A.H. Markum dkk (1991: 266) penyebab terjadinya trauma persalinan yaitu sebagai berikut: 1.
Makrosomia (Berat bayi baru lahir lebih dari 400 gram)
2.
Mal presentasi (bagian terendah janin yang tidak sesuai)
3.
Presentasi ganda (bagian terendah janin lebih dari 1 bagian)
4. Disproporsi sephalo pelvik (ketidak sesuaian panggul dan kepala janin). Kelahiran dan tindakan (proses persalinan yang tidak spontan tapi dengan menggunakan alat) 5.
Persalinan lama (persalinan yang lebih dari 24 jam)
6. Persalinan presipitatus (persalinan dimana gejala Kala I tidak dirasakan sakit dan berakhir dengan lahirnya bayi) 7.
Bayi kurang bulan (bayi lahir dengan usia kehamilan 22 – 26 minggu)
8.
Distosia bahu (kemacetan bahu)
2.3. Macam-Macam Tauma Persalinan 1.
Susunan saraf a.
Paralis pleksus brakialis
b.
Paralisis nervus frenikus
c.
Kerusakan medulla spinalis
d.
Paralisis pita suara
2. Fraktur (Patah Tulang) a.
Fraktur Tulang Tengkorak
b.
Fraktur Tulang Klavikula
c.
Fraktur Tulang Humerus 4
d.
Fraktur Tulang Femur
3. Jaringan lunak a.
Kaput Suksedaneum
b.
Sefalohematoma
c.
Perdarahan Subafoneurosis
d.
Trauma Muskulus Sternokleido-Mastoideus
e.
Perdarahan Subkunjungtiva
f.
Nekrosis Jaringan Lemak Subkutis
2.4. Gejala dan Dampak Dari Trauma Persalinan Beberapa gejala setelah melahirkan antara lain: 1. Mengalami rasa takut, tidak berdaya setiap mengingat proses persalinan 2.
Cenderung menghindari pembahasan apa pun mengenai proses persalinan
3. Susah tidur dan sering mimpi buruk 4. Seringkali merasa tidak tenang 5. Sulit fokus dan konsentrasi Sedangkan dampak dari trauma setelah melahirkan umumnya para wanita merasa tidak ingin hamil dan melahirkan lagi, cenderung memiliki kesulitan untuk menyusui atau merawat bayi. Postpartum PTSD juga dapat mengarah pada depresi, baby blues hingga merenggangnya hubungan antara suami istri. Dalam jangka panjang, ibu yang mengalami postpartum PTSD juga berisiko mengalami gangguan makan, kemungkinan untuk bunuh diri, dan perilaku kompulsif dan agresif lainnya.
2.5. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma Persalinan 1. Pengkajian a.
Biodata:Didapatkan pada bayi baru berumur beberapa hari.
b.
Keluhan Utama:Adanya benjola di kepala 5
c.
Riwayat Penyakit Sekarang:Oedema pada kepala terasa lembut dan lunak dengan batas tidak jelas Organ tubuh yang lain relatif seperti bayi normal
d.
Riwayat Penyakit Dahulu:Dalam proses persalinan bayi lahir dengan bantuan vacuum ekstrasi,Proses persalinan bayi lama
e.
ADL (Activity Daily Life) 1) Pola Nutrisi: Pemberian ASI yang adekuat 2) Pola Aktivitas: Tidak sering diangkat agar benjola tidak meluas 3) Pola Istirahat: Biasanya bayi sering tidur 4) Pola Eliminasi: Jumlah output sesuai dengan intake yang dikeluarkan 5) Pola Personal Hygiene: Pasien diseka di tempat tidur
f.
Pemeriksaan Umum 1) Keadaan Umum: TTV Nadi: 180 x/mnt, pada menit I, kemudian turun sampai 120140x/mnt, RR: 80 x/mnt, pada menit (pertama), kemudian menurun setelah tenang 40x/mnt, Suhu: 36,5˚C – 37,4˚C. 2) Kesadaran Composmentis 3) Pemeriksaan Fisik a) Kepala: Terdapat benjolan di kepala berwarna kemerahan, teraba lembut, lunak b) Thorax: Lingkar dada 30 – 38 cm c) Genetalia: Sesuai umur kehamilan, bila bayi kurang bulan, pada bayi laki-laki testis belum turun, pada bayi wanita labia mayora belum menutupi labia minora d) Ekstrimitas: Aktif e) Integumen: Kulit badan dan ekstremitas kemerah-merahan
2. Diagnosa Keperawatan a.
Nyeri akut berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
b.
Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan apnea 6
c.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah: Mis: hipovolemia
d.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
e.
Resiko tinggi cedera janin yang berhubungan dengan tekanan daerah kepala subperiostal, disporsisi cephalo pelvic.
3. Intervensi Diagnosa
Tujuan dan
Intervensi Rasional Keperawatan Kriteria Hasil Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji terhadap adanya 1. Orang tua berhubungan dengan
asuhan keperawatan
cedera selama
psikis, alat traksi
nyeri
1x24
jam
berkurang.
Dengan
bantuan
pasien
mengidentifikasi menghitung nyeri.
kriteria 2. Menanyakan
hasil:
dan
melaporkan atas
bayi
nyeri
tingkat
di
cedera.
Mis: dada, punggung. pada 2. Nyeri
terbakar
dan
orang tua bayi, untuk
spasme otot dicetuskan
1. Nyeri berkurang
mengidentifikasi faktor
diperoleh oleh banyak
2. Skala nyeri 1-10
pencetus.
faktor. Mis: ansietas,
3. Posisi
senyaman 3. Berikan
mungkin
tindakan
tegangan.
kenyamanan pada bayi. 3. Tindakan
anternatif
mengontrol
nyeri
digunakan
untuk
keuntungan emosional. dilakukan 1. Tentukan
Perubahan
Setelah
perfusi
asuhan keperawatan
yang
serebral
selama
penurunan
berhubungan
diharapkan
dengan
kesadaran biasa, dan
penghentian
fungsi motorik dan
aliran darah: Mis:
sensorik.
hipovolemia
kriteria hasil: tanda-
jaringan
2x24
jam
tingkat
Dengan
tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda
faktor-faktor 1. Penurunan menentukan
gejala
tanda
dan
neurologis
atau
perfusi
kegagalan
dalam
dan
pemulihan
setelah
jaringan
otak
potensial
peningkatan
TIK. 2. Pantau atau catat status neurologis secara teratur
serangan awal. 2. Mengkaji
tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan TIK.
dan bandingkan dengan 3. Reaksi pupil diatur oleh standar GCS.
saraf kranial.
7
peningkatan TIK
3. Evaluasi keadaan pupil 4. Peningkatan TD sistemik ukuran kesamaan antara
yang
di
ikuti
kiri dan kanan reaksi
penurunan TD diastole
terhadap cahaya.
(nadi yang membesar).
4. Pantau tanda-tanda vital: 5. Bermanfaat nadi, nafas, suhu.
Pola
pernafasan
tidak
efektif
sebagai
indikator dari cairan total
5. Pantau intake dan out put turgor
oleh
kulit
dan
tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan .
membrane mukosa. dilakukan 1. Lakukan pengisapan bila 1. Jika batuk tidak efektif,
Setelah
asuhan keperawatan
perlu, catat jumlah jenis,
penghisapan
berhubungan
selama
dan karekteristik sekresi.
untuk
mengeluarkan
dengan
diharapkan
fungsi pernafasan
secret,
meningkatkan
dengan menginstruksikan
secret,
meningkatkan
pasien untuk nafas dalam.
distribusi
takipnea
2x24
jam
2. Kaji
pernafasan kembali normal.
Dengan
kriteria hasil: 1.Nafas normal 2.bebas sianosis 3.GDA dalam batas normal
dibutuhkan
udara,
3. Auskultasi suara nafas.
mengurangi resiko infeksi
4. Observasi
pernafasan.
wana
kulit,
adanya sianosis, keabu- 2. Trauma abuan.
pada
menyebabkan
C1-C2 hilangnya
5. Berikan oksigen dengan
fungsi pernafasan secara
cara yang tepat seperti
menyeluruh, trauma C4-
dengan kanul
C5
masker, inkubasi.
oksigen,
mengakibatkan
hilangnya
fungsi
persarafan
yang
bervariasi
tergantung
pada
tekanan
frenikus
saraf
dan
fungsi
diagfragma. 3. Hipoventilasi
biasanya
terjadi atau menyebabkan akumulasi atau atelektasi atau
pneumonia
(komplikasi yang sering terjadi).
8
4. Menggambarkan terjadinya yang
gagal
akan nafas
memerlukan
evaluasi dan intervensi medis dengan segera.
2.6. Definisi Inkontinensia Urine Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari tenaga meneran ibu. Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan. Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas traktus urinarius kongenital. Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses persalinan adalah retensi urine. Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia. 9
Inkontinensia
urin
menurut
International
Continence
Society
didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata. International Consultation on Incontinence membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua. Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu batuk. Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra. Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga dengan inkontinensia urine campuran. 2.7. Penyebab dan Factor Resiko Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul. Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul 10
kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam. Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa. Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum. Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan penyebab potensial terhadap kejadian. Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal. Sebanyak 59% dari wanita Irlandia pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80% ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum.
11
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres. Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan
tekanan intrauretra
meningkat
saat
atau
kandung
pada saat tekanan intravesika
kemih
terisi.
Peningkatan
tekanan
intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat. Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul (Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi masalah inkontinensia urin. Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam melakukan latihan dasar panggul. 2.8. Terapi dan Penatalaksanaan Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu: 1.
Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.
2.
Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.
3.
Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh. Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal,
pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps 12
genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis. Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab
test’),
merupakan
test
sederhana
untuk
menunjukan
adanya
inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium. Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging. Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter ektopik). Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih yang tidak stabil. Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
13
populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. 1.
Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’) Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
2. Obat-obatan a.
Alfa Adrenergik Agonis
b.
Efedrin
c.
Phenylpropanololamine
d.
Estrogen
3. Stimulasi Elektrik Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan
selama
2
dekade.
Prinsip
stimulasi
elektrik
adalah
menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama 14
beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi nonimplant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris. 4. Alat Mekanis (Mechanical Devices) Tampon: Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka. Edward Spring: Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dg inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina. Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal. Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi : 1.
Kolporafi anterior
2.
Uretropeksi retropubik
3.
Prosedur jarum
4.
Prosedur sling pu
5.
Periuretral bulking agent
6.
Tension vaginal tape (TVT) BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus Seorang perempuan P3A0 usia 35 tahun datang ke klinik dengan keluhan inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya. Klien mengatakan 15
urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat mengangkat benda. Hasil pengkajian klien 1 minggu post partum, TFU tidak teraba, terdapat rupture perineum, dengan BB bayiunya 3700 gram. Klien mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien kelelahan dalam mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan menggunakan forceps. Riwayat persalinan sebelumnya normal pervaginam. Hasil pengkajian tidak terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast, namun masih terdapat nyeri pada luka perineum. Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat leukosit pada urine. Perawat menyarankan klien untuk melakukan kegel exercise. 3.1. Pengkajian Data 1.
Identitas Nama
: Ny. P
Umur
: 35 th
2. Riwayat Kesehatan a.
Keluhan Utama Klien mengeluh inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya.
b.
Riwayat Kesehatan Sekarang Klien mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat mengangkat benda. Hasil pengkajian klien 1 minggu post partum, TFU tidak teraba, terdapat rupture perineum, dengan BB bayiunya 3700 gram. Klien mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien kelelahan dalam mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan menggunakan forceps.
c.
Riwayat Kesehatan Terdahulu Status paritas P3A0. Riwayat persalinan sebelumnya normal pervaginam.
3. Pemeriksaan Fisik a.
Sistem Perkemihan Tidak terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast 16
b.
Sistem Reproduksi Masih terdapat nyeri pada luka perineum
c.
Pemeriksaan Penunjang Urinalisis : Tidak terdapat leukosit pada urine
Analisa Data No Data 1. Ds : - Klien mengeluh
Etiologi Persalinan lama
inkontinensia urin.
↓
- Klien mengatakan
Klien kesakitan dalam waktu
urine keluar pada saat
klien
batuk
atau
bersin,
saat
mengangkat
dan
benda.
lama ↓ Merasa takut ↓ Trauma melahirkan
- Hasil pengkajian klien
Problem Inkontinensia urine
1
minggu
post partum, TFU
↓ Tonus otot vagina dan uretra menurun
tidak
teraba,
↓
terdapat
rupture
Posisi V.U prolap
perineum, dengan
↓
BB bayiunya 3700
Tekanan intraabdominal
gram.
meningkat ↓
Do : - Hasil pengkajian Tonus elevator ani tidak dapat tidak
terdapat
disuria dan nyeri tekan
ataupun
distensi
blast,
namun
masih
terdapat
nyeri
menahan tekanan kebawah (batuk, bersin, tertawa) ↓ Inkontinensia Urine
17
pada
luka
perineum. Hasil
-
pemeriksaan urinalisis
tidak
terdapat leukosit 2.
pada urine. Ds : - klien merasa cemas dan
malu
dengan
kondisinya.
Trauma melahirkan
Ansietas/Cemas
↓ Tonus otot vagina dan uretra menurun
Do : - Hasil pengkajian
↓
tidak terdapat disuria dan
Posisi V.U prolap
nyeri
tekan
distensi
blast,
ataupun
↓
namun
Tekanan intraabdominal
masih terdapat nyeri pada luka perineum.
meningkat ↓ Tonus elevator ani tidak dapat menahan tekanan kebawah (batuk, bersin, tertawa) ↓ Inkontinensia Urine ↓ Merasa malu dan cemas ↓ Ansietas
3.
Ds : - Klien 1 minggu post partum - TFU tidak teraba
Persalinan lama
Resiko infeksi
↓ Kelelahan ↓
18
Do : - Tidak terdapat disuria dan
nyeri
Forceps
tekan
↓
ataupun distensi blast,
Rupture perineum
namun masih terdapat
↓
nyeri
pada
luka
Resiko infeksi
perineum. - Terdapat
rupture
perineum. 3.2 Diagnosa Keperawatan 1.
Inkontinensia urine b/d trauma persalinan
2.
Ansietas b/d inkontinensia urine
3.
Resiko infeksi b/d rupture perineum
3.3. Intevensi Keperawatan DX 1.
Tujuan Intervensi Rasional Setelah dilakukan 1. Tentukan kemampuan 1. Pasien paham tindakan
keperawatan
untuk
selama
2x24
desakan berkemih.
pengeluaran
jam
mengenali
mampu mengelani rasa ingin berkemih.
urin 2. Dorong klien untuk 2. Agar
involunter klien dapat
menjaga
berkurang
berkemih.
dan
jadwal
terpantau
terjadwal
ketika
dan klien
berkemih.
Dengan KH : urine 3. Ajarkan klien untuk 3. Agar klien terbiasa untuk tidak keluar pada saat
menahan urin secara
menahanm urine secara
batuk dan bersin.
sadar
sadar.
sampai
waktunya toileting. 4. Ajarkan teknik kegel 2.
Setelah tindakan
exercise. dilakukan 1. Terapi keperawatan
selama 2x24 diharapkan ansietas
pasangan
mengencangkan
otot otot panggul klien.
bersama 1. Kehadiran perawat dan dan
menyatakan perasaan.
dapat 2. Menentukan
4. Untuk
tingkat
pemahaman
secara
empati merupakan alat terapi yang
potensial 19
berkurang
dengan
kriteria hasil: Pasangan
dapat
mengungkapkan
pemahaman pasangan
untuk
tentang keluhan yang
pasangan
untuk
dirasakan klien.
menanggulangi
situasi
3. Berikan
harapannya
dengan
informasi
kata-kata
tentang
manajemen
manajemen yang sudah
pasangan
mempersiapkan
yang tidak diharapkan.
tentang 2. Pendidikan yang
sudah direncanakan.
diberikan cara
yang merupakan
yang
efektif
direncanakan, sehingga
mencegah
dapat mengurangi
menurunkan rasa cemas.
kecemasan pasangan.
dan
3. Pengetahuan mengurangi
akan ketakutan
akan hal-hal yang tidak 3.
diketahui. dilakukan 1. Kaji luka perineum 1. Mengidentifikasi adanya
Setelah tindakan
keperawatan
klien.
infeksi dini.
selama 2x24 diharapkan 2. Kaji tanda dan gejala 2. Rubor,
dolor,
kalor,
infeksi tidak terjadi.
infeksi: rubor, dolor,
fungsio
laesa
adalah
Dengan
kalor, fungsio laesa.
gejala dari infeksi.
KH:
Luka
perineum klien sembuh 3. Ajarkan klien untuk 3. Dengan seringnya ganti sesuai
waktu
normal
sering ganti balutan.
pembalut akan mencegah
post partum dan tidak
terjadinya infeksi pada
ada keluhan infeksi
klien dan klien merasa nyaman.
Pathway Persalinan lama
Disproporsi sephalo pelvik
Klien kesakitan dalam waktu lama
Janin kesulitan melewati jalan lahir
Merasa takut
Gangguan proses lahir
20
Rupture Resiko perineum Infeksi Kelelahan Forceps
Trauma Melahirkan TonusTonus elevator tidakdan dapat menahan ototani vagina uretra tekanan kebawah (batuk, bersin, tertawa) Tekanan Posisi Inkontinensia intraabdominal V.U Ansietas prolap Urine meningkat menurun
BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan/gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001: 229). Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis persalinan. Inkontinensia
urin
menurut
International
Continence
Society
didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata. International Consultation on Incontinence membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress, inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua 4.2. Saran
21
Dengan diberikannya tugas ini mahasiswa dapat lebih memahami dan mengerti tentang bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma persalinan inkontinensia urin, dan dapat melakukan perawatan yang baik dan tepat serta menegakkan asuhan keperawatan yang baik. Dengan adanya hasil tugas ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan untuk menambah wawasan dari ilmu yang telah didapatkan dan lebih baik lagi dari sebelumnya.
22
DAFTAR PUSTAKA Doenges, E.marlynn. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC. Daly, W Lloyd. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: ECG. Cunningham, FG., Leveno KJ., dkk. 2010. Obstetrics 23rd ed. New York: McGraw-Hill