Referat Psikiatri [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

REFERAT PSIKIATRI PERSPEKTIF SAAT INI MENGENAI GANGGUAN PENYESUAIAN

Oleh: Riri Adril Martin Yohanes S Sanjung Pamarta Pinandita Annisa P Fania Rachmadani Farhan Adi Pratama Afrizal Alif Azzam M

180070200011055 180070200011011 180070200011129 180070200011109 180070200011045 180070200011203 180070200011188

Pembimbing: dr. Dearisa Surya Yudhantara, Sp. KJ LABORATORIUM / SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2020

DAFTAR ISI HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 3 1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3 1.2 Tujuan.....................................................................................................................3 1.3 Manfaat..................................................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................. 4 2.1 Definisi....................................................................................................................4 2.2 Faktor Risiko............................................................................................................4 2.3 Etiologi dan Psikobiologi……………………………………………….........................................5 2.4 Mekanisme Koping...................................................................................................6 2.5 Tanda dan Gejala......................................................................................................8 2.6 Kriteria Diagnosis DSM V dan ICD-11......................................................................8 2.7 Penilaian Diagnosis.................................................................................................9 2.8 Diagnosa Banding.................................................................................................11 2.9 Tatalaksana Farmakoterapi dan Non-Farmakoterapi.............................................11 BAB III KESIMPULAN........................................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 18

2

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Adjustment disorder (AD) atau gangguan penyesuaian merupakan gangguan mental yang banyak dijumpai pada layanan kesehatan primer. Dalam 1 dekade terakhir, penderita AD telah meningkat meningkat dengan signifikan. Namun tidak banyak penelitian mengenai gangguan mental ini (Zelviene & Kazlauskas, 2018). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sundqist dkk tahun 2017, mereka menyebutkan bahwa prevalensi AD adalah 9,2%, berbeda sedikit dengan depresi mayor dengan prevalensi 12,4%. Survey terhadap dokter umum di dunia menyebutkan bahwa AD merupakan salah satu gangguan mental yang sering mereka temukan pada pasien mereka (Reed dkk, 2011). Studi menunjukkan bahwa terdapat 1-2% prevalensi penderita AD di populasi dunia. Ada pula yang menyebutkan prevalensi penderita AD di Jerman mencapai 0,9-2% (Glaesmer dkk, 2015). Di Indonesia sendiri, tidak banyak penelitian mengenai AD. Data di Asia menunjukkan bahwa terdapat sekitar 11,5% prevalensi penderita AD, dimana usia yang paling banyak terdiagnosis adalah usia 15-25 tahun (Ali, 2017). Pada penelitian yang dilakukan oleh Primasari dan Hidayat pada tahun 2016 di Yogyakarta menyebutkan bahwa prevalensi gangguan mental tersebut mencapai 12,9%. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa gangguan mental AD masih diremehkan oleh masyarakat. Sehingga diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan tenaga kesehatan agar dapat membantu menurunkan jumlah penderita AD di Indonesia. 1.2 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui definisi AD 2. Mengetahui etiologi dan psikopatologi dari AD 3. Mengetahui faktor risiko dari AD 4. Mengetahui mekanisme koping AD pada kondisi stress 5. Mengetahui tanda dan gejala AD 6. Mengetahui kriteria diagnosis AD 7. Mengetahui penilaian diagnosis AD 8. Mengetahui diagnosis banding dan cara menyingkirkan diagnosis banding AD 9. Mengetahui terapi dari AD 1.3 Manfaat Penulisan Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai Adjustment Disorder dalam hal penegakan diagnosis, penanganan awal, serta melakukan sistem rujukan dengan benar dan tepat sehingga dapat berguna saat berpraktik di masyarakat kelak.

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan Penyesuaian Berdasarkan DSM, definisi dari gangguan penyesuaian selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Pada DSM-1, Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai suatu gangguan kepribadian situasional yang bersifat sementara. Kemudian pada DSM-2, definisinya berubah menjadi gangguan situasional yang bersifat sementara. Pada DSM-3, barulah definisi dari AD adalah gangguan penyesuaian. Sedangkan pada DSM-4, AD didefinisikan sebagai gejala emosional atau perilaku yang muncul selama minimal 3 bulan dan berhubungan dengan adanya stressor, dan disertai gangguan fungsi sehari-hari yang signifikan. Berdasarkan DSM-4, penegakkan diagnosis AD tidak boleh disertai oleh gangguan mental lainnya. Ada beberapa subtipe AD pada DSM-4, yaitu dengan mood depresi, dengan kecemasan, dengan gejala campuran depresi dan kecemasan, dengan gangguan konduksi, dan dengan gejala campuran emosi dan konduksi. Pada DSM-5, tidak ada perubahan yang signifikan dari definisi AD. Hanya ada penambahan dan perbaikan mayor untuk kriteria diagnosis AD (Zelviene & Kazlauskas, 2018). Sedangkan berdasarkan ICD-10, definisi dari AD ialah reaksi terhadap stress berat dan gangguan penyesuaian, dan digolongkan bersama dengan reaksi stress akut, PTSD, dan reaksi terhadap stress berat yang lainnya dan tidak spesifik. AD juga diartikan sebagai reaksi maladaptif terhadap stressor yang teridentifikasi, termasuk perubahan hidup yang signifikan atau kondisi yang membuat penderita stress. Dimana manifestasi yang muncul pada penderita ialah distress yang subjektif dan gangguan emosional, dan dapat disertai depresi, cemas, dan rasa tidak mampu mengatasi gejala (Zelviene & Kazlauskas, 2018). 2.2 Faktor Resiko Berdasarkan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor resiko adjustment disorder dan melibatkan 649 orang peserta, ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor resiko dari gangguan penyesuaian yakni: a) Paparan stresor kehidupan, stresor terkait pekerjaan atau kesehatan Stres terkait kesehatan (penyakit jantung, penyakit kronis, penyakit orang terdekat, dll); Stressor interpersonal (konflik dengan anggota keluarga, perceraian / perpisahan, kematian orang yang dicintai); dan stressor terkait pekerjaan (konflik dengan kolega, pengangguran, kehilangan pekerjaan yang tidak terduga, masalah keuangan, pensiun, terlalu banyak atau terlalu sedikit pekerjaan) secara signifikan terkait dengan gangguan penyesuaian (Zelviene et al, 2020). b) Jenis Kelamin Perempuan Pada penelitian ini, ditemukan sekitar 73,8% dari penderita gangguan penyesuaian adalah perempuan, hal ini juga sejalan dengan penelitian lain yang menemukan jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan prevalensi gangguan penyesuaian yang lebih tinggi. c) Usia Pada penelitian ini ditemukan sekitar 64,5 % dari penderita gangguan penyesuaian memiliki usia 30 tahun ke atas. Hal ini karena seseorang berusia 30 tahun keatas cenderung memiliki resiko yang besar untuk terpapar stresor terkait pekerjaan seiring dengan berkembangnya karir dan bertambahnya tanggung jawab dalam pekerjaan. Resiko penyakit non-communicable yang cenderung meningkat juga menyebabkan turut berpengaruhnya stressor kesehatan (Lorenz et al., 2018). 4

d) Pendidikan Setingkat Universitas Meskipun pendidikan tinggi sering dianggap sebagai faktor pelindung untuk gangguan mental, pada penelitian ini ditemukan pendidikan setingkat universitas menjadi faktor risiko gangguan penyesuaian. Terdapat hipotesis bahwa karena pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan pekerjaan yang memiliki tanggung jawab lebih tinggi dan lebih beresiko untuk terpapar dengan stressor terkait pekerjaan (Zelviene et al, 2020). e) Paparan trauma Penelitian ini tidak menemukan paparan trauma menjadi faktor resiko gangguan penyesuaian. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa peristiwa traumatis yang parah, seperti kecelakaan mobil, kekerasan seksual, kekerasan antarpribadi atau lainnya dapat memicu stressor terkait pekerjaan atau stressor terkait kesehatan. Hubungan antara paparan trauma dan kadjustment disorder ini sebelumnya telah terungkap dalam sebuah studi longitudinal di Australia, yang menemukan prevalensi adjustment disorder yang tinggi (16%) pada 12 bulan setelah paparan trauma (O'Donnell et al., 2016). f) Upaya Bunuh Diri Pada penelitian ini menunjukkan bahwa upaya bunuh diri sebelumnya secara signifikan terkait dengan gangguan penyesuaian. Dan perlu di perhatikan bahwa studi lain juga menemukan hubungan antara adjustment disorder dengan ide bunuh diri dan perilaku melukai diri sendiri (Zelviene et al, 2020). 2.3 Etiologi dan Psikobiologi Gangguan Penyesuaian Gangguan penyesuaian diakibatkan oleh adanya suatu stressor seperti: perceraian atau hilangnya hubungan, hilangnya pekerjaan, diagnosis dari suatu penyakit, saat ini terdapat onset disabilitas, dan adanya konflik di lingkungan rumah dan pekerjaan merupakan jenis stressor yang sering ditemukan di negara berkembang (Maercker dan Lorenz, 2018). Adanya stressor ini akan mengakibatkan reaksi yang maladaptif sehingga akan menimbulkan gejala-gejala seperti: afek depresif, ansietas, campuran ansietas-depresif, dan gangguan tingkah laku. Saat ini langkah terbaik untuk mengetahui psikobiologi dari gangguan penyesuaian adalah melalui pemahaman akan efek stres pada sistem saraf pusat. Hal ini dikarenakan gangguan penyesuaian merupakan bagian dari sindroma respon stres (Strain, 2018). Salah satu aksis dari stres yang dapat dipelajari adalah melalui model Hipotalamus-Kelenjar pitutiari-Adrenal (HPA). Pada mulanya adanya suatu impuls/rangsangan kejadian yang memicu stres akan diterima oleh area korteks pre-frontal dan sistem limbik dari otak. Hal ini akan memicu hipotalamus untuk mensekresikan Corticothropin Releasing Hormone (CRH) yang berfungsi untuk menstimulasi kelenjar pitutiari anterior. Stimulasi ini menyebabkan kelenjar pitutiari anterior akan mensekresikan adrenokortikotropik hormon (ACTH) yang berfungsi untuk menginduksi sintesis dan sekresi hormon kortisol pada bagian korteks adrenal. Produksi kortisol yang terjadi secara terus menerus akan memunculkan suatu mekanisme umpan balik negatif melalui hipotalamus dan kelenjar pitutiari untuk menurunkan sekresi dari hormon kortisol. Namun pada saat adanya rangsangan stres yang berkepanjangan, fungsi sistem umpan balik ini akan berhenti sehingga menyebabkan hipotalamus secara terus menerus akan mensekresikan CRH dan akan menstimulasi kelenjar pitutiari anterior untuk mensekresikan ACTH dan hasil akhirnya adalah meningkatnya sekresi hormon kortisol secara berlebihan. Meningkatnya sinyal hormon kortisol melalui reseptor glukokortikoid dan mineralokortikoid akan meningkatkan produksi sitokin pro-inflammasi sehingga memberikan dampak kerusakan pada neuron pada regio hipokampus otak, mengurangi proses neurogenesis, dan meningkatkan gangguan kognitif (Gulyaeva, 2018). Meningkatnya sekresi hormon kortisol akan 5

mengakibatkan disregulasi dari neurotransmitter serotoninergik dan dopaminergik. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa stres akan menginduksi hormon kortisol sehingga produksi neurotransmitter serotonin dan norepinefrin akan menurun pada regio hippokampus dan memberikan gambaran klinis depresi. Sedangkan pada beberapa penelitian lain kortisol juga mampu untuk meningkatkan ekspresi dari reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A pada regio hippokampus dan amigdala sehingga akan memberikan gambaran klinis efek ansiollitik (gejala cemas, insomnia, dan serangan panik) (Liu et al, 2018).

Gambar 2.1 Mekanisme psikobiologi pada gangguan penyesuaian melalui pendekatan teori aksis Hipotalamus-Pitutiari-Adrenal (HPA) (Gulyaeva, 2018). 2.4 Mekanisme Koping pada Gangguan Penyesuaian Gangguan penyesuaian tidak berkembang tanpa adanya stress. Gangguan penyesuaian dianggap sebagai respon yang tidak sesuai untuk stressor, yang mengganggu mekanisme koping efektif. Mekanisme koping adalah suatu cara dari seseorang untuk merespon dan berinteraksi dengan problem/masalah (stressor) yang sedang di hadapi. Terdapat 2 jenis mekanisme koping yang sering digunakan meliputi: mekanisme pemecahan masalah (problem-solved) adalah upaya untuk melakukan sesuatu secara aktif untuk mengurangi situasi stres dan mekanisme terfokus pada emosi yang melibatkan upaya untuk mengatur emosi terhadap kondisi stres atau peristiwa yang berpotensi menjadi stres (Baqutayan, 2015). Mekanisme koping berperan penting sebagai mediator antara keadaan stres dan kesehatan mental. Koping terhadap stres mengacu pada upaya kognitif dan perilaku yang dibuat untuk mengelola tuntutan eksternal atau internal tertentu yang menghabiskan energi seseorang. Meskipun ada beberapa klasifikasi untuk mekanisme atau gaya koping, mekanisme koping yang saat ini sering dibahas adalah engagement coping, di mana subjek mencari sumber stres dan secara aktif mencoba mengelola situasi atau emosi yang terkait dengannya. Disengagement coping adalah ketika subjek menjauhkan dirinya dari stresor atau emosi terkait. Mekanisme ini menghambat reaksi terhadap masalah, termasuk mekanisme khas seperti penolakan, menyerah, lega, dan menyalahkan diri sendiri. Adaptive coping akan menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik, sedangkan maladaptive coping akan menciptakan psikopatologi, terutama gejala cemas dan depresi (Sanchez, et al, 2015). Penderita gangguaan penyesuaian menunjukkan koping yang lebih maladaptif, dengan ketergantungan yang lebih besar pada disengagement coping dan berkurangnya penggunaan 6

humor. Sedangkan pada mekanisme koping aktif, seperti engagement coping, biasanya lebih adaptif dan memang lebih sukses dalam penyesuaian psikologis. Bentuk koping yang lebih pasif, seperti disengagement coping, dipandang sebagai kurang berhasil, lebih disfungsional, dan lebih maladaptif. Ini memprediksi tingkat kecemasan dan depresi yang lebih. Jenis koping yang digunakan juga memprediksi perkembangan gangguan lain yang terkait dengan peristiwa traumatis atau stres, seperti gangguan stres pasca-trauma (Sanchez, et al, 2015). Pada laki-laki, mekanisme koping yang paling sering digunakan adalah Cognitive Avoidant. Sedangkan pada perempuan, mekanisme koping yang paling banyak digunakan adalah Logical Analysis, Cognitive Avoidant, Problem Solving, dan Acceptance-Resignation. Sehubungan dengan perbedaan gender, perempuan dengan gangguan penyesuaian cenderung menggunakan lebih banyak mekanisme untuk menghadapi stres daripada anak laki-laki dengan gangguan penyesuaian, terutama yang berkaitan dengan tipe avoidant. Dapat dikatakan bahwa anak perempuan menggunakan sejumlah besar mekanisme untuk mengatasi stresor, meskipun mekanisme ini tidak adaptif (Ferrer, et al, 2018). Penelitian Laia dan Teresa (2018) menunjukkan bahwa mekanisme koping avoidant dan emotion focused pada individu dengan gangguan penyesuaian berkaitan dengan kecenderungan bunuh diri, perilaku yang merugikan diri sendiri, dan perilaku yang merusak diri sendiri. Sebaliknya, mekanisme koping aktif seperti hard work dan achievement bersifat protektif terhadap kejadian terhadap bunuh diri. Remaja dengan gejala gangguan penyesuaian yang lebih berat cenderung menggunakan mekanisme avoidant ketika mereka melawan stressor dibandingkan dengan remaja yang memiliki gejala ringan. Demikian pula pasien dewasa cenderung lebih sering menerapkan mekanisme disengagement, dan jarang menggunakan mekanisme humor. Perempuan dengan gangguan penyesuaian menunjukkan adanya ide dan niat untuk bunuh diri yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Remaja dengan gangguan penyesuaian menggunakan lebih banyak mekanisme tipe avoidant daripada remaja tanpa AD. Hubungan antara koping dan bunuh diri pada remaja dengan AD dipengaruhi oleh jenis kelamin: pada anak laki-laki, peran mekanisme koping engagement dan disengagement terhadap ide bunuh diri menunjukkan hubungan yang kuat sebesar 41%. Pada anak perempuan, hanya mekanisme emotional discharge yang terkait dengan ide dan niat bunuh diri (Ferrer, et al, 2018). Meskipun pasien dengan gangguan penyesuaian secara signifikan lebih sering menggunakan immature defense dan less mature defense daripada individu yang sehat, perhatian, pemahaman, dan intervensi dalam struktur psikologis batin pasien diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan gangguan ini dan dapat membantu pasien menyesuaikan diri dengan stressor (Sanchez, et al, 2015).

Gambar 2.2 Jenis-jenis strategi koping yang digunakan di dalam stres (Baqutayan, 2015).

7

2.5 Tanda dan Gejala Gangguan Penyesuaian a) Perasaan sedih, putus asa, khawatir, gugup, takut, cepat marah b) Sakit dan nyeri tubuh yang tidak bisa dijelaskan, kurang tidur dan kurang nafsu makan c) Withdrawal dari keluarga dan temen d) Masalah di sekolah dan tugas di sekolah e) Pembolosan, perkelahian f) Self- harming behaviours g) Pemikiran atau upaya untuk bunuh diri (Maecker dan Lorenz, 2018). 2.6 Kriteria Diagnosis Gangguan Penyesuaian DSM V dan ICD-11 Pendekatan DSM-5 terhadap gangguan penyesuaian tetap berfokus pada distress atau gangguan yang terkait dengan stressor yang dinilai berlebihan (relatif terhadap norma budaya). Di sisi lain, ICD11 memperkenalkan perubahan yang menandai pergeseran paradigma yang signifikan. ICD-11 menyatakan gangguan penyesuaian sebagai gangguan terkait stres dengan mengkategorikannya dalam bab Gangguan Khusus Berhubungan dengan Stres. Namun, terdapat perbedaan pada DSM-5 yaitu mengkonseptualisasikan gangguan penyesuaian sebagai kegagalan untuk beradaptasi dengan stressor sebagaimana dibuktikan oleh preokupasi dengan stressor dan konsekuensiny. Gangguang penyesuaian menurut ICD-11 mengharuskan ditemukannya gangguan signifikan dalam fungsi pribadi, pekerjaan, dan/atau sosial namun pada DSM-5 tidak secara spesifik memerlukan gangguan fungsional, cukup memiliki gangguan dalam fungsi atau distress yang tidak proporsional dengan tingkat keparahan stresor. ICD-11 menentukan bahwa gejala harus muncul dalam waktu satu bulan setelah stresor, sementara menurut DSM-5 menyatakan onset yang lebih liberal yaitu tiga bulan setelah stressor. Selain itu, DSM-5 menentukan bahwa gejala tidak dapat mewakili kematian yang normal dan sesuai dengan budaya, sedangkan pada ICD-11 tidak dijelaskan. Namun, perbedaan paling signifikan antara kriteria diagnostik ICD-11 dan DSM-V yaitu pada ICD-11 membutuhkan gejala-gejala preokupasi dengan stresor dan konsekuensinya dalam bentuk perenungan, kekhawatiran berlebihan dan/atau pikiran-pikiran menyedihkan yang berulang sedangkan pada DSM-5 tidak memberikan panduan tentang gejala apa yang mungkin berkontribusi menyebakan distress. (O'Donnell et al., 2019). Tabel 1. Ringkasan Kriteria Diagostik menurut DSM-5 dan ICD-11 (O'Donnell et al., 2019). DSM-5 ICD-11 A. Timbulnya gejala emosional atau perilaku 1. Kehadiran stresor psikososial yang dapat harus terjadi sebagai respons terhadap diidentifikasi. Gejala muncul dalam 1 bulan stresor yang dapat diidentifikasi, dan dalam setelah stresor. waktu 3 bulan stresor. B. Gejala-gejala ini signifikan secara klinis, 2. Preokupasi terkait dengan stressor atau ditandai oleh: konsekuensinya dalam bentuk setidaknya - Distress yang tidak proporsional dengan satu dari yang berikut: tingkat keparahan atau intensitas stresor, (A) khawatir berlebihan tentang stresor dengan mempertimbangkan faktor-faktor (B) pikiran berulang dan menyedihkan kontekstual dan budaya. tentang stresor atau (c) perenungan terus-menerus tentang - Gangguan signifikan dalam domain sosial, implikasi pemicu stres. pekerjaan, atau fungsi lainnya. 8

C. Gangguan tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan mental lain, dan bukan merupakan eksaserbasi dari gangguan yang sudah ada sebelumnya. D. Gejala-gejala tidak mewakili berkabung yang normal. E. Gejala tidak bertahan lebih dari enam bulan tambahan setelah stresor atau konsekuensinya telah diatasi.

3. Kegagalan untuk beradaptasi dengan stresor yang menyebabkan penurunan signifikan dalam bidang fungsi pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan atau penting lainnya 4. Gejala tidak spesifik atau keparahan yang cukup untuk membenarkan diagnosis gangguan mental atau perilaku lain. 5. Gejala biasanya sembuh dalam waktu 6 bulan, kecuali jika stresor berlangsung lebih lama

2.7 Penilaian Diagnosis Gangguan Penyesuaian Diagnosis klinis bukan bagian dari kebanyakan wawancara diagnosis yang terstruktur yang paling umum digunakan yaitu clinical interview schedule, composite international diagnostic, schedule for clinical assessment in neuropsychiatry, mini international neuropsychiatry, structured clinical interview for DSM-5. Penilaian klinis AD menurut ICD 11 menggunakan Adjustment Disorder-New Module (ADNM) tersedia sebagai wawancara klinis yang terstruktur, self-report dan six-item screening. ADNM telah dilakukan pembaruan ICD-11 consistent form (ADNM-20). Kedua versi terdiri dari selfreport questionnaires and the structured clinical interview. wawancara dimulai dengan kehidupan yang mebuat stress yang diikuti gejala inti ( pre okupasi, kegagalan beradaptasi) dan gejala aksesori ( depresi, mood, anxiety, avoidace, masalah regulasi implus). Keduanya menilai kriteria impairment (gangguan sosial, kehidupan kerja, waaktu senggang). Respon pasien dapat Bergama (ya/tidak). Tambahannya pasien diminta menjawab gejala yang sudah ada (