Buku Fiqh Munakahat - Muhamad Ali [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

BAB I Anjuran Untuk Menikah A. Pendahuluan Nikah atau perkawinan adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan dengan penuh kedamaian. Manusia dianjurkan untuk menikah karena menikah itu menjaga pandangan mata yang salah dan melindungi syahwat. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dan beliau sangat menyukainya, beliau bersabda:

‫ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ َا ِ ْﻦِ ﻣ َْﺴﻌُﻮ ٍد رﴈ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎ َل ﻟَﻨَﺎ رَﺳُ ﻮلُ َا ِ ﺻﲆ ﷲ‬ ، ْ‫ْﴩ اَﻟﺸ ﺒ َِﺎب ! ﻣَﻦِ اﺳْ ﺘَﻄَ ﺎ َع ِﻣ ُ ُْﲂ َاﻟْﺒَﺎ َء َة ﻓَﻠْﯿ ََﱱَو ج‬ َ َ ‫ﻠﯿﻪ وﺳﲅ ) َ َﻣﻌ‬ ‫ ﻓَﺎﻧ ُﻪ‬،‫وَ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ َْﺴ ﺘَﻄِ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿ ِﻪ ِ ﻟﺼ ﻮْ ِم‬،ِ‫ﺣْﺼﻦُ ِﻠْﻔَﺮْ ج‬ َ َ‫ و‬،‫َﴫ‬ ِ َ ‫ﻓَﺎﻧ ُﻪ ﻏَﺾ ِﻠْﺒ‬ .‫َ ُ ِو َﺎ ٌء ( ُﻣ ﻔَﻖٌ َﻠَ ْﯿ ِﻪ‬ Artinya : “Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, Fiqih Munakahat 1

karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq Alaihi).1 Menurut pandangan Islam, di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnatullah dan sunnah Rasul. Sunnatullah, berarti: menurut qodrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.2 Oleh karena itu maka nikah atau perkawinan adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan. Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku di kalangan manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah SWT berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49 :

۞ َ‫َﻠﲂ ﺗَﺬَ ﻛﺮُ ون‬ ْ ُ ‫ﳾ ٍء َ ﻠَ ْﻘ َﺎ زَوْ ْ َِﲔ ﻟَﻌ‬ َْ ‫ﰻ‬ ِّ ُ ْ‫وَ ﻣِﻦ‬ Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” 1

Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 636 2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 41 2 Fiqih Munakahat

Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nyalah naluri apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih. Segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tidak satupun pernah lepas dari bimbingan dan campur tangan Allah SWT. Allah SWT menganjurkan untuk menikah dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat72 :

‫وَا ُ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦْ ﻧْﻔ ُِﺴ ُ ْﲂ زْوَ ا ًﺎ وَ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦْ زْوَ اﺟِ ُ ْﲂ ﺑَﻨِﲔَ وَ َﺣﻔَﺪَ ًة‬ .... ۚ ‫َﺎت‬ ِ ‫وَرَ زَ ﻗ ُ َْﲂ ﻣِﻦَ اﻟﻄ ِ ّﯿﺒ‬ Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteriisteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik...”3 Berdasarkan hadis-hadis Rasul:

‫ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ َا ِ ْﻦِ ﻣ َْﺴﻌُﻮ ٍد رﴈ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎ َل ﻟَﻨَﺎ رَﺳُ ﻮلُ َا ِ ﺻﲆ ﷲ‬ ، ْ‫ْﴩ اَﻟﺸ ﺒ َِﺎب ! ﻣَﻦِ اﺳْ ﺘَﻄَ ﺎ َع ِﻣ ُ ُْﲂ َاﻟْﺒَﺎ َء َة ﻓَﻠْﯿ ََﱱَو ج‬ َ َ ‫ﻠﯿﻪ وﺳﲅ ) َ َﻣﻌ‬ ،‫ وَ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ َْﺴ ﺘَﻄِ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿ ِﻪ ِ ﻟﺼ ﻮْ ِم‬،ِ‫ﺣْﺼﻦُ ِﻠْﻔَﺮْ ج‬ َ َ‫ و‬،‫َﴫ‬ ِ َ ‫ﻓَﺎﻧ ُﻪ ﻏَﺾ ِﻠْﺒ‬ .‫ﻓَﺎﻧ ُﻪ َ ُ ِو َﺎ ٌء ( ُﻣ ﻔَﻖٌ َﻠَ ْﯿ ِﻪ‬ 3

Ibrahim muhammad al-jamal, Fiqih Wanita, (Jakarta: Amzah 2012).h. 358-359 Fiqih Munakahat 3

Artinya : “Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq Alaihi. No.993)

‫ وَ َﳯْ َﻰ ﻋَﻦِ اﻟﺘ َ ﻞِ ﳖَ ْﯿًﺎ‬،‫ ) ﰷَ نَ رَﺳُ ﻮلُ َا ِ ﷺ ﯾ َ ﻣُﺮُ ِ ﻟْﺒَﺎ َء ِة‬: ‫وَ َﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َل‬ ‫ َﺰَ و ُﺟﻮا َاﻟْﻮَ دُو َد َاﻟْﻮَ ﻟُﻮ َد ِ ّاﱐ ﻣُﲀَ ِﺮٌ ُ ُِﲂ َا ْ ﻧْ ِ َﺎ َء ﯾ َﻮْ َم‬: ُ‫وَ ﯾَﻘُﻮل‬،‫ﺷَ ﺪِﯾﺪً ا‬ . َ‫وَﲱ َ ُﻪ ِا ْﻦُ ِﺣ ﺎن‬ َ ، ُ‫َاﻟْ ِﻘ َﺎ َﻣ ِﺔ ( رَوَ ا ُﻩ ْﲪَﺪ‬ Artinya : “Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." (Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. No.995)

4 Fiqih Munakahat

‫ وَ ﺛ َْﲎ‬، َ ‫وَ ﻋَﻦْ َِﺲ ْﻦِ ﻣَﺎ ِ ٍ رﴈ ﷲ ﻋﻨﻪ ) ن ا َِﻟﻨﱯ ﷺ َﲪِﺪَ َا‬ ،‫ وَ َﺰَ و جُ اَﻟ ِّﺴَ ﺎ َء‬. ُ‫ وَ ُﺻﻮ ُم وَ ﻓْﻄِ ﺮ‬،‫ ﻟَﻜ ِ ِّﲏ َ ﺻَ ِ ّﲇ وَ َ ُم‬: ‫ وَ ﻗَﺎ َل‬،‫َﻠَ ْﯿ ِﻪ‬ ‫ﻓَﻤَﻦْ رَ ﻏِﺐَ ﻋَﻦْ ﺳُ ِﱵ ﻓَﻠَ َْﺲ ﻣ ِ ِّﲏ ( ُﻣ ﻔَﻖٌ َﻠَ ْﯿ ِﻪ‬ Artinya : “Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." (Muttafaq Alaihi. No.994)4 Menurut riwayat lain: “Dari Sa’id Hilal Al-Laitsy, menikahlah kamu sekalian agar menjadi banyak, karna aku akan bangga umat ku lebih banyak dari yang terdahulu dengan alasan alquran dan hadits rasul tersebut ternyata bahwa manusia itu dianjurkan untuk menikah. Karena menikah itu menjaga pandangan mata yang salah dan melindungi syahwat.5 Dari berbagai definisi diatas maka dapat dipahami bahwa pernikahan itu adalah sunatullah yang berarti: menurut qodrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, tidak ada ciptaan Allah yang tidak berpasangan begitu juga hambanya laki-laki berpasangan dengan prempuan, itu 4

Dani Hidayat, Kompilasi Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam, ( Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008) No. 994 5 Muhammad idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara 2002). h. 11-13 Fiqih Munakahat 5

semua agar manusia mendapatkan ketenteraman dalam hidupnya, disisilain bahwa pernikahan juga sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.

6 Fiqih Munakahat

B. Sunnah Para Nabi Dan Rasul Kalau ada orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah, mereka tentulah bukan para pendeta atau biksu yang hidupnya membujang dan menjauhi hidup berumah tangga.Kalau ada orang yang dijamin pasti masuk surga setelah terjadi hari kiamat nanti, pastilah mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia. Para pendeta dan biksu hanya mengklaim diri mereka sebagai orang suci, tetapi di sisi Allah sebagai Tuhan yang menetapkan tata cara beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya, para pendeta dan biksu yang tidak menikah itu bukan orang yang dekat dengan diri-Nya. Orang-orang terdekat yang langsung menerima wahyu dari Allah SWT tidak lain hanyalah para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang yang resmi menjadi pembawa wahyu dari langit.Dan para nabi serta rasul itu seluruhnya hidup normal dengan menikahi wanita, berumah tangga dan punya anak serta keturunan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Ar-Ra’d ayat 38:

ٍ‫وَ ﻟَﻘَﺪْ رْﺳَ ﻠْﻨَﺎ رُﺳُ ًﻼ ﻣِﻦْ ﻗَ ْ ِ َ وَ َﺟ َﻌﻠْﻨَﺎ ﻟَﻬُﻢْ زْوَ ا ًﺎ وَ ذ ُّرِﯾ ًﺔ ۚ وَ ﻣَﺎ ﰷَ نَ ﻟِﺮَﺳُ ﻮل‬ ۞ ٌ‫ِﲁ َﻞٍ ِﻛﺘَﺎب‬ ِّ ُ ‫نْ ﯾ َ ِ َﰐ ِﺑ ٓﯾ َ ٍﺔ اﻻ ِ ذْنِ ا ِ ۗ ﻟ‬ Artinya

:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) Fiqih Munakahat 7

melainkan dengan izin Allah.Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (QS. Ar-Ra'd:38) Dan di dalam hadits nabi SAW disebutkan bahwa menikah itu bagian dari sunnah para Nabi dan Rasul.6 Dalam hadits juga dijelaskan, yang artinya: “Anas Ibn Malik berkata: Datang tiga golongan kerumah istri-istri Nabi SAW ketika diterangkan kepada mereka seakan-akan mereka menganggapnya terlalu sedikit, mereka berkata: “Jadi di mana kami dibandingkan dengan Nabi SAW padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang” salah satu dari mereka berkata: “ sedangkan aku shalat malam terus menerus” yang lain berkata “Aku berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka “ yang lain berkata: “Aku menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya “maka datanglah Nabi SAW kepada mereka lalu berkata: Kalian yang berkata begini dan begitu, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian dan lebih taqwa daripada kalian dihadapanNya akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku mengawini wanita, barang siapa yang membenci Sunnahku maka ia bukan golonganku.” (HR. al-Bukhary pada kitab Nikah Bab keinginan untuk menikah). Lebih dari separuh dari masa kehidupan Rasulullah SAW dilalui dengan didampingi istri. Terhitung sejak beliau 6

Ahmad Sarwat, Fikih Kehidupan,(Jakarta:Press, 2011), h. 32

8 Fiqih Munakahat

menikah pertama kali pada usia 25 tahun hingga menutup usia di usia 63 tahun, selama 37 tahun beliau selalu memiliki istri, kecuali beberapa bulan saja ketika beliau menduda sepeninggal istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Dalam hidupnya, Rasulullah SAW bukan hanya menikah sekali tetapi beberapa kali. Tercatat beliau pernah menikah 11 orang wanita, mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Al-Khattab, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Zainab binti Jahsyi, Juwairiyah binti Al-Harits, Ramlah binti Abu Sufyan, Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, Maimunah binti Al-Harits. Maka orang yang hidupnya tidak didampingi istri, bukan karena alasan yang syar’i dan diterima dalam udzur, berarti hidupnya tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan bila ketidak-menikahan itu diiringi dengan rasa tidak suka atau membenci lembaga pernikahan, maka sikap itu sudah termasuk membenci sunnah Nabi SAW. Sebagaimana sabda beliau :

.‫اَﻟﻨّﲀَ حُ ﻣِﻦْ ﺳُ ِﱴ ﻓَﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﯾ َ ْﻌﻤَﻞْ ِﺴُ ِﱴ ﻓَﻠَ َْﺲ ﻣ ِّﲏ‬ Artinya : “Menikah itu bagian dari sunnahku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.” (HR. Ibnu Majah) Rasulullah SAW menyebutkan bahwa hidup sendirian tanpa nikah adalah perbuatan yang tidak dizinkan : Fiqih Munakahat 9

.‫ﻟَﻘَﺪْ رَد رَﺳُ ﻮلُ ا ِ ََﲆ ُﻋﺜْﻤَﺎنَ ْﻦِ ﻣَﻈْ ﻌُﻮنٍ اﻟﺘ َ َﻞ وَ ﻟَﻮْ ذِنَ َ ُ ﻻ ْﺧ ََﺼ ْﯿﻨَﺎ‬ Artinya : “Sa’ad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menolak Usman bin Maz’unin membujang, dan seandainya (Nabi) mengizinkan padanya niscaya memperbolehkan.” (HR. Ibnu Majah). C. Bagian Dari Tanda Kekuasaan Allah Menikah adalah salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, sebagaimana firman Allah dalam suratAn-Nahl ayat 72 di jelaskan:

َ‫وَا ُ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦْ ﻧْﻔ ُِﺴ ُ ْﲂ زْوَ ا ًﺎ وَ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦْ زْوَ اﺟِ ُ ْﲂ ﺑَﻨِﲔ‬ ....ۚ ‫َﺎت‬ ِ ‫وَ َﺣﻔَﺪَ ًة وَرَ زَ ﻗ ُ َْﲂ ﻣِﻦَ اﻟﻄ ِ ّﯿﺒ‬ Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteriisteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik...” D. Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya

‫وَ ْ ِﻜ ُﺤﻮا ا ْ َ ﻣَﻰٰ ِﻣ ُ ْْﲂ وَاﻟﺼ ﺎ ِﻟ ِﲔَ ﻣِﻦْ ِﻋﺒَﺎدِﰼُ ْ وَا ﻣَﺎ ُ ِْﲂ ۚ انْ َ ُﻜﻮﻧُﻮا ﻓُﻘَﺮَا َء‬ ۞ ‫ﯾُﻐْﳯِ ِ ُﻢ ا ُ ﻣِﻦْ ﻓَﻀْ ِ ِ ۗ وَا ُ وَاﺳِ ٌﻊ َ ِﻠ ٌﲓ‬ Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang 10 Fiqih Munakahat

perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.An-Nuur: 21) Seseorang menikah karna beberapa sebab : 1. karena mengharapkan harta benda 2. karena mengharapkan kebangsawanannya 3. karena melihat kecantikannya 4. karena melihat agama dan budi pekerti yang baik Sabda Rasulullah SAW yang karena hartanya:

‫ﻣَﻦْ َ َﻜ َﻊ ْاﻟَﺮْ َة ِﻟﻤَﺎ ِﻟﻬَﺎ ﺣَﺰَ وَ ﷲ ﻣَﺎ ﻟَﻬَﺎ وَ ﲨَ َﺎ ﻟَﻬَﺎ وَ ﻣَﻦْ َ َﻜ َﻌﻬَﺎ رَزَ ﻗَ ُﻪ‬ .‫وَﲨَﺎ ﻟَﻬَﺎ‬ َ ‫ﷲ ﻣَﺎ ﻟَﻬَﺎ‬ Artinya : “Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya, dan barang siapa yang menikah karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al-hadist)7 E. Ibadah dan Setengah dari Agama Menikah itu memang kadang bisa menjadi bagian dari agama seseorang, meskipun tidak merupakan jaminan yang sifatnya pasti. Maksudnya bila seseorang sudah punya istri, maka seharusnya dan idealnya sudah tidak lagi tergoda 7

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2012),h. 376 Fiqih Munakahat 11

untuk melakukan zina. Karena apa yang dibutuhkannya sudah tersedia secara halal di rumahnya, tanpa harus terkena resiko biaya yang mahal atau terkena penyakit kelamin. Sebaliknya, laki-laki atau wanita dewasa yang sehat lahir batin serta normal, bila tidak punya pasangan yang sah, akan mudah sekali tergoda atau terjerumus ke dalam lembah zina yang diharamkan. Namun sekali lagi, untuk di masa sekarang ini, menikah itu memang bukan jaminan yang bergaransi 100% membuat orang tidak berzina.Buktinya, para lelaki hidung belang yang rajin mengunjungi rumah bordil, umumnya adalah laki-laki yang sudah punya istri.Entah kenapa, masih lebih suka jajan di luar, seolah istri yang ada di rumah tidak cukup. Meski ada beberapa riwayat yang lemah, namun hadits tentang menikah itu setengah dari agama punya beberapa jalur sanad yang bisa diterima.

.‫ﻣَﻦْ َﺰَ و جَ ﻓَﻘَ ِﺪ اﺳْ ﺘَﳬْ َ َﻞ ﻧ ِْﺼ َﻒ اﻻ ﯾْﻤَﺎنِ ﻓَﻠْﯿَﺘﻖِ ﷲَ ﰲِ اﻟﻨّ ِْﺼ ِﻒ اﻟﺒ َِﺎﰶ‬ Artinya : “Siapa yang menikah maka sungguh dia telah menyempurnakan setengah iman, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.” (HR. Ath-Thabrani)

12 Fiqih Munakahat

.‫ا ذَا َﺰَ و جَ اﻟ َﻌﺒْﺪُ ﻓَﻘَﺪْ ﳈَ َﻞ ﻧ َْﺼ َﻒ ا ّ ِ ْﻦِ ﻓَﻠْﯿَﺘﻖِ ﷲَ ِﰲ اﻟﻨّ ِْﺼ ِﻒ اﻟﺒ َِﺎﰶ‬ Artinya

:

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi)

Dari Anas ra.bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: "Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya.” (HR. Thabarani dan Al-Hakim) F. Tidak Ada Pembujangan dalam Islam Membujang artinya memutuskan diri dari perempuan dan meninggalkan pernikahan. Perempuan yang membujang adalah perempuan yang meninggalkan laki-laki, tidak mempunyai keinginan kepada mereka, karenanya perempuan ini disebut maryam, ibu al-masih Isa AS. Membujang berarti seorang laki-laki yang menyendiri. Ia menyendiri sebagai peniadaan membujangnya dalam sebuah kamar. Jika ia tidak memiliki keluarga disebut bujangan dan begitu pula dengan perempuan yang membujang. Ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Juair, Mujahid berkata: “sejumlah laki-laki diantaranya Usman dan Abdullah bin Amru, ingin hidup membujang, memfokuskan dengan diri mereka, dan memakai pakaian yang kasar lalu turunlah ayat Al-Maidah ayat 87-88 ini: Fiqih Munakahat 13

‫َﺎت ﻣَﺎ َﻞ ا ُ ﻟ ُ َْﲂ وَ َﻻ ﺗَ ْﻌﺘَﺪُ وا ۚ ان‬ ِ ‫َ ﳞ َﺎ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا َﻻ ﲢُ ّ َِﺮ ُﻣﻮا ﻃَ ِ ّﯿﺒ‬ َ ‫ا َ َﻻ ﳛُ ِﺐ اﻟْ ُﻤ ْﻌﺘَ ِﺪ ﻦَ ۞ وَﳇُ ُﻮا ﻣِﻤﺎ رَزَ ﻗ ُ َُﲂ ا ُ ََﻼ ًﻻ ﻃَ ِ ّﯿﺒًﺎ ۚ وَاﺗ ُﻘﻮا ا‬ ۞ َ‫ا ِي ﻧ ُ ْْﱲ ِﺑ ِﻪ ﻣُﺆْ ِﻣ ُﻮن‬ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”8 Dalam hadits dijelaskan:

‫ٔرادا س ﻣﻦ ٔﲱﺎب راﺳﻮل ﷲ ﷺ ٔن ﺮﻓﻀﻮا ﻧﯿﺎ و‬ ‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ ﻓﻐﻠﻆ ﻓﳱﻢ ااﳌﻘﺎ ﰒ‬.‫ﯾﱰﻮااﻟ ﺴﺎء وﯾﱰﻫﺒﻮا‬ ‫ﻗﺎل إﳕﺎ ﻫ ﻣﻦ ﰷن ﻗ ﻠﲂ اﻟ ﺸﺪﯾﺪ ﺷﺪّ دوا ﲇ ٔﻧﻔﺴﻬﻢ‬ ‫ﻓﺸﺪّ دﷲ ﻠﳱﻢ ﻓ ٔوﻟﺌﻚ ﺑﻘﺎﳞﻢ ﰱ ٔد رواﻟﺼﺎواﻣﻊ ﻓﺎﻋﺒﺪﷲ‬ ‫وﻻ ﴩ ﻮا ﺑﻪ وﲩﻮا واﻋﳣﺮوا واﺳﺘﻘﳰﻮا ﺴﺘﻘﻢ ﲂ ﻗﻞ و ﺰﻟﺖ‬ .‫ﻓﳱﻢ ﯾﺔ‬ 8

Ali yusuf as-subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Amzah,2010) h. 7

14 Fiqih Munakahat

Artinya : “Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin, dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka Rasulullah SAW dengan nada marah berkata: sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah akan meluruskan kepadamu.”9 Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri. Seorang muslim tidakhalal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.10 9

Abu Fathan, Assaduddin, Panduan Wanita Sholihah, (Jakarta:Press,1992) h.22 10 Ahmad Sarwat , Seri Fikih Kehidupan, (Jakarta: Press,2011) h. 43 Fiqih Munakahat 15

G. Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup Secara biologis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.

۞ َ‫َﻠﲂ ﺗَﺬَ ﻛﺮُ ون‬ ْ ُ ‫ﳾ ٍء َ ﻠَ ْﻘ َﺎ زَوْ ْ َِﲔ ﻟَﻌ‬ َْ ‫ﰻ‬ ِّ ُ ْ‫وَ ﻣِﻦ‬ Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat : 49)

‫ﺳُ ْﺒ َﺎنَ ا ِي َ ﻠ ََﻖ ا ْ زْوَ اجَ ﳇُ ﻬَﺎ ﻣِﻤﺎ ﺗُ ْﻨ ُِﺖ ا ْ ُرْض وَ ﻣِﻦْ ﻧْﻔ ُِﺴﻬِﻢْ وَ ﻣِﻤﺎ‬ ۞ َ‫َﻻ ﯾ َ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬ Artinya : “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yaasin : 36)

۞ َ‫وَا ِي َ ﻠ ََﻖ ا ْ زْوَ اجَ ﳇُ ﻬَﺎ وَ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦَ اﻟْ ُﻔ ْ ِ وَا ْ ﻧْﻌَﺎ ِم ﻣَﺎ َﺮْ َﻛﺒُﻮن‬ Artinya : “Dan Yang menciptakan semua yang berpasangpasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.” (QS. Az-Zukhruf:12) 16 Fiqih Munakahat

۞ ‫وَ ﻧ ُﻪ َ ﻠ ََﻖ اﻟﺰوْ ْ َِﲔ ا ﻛَﺮَ وَا ْ ﻧ َ ْٰﱺ‬ Artinya : “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (QS.An-Najm:45)

Fiqih Munakahat 17

18 Fiqih Munakahat

BAB II Pernikahan A. Pengertian Ta’rif perkawinan: yaitu ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim11. Firman Allah SWT :

‫ﺎب ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦَ اﻟ ِ ّﺴَ ﺎ ِء َﻣ َْﲎ‬ َ َ‫وَانْ ِﺧﻔ ُ ْْﱲ ﻻ ﺗُﻘ ِْﺴﻄُ ﻮا ِﰲ اﻟْ َﯿﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎ ْ ِﻜ ُﺤﻮا ﻣَﺎ ﻃ‬ َ ِ ‫ُﻼث وَرُ َ َع ﻓَﺎنْ ِﺧﻔ ُ ْْﱲ ﻻ ﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﻓَﻮَا ِﺪَ ًة وْ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ َْﺖ ﯾْﻤَﺎ ُ ُْﲂ َذ‬ َ ‫وَ ﺛ‬ ۞ ‫د َْﱏ ﻻ ﺗَ ُﻌﻮﻟُﻮا‬ Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisaa’: 3)

11

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Percetakan Sinar Baru, 2008), h.374 Fiqih Munakahat 19

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus).12 Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinanitu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. B. Manfaat Pernikahan Berbagai ayat dan hadits menunjukkan bahwa nikah itu sangat dianjurkan dalam Islam.Dalam Al-Qur’an terdapat 23 ayat yang menyangkut nikah. Diantaranya terdapat ayat yang menjelaskan keharusan menikah, seperti surat Ar-Rum ayat 21 :

12

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana,

2006),h.7 20 Fiqih Munakahat

‫وَ ﻣِﻦْ ٓ َ ِﺗ ِﻪ نْ َ ﻠ ََﻖ ﻟ ُ َْﲂ ﻣِﻦْ ﻧْﻔ ُِﺴ ُ ْﲂ زْوَ ا ًﺎ ِﻟ َْﺴ ُﻜ ُﻮا ا َﳱْ َﺎ وَ َﺟ َﻌ َﻞ ﺑ َ ْ ُ َْﲂ‬ ۞ َ‫ﻣَﻮَد ًة وَرَ ْ َﲪ ًﺔ ۚ ان ِﰲ َذ ِ َ َ ٓ َ ٍت ِﻟﻘَﻮْ ٍم ﯾَﺘَﻔَﻜﺮُ ون‬ Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”13 (QS. Ar-rum: 21) Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan turunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik pergaulan antara si isteri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara daripada kebinasaan hawa nafsunya.14

13

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,Ensiklopedi islam,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hueve:2009),h.32 14 Sulaiman Rasjid, Op. Cit Fiqih Munakahat 21

Sabda Rasulullah SAW:

‫ﻣﻌﴩ ا اﻟﺸﺒﺎ ب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣ ﲂ اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﯿﱱوج ﻓﺎﻧﻪ اﻏﺾ‬ ‫ﻠﺒﴫ واﺣﺼﻦ ﻠﻔﺮج وﻣﻦ ﱂ ﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﯿﻪ ﻟﺼﻮم ﻓﺎﻧﻪ و ﺎء )رواﻩ‬ (‫اﶺﺎ ﻪ‬ Artinya : “Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan untuk kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan ituakan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharakannya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa.Karena dengan puasa, hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”. Sabda lain dari Rasulullah SAW:

.‫ﻋﻦ ﺎ ﺸﻪ ﺰوّ ﺟﻮا اﻟ ّﺴﺎءﻓﺎﳖّ ﻦّ ﯾ ٔﺗ ﲂ ﺑﻞ ﳌﺎل‬ Dari Aisyah: “kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.” (Riwayat Hakim dan Abu Daud). Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari pada kebinasaan. Sebab seorang perempuan, 22 Fiqih Munakahat

apabila ia sudah kawin, maka nafkahnya (belanjanya) jadi wajib atas tanggungan suaminya.15 Perkawinan juga berguna untuk memlihara kerukunan anak cucu (turunan), sebab kalau tidak dengan nikah tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusinya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena kalau tidak ada perkawinan tentulah manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu maka akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang maha dahsyat. Demikian maksud perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu syari’at Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga kemaslahatan perkawinan ini. 16 Tetapi sebelumnya kita menerangkan syarat-syarat dan rukunnya, begitu juga kewajiban dan hak-hak masingmasing antara suami isteri, lebih dahulu akan kita uraikan tujuan perkawinan dalam anggapan yang berlaku dalam kehendak manusia. Telah berlaku anggapan kebanyakan para pemuda-pemudi dari zaman dahulu sampai sekarang, karena mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab, diantaranya: 1. Karena mengharapkan harta benda 2. Karena mengharapkan kebangsawanannya 15 16

Ibid, h.375 Ibid, Fiqih Munakahat 23

3. Karena ingin melihat kecantikannya 4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik. Yang pertama, karena harta baik kehendak ini dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Yaitu seseorang yang ingin kawin dengan seorang hartawan, sekalipun dia tahu bahwa perkawinan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan kehendak masyarakat, orang yang mementingkan perkawinan disebabkan harta benda yang diharap-harap akan dipungutnya. Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, lebih-lebih kalau hal ini terjadi dari pihak laki-laki, sebab sudah tentu akan menjatuhkan dirinya dibawah pengaruh perempuan dari hartanya. Hal yang demikian adalah berlawanan dengan sunnah alam dan titah Tuhan yang menjadikan manusia. Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an dengan cara sebaik-baiknya bagi aturan kehidupan manusia sebagai berikut: Firman Allah SWT:

‫اﻟ ّ ِﺮ َﺎلُ ﻗَﻮاﻣُﻮنَ ََﲆ اﻟ ِ ّﺴَ ﺎ ِء ِﺑﻤَﺎ ﻓَﻀ َﻞ ا ُ ﺑَﻌْﻀَ ﻬُﻢْ ََﲆ ﺑَﻌ ٍْﺾ وَ ِﺑﻤَﺎ ﻧْ َﻔ ُﻘﻮا‬ ‫وَاﻟﻼﰐ‬ ِ ُ ‫َﺎت ﻗَﺎ ِﻧﺘَﺎتٌ َﺎﻓِﻈَ ﺎتٌ ِﻠْﻐَﯿ ِْﺐ ِﺑﻤَﺎ َﺣ ِﻔﻆَ ا‬ ُ ‫ﻣِﻦْ ﻣْﻮَا ِﻟﻬِﻢْ ﻓَﺎﻟﺼ ﺎ ِﻟ‬ ْ‫وَاﴐﺑُﻮﻫُﻦ ﻓَﺎن‬ ِ ْ ِ ‫ﲣَ َﺎﻓُﻮنَ ُﺸُ ﻮزَ ﻫُﻦ ﻓَﻌِﻈُ ﻮﻫُﻦ وَاﳗْ ُﺮُ وﻫُﻦ ِﰲ اﻟْﻤَﻀَ ﺎﺟِ ﻊ‬ ۞ ‫ﻃَ ْﻌﻨ ُ َْﲂ ﻓَﻼ ﺗَ ْﺒ ُﻐﻮا َﻠَﳱْ ِﻦ ﺳَ ِ ﻼ ان ا َ ﰷَ نَ َﻠِﯿﺎ ﻛَﺒِﲑًا‬ Artinya : ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) 24 Fiqih Munakahat

telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisaa’:34) Sabda Rasulullah SAW:

‫ﻣﻦ ﻜﺢ اﳌﺮ ٔة ﳌﺎ ﻟﻬﺎ ﺣﺮّم ﷲ ﻣﺎ ﻟﻬﺎ وﺟﲈ ﻟﻬﺎ وﻣﻦ ﻜﺤﻬﺎ ﳯﺎ رزﻗﻪ‬ (‫ﷲ ﻣﺎ ﻟﻬﺎ وﺟﲈ ﻟﻬﺎ )اﳊﺪ ﯾﺚ‬ Artinya : “Barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya dan rupanya yang manis, niscaya Allah akan melenyapkan hartanya dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahinya karena agamanya niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” Sabda Rasulullah SAW:

۞ ‫ﻣﻦ ﺰوّ ج إﻣﺮ ٔة ﳌﺎا ﻟﻬﺎ ﱂ ﺰدﻩ ا ٓ ﻓﻘﺮا‬ Fiqih Munakahat 25

Artinya : “Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena kekayaannya, niscaya tidak akan bertambah kekayaannya, sebaliknya kemiskinan akan didapatinya.” Yang kedua, karena mengharap kebangsawanannya berarti mengharap gelar atau pangkat. Ini juga tidak akan memberi faedah sebagaimana yang diharapkannya, maka dia akan bertambah hina dan dihinakan, karena kebangsawanan salah seorang diantara suami isteri itu,tidak akan berpindah kepada orang lain. Sabda Rasulullah SAW:

.ّ‫ﻣﻦ ﺰوّ ج اﻣﺮ ٔة ﻟﻌﺰّﻫﺎ ﱂ ﺰدﻩ ا ّﻻ ذﻻ‬ Artinya: “Barang siapa mengawini seorang perempuan karena kebangsawanannya, niscaya tidak akan menambah Allah kecuali kehinaanya”. Yang ketiga, karena kebagusan (kecantikannya). Ini adalah lebih sedikit dari harta dan kebangsawanannya, sebab harta dapat lenyap dengan lekas, tapi kecantikan sesorang dapat tinggal sampai tua, asal dia jangan bersifat bangga dan sombong karena kecantikannya itu. Sabda Rasulullah SAW:

ّ‫ﻻ ﺰوّ ﺟﻮااﻟ ّﺴﺎ ء ﳊﺴﻨﺤﻦّ ﻓﻌﴗ ﺣﺴﻨﺤﻦّ ان ﺮدﳛﻦّ وﻻ ﺰوّ ﺟﻮﺣﻦ‬ ‫ﻻﻣﻮاﳊﻦّ ﻓﻌﴗ اﻣﻮاﳊﻦّ ان ﺗﻄﻐﳱﻦّ وﻟﻜﻦ ﺰوّ ﺟﻮ ﻫﻦّ ﲆ ا ّ ﻦ‬ (‫وﻻﻣﺔ ﺳﻮداءذات د ﻦ اﻓﻀﻞ )راﻩ اﻟﺒﳱﻘﻰ‬ 26 Fiqih Munakahat

Artinya : “Janganlah kamu mengawini perempuan itu, karena ingin melihat kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri dan janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka mungkin hartanya itu akan membuat mereka sombong, tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama.” (HR.Baihaqi) Yang keempat, karena agama dan budi pekerti. Inilah yang patut dan baik dijadikan ukuran dalam pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta keluarga semuanya. Jadi, hendaknya agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok yang utama untuk pemilihan dalam perkawinan. Maka dari keterangan-keterangan diatas hendaklah kiranya wali-wali anak, jangan sembarangan saja memperjodohkan anaknya, sebab kalau tidak berkebetulan dijalan yang benar, sudah tentu dia seolah-olah menghukum dan merusakkan akhlak dan jiwa anaknya yang tidak bersalah itu. Pertimbangkanlah terlebih dahulu dengansedalam-dalamnya, antara manfaat atau mudharatnya, yang bakal terjadi dihari kemudiannya sebelum mempertalikan suatu perjodohan.

Fiqih Munakahat 27

28 Fiqih Munakahat

BAB III HUKUM PERNIKAHAN DAN MEMILIH PASANGAN DALAM ISLAM A. Hukum Pernikahan Hukum asal nikah yaitu jaiz (diperbolehkan).17 Perkawinan (pernikahan) adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah SWT dan juga disuruh oleh Nabi SAW banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan perkawinan diantara firman-Nya dalam surat An-Nuur ayat 32 :

‫وَ ْ ِﻜ ُﺤﻮا ا ْ َ ﻣَﻰٰ ِﻣ ُ ْْﲂ وَاﻟﺼ ﺎ ِﻟ ِﲔَ ﻣِﻦْ ِﻋﺒَﺎدِﰼُ ْ وَا ﻣَﺎ ُ ِْﲂ ۚ انْ َ ُﻜﻮﻧُﻮا ﻓُﻘَﺮَا َء‬ ۞ ‫ﯾُﻐْﳯِ ِ ُﻢ ا ُ ﻣِﻦْ ﻓَﻀْ ِ ِ ۗ وَا ُ وَاﺳِ ٌﻊ َ ِﻠ ٌﲓ‬ Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”

17

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), h. 381 Fiqih Munakahat 29

Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan pernikahan. Diantaranya seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibbab sabda Nabi yang artinya: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum dihari kiamat.” Dari begitu banyak seruan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnat menurut pandangan jumhur ulama. 18 Islam tidak senang kepada orang yang membujang.Membujang termasuk perbuatan yang menimbulkan dasar kebencian Islam terhadap setiap sesuatu yang tidak sesuai antara insting dan akal. Sesuatu yang tidak mempertimbangkan antara kenyataan dan kebutuhan dasar kebutuhan kemanusian. Rosulullah SAW. menolak pengakuan seseorang yang berkeinginan kuat untuk beribadah dengan meninggalkan kehidupan duniawi dan meninggalkan pernikahan. Rosulullah juga menyatakan bahwa kehidupan keluarga termasuk bagian sunahsunahnya.19 Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisi dan situasinya yang melingkupi 18

Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003) h. 78-79 19 Ali Yusuf As-subki, Fiqh keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010) h. 12-13 30 Fiqih Munakahat

suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu. Sebagai berikut: 1. Wajib Bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk menikah dan memiliki perlengkapan untuk menikah, ia khawatir akan terjerumus ketempat maksiat kalau ia tidak menikah.20 Yaitu wajib bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina).21 Menikah menjadi wajib bagi yang mampu dan mempunyai hasrat yang kuat untuk melakukannya disertai rasa takut terjerumus pada perbuatan zina. Alasannya menjaga kehormatan dan kesucian diri dari perbuatan haram adalah wajib, hal ini tidak dapat dilakukan kecuali melalui menikah.22 Al-Qurthubi berkata “orang yang mampu dan mengkhawatirkan diri dari agamanya menjadi rusak karena membujang sehingga tidak mungkin mengatasinya kecuali dengan menikah, tidak ada perbedaan sedikitpun untuk menyatakan bahwa ia wajib menikah”. Di dalam bukunya garis-garis besar fiqh prof. Dr. Amir Syarifuddin menuliskan syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan menikah yaitu:

20

Amir Syarifiddin. Op.Cit; h.79 Sulaiman Rasjid. Op.Cit; h.382 22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah jilid, (Jakarta: Al-I’tisom, 2008) h. 162-163 21

Fiqih Munakahat 31

a. b. c. d.

Keduanya jelas keberadaannya dan jelas identitasnya. Keduanya sama-sama beragama Islam. Keduanya tidak terlarang melakukan perkawinan. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan.

Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh, tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan usia perkawinan dan tidak ada pula hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia. Namun ada ayat Al-Qur’an dan begitu hadits Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun ayat al-Qur’an dalam surat An-Nisa ayat 6 menjelaskan: …

َ‫وَاﺑْﺘَﻠُﻮا اﻟْ َﯿﺘَﺎﻣَﻰٰ َﺣﱴ ٰ ا ذَا ﺑَﻠَ ُﻐﻮا اﻟﻨِّﲀَ ح‬

Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nikah itu mempunyai batas umur dan batas umur itu adalah baligh. Adapun hadits Nabi adalah hadits dari Abdullah Ibn Mas’ud yang artinya: “Wahai para pemuda siapa dia diantaramu telah mempunyai kemampuan dalam persiapan perkawinan, maka kawinlah.”

32 Fiqih Munakahat

Ada persyaratan dalam hadis Nabi ini untuk melangsungkan perkawinan yaitu kemampuan persiapan untuk kawin.Kemampuan dan persiapan untuk kawin ini hanyadapat terjadi bagi orang yang sudah dewasa. Penjelasan diatas menunjukkan wajib hukumnya seseorang itu untuk menikah apabila semua syarat sudah terpenuhi dan dia takut jika tidak menikah akan terjerumus ke zina. Dan Islam juga menganjurkan untuk tidak membujang (sendiri), kita tentu mengharapkan agar orang Islam tidak menjatuhkan diri pada jurang kemaksiatan, menuruti hawa nafsunya dan mengikuti setan, sehingga terjerumus kepada perbuatan yang tidak halal berupa sikapsikap yang menghancurkan dan dosa-dosa yang merusak. Sungguh pada diri pemuda terdapat sifat kemudaan, jiwa dan pikiran yang menyala-nyala untuk mengikuti nafsunya, mendorong keras untuk memenuhinya dengan tanpa mempedulikan efek negatif positifnya. Sudah banyak para pemuda yang mengikuti hawa nafsunya dan memenuhi kenikmatan dunia semata.Ia menjatuhkan harga dirinya dalam perbuatan dosa-dosa dan kemaksiatan yang mengakibatkan kehancuaran. Akibat perbuatan tersebut adalah hilangnya rasa kemuliaan, kesempitan setelah kemudahan, harta yang hilang, kehinaan setelah kedudukan dan kemulian, kelemahan setelah kekuatan dan kesehatan sempurna.Mereka tersadarkan setelah tertimpa berbagai dampak yang ditimbulkan dan berbagai penyakit. Menyegerakan menikah menjadikan seseorang mampu menjaga dari iffah, merendahkan dari pandanganpandangan haram, memungkinkan untuk mendidik anakFiqih Munakahat 33

anak dan mempersiapkan mereka dengan baik untuk kehidupan masa depan mereka. Dengan demikian jelaslah pentingnya keluarga sebagaimana pentingnya pernikahan itu.23 Akan tetapi, jika hasrat menikahnya besar namun tak sanggup mamberi nafkah kepada istri, maka hendaknya menjalankan arahan Allah SWT. Dalam firman-Nya dalam surat An-Nur ayat 33 :

...ۗ ِ ِ ْ‫وَ ﻟْ َْﺴ ﺘَ ْﻌﻔ ِِﻒ ا ِ ﻦَ َﻻ ﳚَ ِﺪُ ونَ ِﲀَ ًﺎ ﺣَﱴ ٰ ﯾُ ْﻐﻨِﳱَ ُ ُﻢ ا ُ ﻣِﻦْ ﻓَﻀ‬ Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Selain memperbanyak puasa, karena dalam sebuah hadits dari Ibn Mas’ud ra. Dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Hai segenap kaum muda, siapa diantara kalian yang mampu bersenggama, maka menikahlah karena dengan menikah pandangan akan lebih terjaga dan kemaluan akan lebih terpelihara.Sedangkan bagi yang tidak mampu, maka berpuasalah karena puasa dapat menahan nafsu syahwatnya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).24

23 24

Ali Yusuf As-subki, Op.Cit,h. 6 Sayyid Sabiq, Op.Cit,h.163

34 Fiqih Munakahat

2. Sunah Orang yang mempunyai hasrat menikah dan mampu, tapi masih menjaga diri dari terjerumus kepada perbuatan yang diharamkan Allah SWT.Maka hukum menikah baginya adalah mustahab (sunah).25 Tapi lebih baik menikah daripada membujang dengan alasan hendak konsentrasi beribadah, karena cara hidup rahbaniyah sama sekali bukan ajaran Islam. Umar ra.Berkata kepada Zuwa’id, “hanya dua alasan yang menghalangimu menikah, tidak mampu atau suka bermaksiat.” Ibnu Abbas ra.Berkata “Ibadah seorang sulit akan sempurna kecuali bila telah menikah.” 3. Haram Hukum menikah menjadi haram bagi orang yang tidak dapat memenuhi hak isteri baik hubungan seks maupun nafkah, karena tidak mampu sedangkan hasrat melakukannya cukup besar. Al-Qurtubi menjelaskan, “ketika seorang laki-laki tahu dirinya tidak sanggup memberi nafkah atau mahar kepada wanita yang akan diperisterinya atau hak-hak isteri lainnya yang menjadi kewajiban suami, maka dia tidak boleh menikahi wanita itu kecuali setelah menerangkan keadannya. Atau dia dapat memastikan dirinya sanggup memenuhi hak-hak isterinya. Begitu pula jika memiliki cacat yang membuatnya tidak mampu melakukan hubungan seks, maka dia juga harus menerangkan keadannya agar wanita 25

Ibid.h. 163 Fiqih Munakahat 35

itu tidak tertipu olehnya.Selain itu tidak boleh berbohong dengan mengaku berasal dari keluarga dan keturunan terhormat, punya banyak harta dan karya besar untuk menipu wanita.”26 Sebaliknya, ketika wanita tahu dirinya tidak sanggup memenuhi hak-hak suami, atau punya cacat yang membuatnya tidak mampu melakukan hubungan seks, seperti gila, kusta, sopak, atau penyakit kelamin, maka ia tidak boleh menipu calon suaminya, melainkan wajib menerangkan keadaannya itu apa adanya. 4. Makruh Nikah menjadi makruh bagi orang yang tidak sanggup memenuhi hak isteri. Baik hubungan seks maupun nafkah, tapi tidak membahayakan wanita, seperti bila sang wanita kaya dan tidak memiliki dorongan nafsu yang kuat untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan jika dengan kondisi itu dia tidak dapat manjalankan beberapa amal ibadah, atau menghambatnya mencari ilmu, maka tingkat makruhnya semakin tinggi.27 5. Mubah Hukum menikah menjadi mubah apabila semua dorongan dan halangan menikah diatas tidak ada. 28

26

Ibid.h. 163 Ibid,h.164 28 Ibid,h.164 27

36 Fiqih Munakahat

B. Kriteria memilih Pasangan Hidup Bagi suami, istri adalah tempat mencari ketenangan dan ibarat ladang, sekaligus berperan sebagai pasangan hidup, pengurus rumah tangga, ibu bagi anak-anak, tambatan hati dan tempat meluapkan segalaisi hati. Istri merupakan pilar yang paling penting bagi bangunan rumah tangga, karena dialah yag melahirkan anak-anak dan darinyalah mereka mewarisi berbagai potensi dan karakter. Dipelukan sang isterilah emosi anak-anak terbentuk, mengasah bakat, belajar bahasa, meniru sekian banyak adat dan kebiasaan, mengenal agama dan menetapkan tingkah laku lingkuangan. Karena itulah Islam memberi perhatian terhadap pentingnya memilih calon isteri yang salih dan menempatkannya sebagai kesenangan dunia terbaik yang harus menjadi idaman setiap orang. Pengertian keshalian tidak lain selalu taat kepada ajaran agama, memegang teguh nilai-nilai kebaikan, menjaga hak suami dan melindungi anak-anak. Itulah aspek-aspek yang harus diperhatikan saat akan memilih calon isteri, sedangkan aspek-aspek lainnya yang bersifat duniawi justru diperingatkan dan dilarang Islam jika lepas dari nilai-nilai kebaikan, keutamaan dan keshalihan. Kebanyakan orang lebih mendambakan harta yang melimpah, atau kecantikan yang mempesona atau pengaruh yang besar, atau garis keturunan yang terpandang atau karya besar nenek moyang tanpa memperdulikan kesempurnaan mental dan pendidikan yang

Fiqih Munakahat 37

baik, hingga pernikahan justru membuahkan kepahitan dan menghasilkan kegetiran.29 1. Memilih Calon Istri Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Wanita dinikahi karena empat alasan: karena harta, keluarga, kecantikan dan ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang baik agamanya jika engkau tidak mau jatuh miskin.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah SAW menjelaskan definisi wanita yang shalih adalah wanita yang cantik, patuh, berbakti, dan amanah. Kelebihan-kelebihan lain yang harus dipertimbangkan ketika hendak meminang calon isteri adalah latar belakang lingkungannya yang mulia dan dikenal memiliki emosi yang stabil dan pembawaan yang tenang, serta tidak ada penyimpangan mental.Sebab, wanita seperti ini lebih memungkinkan untuk menunjukkan kasih sayang yang besar kepada anak-anaknya dalam menjaga hak-hak suaminya. Salah satu tujuan utama pernikahan adalah melahirkan keturunan.Karena itu calon isteri harus subur yang bisa diketahui dari kondisi fisiknya yang sehat. Caranya adalah dengan membandingkannya dengan saudara-saudara perempuan dan bibi-bibinya. Suatu ketika seorang laki-laki meminang wanita yang diketahui mandul. Dia berkata, “Wahai Rosulullah, aku 29

Ibid, h.165

38 Fiqih Munakahat

hendak meminang wanita dari keluarga terhormat dan cantik tapi mandul.” Rasulullah melarangnya, seraya berkata: “Menikahlah dengan wanita yang besar rasa sayangnya dan subur peranakannya. Sesunggguhnya aku membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umatumat lain pada hari kiamat kelak.” Maksud dari “besar rasa sayangnya” adalah wanita yang berusaha membuat dirinya disayangi dan dicintai suaminya, serta berupaya sekuat tenaga agar mendapat keridhaannya. Pada dasarnya manusia merindukan dan mendambakan keindahan, oleh sebab itu Islam tidak menghilangkan aspek keindahan dan kecantikan sebagai salah satu kreteria yang menjadi pertimbangan ketika memilih calon isteri. Alangkah baiknya jika calon isteri masih gadis perawan, karena belum matang dan belum tahu banyak tentang seluk beluk lelaki, sehingga akan lebih erat dihatinya. Ada satu masalah yang perlu diperhatikan yaitu meminimalkan kesenjangan antara suami isteri, baik usia, status sosial, tingkat pendidikan maupun taraf ekonomi. Minimnya kesenjangan dalam aspek-aspek tersebut dapat menunjang kelanggengan hubungan kasih dan sayang. Abu Bakar r.a dan Umar r.a Pernah meminang Fatimah r.a Kepada Rasulullah SAW, tapi beliau menolaknya dengan alasan Fatimah itu masih terlalu kecil. Tapi ketika Ali yang datang meminangnya, maka Rosulullah SAW menerima dan menikahkannya. Demikian beberapa tuntunan yang diajarkan Islam agar menjadi petunjuk bagi orang yang hendak melangsungkan pernikahan. Kita akan Fiqih Munakahat 39

lebih leluasa mempersipakan anak-anak shalih yang akan menciptakan kehidupan umat yang lebih baik dan terhormat.30 Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Membagi keinginan pernikahan dari segi tujuan pokok dalam pernikahan pada empat bagian: Pertama: Memilih istri dengan melihat segi kepemilikan hartanya agar ia tertolong dari kemiskinan dan dengan itu ia terpenuhi segala kebutuhannya, atau dapat membantu dan memecahkan kesulitan hidup yang bersifat materi. Kedua: Memilih istri berdasarkan nasabnya, nasab istri dalam berbagai keadaan umum menjadi keinginan banyak orang. Seperti seseorang yang berusaha mengambil manfaatdari nasab istri untuk kemuliaan serta keinginan kedudukan dan sebagainya. Ketiga: Memilih istri hanya berdasarkan perasaan akan kecantikannya, dengan alasan bahwa dalam pernikahan mencakup kecantikan untuk bersenang-senang sehingga mendorong untuk menjaga diri dan tidak melihat perempuan lain dan juga tidak melakukan perbuatan yang dibenci Allah SWT. Keempat: Memilih istri karena Agamanya, Rosulullah SAW telah mempertimbangkan bagian ini sebagai landasan dalam memilih istri. Karena perempuan yang beragama meskipun tidak cantik secara fisik, agama merupakan masalah yang perlu dipertimbangkan. Kualitas agama 30

Ibid. h.165

40 Fiqih Munakahat

berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. Perempuan yang baik agamanya memiliki keutamaan yang lebih baik daripada kecantikan fisik. Ia dapat menyenangkan hati dan baik perilakunya.31 2. Memilih Calon Suami Hadis mengenai calon suami tidak banyak ditemukan sebagaimana hadis tentang calon istri. Mengenai calon suami Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seorang yang agama dan akhlaknyan kamu ridhoi, maka kawinkanah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka kamu menjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. Tirmidzi) Pernikahan yang baik dilandasi keinginan untuk memelihara keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, melahirkan keluarga sehat serta memenuhi dorongan rasa aman, sejahtera, sakinah, penuh mawadah dan rahmah. Oleh karena itu pemilihan pasangan sebelum nikahpun menjadi kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak. Rasulullah SAW tidaklah hanya menganjurkan kepada seorang laki untuk memilih calon istri yang taat beragama, akan tetapi juga menganjurkan kepada perempuan untuk memilh calon suami yang taat beragama.

31

Ali Yusuf As-subki, Loc Cit ,h. 41 Fiqih Munakahat 41

Wali wanita harus berhati-hati memilih pasangan hidup bagi buah hatinya. Sehingga ia hanya bersedia menikahkan dengan laki-laki yang taat beragama, berakhlak mulia, terhormat dan berkarakter baik. Tepatnya laki-laki yang mempertahankan tali pernikahan dengannya, maka akan memperlakukan dengan baik. Dan jika harus menceraikannya maka akan menceraikanya dengan cara yang baik pula. Imam Al-Gahazali menuliskan dalam karyanya, AlIhya’, “bersikap lebih hati-hati dalam menikahkan anak perempuan jauh lebih penting karena setelah masuk jenjang pernikahan dia ibarat budak yang tidak mempunya banyak ruang gerak, sementara suaminya mempunyai wewenang untuk menceraikannya dalam kondisi apapun. Karena itu seorang wali menikahkan putrinya dengan seorang lali-laki zalim, atau fasik atau ahli bid’ah atau pemabuk, berarti telah merusak agama putrinya sendiri dan mengundang murka Allah, karena telah memutuskan hak kekeluargaan dan menentukan pilihan yang buruk Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Siapa yang menikahkan buah hatinya dengan lelaki fasik, berarti telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Adh-Dhu’afa’ dari Anas, Ibnu Hibban juga meriwayatkan dalam kitab Ats-Tsiqat dari Asy-Sya’bi dengan sanad yang shahih.)32

32

Ibid, h.166

42 Fiqih Munakahat

C. Melihat Pasangan yang Dipilih Sebelum melangsungkan pernikahan biasanya dilakukan peminangan, pinangan yang dilakukan oleh seorang lelaki berarti meminta kesedian wanita untuk menikah dengannya melalui cara yang dikenal dikalangan masyarakat. Pinangan merupakan salah satu pendahuluan menuju pernikahan. Allah SWT menetapkan sebelum melangsungkan akad nikah agar masing-masing calon suami isteri itu saling berkenalan, sehingga pernikahan yang akan mereka jalani benar-benar berdasarkan petunjuk dan fakta yang jelas.33 1. Memandang wanita yang dipinang Salah satu faktor yang dapat menunjang keharmonisan kehidupan rumah tangga dan membuatnya selalu diliputi oleh rasa bahagia dan kesenangan adalah lakilaki yang memandang wanita yang hendak dipinangnya. Tujuannya adalah untuk memastikan wanita tersebut memang cantik, sehingga bisa menjadi motivasi tersendiri untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Atau justru jelek, sehingga dapat segera menjatuhkan pilihan kepada wanita lain.34 Orang yang bijak akan melangkah lebih jauh sebelum memastikan sisi baik dan sisi buruknya, al-A’masy berkata: “Setiap pernikahan yang tidak didahului dengan memandang calon isteri akan diakhiri dengan kesedihan dan kekecewaan.” 33 34

Ibid, h.167 Ibid, h.168 Fiqih Munakahat 43

Kebanyakan ulama berpendapat lelaki hanya boleh memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita yang hendak dipinangnya. Sebab dengan memandang wajah dapat disimpulkan parasnya cantik atau buruk, sementara dengan memandang dua telapak tangan dapat disimpulkan badanya berisi atau kurus. Menurut Dawud, boleh memandang seluruh tubuhnya. Sedangkan menurut AlAuza’i boleh melihat bagian-bagian yang menunjukkan kepadatan dagingnya. Hadits-hasits yang ada tidak menentukan bagianbagian tubuh wanita mana saja yang boleh dilihat, melainkan membebaskannya untuk memberi keleluasaan kepada laki-laki melihat bagian yang dapat memenuhi tujuannya dengan melihat tersebut.35 2. Memandang calon suami Hukum boleh melihat ini tidak terbatas bagi laki-laki saja, melainkan berlaku juga bagi wanita sehingga dia boleh melihat laki-laki yang meminangnya, karena wanita juga penasaran dengan calon pasangannya, sama seperti lakilaki. Umar r.a Berkata “Jangan nikahkan anak-anak perempuan kalian dengan laki-laki yang buruk rupanya, karena mereka memiliki ketertarikan yang sama dengan laki-laki.”36

35 36

Ibid, h.168 Ibid, h.168

44 Fiqih Munakahat

3. Mengenal sifat-sifat calon pasangan Pembahasan diatas hanya berkaitan dengan memandang yang berfungsi untuk mengetahui cantik atau buruk fisiknya. Tapi sifat-sifat lain yang berkaitan dengan akhlak dapat diketahui dengan keterangan langsung atau mencari keterangan dari orang lain, dan mengamati orangorang yang sering bersamanya, baik teman pergaulan ataupun tetangga. Atau boleh juga melalui perantara beberapa orang terdekat yang biasa menjadi tempat curahan isi hatinya, seperti ibu atau saudara perempuannya.37 Dalam hal melihat sifat ini seorang laki-laki dan perempuan harus berhati-hati agar kita mendapatkan keterangan yang akurat maka harus memilih orang yang bisa dipercaya untuk dimintai keterangan, atau melihat dengan siapa dia bergaul dalam kesehariannya.

37

Ibid, h.168 Fiqih Munakahat 45

46 Fiqih Munakahat

BAB IV WANITA YANG HARAM DI NIKAHI

A. Mahram Mahram adalah wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Allah SWT telah berfirman menyebut wanita-wanita tersebut di dalam Al-Qur’ansurat An-Nisa: 2223bila dikelompokkan maka menjadi dua sebagaimana berikut: 1. Larangan Kawin Karena Pertalian Nasab a. Ibu: yang dimaksud adalah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis ke atas yaitu ibu, nenek (naik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke bawah). b. Anak perempuan: yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya. c. Sudara perempuan, baik seayah anak seayah saja, atau seibu saja. d. Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu seterusnya ke atas. e. Kemenakan (keponakan) perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

Fiqih Munakahat 47

2. Larangan kawin karena hubungan sesusuan. a. Ibu sususan: yaitu ibu yang menyusui, maksudnya adalah seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu anak yang disusui itu, sehingga haram melakukan perkawinan. b. Nenek susuan: yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan. c. Bibi susuan: yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya. d. Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari sudara ibu susuan. e. Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja. Mereka adalah perempuan yang sebab keharamannya memiliki sifat yang tidak akan mengalami perubahan seperti anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, dan saudara-saudara perempuan dari bapak. Mereka inilah yang tidak dihalalkan bagi laki-laki untuk menikahi mereka selamanya.

48 Fiqih Munakahat

‫‪B. Mahram Dalam Surat An-Nisa Ayat 22-24‬‬ ‫‪Perempuan-perempuan yang haram dinikahi :‬‬

‫وَ َﻻ ﺗَ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا ﻣَﺎ َﻜَﺢَ ٓ َ ؤُﰼُ ْ ﻣِﻦَ اﻟ ِّﺴَ ﺎ ِء اﻻ ﻣَﺎ ﻗَﺪْ ﺳَ ﻠ ََﻒ ۚ اﻧ ُﻪ ﰷَ نَ‬ ‫ﻓَﺎﺣِﺸَ ًﺔ وَ َﻣ ْﻘ ًﺎ وَﺳَ ﺎ َء ﺳَ ِ ًﻼ ۞ ﺣ ّ ُِﺮﻣ َْﺖ َﻠَﯿ ُ ْْﲂ ﻣ ﻬَﺎ ُ ُْﲂ وَ ﺑَﻨَﺎ ُ ُْﲂ وَ ﺧَﻮَا ُ ُْﲂ‬ ‫َوَﲻﺎ ُ ُْﲂ وَ ََﺎﻻ ُ ُْﲂ وَ ﺑَﻨ َُﺎت ا ْ خِ وَ ﺑَﻨ َُﺎت ا ْ ﺧ ِْﺖ وَ ﻣ ﻬَﺎ ُ ُُﲂ اﻟﻼ ِﰐ رْﺿَ ْﻌﻨ ُ َْﲂ‬ ‫وَ ﺧَﻮَا ُ ُْﲂ ﻣِﻦَ اﻟﺮﺿَ ﺎ َ ِﺔ وَ ﻣ ﻬ َُﺎت ِﺴَ ﺎ ُ ِْﲂ وَرَ َ ﺋِﺒ ُ ُُﲂ اﻟﻼ ِﰐ ِﰲ ُﺣﺠُﻮرِ ﰼُ ْ ﻣِﻦْ‬ ‫ِﺴَ ﺎ ُ ُِﲂاﻟﻼ ِﰐ َد َ ﻠ ُ ْْﱲ ﲠِ ِﻦ ﻓَﺎنْ ﻟَﻢْ َ ُﻜﻮﻧُﻮا َد َ ﻠ ُ ْْﱲ ﲠِ ِﻦ ﻓ ََﻼ ُﺟ َﺎحَ َﻠَﯿ ُ ْْﲂ‬ ‫وَ ََﻼﺋِ ُﻞ ﺑْﻨَﺎ ُ ُِﲂ ا ِ ﻦَ ﻣِﻦْ ْﺻ َﻼ ُ ِْﲂ وَ نْ ﲡَ ْ َﻤ ُﻌﻮا ﺑ ْ ََﲔ ا ْ ْﺧ ْ َِﲔ اﻻ ﻣَﺎ ﻗَﺪْ‬ ‫ﺳَ ﻠ ََﻒ ۗ ان ا َ ﰷَ نَ ﻏَﻔُﻮرً ا رَ ِﺣﳰ ًﺎ ۞ وَاﻟْ ُﻤﺤ َْﺼﻨ َُﺎت ﻣِﻦَ اﻟ ِّﺴَ ﺎ ِء اﻻ ﻣَﺎ‬ ‫َﺎب ا ِ َﻠَﯿ ُ ْْﲂ ۚ وَ ِﻞ ﻟ ُ َْﲂ ﻣَﺎ وَرَ ا َء َذ ﻟ ُ ِْﲂ نْ ﺗَ ْ َ ُﻐﻮا‬ ‫َﻣﻠَﻜ َْﺖ ﯾْﻤَﺎ ُ ُْﲂ ۖ ِﻛﺘ َ‬ ‫ِﺑ ﻣْﻮَاﻟ ُ ِْﲂ ُﻣﺤْﺼِ ﻨِﲔَ ْ ََﲑ ﻣُﺴَ ﺎ ِﻓ ِﲔَ ۚ ﻓَﻤَﺎ اﺳْ ﺘَ ْﻤﺘَﻌ ُ ْْﱲ ِﺑ ِﻪ ﻣِﳯْ ُﻦ ﻓَ ٓﺗُﻮﻫُﻦ‬ ‫ُﺟﻮرَ ﻫُﻦ ﻓَﺮِﯾﻀَ ًﺔ ۚ وَ َﻻ ُﺟ َﺎحَ َﻠَﯿ ُ ْْﲂ ِﻓﳰ َﺎ َﺮَاﺿَ ﯿ ُ ْْﱲ ِﺑ ِﻪ ﻣِﻦْ ﺑ َ ْﻌ ِﺪ اﻟْ َﻔﺮِﯾﻀَ ِﺔ ۚ‬ ‫ان ا َ ﰷَ نَ َ ِﻠﳰ ًﺎ َﺣ ِﻜﳰ ًﺎ ۞‬ ‫‪Artinya :‬‬ ‫‪“22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang‬‬ ‫‪telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang‬‬ ‫‪telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji‬‬ ‫‪dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang‬‬ ‫”‪ditempuh).‬‬ ‫‪Fiqih Munakahat 49‬‬

“23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, aceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” “24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.

50 Fiqih Munakahat

Sesungguhnya Bijaksana.”38

Allah

Maha

mengetahui

lagi

Maha

C. Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi Para Ulama 1. Mahram Karena Nasab a. Ibu, setiap wanita yang mempunyai hubungan dengan seorang laki-laki karena kelahiran, baik dari pihak ibu maupun ayah. Dengan demikian mencakup ibu kandung, nenek, dan seterusnya ke atas.39 Ataupun wanita yang ada hubungan darah dalam garis keterunan lurus keatas. b. Anak perempuan, setiap wanita yang di nasabkan kepada seorang lelaki karena kelahiran, seperti anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan seterusnya. c. Saudara perempuan Saudara perempuan dari mana saja, baik seayah maupun seibu, seayah saja atau seibu saja.40 d. Bibi dari pihak ayah, mereka adalah saudarasaudara perempuan ayah dan seterusnya sehingga termasuk pula bibi ayah dan bibi ibunya. Seperti saudara ayah atau ibu, baik

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Jakarta: SYGMA 2008), h.81 39 Bin Sayyid Salim,Abu Malik Kamal, Fiqih Sunah untuk Wanita, (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,2007), h. 603 40 Nur Djaman, Fiqih Munakahat,(Semarang: Dina utama,1993),h.51 38

Fiqih Munakahat 51

sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya keatas. 41 e. Bibi dari pihak ibu, mereka adalah saudarasaudara perempuan ibu dan saudara-saudara perempuan nenek dari pihak ayah. Seperti anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. 42 f. Anak saudara yang perempuan atau( keponakan perempuan ), mereka adalah anak-anak perempuan saudara laki-laki atau pun saudara perempuan dari semua pihak dan seterusnya ke bawah. 2. Mahram Karena Mushahrah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan a. Seluruh mazhab sepakat bahwa istri ayah haram dinikahi oleh anak kebawah, semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum. 43 b. Pendapat Jumhuur Ulama Ketika seorang lelaki mengikat akad nikah dengan seorang wanita, maka dia haram menikahi ibu wanita tersebut. 44

41

Bin Sayyid Salim,Abu Malik Kamal, Op.Cit, h. 604 Nur Djaman, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama,1993),h.52 43 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta:Perbit Lentera,2011),h.327 44 Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah untuk Wanita, (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,2007) h. 606 42

52 Fiqih Munakahat

c. Para Imam Mazhab sepakat apabila seorang telah menikahi seorang anak perempuan maka haram baginya menikahi ibu anak perempuan itu untuk selamanya. Apabila ibu dari seorang perempuan yang dinikahi dan telah dicampuri maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang menikahi ibunya, meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya. Keharaman perempuan mushaharah yaitu muhrim kareana hubungan perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada kemaluannya. Hanafi berkata hal demikian bisa mengakibatkan keharamannya. Bahkan, ia pun berkata: melihat kemaluan sama dengan bercampur dalam hal keharaman menikahi munhahahrah. 45 d. Sabda Nabi, yang berbunyi “kawinlah dengan keluarga jauh agar tidak lemah”. Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa kita dianjurkan untuk tidak kawin dengan keluarga dekat dan sebaliknya kita diharuskan untuk kawin dengan wanita yang bukan keluarga dekat atau bukan saudara sendiri. Supaya nanti tidak mendapat keturunan yang lemah dan menghasilkan keturunan yang kuat. Oleh karena itu, demi mendapatkan keturunan yang baik dan kuat, maka agama melarang mengawinkan saudara dekat (ibu, bibi, anak, keponakan, dll). 45

Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman adDimasyqi,Fiqih Empat Mazhab,(Bandung:Hasyimi,2012),h. 327 Fiqih Munakahat 53

Perkawinan dengan keluarga dekat mengakibatkan hal-hal yang negatif dari kedua orang itu yang akan dapat berkumpul pada anakanaknya nanti sebaliknya bila perkawinan itu dengan keluarga jauh, maka akan menurunkan kepada anak yang positif. Kemudian hal-hal yang positif adalah merupakan suatu sifat yang baik, kecerdasan dan kekuatan mental serta fisiknya.46 Jadi, dari uraian diatas jelas bahwa, kawin dengan keluarga dekat itu tidakbisa menghasilkan keturunan yang baik, maka, dari itu kita dianjurkan untuk tidak kawin dengan keluarga dekat. 3. Mahram Karena Sepenyusuan a. Rasulullah SAW bersabda tentang putri Hamzah r.a, “Dia tidak halal bagiku. Wanita yang haram di nikahi karena sepersusuan sama seperti wanita yang haram dinikahi karena hubunga nasab (keturunan). Dia itu putri saudara sepersusuan ku.” (HR.Bukhari dn Muslim) Rasulullah SAW juga bersabda: “Hubungansepersusuan mengharamkan (wanita untuk dinikahi) seperti haram menikahinya karena alasan kelahiran atau (keturunan).” (HR. Bukhari dan Muslim). 46

Labib Mz Dan Aqis Qisthi Bil , Risalah Fiqih Wanita, (Surabaya:Bintang Usaha Jaya, 2005),h. 335 54 Fiqih Munakahat

Dengan demikian, wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang lelaki karena hubungan sepersusuan adalah sebagai berikut : 1) Wanita yang menyusuinya dan ibunya (karena dia seperti ibunya sendiri). 2) Anak perempuan wanita yang menyusuinya, baik yang lahir sebelum dirinya maupun setelahnya (karena mereka seperti saudarasaudara perempuannya). 3) Saudara perempuan wanita yang menyusuinya (karena statusnya sama dengan bibinya). 4) Cucu perempuan wanita yang menyusuinya, baik dari anak perempuan maupun anak lelakinya (karena statusnya sama dengan keponakannya). 5) Ibu suami wanita yang menyusuinya dimana susu wanita tersebut tersedia karena hamil dari suaminya itu (karena statusnya sama dengan neneknya sendiri). 6) Saudara perempuan suami wanita yang menyusuinya (karena dia sama dengan bibinya). 7) Anak perempuan (tiri) wanita yang menyusuinya ( karena dia sama dengan saudara tirinya). 8) Istri lain suami wanita yang menyusuinya (karena statusnya sama dengan ibu tirinya).

Fiqih Munakahat 55

9) Istri anak susu haram di nikahi oleh suami wanita yang menyusuinya (karena statusnya sama denga istri anakya sendiri (menantu)). 10) Jika yang menyusui adalah perempuan maka dia haram menikah denga suami wanita yang menyusuinya, karena statusnya sama dengan ayahnya; saudara suami wanita yang menyusuinya, karea dia sama seperti pamannya; dan ayah suami wanita yang menyusuinya, karena dia seperti kakeknya sendiri. Hukum mahram hanya berlaku bagi orang yang di susui, tidak berlaku bagi kaum kerabatnya. Misalnya, saudara perempuan sepersusuannya tidak menjadi saudara perempuan bagi saudara kandungnya.47 b. Dua orang dari sebab menyusu 1) Ibu yang menyusuinya 2) Saudara peremuan yang sepersusuan48 c. Sabda Rasulullah SAW “Diharamkan bagimu karena ada hubungan sesusuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab.” (HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, An-nasa’i dan Ibnu Majah) 47

Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah untuk Wanita, (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,2007),h. 608,610,611 48 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 361 56 Fiqih Munakahat

Berdasarkan hadits diatas dapat dirinci bahwa haramnya wanita dinikahi oleh hubungan sesusuan ini sebagai berikut : 1) Ibu susuan, yakni ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak di pandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan. 2) Nenek susuan, yakni ibu dari yang pernah menyusui, atau ibu dari suami ibu yang menyusui dipandang sebagai ayah bagi si anak susuan, sehingga haram melakukan perkawinan. 3) Bibi sesusuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterunya keatas.49 4) Keponakan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan. 5) Mereka dikumpulkan berdasarkan keharaman karena keturunan dari ibu-ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan dari bapak, saudara perempuan dari ibu, anak perempuan dari laki-laki, dan anak-anaak perempuan dari perempuan, berdasarkan sabda Nabi “diharamkan karena sebab

49

Djuman Utama,199),h.52-54

Nur,

Fiqih

Munakahat,(Semarang:

Dina

Fiqih Munakahat 57

sesusuan seperti keharaman atas keturunan (nasab)”. Sesusuan yang diharamkan jiak tidak mencapai dua tahun. Ini menjadi jelas jika diikuti sampainya susu sebenarnya pada rongga yang menyusui dan di anggap menyusui, berdasarkan sabda Rasulullah ““ tidaklah haram sekali isapan atau 2 kali isapan” Karena sekali isapan adalah sesuatu yang kecil, susunya tidak sampai pada 50 tenggorokan kaarena sifatnya sedikit. 6) Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja. Sabda Rasulullah SAW : “tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan.”(HR.Jamaah kecuali bukhari). Sabda Rasulullah SAW : “dari Uqbah Ibnu Harits dia berkata : saya pernah kawin dengan Ummu yahya putri Abi Irham, lalu datanglah seorang budak perempuan hitam seraya menerangkan, kamu berdua ini dulu pernah aku susui, lalu saya datang kepada Nabi menceritakan hal tersebut, maka sanda nabi : bagaimana lagi, 50

Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 124-125 58 Fiqih Munakahat

toh sudah terjadi, karena itu ceraikanlah dia.” (HR.Bukhari – Muslim). Dari keterangan di atas yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan haram untuk nikah adalah susuan yang diberikan pada anak yaang memang masih memperoleh makanan dari air susu. Tentang berapa kali si anak tersebut menyusu yang mengakibatkan haram nikah, para ulama berbeda pendapat. Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak di batasi berapa kali anak itu memyusu, asal seseorang bayi itu menyusu kepada seorang ibu dan dia kenyang, maka hal itu sudah menyebabkan haram nikah. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa: mereka membatasi sekurang-kurangnya 5 kali menyusu dan masing-masing mengenyangkan. Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali Adz-Dz Ahiri dan Ibnu Muzakkir berpendapat bahwa sedikitnya 3 kali susuan yang mengenyangkan51. D. Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab Dalam islam, “Ahli Kitab“ adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka yang percaya pada Kitabullah Taurat dan Injil, yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s. Menikah dengan wanita Ahli Kitab 51

Djaman Utama,1993),h.55

Nur,

Fiqih

Munakahat,(Semarang:

Dina

Fiqih Munakahat 59

Memang diperkenankan dalam Islam berdasarkan petunjuk Al-Qur’an berikut ini:

‫َﺎب ِﻞ ﻟ ُ َْﲂ‬ َ ‫َﺎت ۖ وَﻃَ ﻌَﺎ ُم ا ِ ﻦَ وﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜ‬ ُ ‫اﻟْﯿَﻮْ َم ِﻞ ﻟ ُ َُﲂ اﻟﻄ ِﯿّﺒ‬ َ‫ُﲂ ِﻞ ﻟَﻬُﻢْ ۖ وَاﻟْ ُﻤﺤ َْﺼﻨ َُﺎت ﻣِﻦَ اﻟْﻤُﺆْ ِﻣ َِﺎت وَاﻟْ ُﻤﺤ َْﺼﻨ َُﺎت ﻣِﻦَ ا ِ ﻦ‬ ْ ُ ‫وَﻃَ ﻌَﺎﻣ‬ ‫َﺎب ﻣِﻦْ ﻗَ ْﻠ ُ ِْﲂ ا ذَا ٓﺗَ ْ ُﻤُﻮﻫُﻦ ﺟُﻮرَ ﻫُﻦ ُﻣﺤْﺼِ ﻨِﲔَ ْ ََﲑ‬ َ ‫وﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜ‬ ُ ُ ‫ﻣُﺴَ ﺎ ِﻓ ِﲔَ وَ َﻻ ُﻣ ِ ﺬِي ْﺪَانٍ ۗ وَ ﻣَﻦْ َ ْﻜﻔُﺮْ ِ ْﻻﳝ َﺎنِ ﻓَﻘَﺪْ َﺣ ِ ﻂَ َ َﲻ‬ ۞ َ‫َﺎﴎﻦ‬ ِ ِ ْ‫وَ ﻫُﻮَ ِﰲ ا ْ ٓﺧِﺮَ ِة ﻣِﻦَ اﻟ‬ Artinya : “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan. diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang

60 Fiqih Munakahat

merugi. Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.” (Q.S Al-Maidah 5:5)52 Ada kesepakatan pendapat para ulama “Ahli AlSunnah Wal Jamaah” bahwa menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani diperbolehkan karena ia pernah dipraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW seperti Utsman,Thalhah, Ibn Abbas, Huzaifah, dan para Tabi’in seperti Said bin AlMusayyab, Said bin Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, dan lain-lain. Meskipun ada amalan dari para sahabat dan tabi’in tersebut, namun Abdullah bin Umar berpendapat tidak boleh mengawini wanita Yahudi ataupun Nasrani. Dia berkata: “Allah telah melarang menikahi orang musyrik, maka aku tak tahu mana syirik/kemusyrikan yang lebih besar dari pada seorang wanita yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal Isa sesungguhnya Isa hanyalah hamba dan Rasul Allah di antara Rasul-rasul yang lainnya.” Para Ulama dari keempat Mazhab Hukum Islam telah membahas masalah perkawinan dengan Wanita Ahli kitab dan telah pula memberikan pandangan hukumnya. Menurut Mazhab Hanafi, Haram hukumnya menikahi wanita Ahli kitab bila si wanita itu berada di negeri yang sedang berkecamuk perang dengan kaum Muslimin (Bar Al-Harbi), karena hal itu dapat menimbulkan kerugian. Dalam keadaan demikian, maka anak-anak hasil perkawinan itu akan lebih cenderung pada agama ibunya. Sedangkan Mazhab Maliki sebaliknya, ia memiliki dua pendapat, pertama bahwa 52

Ibid, h 33 Fiqih Munakahat 61

Menikah dengan Ahli Kitab hukumnya Makruh sama sekali, apakah dia seorang dzimmi ataukah penduduk dalam wilayah perang. Dalam hal yang terakhir itu, hukumnya lebih berat lagi.Pendapat kedua, hukumnya tidak Makruh, karena Al-Qur’an telah mendiamkannya sebagai persetujuan. Mereka menunjukkan ketidaksukaan atas perkawinan semacam itu di negeri muslim karena bagi wanita tak terlarang meminum anggur, makan daging babi, atau pergi ke gereja, padahal cara ini mempengaruhi kepercayaan dan perilaku anak- anaknya. Sedangkan bagi Ahli Kitab bukan keharusan kalau kedua orang tuanya dari golongan Ahli Kitab. Perkawinanya akan tetap sah sekalipun ayahnya dari Ahli Kitab dan ibunya seorang penyembah berhala.53 Dibolehkannya Menikahi wanita Ahli Kitab

‫ ﻛَﻮْﳖُ َﺎ ﻣ ُْﺴ ِﻠ َﻤ ًﺔ او ِﻛﺘَﺎ ِﺑ َﯿ ًﺔ َﺎﻟ َِﺼ ًﺔ ِذ ِّﻣ ًﺔ‬,ٍ‫ اَﻧ ُﻪ ُﺸْ َ َﱰ ُط َاﯾْﻀً ِﺎﰱ اﻟْ َﻤ ْﻨﻜُﻮْ َ ﺔ‬,ْ‫ِا َْﲅ‬ .‫ﰷَ ﻧ َْﺖ او ﺣﺮْ ﺑِﯿ ًﺔ‬ Artinya : “Ketahuilah! Bahwa disyaratkan untuk calon istri hendaknya orang muslimah atau kitabiyah khalisah, baik dzimmi atau harby.” Halal Tapi Makruh menikahi Ahli Kitab

‫وَ ِﲀَ حُ ْ َِﲑﻫَﺎ َِﴩ ِْط اَنْ ﯾُﻌْﲅَ َ ُدﺧُﻮْلُ اَولِ َا َ ﲛِ َﺎ ِﻓ ْ ِﻪ ﻗَ ْﻠَﻬَﺎ وَ ﻟَﻮْ ﺑَﻌْﺪَ اَﻟﺘ ْﺤ ِﺮﯾ ِْﻒ‬ .‫َﺮف‬ ُ ‫اِنْ ﲡَ َﻨﺒُﻮْ اﻟْ ُﻤﺤ‬ 53

Ibid,h 34-35.

62 Fiqih Munakahat

Artinya : “Juga halal tapi makruh menikahi wanita ahlul kitab selain israiliyah dengan syarat diketahuinya bahwa nenek moyang awal kenasabannya memasuki agama tersebut sebelum terutusnya Nabi Isa AS sekalipun setelah terjadi pengorbanan kitab jika mereka menyingkirkan perubahan yang palsu itu.”54 E.

Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah Berzina

Jumhur ulama’ mengatakan boleh menikahi perempuan yang telah berzina, tapi beberapa imam madzhab. 1. Imam Ahmad bin Hanbal memberikan syarat perempuan yang melakukan zina boleh dinikahi jika ia telah taubat jika tidak bertaubat maka dia tidak boleh dinikahi oleh orang yang pernah berzina dengannya atau orang lain yang ingin menikahinya. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah dan beberapa ulama salaf. Karena taubat itu bisa membersihkan nama orang yang pernah melakukan zina. Nabi SAW bersabda:

” َ َ‫”اﻟﺘَﺎﺋ ُِﺐ ﻣِﻦَ ا ﻧ ِْﺐ ﳈَ َﻦْ َﻻ َذﻧْﺐ‬ Artinya : “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa/dihapus.” (Ibnu Majah, al-Bayhaqi, hadits hasan shohih) Bahkan Ibnu Taimiyah mengharuskan 54

Aliy As’ad, Fathul Muin, ( Menara Kudus Kota: Kudus, 1979 ) h. 31. Fiqih Munakahat 63

untuk menguji apakah perempuan yang berzina benar – benar telah bertaubat. 2. Imam Syafi’i, Imam Abu hanifah dan Imam Malik tidak mensyaratkan taubat bagi penzina yang akan dinikahi. 3. Imam as-Syaukani berpendapat, ”hadits inimenjadi dalil bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah dengan lelaki yang telah berzina, demikian juga dengan lelaki tidak boleh menikahi perempuan yang pernah melakukan zina. Karena ayat sangat jelas mengatakan keharamanya.” Ini adalah pendapat yang independen dari Imam as-Syaukani dia tidak mengikuti pendapat para imam madzhab. 4. Ulama’ yang lain berpendapat, ”zina merupakan salah satu hal yang bisa membatalkan sahnya pernikahan.” Pendapat ini juga di ambil oleh al-Hasan. Saya sendiri cenderung mengambil pendapat mayoritas ulama. Adapun kawan, kalian bebas mau mengambil pendapat yang lain. Ini adalah hukum fiqih bagi mereka yang pernah berzina.55 Harus kita ketahui adalah balasan itu sesuai dengan amal yang kita lakukan. Bukankah dalam ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya: Artinya : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanitawanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk 55

Ibid, h. 33.

64 Fiqih Munakahat

wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” Ayat ini menunjukkan kesucian 'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah SAW adalah orang yang paling baik,maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau. Mereka yang baik – baik dan menjaga kehormatanya akan dipasangkan dengan orang yang baik pula. Ini adalah hukum Allah yang berlaku untuk semua mahluknya. Karena ayat inilah kita bisa melihat dalam kehidupan nyata, mereka yang pernah melakukan perbuatan keji/zina biasanya juga akan mendapatkan pasangan yang pernah melakukan zina. Na’udzubillah min dzaalik. Semoga kita dijauhkan dari pasangan yang buruk/fasik. Ada banyak kisah tentang ini. Kecuali Allah berkehendak lain yang ingin menutupi aib hambanya yang pernah melakukan zina kemudian bertaubat, Sebagai gantinya Allah berikan dia pasangan yang masih “suci” terjaga dari perbuatan keji dan hina.56 F. Undang- Undang Tentang Perkawinan Antar Pemeluk Agama. Perkawinan antar pemeluk Agama (Pria yang beragama Islam dengan wanita yang beragama selain Islam atau sebaliknya) tidak diatur dalam peraturan Perundangundangan di Indonesia, baik dalam Undang-Undang Nomor 56

Ibd.., Fiqih Munakahat 65

1 Tahu1974, Undang No 7 Tahun1989, maupun dengan kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Namun demikian, kompilasi hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam Pasal 40 dan 44 KHI. Pasal 40 KHI : Dilarang melangsungkan perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. b. c.

Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain Seorang wanita masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 44 KHI : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Jika dilihat dari Pemahaman Fiqih di Indonesia memungkinkan terjadinya perkawinan antara seoarang pria yang beragam Islam dengan wanita Kitabiyah. Wanita Kitabiyah adalah orang Yahudi dan Nasrani. Kebolehan tersebut didasari oleh adanya kesamaan kitab suci, yaiyu masing-masing berasal dari wahyu Allah. Namun sebaliknya wanita muslimah menikah dengan pria yang beragama selain Islam tidak dibolehkan.57

57

Zainuddin Ali, Hukum PerdataIslam ( Jakarta: Sinar Grafika 2006), h 98- 99 66 Fiqih Munakahat

BAB V Khitbah

A. Pengertian Khitbah Dalam buku Amir Syarifuddin, Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria, langkah selanjutnya adalah penyampain kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa Melayu disebut “peminangan”.58 Dalam buku Ali Yusuf As-Subki, adalah Kata khitbah (dengan dibaca kasrah kha-nya) secara bahasa ialah seseorang yang meminang perempuan pada suatu kaum, jika ia ingin menikahinya. Apabila dibaca fathah, atau dhamah kha-nya bermakna orang yang berkhutbah pada suatu kaum dan menasihatinya, bentuk jamaknya khuthabun dan fail (pelakunya) disebut khatib. Adapun jika kha-nya dibaca kasrah secara syara’ adalah keinginan seseorang laki-laki untuk memiliki perempuan yang jelas dan terlepas dari berbagai halangan. Atau keinginan seorang laki-laki untuk memiliki perempuan yang halal untuk dinikahi.59

58

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih,(Jakarta:Kencana Prenada Media Grop,2003),h.82 59 Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga,(Jakarta:Amzah,2010),h.66 Fiqih Munakahat 67

Dalam buku Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, adalah Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’.60 Dalam buku Ali Yusuf As-Subki , Fiqih Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.66 adalah Khitbah merupakan pernyataan yang jelas atas keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan, yang merupakan dasar dalam jalan penetapan, dan oleh karena itu seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang benar dan kerelaan penglihatan.61 Sesungguhnya Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupanya.62

60

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak) h, 8 61 Ali Yusuf As-Subki , Op.Cit,h.66 62 Musthafa Abdul Wahid, Al-Usrah fi al-Islam, h.29. 68 Fiqih Munakahat

B. Khitbah Yang Diperbolehkan Dalam buku Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, yaitu Dalam peminangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat, yaitu seorang wanita yang baik diakad nikahi dan wanita yang belum terpinang.63 Dalam buku Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, yaitu Seorang wanita yang baik diakad nikahkan pada saat pinangan sehingga dapat menyempurnakan akad nikah. Karena khitbah berfungsi sebagai sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan, yakni nikah. Hukum sarana sama dengan hukum tujuan. Jika tujuan itu tidak disyariatkan maka sarana pun terlarang. Wanita sebagai objek akad jika ia terlepas dari berbagai larangan nikah secara syara’ dan tidak haram karena suatu sebab dari berbagai sebab keharaman. Sebab keharoman itu ada kalanya kekal abadi seperti ibu, saudara perempuan, dan saudara perempuan dari pihak bapak maupun ibu istrinya. Wanita yang haram abadi tidak boleh dinikahi dalam keadaan bagaimanapun karena sebab keharamannya bersifat tetap yang tidak akan sirna. Sedangkan wanita yang diharamkan bersifat temporal tidak boleh dinikahi selama sebab keharaman itu masih ada namun jika sebab keharoman itu sudah lenyap, bagi orang yang ingin menikahinya boleh melakukan khitbah.Misalnya, wanita murtad kembali masuk Islam, wanita musyrik memeluk agama Samawi dan wanita yang tertalak yang sudah habis masa iddahnya.64 Kemudian syarat khitbah yang lain yaitu 63

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak),h.18 64 Ibid, h.19 Fiqih Munakahat 69

seorang wanita yang belum terpinang maka boleh untuk meminangnya.65 Dari dua syarat diatas dapat dipahami bahwa khitbah yang diperbolehkan adalah khitbah yang memenuhi dua syara’ yaitu seorang wanita yang baik untuk diakadnikahi dan seorang wanita yang belum terpinang. C. Khitbah Yang Diharamkan Dalam buku Saleh Bin Fauzan, yaitu Sebagaimana ketentuan dalam khitbah yang diperbolehkan diatas harus sesuai dengan dua syarat.Oleh karena itu khitbah diharamkan jika tidak memenuhi syarat diatas. Khitbah yang diharamkan antara lain : 1. Haram meminang seorang wanita dalam masa iddah Diharamkan untuk meminang seorang wanita dalam masa iddahnya dengan diungkapkan secara terang-terangan, contohnya, “saya ingin menikahimu”, sebagaimana firman Allah: Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini meraka) dalam hatimu.” (AlBaqarah: 235) Diperbolehkan bagi laki-laki yang akan meminang wanita yang masih dalam masa iddahnya untuk mengungkapkan maksudnya dengan sindiran, 65

Ibid,h..26

70 Fiqih Munakahat

contohnya dengan mengatakan “saya suka dengan wanita sepertimu,” atau “jangan kau melupakanku.” Ungkapan diatas mengindikasikan adanya larangan untuk berterus terang dalam meminang wanita yang masih dalam masa iddah, seperti dengan mengatakan, “saya ingin menikahimu.” Karena, ungkapan terus terang itu tidak akan membawa arti lain kecuali menikah. Hal itu tidak menjamin seorang wanita akan memberitahukan bahwa masa iddhnya telah habis sebelum waktunya tiba.66 Imam Ibnu Qayyim berkata, “diharamkan meminang wanita dalam iddahnya dengan terangterangan, walaupun iddah tersebut adalah iddahnya seorang wanita yang ditinggal wafat suaminya. Sebab, sumber berita tentang habisnya masa iddah itu tidak tergantung dari wanita yang bersangkutan. Jika diperbolehkan meminang, maka ia akan menolak untuk cepat memberikan jawabanya. Atau ia akan berbohong dengan mengatakan bahwa masa iddahnya telah habis, dan diperbolehkan meminang seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya dari talak bain (bukan talak tiga) dengan cara terang-terangan maupun dengan sindiran. Karena sebenarnya ia boleh dinikahi oleh mantan suaminya, meski masih dalam masa iddahnya.”67

66

Saleh Bin Fauzan, Fiqih Sehari-Hari ,(Jakarta:Gema Insani Press, 2005), h.645 67 Imam Ibnu Qayyim Fiqih Munakahat 71

Syeikh Taqiyyuddin berkata, “diperbolehkan meminang terang terangan atau sindiran bagi orang yang berhak atas iddahnya (suami), jika ia masih diperbolehkan untuk menikahinya pada masa iddah tersebut.”68 Untuk memperjelas permasalahan khitbah terhadap wanita tertalak dalam masa iddah, berikut ini akan dipaparkan secara terperinci. a.

Wanita ber-iddah talak raj’i Para fuqaha sepakat keharaman meminang wanita dalam masa tunggu (iddah) talak raj’i (suami boleh kembali pada istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa tegas (sharih) maupun menggunakan bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’i masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama dalam masa iddah. Suami boleh ruju’ tanpa meminta kerelaan darinya, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddahnya. Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khidbah pada wanita dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan hak suami pencerai, menodai perasaanya dan merampas haknya dalam mengembalikan istri tercinta kepangkuannya karena terkadang wanita itu mempunyai banyak anak yang masih kecil yang

68

Syeikh Taqiyyuddin

72 Fiqih Munakahat

kemudian bisa terlantar karenanya.69 Meminang wanita dalam masa iddahnya membuat wanita berbohong, mengaku telah habis masa iddahnya padahal ia belum habis masa iddahnya b.

Wanita ber-iddah talak ba’in Tidak ada perselisihan dikalangan fuqaha, bahwa tidak boleh meminang wanita masa iddah talak ba’in qubra (talak ba’in besar yakni tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas. Kecuali dengan menggunakan sindiran , jumhur ulama memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak memperbolehkan. Namun ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah memperbolehkan berdasarkan dalil nash Qur’an, sunnah, dan rasio.

c.

Wanita ber-iddah talak ba’in shughra Dalam talak ba’in shughra terdapat perbedaan pendapat, namun menurut mayoritas ulama berpendapat keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut dikarenakan dengan bolehnya pinangan dengan selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang lain. Terlebih jika mantan pasangan suami istri itu mempunyai anak banyak, tentunya mereka berhak hidup bersama bapak ibunya sehingga 69

Muhammad Abi Zahra, Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah,h.28 dan Abd Al-Fattah Abi Al’Aynain,Al-Islam wa Al-Usrah, h.111 Fiqih Munakahat 73

mereka dapat menikmati kehidupan yang tenang dan tentram. Jika peminangan itu dibolehkan, berati merampas hak suami pencerai dan juga akan menelantarkan keluarga dan menimbulkan bencana. d.

e.

Wanita ber-iddah karena khulu’ dan fasak Wanita beri-iddah karana khulu’ (talak karena permohonan istri dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada suatu yang merusak keabsahan nikah) karena suami miskin atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum meminang sindiran terhadap kedua wanita tersebut terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulam sebagaimana meminag sindiran terhadap wanita pada masa iddah dari talak ba’in shughra. Fuqaha sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak boleh dipinang secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi suami pencerai boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain wanita ber-iddah talak ba’in qubra, baginya haram hingga wanita itu dinikahi laki-laki lain yang telah berhubungan intim kemudian dipisah dengan cerai atau dengan yang lain dan telah habis masa iddahnya. Wanita ber-iddah karena kematian suami Fuqaha sepakat tidak boleh meminag dengan jelas kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikmah adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan berbagai bencana, antara lain:

74 Fiqih Munakahat

1. 2.

3.

4.

Adanya permusuhan antara peminang dan keluarga suami yang meninggal Keluarga almarhum menjadi benci dan memusuhi wanita terpinang jika ia menerima pinangan seorang setelah wafat suaminya dan belum habis masa iddahnya. Suami yang telah almarhum mempunyai kehormatan dan banyak teman, wajib dijaga dan tidak dapat segera diingkari dari sisi istrinya. Pinangan secar jelas tidak relevan dengan kondisi yang seharusnya karena istri sedang meninggalkan hiasan yang menyolok, bela sungkawa dan berduka cita atas kematian suami.

Fuqaha sepakat tidak boleh meminang secar jelas terhadap wanita ber-iddah dari kematian suami sebagaiman kesepakatan diperbolehkannya meminang dengan sindiran. Dasar ketentuan tersebut adalah firman Allah (QS.Al-Baqarah (2): 235) yaitu : Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini meraka) dalam hatimu.” (QS. Al-Baqarah: 235) Hikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan antara wanita dan Fiqih Munakahat 75

suaminya telah selesai disebabkan kematian sehingga tidak ada jalan untuk menyatukan kembali antar mereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada permusukhan pada hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran. Masa iddah wanita karena kematian tidak dihitung berdasarkan menstruasi atau kesucian, namun berdasarkan pada kelahiran anak atau empat bulan sepuluh hari. Dalam hal ini tidak ada kesempatan berbohong dalam menghitung selesainya iddah.70 2. Meminang seorang wanita yang masih dalam pinangan orang lain. Dalam buku Saleh Bin Fauzan, yaitu Barang siapa yang meminang seorang wanita, kemudian seorang wanita tersebut telah memberikan jawaban positifnya, maka dilarang bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut, sampai ia memberi izin atau telah membatalkan pinangannya yang pertama. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw, yaitu:

َ‫ا ذَاﺧَﻄِ ﺐَ َﺪُ ﰼُ ْ اﻣْﺮَ ًة ﻓَﻘَﺪَ رَ نْ َﺮَي ﻣِﳯْ َﺎ ﺑ َﻌ َْﺾ ﻣ َﺎ ﯾ َﺪْ ﻋُﻮْ ُﻩ اﱃ‬ (‫ِﲀَ ِ َﻔﻠْ َﯿ ْﻔﻌَﻞْ )رواﻩ ٔﲪﺪ و ٔﺑﻮداود‬ Artinya : “Dilarang meminang seorang wanita yang berada dalam pinangan seorang laki-laki 70

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak) h,26 76 Fiqih Munakahat

sampai ia menikahinya atau meninggalkan pinangannya.” (HR.Bukhari dan Nasa’i) Selain itu juga ada hadist yang lain yaitu: Artinya : “Tidak diperbolehkan bagi seorang mukmin untuk meminang wanita yang dalam pinangan saudaranya, sampai ia meninggalkannya.” (HR.Muslim) Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar disebutkan : Artinya : “Dilarang bagimu meminang atas pinangan saudaranya.”(Muttafaq Alaih) Dalam riwayat Bukhari disebutkan, bahwa: Artinya : “Dilarang bagi laki-laki lain meminang wanita yang dalam pinangan laki-laki lain sampai wanita itu ditinggalkan oleh peminang pertama atau telah mengijinkannya.” Beberapa hadis diatas memiliki satu maksud dan makna yang sama, ini menunjukkan betapa diharamkannya seorang muslim meminang wanita yang masih berada dalam pinagannya saudaranya yang lain. Dikarenakan hal itu dapat merusak hak peminang pertama dan dapat menimbulkan permusuhan diantara manusia.Hal itu juga melanggar hak-hak mereka, seandainya sampai terjadi penolakan kepada peminang pertama, yang menyebabkan diterimanya pinangan laki-laki yang kedua. Seandainya laki-laki yang Fiqih Munakahat 77

meminang pertama telah meninggalkan wanita tersebut, maka laki-laki kedua baru boleh diizinkan untuk meminangnya, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Saw, yaitu: Artinya : “Sampai ia (laki-laki pertama yang meminang) mengizinkan atau meninggalkannya.” Inilah etika dan kehormatan yang diajarkan kepada ayariat setiap muslim. Termasuk beberapa larangan yang dapat menimbulkan permusuhan satu sama lain. Oleh karena itu bagi seorang muslim harus senantiasa memperhatikan hal ini dan senantiasa menjaga hak seorang muslim terhadap saudaranya yang lain sangatlah mulia. Maka, janganlah seseorang meminang seorang wanita yang sedang berada dalam pinangan orang lan. Janganlah membeli barang yang telah ditawar oleh orang lain dan jangan menyakiti walau denagn cara apapun juga.71 Selain itu juga Ibnu Hazm Muhammad Uwaidahmengatakan: Tidak diperbolehkan menikahi ibu, nenek dari bapak atau ibu, meskipun hubungannya tidak dekat. Tidak juga putri dan putri dariputrinya (cucu) putri dari putranya dan seterusnya. Juga tidak diperbolehkan menikahi saudara perempuan, putri saudara (kemenakan) dan seterusnya sampai ke bawah. Serta tidak boleh

71

Saleh Bin Fauzan, Fiqih Sehari-Hari ,(Jakarta:Gema Insani Press, 2005), h.646-648 78 Fiqih Munakahat

menikahi ibu istrinya (mertua) dan neneknya, meskipun hubungannya jauh.72 Allah swt berfirman: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara ibu kalian, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuan dari saudara-saudara lakilaki kalian, anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian, ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian (Maksud dari kata ibu pada awal ayat ini adalah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Sedangkan yang dimaksud dengan anak-anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian juga pada yang lainnya. Adapun yang dimaksud dengan “anakanak istri kalian berada yang dalam pemeliharaan kalian”, menurut jumhur ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya) dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum bercampur dengan istri kalian tersebut dan sudah kalian ceraikan, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk menikahinya. (Juga diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpun dua perempuan yang bersaudara dalam satu pernikahan, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa : 23 ) 72

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita edisi Lengkap. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,1998), h. 413-414 Fiqih Munakahat 79

Diharamkan bagi seorang Muslim menikahi wanita yang telah dilaknatinya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw : Artinya : “Dua orang (laki-laki dan perempuan) yang saling melaknat, jika berpisah, tidak boleh disatukan kembali selamanya.“(HR. Malik dan Abu Dawud) Menurut Imam Malik, dua orang (laki-laki dan perempuan) yang saling melaknat tidak boleh menikah selamanya. Yang Haram dinikahi Dalam Waktu Tertentu a.

b.

c.

Saudara perempuan istri (ipar), sampai si istri diceraikan dan menyelesaikan masa iddahnya atau setelah istrinya meninggal dunia. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt. “Dan diharamkan bagi kalian menghimpun (dalam satu pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (AnNisa : 23) Bibi dari istri, baik dari pihak bapak maupun ibu. Ia tidak boleh dinikahi, kecuali setelah putri saudara lakilaki atau saudara perempuannya itu (istri) diceraikan serta menyelesaikan masa iddahnya atau istrinya telah meninggal dunia. Wanita yang bersuami (Muhshanah), sehingga diceraikan oleh suaminya dan menyelesaikan masa iddahnya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt, yaitu :

80 Fiqih Munakahat

d.

e.

f.

Artinya: “Dan diharamkan juga bagi kalian menikahi wanita-wanita yang bersuami.” (An-Nisa: 24) Wanita yang sedang menjalani masa iddah, baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya, sehingga ia menyelesaikan masa iddahnya. Pada saat menjalani massa iddah tersebut juga diharamkan untuk melamarnya. Akan tetapi, tidak ada larangan untuk menyatakannya dengan sindiran, sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt di dalam surat Al-Baqarah ayat 235. Wanita yang telah ditalak tiga (ba’in) sehingga ia dinikahi oleh laki-laki lain, yang kemudian berpisah karena perceraian maupun kematian dan telah menyelesaikan masa iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam surat Al-Baqarah ayat 230. Wanita yang berzina , sehingga ia benar-benar bertaubat dari perbuatan tersebut. Hal ini dilakukannya dengan penuh keyakinan serta telah menyelesaikan masa iddah dari perzinaannya tersebut. Sebagaiman firman Allah swt, yaitu : Artinya : “Dan wanita yang berzina tidak boleh dinikahi, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman (maksud dari ayat ini adalah; tidak pantas bagi orang yang beriman menikahi orang yang telah

Fiqih Munakahat 81

berbuat zina, demikian pula sebaliknya).” (QS.An-Nur: 3)73 3. Beberapa Hadits tentang Larangan Dalam buku Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, adalah Dari Abu Hurairah saw, ia mengungkapkan: “Bahwa Rasulullah saw telah melarang untuk menikahi seorang wanita berikut bibinya dari pihak bapak atau bibinya dari pihak ibunya.” (Muttafaqun Alaih) Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Bahwa Nabi saw melarang menikahi seorang wanita berikut bibinya dari pihak bapak atau bibinya dari pihak ibunya.” (HR.AtTirmidzi) Imam At-Tirmidzi mengatakan, bahwa hadist ini berstatus hasan shahih. Secara umum para ulama mengamalkan isi yang terkandung dalam hadist-hadist di atas. Penulis tidak melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka, yaitu; bahwasanya tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki menikahi secara bersama-sama antara seorang wanita dengan bibinya, baik dari pihak bapak maupun bibi dari pihak ibunya. Jika ada seorang wanita yang dinikahi berikut bibinya dari pihak bapak atau ibunya; atau seorang bibi yang dinikahi berikut putri saudara perempuannya, maka nikah salah satu dari keduanya dinyatakan batal. Demikian menurut pendapat jumhur ulama.

73

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita edisi Lengkap. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,1998), h.415-416 82 Fiqih Munakahat

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata ; bahwa Murtsid bin Abi Murtsid AlGhanawi pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah terdapat seorang wanita pelacur bernama ‘Anaq, yang merupakan temen dekatnya. Ia (Murtsid) mengatakan, bahwa ia datang untuk menemui Nabi saw. Lalu ia bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikahi ‘Anaq? Maka beliau pun terdiam. Kemudian turunlah ayat: “Dan wanita yang berzina tidak boleh dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berrzina atau laki-laki musyrik. “Selanjutnya beliau memanggilnya dan membacakan ayat tersebut seraya berkata: “Janganlah engkau menikahinya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud) Dari Abu Hurairah saw, ia menceritakan; bahwa Rasulullah saw bersabda:“Tidaklah boleh seorang yang berzina dan telah didera menikah, melainkan dengan orang yang semisal dengannya.” (HR. Abu Dawud)74 D. Melihat Wanita Yang Akan Dikhitbah 1. Hukum memandang wanita terpinang Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memendang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. 74

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,1998), h.416 Fiqih Munakahat 83

Dalam hadis disebutkan : Dari Zabir bin Abdullah berkata :”Rasulullah bersabda: Jika seseorang meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk menikahinya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah”.75 (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.) Dalam buku Saleh Bin Fauzan, Fiqih SehariHari yaitu Dalam Hadis lain disebutkan : Artinya : “Lihatlah ia, karena hal itu akan menjadikan kalian berdua lebih lestari dalam kasih sayang kalian.” Hadis diatas mengidentifikasikan adanya izin kepada laki-laki yang hendak meminang wanita untuk melihat kepada hal-hal yang telah umum dan boleh dilihat dari seseorang wanita yang akan dipinangnya. Ini bisa dilakukan tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat atau berduaan saja dengan wanita tersebut, tapi harus dengan orang lain yang menyertainya.76 Menurut Amir Syarifuddin. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadist Nabi dan Jabir menurut riwayat Ahamad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya: “Bila seseorang diantara 75

HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Saleh Bin Fauzan, Fiqih Sehari-Hari ,(Jakarta:Gema Insani Press, 2005), h.644-645 76

84 Fiqih Munakahat

aku meminang perempuan dan ia melihatnya yang akan mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah”.77 Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”. Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no.2082). Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.78 Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita. (HR. Ahmad) 77

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Kencana Prenada Media Grop2003).h 85 78 Maktabah Abu Salma al-Atsari, Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunah Nabi,h.7 Fiqih Munakahat 85

Barang siapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.79 2. Batasan anggota tubuh terpinang yang boleh dilihat Dalam buku Amir Syarifuddin, yaitu Meskipun hadis nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batasan-batasan yang boleh dilihat dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulam.80 a. Mayoritas fuqaha’ seperti Imam Malik, AsySyafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkapkan banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk dan kurusnya. Dalilnya adalah firman Allah (QS.An-Nur (24): 31)

‫وَ ﻗُﻞْ ِﻠْﻤُﺆْ ِﻣ َِﺎت ﯾَﻐْﻀُ ﻀْ ﻦَ ﻣِﻦْ ﺑ َْﺼﺎرِﻫِﻦ وَﳛَ ْ ﻔَﻈْ ﻦَ ﻓُﺮُ و َ ُﻦ وَ َﻻ‬ ۖ ‫َﴬْﻦَ ِ ُﲞ ُﻤ ِﺮﻫِﻦ َ َٰﲆ ُﺟ ُﻮﲠِ ِﻦ‬ ِ ْ ‫ﯾُ ْﺒ ِﺪ ﻦَ زِﯾ َﳤَ ُﻦ اﻻ ﻣَﺎ ﻇَ ﻬَﺮَ ﻣِﳯْ َﺎ ۖ وَ ﻟْﯿ‬ 79 80

Ibid.,h.7 Amir Syarifuddin, Op Cit.h.85

86 Fiqih Munakahat

‫وَ َﻻ ﯾُ ْﺒ ِﺪ ﻦَ زِﯾ َﳤَ ُﻦ اﻻ ِﻟ ُﺒ ُﻌﻮ َﳤِ ِﻦ وْ ٓ َ ﲛِ ِﻦ وْ ٓ َ ِء ﺑُ ُﻌﻮ َﳤِ ِﻦ وْ ﺑْﻨَﺎﲛِ ِﻦ‬ ْ‫وْ ﺑْﻨَﺎ ِء ﺑُ ُﻌﻮ َﳤِ ِﻦ وْ ا ﺧْﻮَاﳖِ ِﻦ وْ ﺑ َِﲏ ا ﺧْﻮَاﳖِ ِﻦ وْ ﺑ َِﲏ ﺧَﻮَاﲥِ ِﻦ و‬ َ‫ِﺴَ ﺎﲛِ ِﻦ وْ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ َْﺖ ﯾْﻤَﺎﳖُ ُﻦ ِو اﻟﺘﺎ ِﺑﻌِﲔَ ْ َِﲑ ِوﱄ ْاﻻرْ ﺑ َ ِﺔ ﻣِﻦ‬ ‫اﻟﻄﻔْﻞِ ا ِ ﻦَ ﻟَﻢْ ﯾ َﻈْ ﻬَﺮُ وا َ َٰﲆ ﻋَﻮْ رَ ِات اﻟ ِّﺴَ ﺎ ِء ۖ وَ َﻻ‬ ِّ ‫ّ ِاﻟﺮ َﺎلِ ِو‬ ‫َﴬْﻦَ ِﺑ رْ ُ ِﻠﻬِﻦ ِﻟ ُﯿﻌْﲅَ َ ﻣَﺎ ﳜُ ْ ﻔِﲔَ ﻣِﻦْ زِﯾ َﳤِ ِﻦ ۚ وَ ﺗُﻮﺑُﻮا َاﱃ ا ِ َﲨِﯿﻌًﺎ‬ ِ ْ‫ﯾ‬ ۞ َ‫َﻠﲂ ﺗُ ْﻔ ِﻠﺤُﻮن‬ ْ ُ ‫ﯾ َﻪ اﻟْﻤُﺆْ ِﻣ ُﻮنَ ﻟَﻌ‬ Artinya : “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Fiqih Munakahat 87

Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang bisa terlihat darinya” dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya sekadarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.81 Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumiit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang umumnya tertutupi seperti dada, punggung dan sesamanya. Adapun alasan mereka, nabi tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengijinkan segala yang tampak pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian 81

Mughni Al-Muhtaj, Jus 3 h.127; Ibn Qudamah, Al-Mughni, Jus 7, h.53; Bidayat Al-Mujtahid, jus 2, h.3 dan Nail Al-Authar, jus 6,h.94 88 Fiqih Munakahat

diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.82 Ulama Hanafiyah dan Hambaliyah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dipandang cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat.83 Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinag yang diinginkan.Berdasarkan keumuman sabda Nabi “lihatlah kepadanya.” Disini Rasulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat. Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat ereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntunan kebolehan suatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.84 Pendapat yang kuat(rajih), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada 82

Al Mughni, jus 6,h.554 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), h.13 84 Abd Al-Fattah Abi Al-‘Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah,h.103 83

Fiqih Munakahat 89

terpinang, baik dari segi fisik, suara, pemikiran, dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya. Sebagaimana hadis Nabi : Arwah adalah pasukan yang terhimpun, apa yang dikenal daripadanya akan menadi menyatu dan apa yang dibenci daripadanya akan membuat berpisah. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad) Kadang kalanya wanita terpinang tidak terlalu cantik, tetapi terkadang karena baik sifatsifat dan tingkah lakunya, seorang laki-laki dapat teperdaya karena sifat, akhlak dan kecerdasannya. Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang diperolehkan bagi lelaki hanyalah melihat wajah dan telapak tangan saja. Demikian pula bagi wanita ia boleh melihat siapa yang melamarnya. Karena sebagaiaman lelaki bisa tertarik atau tidak kepada seorang wanita, wanitapun demikian.85 Dalam bukunya Muhammad Ali, Fiqih, Terdapat hadis yaitu “Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan , sekiranya ia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud).

85

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, Anshori Umar Sitanggal, h.363 90 Fiqih Munakahat

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata : “Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi saw berkata: Lihatlah ia. Karena, yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang antara kalian berdua.” (HR. An-An-Nasa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dari Aisyah saw, ia menceritakan; Rasululah saw pernah berkata kepadaku: “Aku telah melihatmu dalam mimpiku dibawa oleh malaikat dengan ditutup oleh kain sutera. Lalu malaikat itu mengatakan kepadaku: Ini adalah istrimu. Maka aku pun membuka kain penutup yang menutupi wajah wanita itu. Tiba-tiba yang muncul adalah kamu (Aisyah). Selanjutnya engkau pun berkata: Apabila ini berasal dari sisi Allah, maka biarlah Allah meneruskannya,” (HR. Imam Al-Bukhari)86 E. Hubungan Antara Laki-Laki Dan Wanita Yang Sudah Dipinang Dalm buku Abd Al-Fattah Abi Al’Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah; Dirasah Muqaranah fi Dhaw Al-Madzahib AlFiqhiyyah wa Qawanin Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, ‘Aqad AzZawaj, Transaksi nikah dalam Islam tergolong transaksi yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk yang paling agung di bumi,

86

Muhammad Ali, Fiqih, (Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013), h: 147 Fiqih Munakahat 91

yakni manusia yang dimuliakan Allah sebagaimana firmanNya (QS.Al-Isra’ (17): 70) :

‫َﺎت‬ ِ ‫وَﲪﻠْﻨَﺎﱒُ ْ ِﰲ اﻟ َ ِّْﱪ وَاﻟْ َﺒ ْﺤ ِﺮ وَرَ زَ ْﻗ َﺎﱒُ ْ ﻣِﻦَ اﻟﻄ ِﯿّﺒ‬ َ َ ‫وَ ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺮ ْﻣ َﺎ ﺑ َِﲏ ٓ َد َم‬ ۞ ‫وَ ﻓَﻀ ﻠْﻨَﺎﱒُ ْ َ َٰﲆ َﻛ ِﺜ ٍﲑ ﻣِﻤﻦْ َ ﻠَ ْﻘ َﺎ ﺗَﻔْﻀِ ًﯿﻼ‬ Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anakanak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baikbaik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaklah tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Oleh karena itu Islam menjadikan khitbah untuk mencapai tujuan yang mulia dari impian yang agung.87 87

Abd Al-Fattah Abi Al’Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah; Dirasah Muqaranah fi Dhaw Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah wa Qawanin Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, ‘Aqad Az-Zawaj, h.100 92 Fiqih Munakahat

Khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifatsifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai manusia baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.88 Dalam buku Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim,Fiqih Sunah Untuk Wanita, yaitu Khitbah adalah menyampaikan keinginan untuk menikah dengan seorang wanita dengan cara yang sudah banyak dikenal masyarakat. Jika keinginannya disetujui maka kedudukan persetujuan sama dengan janji untuk melangsungkan pernikahan, sehingga laki-laki yang mengajukan pinangan sama sekali tidak halal melakukan sesuatu terhadap wanita yang dipinangnya, melainkan tetap memjadi wanita asing (bukan mahram) sampai berlangsungnya akad nikah.89

88

Saleh al-Fauzan,Al-Mulakhkhasul Fiqhi,(Tp,2006),h.66 Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim,Fiqih Sunah Untuk Wanita, (Jakarta:Al-I’thisom Cahaya Umat,2007), h. 634 89

Fiqih Munakahat 93

94 Fiqih Munakahat

BAB VI Wali Nikah

A. Pengertian Wali Secara etimologis, “wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa. Wali mempunyai banyak arti, antara lain: 1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa. 2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki). 3. Orang saleh (suci), penyebar agama, dan 4. Kepala pemerintah dan sebagainya. Arti-arti wali diatas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali dalam pernikahan, yaitu yang sesuai dengan poin 2.90 Sedangkan menurut Muhammad Jawad Mughniyah, perwalian adalah pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya.Pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, tetapi juga berlaku

90

Tiham dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo Press, 2009), h. 89-90. Fiqih Munakahat 95

untuk orang gila, anak yang masih kecil, safih, dan bangkrut.91 Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah harus ada dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama.Hal ini berlaku untuk semua perempuan, yang dewasa atau masih kecil, masih perawan atau sudah janda. Memang tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang secara jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Yang ada hanya ayat-ayat yang dapat dipahami mengehendaki adanya wali seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :

‫ُﴩ َﻛ ٍﺔ‬ ِ ْ ‫وَ َﻻ ﺗَ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْﻤ ُْﴩِﰷَ ِت ﺣَﱴ ٰ ﯾُﺆْ ﻣِﻦ ۚ وَ َ َﻣ ٌﺔ ﻣُﺆْ ِﻣ َ ٌﺔ ْ ٌَﲑ ﻣِﻦْ ﻣ‬ ‫ُﴩﻛِﲔَ ﺣَﱴ ٰ ﯾُﺆْ ِﻣ ُﻮا ۚ وَ ﻟَ َﻌ ْﺒ ٌﺪ ﻣُﺆْ ﻣِﻦٌ ْ ٌَﲑ‬ ِ ْ ‫وَ ﻟَﻮْ ﲺْ َ َﺒﺘ ُ ْْﲂ ۗ وَ َﻻ ﺗُ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اﻟْﻤ‬ ‫ﻣِﻦْ ﻣ ُْﴩِكٍ وَ ﻟَﻮْ ﲺْ َ ﺒ ُ َْﲂ ۗ وﻟَـ ﺌِﻚَ ﯾ َﺪْ ﻋُﻮنَ َاﱃ اﻟﻨﺎرِ ۖ وَا ُ ﯾ َﺪْ ﻋُﻮ َاﱃ‬ ۞ َ‫ِﻠﻨﺎس ﻟَﻌَﻠﻬُﻢْ ﯾَﺘَﺬَﻛﺮُ ون‬ ِ ‫اﻟْﺠَﻨ ِﺔ وَاﻟْ َﻤ ْﻐﻔِﺮَ ِة ِ ْذ ِﻧ ِﻪ ۖ وَ ﯾُﺒ ِ ّ َُﲔ ٓ َ ِﺗ ِﻪ‬ 91

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 166. 96 Fiqih Munakahat

Artinya:

“...janganlah kamu menikahkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih bail dari laki-laki musyrik walaupun dia menarik hati kamu.”

Namun di samping itu terdapat pula ayat Al-Qur’an yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali,sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 232 :

‫وَا ذَا ﻃَ ﻠﻘ ُ ُْﱲ اﻟ ِّﺴَ ﺎ َء ﻓَ َﻠَﻐْﻦَ َ ﻠَﻬُﻦ ﻓ ََﻼ ﺗَﻌْﻀُ ﻠُﻮﻫُﻦ نْ ﯾ َ ْﻨ ِﻜﺤْﻦَ زْوَ ا َ ُﻦ‬ ُ‫وف ۗ َذ ِ َ ﯾُﻮ َﻋﻆُ ِﺑ ِﻪ ﻣَﻦْ ﰷَ نَ ِﻣ ُ ْْﲂ ﯾُﺆْ ﻣِﻦ‬ ِ ُ‫ا ذَا َﺮَاﺿَ ﻮْا ﺑ َ ْﳯَ ُﻢْ ِ ﻟْ َﻤﻌْﺮ‬ ‫ِ ِ وَاﻟْﯿَﻮْ ِم ا ْ ٓ ِﺧ ِﺮ ۗ َذ ﻟ ُ ِْﲂ زْ َ ٰﰽ ﻟ ُ َْﲂ وَ ﻃْ ﻬَﺮُ ۗ وَا ُ ﯾَﻌْﲅَ ُ وَ ﻧ ُ ْْﱲ َﻻ‬ ۞ َ‫ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬ Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu dan habis iddahnya maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suami mereka.” Ayat ini dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bakal suamiya dan wali dilarang mencegahnya. Adanya dua isyarat kemungkinan pemahaman yang berbeda tersebut diatas berbeda dengan paham ulama dalam menetapkan kemestian adanya wali untuk masing-masing 4 kemungkinan perempuan tersebut diatas.

Fiqih Munakahat 97

Jumhur ulama menggunakan ayat pertama diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan dan menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadisthadist dibawah ini: Hadist Nabi dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ahmad dan lima perawi hadist bunyinya: “tidak boleh nikah tanpa wali”. Hadist Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadist selain al-Nasai: “perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya adalah batal”. Hadist dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri”. 92 B. Siapakah yang bisa menjadi wali? Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sangggup bertindak sebagai wali. Namun, ada kalanya wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.93 Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan 92

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 90-92 93 Tiham dan Sohari Sahrani, Loc.Cit.,h. 90. 98 Fiqih Munakahat

bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.94 Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali menurut pendapat sebagian ulama Syafi’i. Selanjutnya para ulama mazhab berbeda tentang wali yang bukan ayah.95 Diantara orang yang dapat menjadi wali bagi calon mempelai wanita adalah sebagai berikut:96 1. Ayahnya 2. Kakeknya, atau ayah dari ayahnya terus keatas 3. Anak laki-lakinya, cucunya terus kebawah 4. Saudara laki-laki sekandung (seayah dan seibu) 5. Saudara laki-laki seayah 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, baik sekandung maupun seayah saja 7. Paman (saudara kandung ayah) 8. Paman (dari saudara seayah dengan ayahnya) 9. Anak laki-laki dari paman (sekandung dengan ayah, atau hanya seayah dengan ayahnya) 10. Laki-laki terdekat dari saudaranya yang ada, dilihat dari garis ahli warisnya 11. Majikan yang memerdekakannya 12. Orang yang berkuasa yang dapat dipercayainya (Hakim)

94

Ibid. Abd. Rahman Ghazaly, Loc.Cit.,h. 166. 96 Saleh al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 651-652. 95

Fiqih Munakahat 99

Jumhur Ulama membagi wali itu kepada dua kelompok:97 1.

2.

Wali dekat atau wali qarib yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir. Wali jauh atau wali ab’ad. Yang menjadi wali jauh ini secara berurutan adalah: a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada g. Anak paman kandung, anak paman seayah. h. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada. i. Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum.

97

Amir Syarifuddin, Loc.Cit.,h. 92-93.

100 Fiqih Munakahat

Orang-orang yang berhak menjadi wali98 : 1.

Wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya. Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukan sebagai hakim atau penguasa.

2.

3.

C. Syarat Seorang Wali Pernikahan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Karena itu pernikahan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini berlandasan hadist Nabi SAW.:

(‫َﻻ ِﲀَ حَ اﻻﺑِﻮَ ِ ٍ ّﱄ )رواﻩ اﶆﺴﺔ إﻻاﻟ ﺴﺎئ‬ “Tidak ada pernikahan tanpa wali.”H.R. Al-Khomsah kecuali An-Nisaiy.99 Wali bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi hendaknya orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut: 98

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009), h 75. 99 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depaetemen Agama, Ilmu Fiqh, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1985), h. 100. Fiqih Munakahat 101

1. Beragama Islam. Wali juga harus beragama Islam, sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. Allah SWT berfirman :

۞ ‫…وَ ﻟَﻦْ ﳚَ ْ َﻌ َﻞ ا ُ ِﻠْﲀَ ِﻓ ِﺮﻦَ ََﲆ اﻟْﻤُﺆْ ِﻣ ِﲔَ ﺳَ ِ ًﻼ‬. “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)100 Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi. Firman Allah SWT :

ْ‫ﺎرَى وْ ِﻟﯿَﺎ َء ۘ ﺑَﻌْﻀُ ﻬُﻢ‬ ٰ ‫وَاﻟﻨﺼ‬ َ ‫َ ﳞ َﺎ ا ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا َﻻ ﺗَﺘ ِﺬُ وا ا ْﳱَ ُﻮ َد‬ ‫وْ ِﻟﯿَﺎ ُء ﺑَﻌ ٍْﺾ ۚ وَ ﻣَﻦْ ﯾَﺘَﻮَﻟﻬُ ْﻢ ِﻣ ُ ْْﲂ ﻓَﺎﻧ ُﻪ ﻣِﳯْ ُﻢْ ۗ ان ا َ َﻻ ﳞَ ْﺪِي‬ ۞ َ‫اﻟْﻘَﻮْ َم اﻟﻈ ﺎ ِﻟﻤِﲔ‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin 101 (mu).” (Al-Maidah: 51)

100

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 83. 101 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h.384. 102 Fiqih Munakahat

2. Baligh dan Berakal

Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad.102

3. Merdeka

Syarat menjadi seorang wali tentunya ia harus merdeka, karena kewalian tidak akan sah jika dipegang budak baik budak mutlak maupun muba’adl, karena sifat kekurangannya.103 Adapun menurut Zainuddin bin Abdul tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah: diisyaratkan seorang wali hendaknya orang yang adil, merdeka, dan mukallaf. Untuk itu tidak ada hak menjadi wali bagi orang yang fasik jika dia bukan imam besar (sultan), karena sifat fasik merupakan cela yang mencegah pelakunya untuk melakukan persaksian. Untuk itu ia tidak boleh menjadi wali, sama halnya dengan budak. Demikianlah menurut mazhab karena ada hadis sahih yang mengatakan:

.‫اﻧ ُﻪ ﯾ َِﲆ‬: ْ‫وَ ﻗَﺎ َل ﺑَﻌْﻀُ ﻬُﻢ‬. ٍ‫)) َﻻ ِﲀَ حَ اﻻﺑِﻮَ ِ ٍ ّﱄ ﻣُﺮْ ﺷِ ﺪٍ(( يْ َﺪْ ل‬ “tidak ada nikah kecuali dengan adanya seorang wali yang mursyid. Yakni yang adil.” 102

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 93. 103 Aliy As’ad, Terjemah Fat-Hul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1977), h. 44. Fiqih Munakahat 103

Akan tetapi, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa orang yang fasik boleh menjadi wali nikah. Pendapat yang dipulih oleh Imam Nawawi sama halnya dengan pendapat Ibnu Shalah dan As Subuki, yaitu apa yang difatwakan oleh Imam Ghazali, bahwa tugas sebagai wali masih tetap berapa pada wali yang fasik. Bilamana hak tersebut dicabut darinya, maka akan berpindah ketangan hakim yang fasik pula.104 Para ulama mazhab sepakat bahwa wali dan orangorang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, bahkan banyak diantara mereka menisyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek. Namun, tidak diragukan sama sekali bahwa yang demikian itu berarti menutup pintu perwalian dengan semen beton, tidak sekedar dengan batu dan semen belaka, sebab ‘adalah (adil) itu adalah sarana untuk memelihara dan menjaga, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. 105 D. Urutan Wali Wali yang paling utama adalah ayah, kemudian kakek (ayah dari ayah saudara laki-laki seayah dan seibu

104

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fat-Hul Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), h. 1219-1220. 105 Abd. Rahman Ghazaly, Loc.Cit.,h. 169. 104 Fiqih Munakahat

atau seayah, kemudian anak lakinya, kemudian ashabahashabah lainnya.106 Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut107 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Singkat a. b. c.

Ayah Ayahnya ayah (kakek) terus keatas, Saudara laki-laki seayah seibu, Saudara laki-laki seayah saja, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu, Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki no. g Anak laki-laki no. h dan seterusnya, Saudara laki-laki ayah, seayah seibu, Saudara laki-laki ayah, seayah saja, Anak laki-laki no. k Anak laki-laki no. l Anak laki-laki no. m. Dan seterusnya. urutan wali adalah:108 Ayah seterusnya ke atas, Saudara laki-laki kebawah. Saudara laki-laki ayah ke bawah.

106

Ibrahim Muhammad al Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 257. 107 Slamet Abidin dan Aminuddin, Loc.Cit., h. 90-91. 108 , Ibid. Fiqih Munakahat 105

Adapun menurut Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturut-turut: cucu laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakaek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya. Dari urutan ini jelaslah bahwa penerima wasiat dari ayah tidak memegang perwalian nikah, kendatipun wasiatitu disampaikan secara jelas. Maliki mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun hasil zina) manakala wanita tersebut punya anak, lalu berturutturut: saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, kakek, paman (saudara ayah), dan seterusnya, dan sesudah semuanya itu tidak ada, perwalian beralih ke tangan hakim. Sementara itu urutan yang digunakan oleh Syafi’i adalah: ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya, dan bila semuanya itu tidak ada, perwalian beralih ketangan hakim. Hambali memberikan urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudian yang terdekat dan seterusnya, mengikuti urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ke tangan hakim. Sementara itu, Imamiyah mengatakan bahwa perwalian itu hanya di tangan ayah dan kakek dari pihak ayah, serta dalam kasus-kasus tertentu hakim. Baik ayah 106 Fiqih Munakahat

maupun kakek dari pihak ayah mempunyai hak penuh dalam perwalian terhadap akad nikah bagi anak laki-laki dan perempuan kecil. Para Ulama Imamiyah mensyaratkan bahwa perwalian itu, baik untuk ayah, kakek atau hakim baru dapat dilaksanakan jika tidak merugikan si anak.Maka, si anak yang masih kecil itu merasa dirugikan oleh pernikahan tersebut, maka dia boleh memilih ketika baligh apakah menggugurkan akadnya atau melanjutkannya. Hanafi mengatakan bahwa, manakala ayah atau kakek mengawinkan anak gadis mereka yang masih kecil dengan orang yang tidak se-kufu atau kurang dari mahar mitsil, maka akad nikahnya sah jika ia tidak dikenal sebagai pemilih yang jelek. Akan tetapi bila yang mengawinkannya bukan ayah atau kakeknya, dengan orang yang tidak sepadan (se-kufu) atau kurang dari mahar mitsil, maka akad nikah tersebut tidak sah sama sekali. Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya yang masih kecil kurang dari mahar mitsil, sedang Syafi’i mengatakan bahwa ayah tidak berhak atas itu, dan bila dia melakukannya juga, maka si anak boleh menuntut mahar mitsil bagi dirinya. Sementara itu, Imamiyah mengatakan bahwa bila seorang ayah mengawinkan anak gadisnya yang masih kecil kurang dari mahar mitsil, atau mengawinkan anak lakilakinya yang masih kecil dengan mahar yang lebih dari itu, maka bila hal itu dipandang maslahat, akad nikah dan maharnya sah, tetapi bila tidak mengandung maslahat, maka akadnya sah, namun keabsahan mahar tergantun g Fiqih Munakahat 107

pada izinnya. Apabila ia menyetujui mahar tersebut setelah ia balight, maka maharnya tetap seperti sediakala, tapi kalau tidak, maka maharnya adalah mahar mitsil. Seluruh mazhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan perempuan gila manakala mereka tidak mempunyai wali yang dekat, berdasarkan hadis dibawah ini: “Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”. Akan tetapi bagi Imamiyah dan Syafi’i, hakim tidak berhak mengawinkan anak gadis yang masih kecil. Sedangkan Hanafi mengatakan bahwa hakim punya hak atas itu, tetapi akad tersebut tidak mengikat, dan apabila si anak sudah baligh, dia berhak menolaknya. Pendapat ini, sesungguhnya kembali pada pendapat Syafi’i dan Imamiyah, sebab dalam keadaan seperti itu, sang hakim telah melakukan aqad fudhuli (tanpa izin). Sementara itu, Maliki mengatakan bahwa apabila tidak ada wali yang dekat, maka hakim berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang yang se-kufu, serta mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.109

109

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Anggota IKAPI, 2011), h. 347-349. 108 Fiqih Munakahat

E.

Wali ‘Adhal

Wali ‘adhal adalah apabila wali tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh, yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’. Apabila terjadi hal seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim ‫ ﻗَﺎ ﺿِﻰ‬bukan kepada wali ab’ad , karena ‘adhal adalah zalim, sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Tapi jika ‘adhalnya sampai tiga kali, berarti dosa besar dan fasikh maka perwaliannya pindah kewali ab’ad.110 Lain halnya kalau ‘adhlalnya karena sebab nyata yang dibenarkan oleh syara’, maka tidak disebut ‘adhal seperti wanita menikah dengan pria yang tidak kufu’, atau menikah maharnya dibawah mitsli, atau wanita dipinang oleh pria lain yang lebih pantas (kufu’) dan peminang pertama.111 Dalam hal wali ‘adhal atau enggan mewalikan maka wali hakim dapat pertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.112 F.

Saksi

Jumhur ulama sepakat bahwa saksi yang sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidakdihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan jdi tidak sah walaupun diumumkan dengan khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi adalah syarat sah pernikahan, bahkan imam 110

Slamet Abidin dan Aminuddin, Loc.Cit.,h. 96. Tihami dan Sohari Sahrani, Loc.Cit.,h. 102-103. 112 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam., h. 75.

111

Fiqih Munakahat 109

syafi’I menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu merupakan rukun dari pernikahan.113 Menurut imam maliki dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup di umumkan. Allah tidak menyebutkan didalam Al-Quran tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu tentulebihbaik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salahsatu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan. Rasullah SAW. Bersabdab yang artinya: “tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (H.R.daruqutni) 114 G. Syarat-syarat Saksi 1. Islam

Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi saksi.115 Kecuali terhadap sesuatu yang telah diberikan pengecualiyan oleh mushanif setelah menerangkan keenam syarat.116 Menurut imam ahmad, imam asy-syafi’I dan Muhammad ibn hasan, saksi dalam perniklahan priya dan wanita muslim adalah orang islam. Abu hanafiah dan abu yusuf 113

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahad 1,(Bandung: Pustaka Setia, 1999) h.99 114 Ibid. h 100 115 Sulaiman Rasyid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2012) h.384 116 Achmad Sunarto. Terjemah Fat-Hul Qorib. (Surabaya: AlHidayah. 1992) h.31 110 Fiqih Munakahat

menyatakan bahwa pernikahan seoarang laki-laki muslim dan seorang ahli kitab maka saksinya boleh dua orang ahli kitab.117 2. Baligh

Maka tidak sah anak kecil menjadi saksi. Sudah berumur minimal 15 tahun.

3. Merdeka Maka tidak sah seorang budak menjadi saksi dalam pernikahan, tetapi dia boleh menerima dalam pernikahan. Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka. Tetapi imam ahmad membolehkan orang yang tidak merdeka menjadisaksi, karena didalam AlQuran maupun hadis tidak ada ketertangan yang menolak budak untuk menjadi saksi, selain dia jujur serta amanah dalam kesaksian. 4. Adil

Imam hanafi mengatakan bahwa saksi dalam perkawinan disyratkan harus adil, jadi perkawinan yang disaksiakn oleh dua fasiq hukumnya sah. Golongan syafi’iyah berpendapat bahwa saksi itu harus orang yang adil sebagaimana disebutklan dalam hadist. Berkenaan dengan keadilan bagi seorag saksi, Ima hanafi mengetakan bahwa untuk menjadisaksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus orang yang adil. 117

Djamaan Nur. Fiqih MUnakahat. (Semarang: Dina Utama.

1992) h. 63 Fiqih Munakahat 111

Jadi, pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang tidak adil, hukumnya tetap sah.Setiap orang yang sudah pantas menjadi saksi, boleh menjadi saksi, maksud adanya saksi adalah untuk diketahui umum.118 Lain halnya dengan golongan syafi’iyah dan hambali, mereka sepakat bahwa saksi itu harus adil. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa apoabila perniklahan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil atau tidaknya, maka hukumnya tetap sah. Karena pernikahan itu terjadi diberbagai tempat, dikampung-kampung daerah terpencil, baik di kota-kota, dimana ada orang yang belum diketahui adil atau tidaknya. 5. Berakal Sehat. Maka tidak sah orang gila menjadi saksi, baik gilanya terus-menerus ataupun kumat-kumatan (kadang-kadang).119 6. Laki-laki Maka tidak sah wali perempuan dan orang banci.120 Akad nikah akan sah apabiula disaksikan oleh dua orang. Golongan syafi’iyah dan hambali mensyaratkan bahwa saksi itu harus terdiri atas lakilaki.Akad nikah dengan seorang laki-laki dan duaorang perempuan juga tidak sah.

118

Slamet Abidin dan Aminudin.Loc cit Achmad Sunarto. Loc cit 120 Ibid 119

112 Fiqih Munakahat

Abu Ubaid meriwayatkan dari Zuhri, “ tidak berlaku contoh dari Rosullah SAW. Bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam akad nikah, talak dan pidana.Akad nikah bukanlah suatu perjanjian kebendaan, dan yang biasanya menghindari adalah kaum laki-laki.Karena itu, tidak sah akad nikah yang disaksikan oleh dua orang perempuan. Akan tetapi golongan hahafiah tidak demikian. Mereka tiodak mensyaratkan saksi harius laki-laki, tetpi kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki den gan dua orang perempuan adalah sah 121sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yang artinya : “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-oranmg lelaki (diantaramu). Jika takada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai” (Q.S. Al-Baqarah: 282) Akad nikah itu sama dengan jual beli, karena merupakan perjanjian timbalbalik yang dianggap sah dengan saksi dua orang perempuan disamping seorang laki-laki.

121

Slamet Abidin dan Aminudin.Loc cit Fiqih Munakahat 113

7. Dua orang saksi Memahami Bahasa Yang Digunakan Mengetahui bahasa yang digunakan wali nikah dan calon suami (bahasa dalam ijab dan qobul).122 Karena itu akad nikah tidak sah dengan saksi dua orang budak, dua wanita, dua orang fasik, dua orang tuli, dua orang bisu, dua orang tidak memahami bahsa orang yang berijab dan qobul, doa orang yang menjadi wali. H. Sayart-sarat saksi Menurut Imam mazhab Menurut imam hanafi mengemukakan bahwa sayartsyarat yang ada pada seorang saksi adalah:123 1. 2. 3. 4.

Berakal, oranggila tidak sah menjadisaksi. Baligh, tidak sah saksi anak-anak. Merdeka, bukan hamba sahaya. Islam

Menururut hambali syarat-syarat saksi adalah:124 1. Dua orang laki-laki yang baligh berakal dan adil. 2. Keduanya beragama islam. 3. Keduanya bukan berasal dari keturunan kedua mempelai.

Abul Hiyadh. Terjemah Fat-Hul Mu’in.(Surabaya: AlHidayah. 1993) h. 42 123 Ibid. h 101 124 Ibid 122

114 Fiqih Munakahat

Imam syafi’I mengatakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:125 1. 2. 3. 4. 5. 6.

dua orang saksi berakal. Baligh Islam Mendengar Adil

125

Ibid Fiqih Munakahat 115

116 Fiqih Munakahat

BAB VII Aqad Nikah

A. Rukun Nikah Rukun yang pokok dalam pernikahan, adalah ridhanya laki-laki dan perempuan dengan persetujuan keduanya untuk mengikat hidup berkeluarga, oleh karena itu untuk membentuk hubungan suami istri disebut Ijab dan peryataan kedua dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad untuk menyatakan rasa ridha serta setujunya disebut qabul Kata rukn secara bahasa berarti sisi terkuat yang menjadi pegangan sesuatu.Secara istilah rukn adalah sesuatu yang menjadi bagian hakikat sesuatu.Sesuatu itu tidak dapat ditemui kecuali dengannya, seperti ruku’ dalam shalat. Adapun rukun akad dalam pernikahan adalah sebagai berikut : 1. Dua orang yang berakad; 2. Yang diakadkan keduanya; 3. Sighat “ijab dan qabul” Akan tetapi, terjadinya ijab dan qabul mengharuskan adanya dua pihak yang berakad dan tempat akad.Para ulama fiqh umumnya meringkas pendapat mereka bahwa rukun akad nikah adalah ijab dan qabul. Ijab adalah sesuatu yang dikeluarkan (diucapakan) pertama kali oleh salah seorang dari dua orang yang Fiqih Munakahat 117

berakad sebagai tanda mengenai keinginannya dalam melaksanakan akad dan kerelaan atasnya. Qabul adalah sesuatu yang dikeluarkan (diucapakan) kedua dari belah pihak lain sebagai tanda kesepakatan dan kerelaannya atas sesuatu yang diwajibkan pihak pertama dengan tujuan kesempurnaan akad. Yang ber-ijab dalam akad pernikahan secara umum adalah suami atau wakilnya jika suami secara langsung melaksanakan akad pernikahan dirinya.Adapun dengan walinya jika suami tidak dapat melaksanakannya sendiri. Terkadang terjadi sebaliknya, yang berijab adalah istri sedangkan yang menerima adalah suami.126 Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang melangsungkan dalam bentuk ijab dan Kabul.Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak si wali si perempuan dengan ucapannya: “Saya kawinkan anak sayayang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an.127

126

Ali Yusuf As-Subkhi. Fiqh Keluarga. ( Jakarta:Amzah, 2010). h. 100 127 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.( Jakarta: Kencana.2009). h. 65 118 Fiqih Munakahat

B. Syarat Ijab Qabul Untuk terjadinya suatu akad yang mempunyai akibat hukum pada suami istri, maka syarat-syarat ijab qabul harus dipenuhi yaitu : 1. Satu Majelis Artinya, ketika mengucapkan ijab qabul tersebut, tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada yang menghalangi peristiwa ijab qabul.Akan tetapi, dalam ijab qabul tidak ada syarat harus langsung. Bila majelisnya berjalan lama dan antara keduanya ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qabul, maka tetap dianggap satu majelis, hal ini sama dengan pendapat golongan Hanafi dan Hambali. Di dalam kitab Al-Mughni disebutkan : Bila ada tenggang waktu antara ijab Kabul maka hukumnya tetap sah, apabila dalam suatu majelis tersebut tidak diselingi sesuatu yang mengganggu. Dipandang satu majelis selama terjadinya akad nikah dengan alas an, sama dengan penerimaan tunaibarang yang disyaratkanditerima tunai. Sedangkan bagi barang yang tidak disyaratkan tunai penerimaannya, barulah dibenarkan hak khiyar (tetap jadi atau dibatalkan. Golongan Syafi’I menyaratkan cara tersebut asalkan dilakukan dengan segera. Para ulama fiqh berkata : “Andai kata qabul itu diselingi khutbah oleh si wali, misalnya : Saya kawinkan kamu, lalu mempelai laki-laki menjawab, “Bismillah. Alhamdulillah Wassalatu Fiqih Munakahat 119

Wassalamu ala Rasulillah, Saya terima akad nikahnya.” Dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama : Syekh Abu Hamid Asfaray ini berpendapat sah karena khutbah dan akad nikah diperintahkan agama, dan perbuatan ini bkan merupakan penghalang bagi sahnya akad nikah, seperti halnya orang yang bertayamum antara dua shalat yang dijamak. Kedua : tidak sah, sebab memisahkan antara ijab dan Kabul, sebagaimana halnya kalau antara ijab dan qabul itu dipisahkan oleh hal-hal lain diluar khutbah. Hal ini berbeda dengan tayamum karena tayamum diantara dua shalat yang dijamak itu memang diperintahkan oleh agama, sedangkan khutbah nikah diperintahkan sebelum ijab qabul. Adapun Imam Malik membolehkan tenggang waktu yang sebentar antara ijab dan qabul.128 Kesatuan tempat ijab dan qabul; Dengan arti agar tidak terpisah antara ijab dan qabul dengan perkataan orang asing atau dengan sesuatu yang jauh, sehingga menghalangi dan menyibukkan diri antara satu pihak dengan pihak lainnya.129 Ijab qabul ini dilakukan didalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad., dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar 128

Tihami. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2009). h. 86 129 Ali Yusuf As-Subkhi. Fiqh Keluarga. (Jakarta:Amzah, 2010). h. 101 120 Fiqih Munakahat

dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih didalam suatu majelis dan tiada halhal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu.130 2. Antara Suami dengan Wali Sama-sama Saling Dengar dan Mengerti Apa Yang Diucapkan Pihak-pihak yang melakukan akad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan disini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul.131 Masing-masing dari dua orang yang berakad mendengarkan dan memahami maksut pembicaraan adalah pelaksanaan akat pernikahan. Meskipun masingmasing dari mereka tidak memahami arti kosakata yang di ucapkan. Karena ucapan itu sesuai dengan tujuan dan niat .132 Pihak-pihak yang mengadakan akad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masing. Pernyataan kedua belah pihak tersebut harus dengan 130

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh. (Departemen Agama: Jakarta.1985). h. 98 131 Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 6. (Bandung:PT Al-Maarif). h.45 132 Ibid ,h 101 Fiqih Munakahat 121

kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami.Karena yang menjadi pertimbangan disini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul.133 3. Antara Ijab Dengan Qabul Tidak Bertentangan Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: Aku kawinkan anak perempuanku Anu, dengan mahar Rp. 1000geram emas, lalu qabil menyambut : Aku menerima nikahnya dengan Rp. 3000 gram emas maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan pengijab.134 Hendaknya penerima tidak menyalahi ijab, kecuali jika perbedaan itu kepada sesuatu yang lebih baik dari yang berijab, seperti perbedaan yang bersifat umum dalam kesesuaian. Misalnya jika seseorang yang mengijabkan berkata : “Kunikahkan engkau dengan anak perempuan Funalah dengan mahar sekitar seratus ribu”, kemudian yang menerima berkata: “Aku terima nikahnya dengan seratus ribu”, maka sah pernikahan

133

Tihami. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2009). h.88 134 Ibid. h.45 122 Fiqih Munakahat

itu karena penerimaanya mencakup sesuatu yang lebih tepat.135 Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab. Artinya maksud dan tujuan adalah sama, kecuali kalau kabulnya sendiri lebih baik dari pada ijabnya dan menunjukkan pernyataan persetujuan yang lebih tegas. Jika pengijab mengatakan, “Saya kawinkan kamu dengan anak perempuan saya, dengan mahar seratus ribu rupiah.”Lalu penerima menjawab,” Aku menerima nikahnya dengan dua ratus ribu rupiah.”Maka nikahnya sah, sebab kabulnya memuat hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dengan yang dinyatakan pengijab.136 4. Keduanya sudah sama-sama tamyiz Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila maka pernikahannya tidak sah.137 Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz (membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.138

135

Ali Yusuf As-Subkhi. Fiqh Keluarga. Op.Cit. h 101 Tihami. . Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Op.Cit. h 88 137 Ibid. h.86 138 Sayyid Sabiq.Loc Cit. h. 43 136

Fiqih Munakahat 123

C. Lafadz Ijab Qabul Didalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masingmasing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur. Ibnu Taimiyah mengatakan : Akad nikah, ijab qabulnya boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya diaanggap sudah menyatakan terjadinya nikah. Sama dengan hal ini hukum semua akad (transaksi). Sehubungan dengan masalah akad ini para ahli fiqh pun sependapat bahwa di dalam ijab qabul boleh digunakan kata-kata dan bahasa apa saja dapat menyatakan adanya rasa ridha dan setuju, misalnya : Saya terima, saya setuju, saya laksanakan dan sebagainya.139 Mazhab Hanafi berpendapat: Akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal Al-Tamlik (pemilikan), AlHibah (penyerahan), Al-Bay’ (penjualan), Al-Atha’ (pemberian), Al-Ibahah (pembolehan), dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan karinah (kaitan) yangmenunjukkan arti nikah.akan tetapi akad tidaak sah jika dilakukan dengan lafal Al-Ijarah (upah) atau Al-‘Ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak member arti kelestarian atau kontinuitas. Para penganut

139

Ibid,h. 45-46

124 Fiqih Munakahat

mazhab Hanafi menggunakan dalil berupa riwayat yang dimuat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Maliki dan Hambali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal Al-Nikah dan Al Zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap tidak sah dengan lafal-lafal Al-Hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut diatas tidak dianggap sah. Dalil yang mereka gunakan bagi sahnya akad dengan menggunakan lafal Al-Hibah adalah ayat AlQur’an berikut ini :

…‫اﻟﻨﱯ نْ َْﺴ َ ْ ِﻜ َﺤﻬَﺎ‬ ِ ‫ِﻠﻨﱯ انْ رَا َد‬ ّ ِ ِ ‫…وَاﻣْﺮَ ًة ﻣُﺆْ ِﻣ َ ًﺔ انْ وَ َﻫﺒ َْﺖ ﻧَﻔْﺴَ ﻬَﺎ‬ Artinya : “…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya.” (QS. Al-Ahzab: 50) Sementara itu, mazhab Syafi’I berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal alTazwij dan Al-Nikah saja, selain itu tidak sah.140 1. Lafaz tidak harus dalam bahasa Arab Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang beraqad baik semua atau salah satunya tidak paham bahasa Arab.Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak faham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya dengan bahasa ini. 140

Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Mazhab. (Jakarta:Lentera. 2011). h 309-310 Fiqih Munakahat 125

Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: Bagi orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah mempergunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat Imam Syafi’I.menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang digunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang-orang yang tidak pandai bahasa Arab ia bolah menggunakan bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya menggunakan lafaz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu. Tetapi perlu ia menggunakan lafaz lain yang khusus yang maknanya sama dengan lafaz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari katakata ijab qabul dalam bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khattab berkata : Ia wajib belajar, sebab bahasa Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir shalat. Pihak pertama mengatakan : nikah itu tidak wajib, jadi tidak wajib mengetahui rukun-rukunnya dengan bahasa Arab, seperti halnya dengan jual beli. Adapun takbir berbeda masalahnya dengan ijab qabul ini. Jika salah satu pihak yang berakad pandai bahasa Arab, sedang yang lainnya tidak, maka ia harus 126 Fiqih Munakahat

menggunakan bahasa Arab dan lainnya dengan bahasa nya sendiri.141 Seluruh mahzab berpendapat bahwa akad dengan menggunakan bahasa non-arab adalah sah bila yang bersangkutan tidak bisa melakukannya dalam bahasa arab. Akan tetapi terdapat perbedaan pendaapat bila ia mampu melakukannya. Hanafi, Maliki, dan Hambali menyatakan sah, sedangkan syafi’i memandangnya tidak sah Sementara itu Imamiyah, Hambali, dan Syafi’i berpendapat : akad dengan tulisan (surat dan sebagainya) tidak sah. Sedangkan Hanafi menyatakannya sah manakala orang yang dilamar dan melamar tidak berada disatu tempat (yang sama) Selanjutnya, semua mahzab sependapat bahwa orang bisu cukup dengan memberikan isyarat secara jelas yang menunjukkan maksud nikah, manakala dia tidak pandai menulis. Kalau dia pandai menulis, maka sebaiknya dipadukan antara akad dalam bentuk tulisan dan isyarat.142 Hendaknya akad menggunakan dua kata yang diletakkan dalam bentuk lampau. Atau meletakkan salah satunya dalam bentuk lampau dan yang lainnya bentuk yang akan datang. Misalnya: pihak pertama melakukan akad: “Aku menikahkanmu (zawwajtuka) dengan anak perempuanku, “yang menerima 141 142

Sayyid Sabiq.Op Cit. h. 47 Ibid. h 312 Fiqih Munakahat 127

mengatakan: “Aku menerima (qabiltu)”, atau ia mengatakan, “Aku menikahkanmu (uzawwijuka) dengan anak perempuanku”. Lalu ia mengatakan kepadanya: “Aku menerima (qabiltu). Hal itu Karen sighat (bentuk kata) yang dipilih oleh syara’; yang penuh hikmah untuk melaksanakan akad adalah sighat lampau (madhi) karena menunjukkan pada keberhasilan kerelaan dari dua pihak secara pasti. Ia tidak mengandung kata lain, berbeda dengan bentuk yang menunjukkan keadaan sekarang dan yang akan datang, ia tidak menunjukkan secara pasti akan keberhasilan kerelaan waktu pembicaraan. Jika salah seorang berkata: “Aku menikahkanmu (uzawwijuka) dengan anak perempuanku?”. Yang lain menjawab: “Aku akan terima (aqbilu)”. Maka bentuk sighat dari keduanya tidak sah dalam pernikahan, untuk memungkinkan dimaksudkan dengan kata-kata yang terbatas pada janji. Janji dengan pernikahan yang akan datang bukanlah akad baginya dalam keadaan sekarang.143

143

Ali Yusuf As-Subkhi. Loc Cit. h.104

128 Fiqih Munakahat

Contoh kalimat akad nikah :

‫ْ َﻜ ْﺤﺘُﻚَ وَزَ وﺟْ ُﻚَ … ِﺑ ْﺖِ … َﺎﻻرُوْ ِﺑ َﯿ ِﺔ ﻟْ ِﻔ ِ َﻤﻬْ ِﺮ‬ “Aku kawinkan engkau dengan … Dengan mas kawin seribu rupiah tunai”

binti….

2. Lafaz dengan fi’il Madhi Para ahli fiqh mensyaratkan ucapan ijab Kabul itu dengan lafaz fi’il Madhi (kata kerja telah lalu) atau salah satunya dengan fi’il madhi dan yang lain fi’il mustaqbal (kata kerja sedang). Contoh pertama : Pengijab berkata : Zawwajtuka ibnati (aku kawinkan anak perempuanku dengan kamu), lalu penerima menyahut: Qabiltu (saya terima). Contoh kedua : pengijab berkata: Uzawwijuka ibnati (aku kawinkan sekarang anak perempuanku dengan kamu), lalu penerima menyahut : Qabiltu (saya terima). Mereka mensyaratkan demikian karena keridhaan dan persetujuan kedua belah pihak yang menjadi rukun pokok akad nikah denga demikian bisa diketahui dengan jelas, dan oleh karena ijab dan Kabul merupakan lambang dari adanya ridha kedua pihak, haruslah dinyatakan dengan ucapan yang pasti menunjukkan adanya keridlaan, dan secara konkrit dinyatakan dengan tegas ketika akad nikah itu dilangsungkan. Fiqih Munakahat 129

Bentuk ucapan didalam ijab qabul yang di pergunakan oleh agama dengan fiil madhi, karna dapat menunjukan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah pihak, dan tidak mungkin mengandung arti lain. Berbeda hal nya dengan ucapan yang di nyatakan dengan “fiil hal atau istiqbal”(sekarang atau akan), ia tidak secara tegas dapat menunjukan adanya keridhaan ketika di nyatakan, andai kata salah seorang dari mereka berkata: Uzawwijuka ibnati (saya kawinkan anak perempuanku dengan kamu sekarang), lalu penerima menjawab: Aqbalu (saya terima sekarang). Ucapan dari kedua belah pihak ini belum tegas menunjukan telah terjadi nya aqad nikah dengan sah karna masih ada kemungkinanya bahwa yang di maksudkan nya baru merupakan satu perjanjian semata-mata. Sedangkan perjanjian untuk kawin di masa akan datang bukan lah berarti sudah terjadi ikatan perkawinan pada saat sekarang. Dan andaikan peminang berkata: Zawwijni ibnataka (kawinkanlah putri bapak dengan saya), lalu wali nya menjawab: Zawwajtuha laka (ya, saya kawinkan dia dengan kamu), berarti telah terjadi aqad nikah, karna ucapan tersebut telah menunjukan adanya pernyataan memberikan kuasa dan aqad nikah sekaligus, padahal aqad nikah sah di lakukan dengan menguasakan kepada salah satu pihak untuk melaksanakannya. Jika peminang mengatakan: kawinkanlah putri bapak dengan saya, lalu wali nya menjawab: saya terima. Dengan demikian berarti pihak 130 Fiqih Munakahat

pertama menguasakan kepada pihak kedua,lalu pihak kedua mengadakan aqad nikah sesuai dengan pemintaan pertama.144 Para ulama fikih sepakat bahwa syarat ucapan ijab Kabul itu hahus dengan lafal fiil madhi yang menunjukan kata kerja telah lalu, atau dengan salah satu nya fiil madhi yang lain fiil mustaqbal yang menunjukan kata kerja yang sedang berlaku. Contoh ijab Kabul yang menggunakan fiil madhi:

َ‫اﺑْﻨَ ِ ﺰَ و ْﺟ ُﻚ‬

a. Ijab :

“Saya nikahkan engkau kepada anak perempuan saya”

‫“ ﻗَ ِ ﻠ ُْﺖ‬Saya terima”

b. Kabul :

Contoh ijab Kabul yang salah satunya fi’il madhi dan lainnya fi’il mustaqbal a. Ijab :

َ‫ِاﺑْﻨَ ِ ِّزَو ُﻚ‬

“Sekarang saya nikahkan engkau kepada anak perempuan saya”

‫“ ﻗَ ِ ﻠ ُْﺖ‬Saya terima”

b. Kabul :

Bentuk ucapan dalamijab Kabul yang dipergunakan oleh agama adalah fi’il madhi, karena menyatakan secara tegas lahirnya pernyataan setuju dari kedua belah pihak dan tidak mungkin mengandung arti yang lain. Berbeda dengan ucapan yang dinyatakan

144

Sayyid Sabiq.Op Cit. h. 47-48 Fiqih Munakahat 131

dengan fi’il mustaqbal yang tidak secara tegas menunjukkan adanya keridaan ketika dinyatakan.145

145

Tihami.Op Cit,h 84

132 Fiqih Munakahat

Fiqih Munakahat 133

134 Fiqih Munakahat

BAB VIII Mahar Atau Maskawin A. Nilai Mahar Pada umumnya dalam bentuk barang atau uang, namun syariat Islam memungkinkan dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.146Mengenai besarnya mahar, para fuqoha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Nabi bersabda : “Carilah, walaupun hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendah.147 Banyaknya mas kawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam menurut kemampuan suami beserta keridhaan istri.148 Dengan demikian maka dalam pemberihan mahar dalam Islam tidak dibatasi namun sesuai kemampuan pihak laki-laki, dan atas ridha siperempuan yang akan dinikai. B. Mahar yang Baik adalah yang Tidak Memberatkan Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang sederhana. Hal ini tergambar dari hadits Uqbah bin Amr yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim bahwa Nabi bersabda : 146

Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqih, (Bogor: Kencana, 2003), h. 100 147 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 90 148 Sulaim Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 393 Fiqih Munakahat 135

‫ﲑ اﻟﺼﺪاق ٔ ﴪﻩ‬ Artinya : “Sebaik-baik mahar itu adalah yang paling mudah”.149 Mukhtar Kamal menyebutkan “Janganlah hendaknya ketidak sanggupan mas kawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya pernikahan. 150 Seorang calon istri yang solehah dia tidak akan meminta mahar yang kiranya akan memberatkan calon suaminya, hal ini penting untuk diperhatikan karena itu awal dari keharmonisan keluarga dari keduabelah pihak, sesuatu yang dipaksakan akan mengakibatkan hal yang tidak baik pula dalam hubungan kedua belak pihak, oleh karenanya mahar yang paling baik yaitu yang tidak memberatkan calaon suami. C. Haramnya Nikah Mut’ah Nikah mut’ah hukumnya haram.151 mengharamkan nikah mut’ah adalah : 1. Al-Qur’an Al-Karim

Dalil

yang

... ‫ﻓَﺎ ْ ِﻜﺤُﻮﻫُﻦ ِ ذْنِ ْﻫ ِﻠﻬِﻦ‬

Artinya: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.” (QS. An-Nisa’ : 25) 149

Amir Syarifudin, Op.Cit., h. 101 Tihami dan Sohari Sahrani, Op Cit, h. 40 151 Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit., h. 37 150

136 Fiqih Munakahat

Ayat ini mewajibkan nikah dengan seizin keluarga yaitu nikah syar’i yang harus ada izin wali dan disaksikan dua orang saksi.Nikah mut’ah tidak melakukan ini.152 Firman Allah SWT :

‫وَا ِ ﻦَ ﱒُ ْ ِﻟﻔُﺮُ و ِ ِﻢْ َﺎﻓِﻈُ ﻮنَ ۞اﻻ َ َٰﲆ زْوَ ا ِ ِﻢْ وْ ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ َْﺖ‬ ۞ َ‫ﯾْﻤَﺎﳖُ ُﻢْ ﻓَﺎﳖ ُﻢْ ْ َُﲑ َﻣﻠُﻮﻣِﲔ‬ Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (QS. Al-Mu’minun : 5 – 6) Dalam dua ayat tersebut bahwa Alloh SWT hanya memperbolehkan mempergauli wanita pada dua jalur yaitu beristri wanita dan jalur pemilikan budak dan melarang selain jalur tersebut dengan firman-Nya pada ayat 7 surat yang sama :

َ‫ا ِ ﻦَ ﳛَ ْ ِﻤﻠُﻮنَ اﻟْﻌَﺮْ َش وَ ﻣَﻦْ ﺣَﻮْ َ ُ ُﺴَ ِ ّﺒﺤُﻮنَ ِ َﲝ ْﻤ ِﺪ ِ ّ ِرَﲠ ْﻢ وَ ﯾُﺆْ ِﻣ ُﻮن‬ ‫رَﲪ ًﺔ وَ ِﻠْﻤًﺎ‬ َ ْ ‫ﳾ ٍء‬ ْ َ ‫ِﺑ ِﻪ وَ َْﺴ ﺘَ ْﻐﻔِﺮُ ونَ ِ ِ ﻦَ ٓ َﻣ ُﻮا رَﺑﻨَﺎ وَﺳِ ﻌ َْﺖ ُﰻ‬ ۞ ‫َﺬَاب اﻟْ َﺠ ِﺤ ِﲓ‬ َ ْ‫ﻓَﺎ ْﻏﻔِﺮْ ِ ِ ﻦَ َ ﺑُﻮا وَاﺗ َﺒ ُﻌﻮا ﺳَ ِ َ َ وَ ِﻗﻬِﻢ‬ 152

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 82 Fiqih Munakahat 137

Artinya : “Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. AlMu’minun : 7) Nikah mut’ah keluar dari jalur yang diperbolehkan tersebut karena dalam nikah mut’ah status wanita bukan istri menurut konsensus ulama sehingga syiah sendiri tidak mengatur hak-hak wanita andaikan sebagai istri seperti naflun dan harta warisan.Demikianlah juga dalam pernikahan syari’at menimbulkan hubungan nasab, dalam nikah mut’ah tidak dikatakan nasab.153

2. Ijma’ Seluruh Umat Islam Al-khattab menyatakan: keharaman mut’ah adalah berdasarkan ijma’ kecuali dari sebagian golongan syi’ah.154

3. Hadits Rasulullah SAW

ْ‫اﻟﻨﺎس ا ِ ِّﱏ ُﻛﻨ ُْﺖ َا ِذﻧ ُْﺖ ﻟ ُ َْﲂ ِﰱ اْﻻﺳْ ِﺘﻤَﺎعِ َاﻻَوَ اِن ﷲَ ﻗَﺪ‬ ُ ‫ﯾ َ ٓﳞ َﺎ‬ .‫ﺣَﺮ َﻣﻬَﺎ ا َِﱃ ﯾ َﻮْ ِم اﻟْ ِﻘ َﺎ َﻣ ِﺔ‬ 153

Ibid, h. 82-83 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amari, 1995), h. 264 154

138 Fiqih Munakahat

Artinya: “Hai sekalian manusia, pernah kuizinkan kalian melakukan kawin mut’ah.Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan hingga hari kiamat”.155

ْ‫ رَ َ رَﺳُ ﻮْ ُل ﷲِ ﺻَ َﲆ ﷲُ َﻠَ ْﯿ ِﻪ وَﺳَ ﲅ َ َﺎ ٍم اَو‬: ‫ﻋَﻦْ ﺳَ ﻠَ َﻤ ُﺔ ﻗَﺎ َل‬ (‫ﻃَ ِﺎس ِﰱ اﻟْ ُﻤ ْﺘ َﻌ ِﺔ ﺛَ َﻼ َ ُﰒ ﳖَ َﻰ ﻋَﳯْ َﺎ)روﻩ ﻣﺴﲅ‬ (Hadits diriwayatkan) dari sahabat Salamah, ia berkata: telah memberikan keringanan Rasulullah SAW di tahun Authas (tahun pembebasan, yakni pembukaan Kota Mekkah) tantang melangsungkan perkawinan mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.156

4. Ali bin Abi Thalib sendiri pernah mengharamkan nikah mut’ah.

َ ‫ﻋَﻦْ َِﲆ ا ْﻦِ ا َِﰉ ﻃَ ﺎﻟ ِِﺐ ن رَﺳُ ﻮْلُ ﷲِ ﺻَ َﲆ ﷲُ َﻠَ ْﯿ ِﻪ وَﺳَ ﲅ‬ ‫ﰻ ﻟُﺤُﻮْ ِم اﻟْ ُﺤ ُﻤ ِﺮ‬ ِ َ ْ‫ﳖَ َ ﻰ ﻋَﻦْ ُﻣ ْ َﻌ ِﺔ اﻟ ِّﺴَ ﺎ ِء ﯾ َﻮْ َم َﺧ َ َْﱪ وَ ﻋَﻦ‬ .‫اْﻻ ِْﺴ ﯿ ِﺔ‬ “Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah SAW melarang mengawini wanita (secara) kawin mut’ah pada waktu perang khaibar dan melarang memakan daging khimar yang jinak.”157 155

Ibid, h. 263-264 Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit., h. 38 157 Ibid 156

Fiqih Munakahat 139

5. Mut’ah tidak sesuai dengan tujuan pernikahan

Kemudian tujuan dan maksud kawin mut’ah itu hanya untuk memuaskan hawa nafsunya syahwatnya saja, tetapi bukan mendapat keturunan atau membangun rumah tangga.158

6. Mut’ah

tidak berorientasi untuk mendapatkan keturunan Karena mut’ah dilakukan untuk melampiaskan syahwat dan tidak untuk menghasilkan keturunan maupun memelihara anak merupakan tujuan perkawinan, maka kawin mut’ah menyerupai zina dari segi tujuan bersenang-senang saja.159 Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah tidak disepakati dan demi kebaikan manusia, karena dengan inilah hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas pemenuhan syahwat lakilaki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib keharamannya.160

7. Ibnu Umar RA merajam pelaku nikah mut’ah Dalam suatu periwayatan Umar berkata:

‫َاذِنَ ﻟَﻨَﺎ رَﺳُ ﻮْلُ ﷲِ ﺻَ َﲆ ﷲُ َﻠَ ْﯿ ِﻪ وَﺳَﲅ َ ِﰱ اﻟْ ُﻤ ْﺘﻌَﺔ ٕا ﺛَ َﻼ َ ُﰒ‬ ِ ‫رَﲨ ُﺘ ُﻪ‬ َ ْ ‫ﷲ َﻻ ْﲅَ ُ َﺪَا ﯾَﺘَ َﻤﺘَ ُﻊ وَ ﻣُﻮَ ُﻣﺤ َْﺼﻦُ اﻻ‬ ِ ‫ﺣَﺮ َﻣﻬَﺎ وَا‬ .‫اﻟْ ِﺤ َﺎر ِة‬ 158

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Op.Cit., h. 341 Ibid, h. 264 160 Ali Yusuf As-Subki, Op Cit, h. 135-136 159

140 Fiqih Munakahat

Artinya : “Rasulullah SAW mengizinkan kami mut’ah selama 3 hari kemudian mengharamkannya. Demi Allah aku tidak tahu seseorang yang melakukan mut’ah sedangkan ia muhson kecuali aku rajam dengan batu”.161

161

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Op.Cit., h. 84 Fiqih Munakahat 141

142 Fiqih Munakahat

BAB IX Walimatul `Urs

A. Pengertian Walimatul ‘Urs Walimah secara etimologi berasal dari bahasa Arab “ Al-Walima “ yang artinya makanan pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga di artikan ssebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.162 Walimah adalah makanan yang secara khusus di hidangkan dalam acara perkawinan.163 Walimah atau lengkapnya Walimah Al-‘Urs yaitu perhelatan yag dilakukan setelah selesai akad nikah.164 Sebagai sebuah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang maka pernikahan perlu diberitahukan kepada family atau khalayak ramai.Acara pengumuman ini dilakukan dalam bentuk pesta pernikahan (walimah al-‘urs).165 Walimah atau lengkapnya Walimah Al‘Urs yaitu perhelatan yag dilakukan setelah selesai akad nikah.166

162

Slamet Abidin, Aminudin, Fiqh Munkahat 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h. 149 163 Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, FiqihSunnah Untuk Wanita, (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), h. 686 164 Muhammad Ali, Fiqh, (Bandar Lampung : Aura, 2013), h. 148 165 Armaidi Tanjung, Free Sex No Nikah Yes, (Jakarta : AMZAH, 2007), h. 186 166 Amir Syarifudin, Loc Cit, h. 117 Fiqih Munakahat 143

Walimah adalah jamuan atau syukuran pernikahan, sesuai kemampuan.167 Asli kata walimah adalah sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dalam bahasa arab diartikan jika akal dan akhlaknya bersatu. Kemudian makna ini di adopsi dari nama “makanan” dan “hidangan pengantin” yang di adakan karena adanya pernikahan seorang laki-laki dengan seorang wanita. Maka dari itu, walimah tidak pernah di pakai kecuali untuk hidangan pengantin. Inilah makna walimah menurut bahasa dan apa yang telah di kenal oleh banyak ulama.168 B. Hukum Mengadakan Walimah Hukum walimah itu menurut para kebanyakan ulama adalah sunnah. Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal dari Annas Ibn Malik menurut penukilan yang muttafaq ‘alaih yang artinya : “ Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Melihat ke muka Abdul Rahman bin ‘auf yang masih ada bekas kuning. Nabi berkata : “ada apa ini?”. Abdul rahman berkata : “saya baru mengawini seorang perempuan dengan maharnya lima dirham”. Nabi bersabda : “semoga Allah memberkatimu”. Adakanlah perhelatan, walaupun hanya dengan memotong seokor kambing “. Perintah Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini meskipun ada ulama yang mengatak hukumnya

167

Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 2008), h. 50 168 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta : Gema Insani, 2005), h. 678 144 Fiqih Munakahat

wajib, sebagaimana yang di pahami oleh mazhab Zhahiri, namun jumhur ulama memahaminya hanya sunnat.169 Hukum walimah untuk pengantin adalah sunnah. Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukumnya wajib. Hal tersebut berlandaskan pada adanya perintah dari Rasulullah.170 Zumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mu’akad. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah: 1. Artinya : “ dari Anas, ia berkata,”Rasulullah SAW. Mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan Zainab.” (H.R bukhari Muslim).171 2. Artinya : “ Anas r.a. berkata,” Rasulullah SAW. Tidak pernah mengadakan walimah bagi istri-istri nya juga bagi Zainab”. Beliau memulai menyuruh aku, lalu aku memanggil orang atas nama beliau. Kemudian beliau hidangkan kepada mereka roti dan daging sampai mereka kenyang.” (Al-Hadis). 3. Artinya : “ Rasulullah SAW. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud gandum. ” (H.R bukhari) Beberapa hadis tersebut diatas menunjukan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal itu ditujukan oleh Nabi SAW. Bahwa 169

Heri Jauhari Muchtar, Op.Cit., h. 118 Saleh Al-Fauzan, Op.Cit.,h 679 171 Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., h. 149 170

Fiqih Munakahat 145

perbedaan perbedaan dalam mengadakan walimah ole beliau bukan, mebedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi smata mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.172 Hukum mengadakan Walimatul ’Urs adalah sunah muaakad. Setiap orang yang melangsungkan pernikahaan hendaknya mengadakan perjamuan Walimatul ‘Urs bila mampu. Rasulullah SAW. Sendiri mengadakan perjamuan Walimatu ‘Urs ketika menikah dengan istri-istri nya menyuruh para sahabat untuk mengadakan nya. Anas ra.Berkata,” pada keesokan harinya Rasulullah SAW. Telah menikahi Zainab Binti Jahsyi, maka beliau mengundang para sahabat. Mereka semua menyantap jamuan(dirumah beliau) kemudian keluar…. Ketika mengetahui Abdurrahman Bin ’Auf satelah menikah, Rasulullah SAW. berkata kepadanya, “diadakanlah perjamuan walimah, walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (H.R.bukhari).173 Orang yang nikah hendaklah mengadakan peranyaan sekedar kuasanya. Mengenai Hukum perayaan mempelai, sebagian ulama mengatakan wajib, dan yang lain mengatakan hanya sunnat saja. Sabda Nabi SAW. Kepada Abdul Rahman bin ‘Auf sewaktu dia nikah, yang artinya : “adakanlah perayaan sekalipun hnya memotong seokor kambing.” (H.R Bukhari dan Muslim).174 172

Ibid, h. 150 Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Op.Cit., h. 686 174 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru, 1987), 173

h. 368 146 Fiqih Munakahat

Hukum walimah itu menurut paham kebanyakan para ulama adalah sunnah. Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal An-Nas ibn Malik menurut penukilan yang yang muttafaq alaih.175 Rasulullah SAW. Melihat bekas warna kuning pada diri Abdur Rahman bin ‘Auf, sehingga beliau bertanya, “ apakah ini?” abdur Rahman menjawab, “aku telah menikahi seorang perempuan dengan mahar yang beukuran satu butir emas.” Rasulullah bersabda, “semoga Allah memberkatimu dan buatlah walimah (resepsi) walau dengan seekor kambing.” (Shahih Ibnu Majah 1907).176 C. Waktu Penyelenggaraan Walimah di adakan ketika acara akad nikah beralangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya.Bisa juga di adakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.177 Waktu pelaksanaan jamuan walimah yang benar adalah bersamaan dengan malam pertama atau sesudahnya, bukan bersamaan dengan akad nikah. Ini berdasarkan pada hadits Annas ra. Yang menuturkan peristiwa pernikahan Nabi SAW. Dengan Zainab “pada keesokan harinya Rasulullah SAW. Telah menikahi Zainab binti Jahsy, maka beliau mengundang para sahabat. Mereka semua menyantap jamuan (di rumah beliau)….” 175

Muhammad Ali, Op.Cit., h. 149 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 837 177 Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., h. 149 176

Fiqih Munakahat 147

Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan walimah bersifat leluasa yakni dapat dilaksanakan sejak akad nikah selesai malam pertama. 178 Pesta pernikahan umumnya dilangsungkan sesudah akad nikah. Ada juga akad nikah bersamaan harinya dengan pesta pernikahan. Umumkanlah olehmu pernikahan ini,dengan lakukanlah aqad nikah itu dalam masjid dan pukulan rebana (bunyi-bunyian) untuknya. (HRAhmad dan At-Tirmidzi) Selanjutnya sabda Rasulullah “Sesungguhnya Rasulullah bersabda, siarkanlah (kabar) pernikahan itu”(HR. Ahmad).179 D. Hukum Menghadiri Walimah Hukum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya ialah wajib sesuai dengan perintah nabi untuk menghadiri undangan itu. 180 Untuk menunjukan perhatian, memriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang di undang walimah wajib mendatanginya.181 Kebanyakan ulama (jumhur) berpendapat bahwa Hukum menghadiri undangan Walimatul ‘Urs adalah wajib, kecuali ada alasan kuat.182

178

Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Op.Cit., h. 687 Armaidi Tanjung, Op.Cit., h.189 180 Muhammad Ali, Op.Cit., h. 150 181 Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., h. 152 182 Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Op.Cit., h. 688 179

148 Fiqih Munakahat

1. Fardhu ‘Ain Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah : a) Hadits Ibnu Umar ra. Yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya “jika seseoarang di antara kalian di undang untuk menghadiri walimah maka datanglah” (HR. Bukhari).183 b) “dari ibnu umar, bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda “jika salah seorang diantaramu diundang kewalimahan, hendaklah ia datangi.” (HR. Bukhari).184 c) Dari abu harairah ra bhwa Rasulullsh SAW. Telah bersabda “barang siapa meninggalkan undangan sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. 185 (HR.Bukhari). d) “dari abu hurairah ra bahwa nabi sawbersabda,” andaikata aku diundang untuk makan kambing,niscaya aku datangi,dan andaikata aku dihadiahi kaki depan kambing, niscaya aku terima.” (H.R bukhari).186 e) Abu Salamah Yahya bin Khalaf menceritakan kepada kami, Bisyr bin Al Mufadhdhal memberitahukan kepada kami dari Ismail bin Umayah dari Nafi’, dari Ibnu 183

Ibid., Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., 185 Ibid., 186 Ibid., 184

Fiqih Munakahat 149

Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW. Bersabda, ‘hadirilah undangan apabila kalian di undang’.” (Shahih: Ibnu Majah dan Muttafaq ‘alaih).187 2. Fardhu Kifaya Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju pada orang orang tertentu, maka tidak wajib mendatangi, tidak juga sunah. Misalnya orang yang mengundang berkata,” wahai orang banyak! Datangilah walimah saya, tanpa menyebut orang tertentu, atau dikatakan,” undangan setiap orang yang kamu temui.” Nabi Muhammad saw bersabda yang: Artinya : “Anas berkata,” Nabi SAW. menikah lalu masuk bersama istri nya. Kemudian ibuku membuat kue untuk Ummu Salamah, lalu menempatkan nya pada bejana. Lalu ia berkata, “wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah SAW., lalu aku bawa kepada beliau, maka sabdanya, “letakanlah.” kemudian sabdanya lagi, “undanglah Si Dia dan Si Dia, dan orang orang yang kau temui”. Lalu saya undang orang orang yang disebutkan dan yang saya temui. (H.R Muslim) Ada yang berpendapat bahwa hokum menghadiri undangan adalah wajib kifayah dan ada

187

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Op.Cit., h. 838

150 Fiqih Munakahat

juga yang berpendapat hokum nya sunah. Akan tetapi, pendapat pertamalah yang jelas.188 E.

Yang Harus Diperhatikan Dalam Walimatul ‘Urs 1. Jangan berlebihan Perjamuan walimah tidak harus dengan menyembelih kambing atau lainnya, melainkan dengan apa saja yang dapat di hidangkan oleh pengantin lakilaki sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah SAW. Sendiri pernah mengadakan jamuan walimah dengan hais ketika menikah dengan Shafiyyah. Hais adalah hidangan yang terdiri dari kurma yang telah di keluarkan bijinya, lalu di campur dengan susu kering atau gandum (setelah dimasak).189 Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW.Telah bersabda, yang artinya “dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya yang sebesarbesarnya berkat nikah ialah yang sederhana belanjanya. (HR. Ahmad).190 2. Bukan untuk gengsi Undangan bertambah fungsi sebagai prestise dari keluarga si pengundang. Sehingga makin tinggi status dan kedudukan seseorang di tengah masyarakat,

188

Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Op.Cit. 190 Armaidi Tanjung, Op.Cit. 189

Fiqih Munakahat 151

maka undngan pernikahan juga harus lebih “mahal”, lebih “indah”, dan paling bagus.191 Bila status si pengundang di masyarakat dihormati, disegani, seorang pejabat atau pengusaha sukses, jangan takut dengan undangan sederhana, tetapi fungsinya sebagai undangan dapat terpenuhi. 192 3. Hendaknya Mengundang Fakir Miskin Setiap orang yang melangsungkan pernikahan di anjurkan mengundang orang-orang soleh untuk menghadirinya baik miskin maupun kaya. Hal ini di sandarkan pada hadits : a) Abu hurairah ra. Berkata, “makanan paling buruk adalah makanan walimah. Orang-orang kaya diundang untuk menyantapnya sedangkan orangorang fakir tidak diundang. Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka telah menyalahi ajaran Allah dan Rasul-Nya.193 b) Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang enggan datang kepadanya (kaya). Barang siapa yang tidak memperkenankan undangan, maka sesungguhnya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim).194

191

Ibid., h. 188 Ibid., 193 Bin Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Op.Cit., h. 687 194 Slamet Abidin, Aminudin, Op.Cit., h. 156 192

152 Fiqih Munakahat

c) Sesungguhnya abu hurairah berkata, “sejelekjeleknya makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya, akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin.” (HR. 195 Bukhari).

195

Ibid., Fiqih Munakahat 153

154 Fiqih Munakahat

BAB X Kewajiban Suami Istri

A. Kewajiban Suami Terhadap Istri Dari Pendapat 5 Mazab 1. Nafkah Pendapat Imam Syafi’i: nafkah istri di tentukan oleh ukuran syara’ dan tidak ada ijtihad di dalamnya yang di pertimbangkan menurut keadaan suami saja. Oleh karena itu suami wajib memberikan nafkah 2 mud sehari, suami yang pertengahan wajib memberikan nefkah 1,5 mud sehari, sedangkan suami yangmiskin wajib memberikan 1 mud sehari.196 Pendapat Hanafi, Maliki, Hambali dan Azzhahiri: di ukur menurut keadaan suami istri. Oleh karena itu,wajib hukumnya bagi suami kaya memberi nafkah kepada istri kaya, yaitu sebanyak nafkah yang bias di beri orang kaya, sedangkan suami yang miskin wajib memberi nafkah kepada suami yang miskin,yaitu secukupnya. Suami yangkaya wajib memberi nafkah suami yang fakir, yaitu dengan nafkah pertengahan atau 2 nafkah mereka.Suami yang fakir memberi nafkah suami yang kaya adalah sekedar yang di perlukannya, sedangkan yang lainya menjadi utangnya.197

196

Syaikh, al-mlamah muhamad bin abdurrohman ad-dimayqi, Fiqh lima mazab,(Bandung: Hasyimi, 2012), h 388. 197 Ibid.,h.388. Fiqih Munakahat 155

2. Memberi pelayan Pendapat Para mazab: sepakat atas wajibnya suami memenuhinya, jika istri memperlukan pelayan. Namun para mazab berbeda pendapat apabila pelayan lebih dari satu. Pendapat hanafi, hambali dan az-zhahiri: tidak wajib memenuhinya kecuali satu orang saja, walaupun di perlukan banyak pelayan. Pendapat maliki: jika yang memperlukan dua, tiga pelayan maka semuanya wajib di penuhi.198 3. Nafkah bersetubuh Pendapat Para Imam Mazhab: berbeda pendapat pada nafkah istri yang masih kecil, yang belumdapatdi setubuhi dengan suami.Pendapat Hanafi, maliki, hambali, az-zhahiri: tidak berhak nafkah. Pendapat Syafi’i: mempunyai 2 pendapat dan paling shahih: tidak berhak nafkah.Apabila istri sudah besar, dan suami masih kecil dan belum biasa bersenggama, maka iya tetap wajib memberikan nafkah. Demikian pendapat hanafi, az-zhari dan maliki.Pendapat Syafi’i mempunyai 2 pendapat dan paling shahih: tidak berhak nafkah. Pendapat maliki: tidak wajib memberikan nafkah.

198

Ibid.,h. 389.

156 Fiqih Munakahat

4. Memberi pakaian Apabila suami tidak tidak sanggup memberi nafkah pakaian apakah istri berhak membatalkan berkawinan? Pendapat Hambali: tidak berhak, tapi hendknya istri di beri kesempatan untuk mencari penghidupan Pendapat Maliki, Syafi’I, Hambali, dan Az-zahiri: benar iya berhak memintak membatalkan perkawinan lantaran suaminya tidak sanggup membeikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal.199 B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dari Pendapat Yang Berbeda Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga. Jika semua istri sama – sama menjalankan tanggung jawabnya masing – masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga se mpurnalah kebahahagiaan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu sakinah, mawaddah warahmah. Dalam Komplikasi Hukum Islam, hak dan kewajiban suami istri di jelaskan secara rinci.200

199 200

Ibid., h 390. Rohman, gozali.Fiqh munakad.(Bandung: Hazimi, 2003) h.

160. Fiqih Munakahat 157

C.

Hak Suami Terhadap Istrinya, Yang Paling Pokok Adalah: 1. Di taati dalam hal – hal yang tidak maksiat. 2. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami. 3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami. 4. Tidak bermuka masam di hadapan suami. 5. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak di senangi suami.

Hakim meriwayatkan dari Aisyah : Dari Aisyah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah SAW: Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya: Suaminya Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling besar hak nyaterhadap laki–laki? jawabnya: Ibunya (H.R Hakim).201 Kemudian taat kepada suami hanyalah dalam halhal yang di benarkan agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT.Jika suami menyuruh istri untuk berbuat maksiat, maka istri harus menolaknya.Di antara ketaatan istri kepada suami adalah tidak keluar rumah, kecuali dengan seizinnya. Tentang hak suami terhadap istri, Rasulullah SAW menegaskan : Dari Abdullah bin Umar ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Hak suami terhadap istrinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya 201

Ibid., h. 161

158 Fiqih Munakahat

kepadanya sekalipun sedang di atas punggung unta, tidak berpuasa walaupun sehari saja selain dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia tetap berpuasa, ia berdosa dan puasanya tidak di terima. Ia tidak boleh memberikan sesuatu dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia memberinya maka pahalanya bagi suaminya dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya sampai tobat dan pulang kembali sekalipun suaminya itu zalim. (H.R Abu Dawud).202 Dan allah berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

202

Ibid., h. 162 Fiqih Munakahat 159

Dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 34 di jelaskan bahwa istri harus bisa menjaga dirinya, baik ketika berada di depan suami maupun di belakangnya, dan ini merupakan salah satu ciri yang shahih. Maksud memelihara diri di balik pembelakangan suaminya dalam ayat tersebut adalah istri dalam menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta bendanya.Inilah merupakan kewajiban teringgi bagi seorang istri terhadap suaminya.203 1. Kewajiban Materi Berupa Kebendaan Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap isrtri: 1. Memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal. 2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. 3. Biaya pendidikan bagi anak. Dua kewajiban paling depan di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istri, dan ia dapat membebaskan kewajiban tersebut terhadap dirinya. Di samping itu, juga bisa gugur apabila ia (istri) nusuz. Sedangkan yang di maksud dengan nafkah secara etimologis, berarti berarti pergi dan keluar. Menurut ulama fiqih, nafkah adalah pengeluaran yang harus di keluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah,kepada seorang istrinya, yang berupa makanan,

160 Fiqih Munakahat

pakaian tempat tinggal atau segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup.204 Hukum nafkah adalah wajib bagi seorang suami terhadap istrinya, dan tidak ada prbdaan pendapat tntang masalah ini. Bahkan al-quran tela mewajibkan hal tersebut melalui firman allah:

‫ِﻟ ُﯿ ْﻨﻔ ِْﻖ ذُو ﺳَ َﻌ ٍﺔ ﻣِﻦْ ﺳَ َﻌ ِﺘ ِﻪ ۖ وَ ﻣَﻦْ ﻗُﺪِرَ َﻠَ ْﯿ ِﻪ رِزْ ﻗُ ُﻪ ﻓَﻠْ ُﯿ ْﻨﻔ ِْﻖ ﻣِﻤﺎ ٓ َ ُﻩ‬ ‫ُﴪ‬ ٍ ْ ‫ا ُ ۚ َﻻ ُﳫَ ّ ُِﻒ ا ُ ﻧَﻔْﺴً ﺎ اﻻ ﻣَﺎ ٓ َ ﻫَﺎ ۚ ﺳَ ﯿَﺠْ َﻌ ُﻞ ا ُ ﺑَﻌْﺪَ ﻋ‬ ۞‫ُْﴪًا‬ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, (QS. At-thalaq:7). Dan allah juga telah berfirman:

۞ ‫وَارْ زُ ﻗُﻮﱒُ ْ ِﻓﳱَﺎ وَاﻛْﺴُ ﻮﱒُ ْ وَ ﻗُﻮﻟُﻮا ﻟَﻬُﻢْ ﻗَﻮْ ًﻻ َﻣﻌْﺮُ وﻓًﺎ‬ Artinya: “berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka katakata yang baik.”( An-Nissa:5)

7

Supian, dkk.Materi Pendidikan Agama Islam,(Bandung: PT Ramaja Rosdakarya, 2003),h 136. Fiqih Munakahat 161

sebelumnya, Dia berfirman:

...‫َذ ِ َ د َ ْٰﱏ ﻻ ﺗَ ُﻌﻮﻟُﻮا‬

Artinya : “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-nissa : 3) Adapun menurut Ijma adalah sebagai berikut: Adamah berkata , “Para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami menaflahi istri – istrinya, bila sudah baligh, kecuali kalau istri berbuat durhaka. Ibnul Munzir dan lainnya berkata, “Istri yang durhaka boleh di pukul sebagai pelajaran.Perempuan adalah orang yang tertahan di tangan suaminya.Ia telah menahannya untuk bepergian dan bekerja. Karena itu, ia berkewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya.205 Adapun seorang istri berhak menerima nafkah dari suaminya, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.

Dalam ikatan perkawinan yang sah. Menyerahkan dirinya krpada suaminya. Suaminya dapat menikmati dirinya. Tidak menolak apabila di ajak pindah ke tempat yang di kehendaki suaminya. Kecuali kalau suami bermaksud merugikan istri dengan membawanya pindah, atau membahayakan keselamatan diri dan hartanya Keduanya saling dapat menikmati.

205

Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) h. 165 162 Fiqih Munakahat

Sedangkan mengenai waktu memberi nafkah, para fuqaha berbeda pendapat.Imam Malik berpendapat bahwa nafkah itu menjadi wajib apabila suami telah menggauli atau mengajak bergaul dan istri termasuk orang yang dapat di gauli dan suami telah dewasa.206 Imam Abu Hanafah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberi nafkah apabila istri telah dewasa, sedang apabila istri belum dewasa, dalam hal ini menurut Imam Syafi’i terdapat dua pendapat: pertama, sama dengan pendapat Imam Malik. Pendapat kedua, bahwa istri berhak memperoleh nafkah bagaimanapun keadaannya. Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan karena nafkah itu merupakan pengganti dari kenikmatan yang di peroleh suami, atau karena istri tertahan oleh suami sebagaimana halnya pada suami yang bepergian jauh atau sakit. Disebutkan di dalam kitab ar-raudah an-nadiyyah, adalah pendapat yang benar tidak di perlukanadanya ukuran tertentu.Yang kebutuhan dari setiap indivindu.Di mana ada keluarga yang membiasakan keluarga makan hanya dua kali dalam sehari. Di tempat lain ada yangmembiasakan makan tiga kali dalam satu hari. Dan di antara indivindu mempunyai kondisi yang berbeda.Ada sebagian orang yang kebutuhan makannya hanya satu sha’,

206

Ibit.,h 166. Fiqih Munakahat 163

atau lebih. Ada juga yang setengah sha’ dan sebagian lain ada yang kurang dari itu.207 Berdasarkan perbedaan pendapat tersebut, maka penetapan ukuran tertentu terhadap pemberian nafkah merupakan suatu hal yang tidak benar. Tidak ada syaria;at yang menentukan ukuran tertentu terhadap nafkah itu, rasullulah menggunakan istilah secukupnya dalam pemberian nafkah ini dan di lakukan dengan carayang baik. 208

2. Kewajiban non materi yang bukan berupa kebendaan Beberapa kewajiban suami terhadap istri yang bukan berupa kebendaan, antara lain adalah: a. b. c. d. e. f. g. h.

Berlaku sopan kepada istri, menghormatinya serta memperlakukannya dengan wajar. Memberi perhatian penuh kepada istri. Setia kepada istri dengan menjaga kesucian nikah di mana saja berada. Berusaha mempertinggi keimanan, ibadah, dan kecerdasan istri. Membimbing istri sebaik – baiknya. Memberi kemerdekaan kepada istri untuk berbuat, bergaul di tengah– tengah masyarakat. Suami hendaknya memaafkan kekurangan istri. 207

Ibid.,h 167. Abdul ghofar.Fiqh keluarga. (Jakarta Timur: Pustaka AlKausar. 2001). h. 445 208

164 Fiqih Munakahat

i.

Tidak memaksa bekerja keras untuk urusan rumah tangga. j. Selalu bersikap jujur terhadap istri. k. Melindungi istri dan memberikan semua keperluam hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. l. Menjaga istrinya dengan baik. m. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga ang sakinah, mawadah, dan waramah yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. n. Mempelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasaan serta pendidikan agamanya.209 Suami berkewajiban menjaga istrinya mempelihara istrinya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya menjunjung tinggi kehormatannya sehingga citranya baik. Dalam salah satu sabda nabi dinyatakan sebagai berikut : Dari abukhurairoh bahwa rosulullah bersabda: “sesungguhnya allah mempunyai rasa cemburu dan seorang mukminpun mempunyai rasa cemburu, cemburu allah agar seorang hambanya tidak melakukan perbuatan yang di larang”

209

Tihami,dkk. Fiqh munakat, (Jakarta: Rajawali Pres: 2010), h.

157. Fiqih Munakahat 165

Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan bias berbuat adil di antara istri istri mu dalam masalah cinta dan kecenderungan hati (yang bersifat batin).210 Menafsiri ayat tersebut ibnu sirin mengutip pendapat yang mengatakan bahwa yang di maksud ialah tidak biasa berbuat adil dalam masalah cinta dan hubungan seksual. Ibnu abas dan sofyan juga berpendapat yang sama.211 Oleh karna itu suami harus merasa cemburu terhadap istri, tapi kecemburuannya bersifat adil, jangan sampai berburuk sangka yang berlebihan karna hal ini menimbulkan masalah dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan perceraian. Berlaku adil dan sama di antara para istri (apa bila mempunyai istri lebih dai satu). Seorang suami harus bisa berlaku adil terhadap para istri-istrinya, supaya tidak timbul perpecahan di antara mereka. Diriwayatkan dari Nabi SAW.bersabda:

ْ‫ ) ﻣَﻦ‬: ‫َﻟﻨﱯ ﷺ ﻗَﺎ َل‬ ّ ِ ِ ‫وَ ﻋَﻦْ ِﰊ ﻫُﺮَ ْﺮَ َة رﴈ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻋَﻦْ ا‬ ‫ َﺎ َء ﯾ َﻮْ َم َاﻟْ ِﻘ َﺎ َﻣ ِﺔ وَﺷِ ﻘ ُﻪ‬, ‫ ﻓَﻤَﺎ َل َاﱃ ا ْﺪَ اﳘُ َﺎ‬, ِ‫ﰷَ ﻧ َْﺖ َ ُ ِاﻣْﺮَ َ ن‬ {‫ﲱﯿﺢ‬ ِ َ ‫ وَﺳَ ﻨَﺪُ ُﻩ‬, ‫ وَا ْ رْ ﺑ َ َﻌ ُﺔ‬, ُ‫ }رَوَ ا ُﻩ ْﲪَﺪ‬.( ‫ﻣَﺎﺋِ ٌﻞ‬ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada salah 210

Syaikh Hafizhbali Syuaisiyi. Kado Pernikahan. (Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 2003). h. 123. 211 Ibid., h 124. 166 Fiqih Munakahat

satunya, ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring." Riwayat Ahmad dan Imam Empat, dan sanadnya shahih. D. Kewajiban Istri Terhadap Suami Ketika ada kewajiban seorang suami terhadap istrinya, maka begitu juga sebaliknya ada kewajiban seorang istri terhadap suaminya, hal ini terjadi karena antara suami dan isti harus saling melayani baik batiniyah maupun rohaniyah, sehingga keduanya saling berkasih sayang. Slamet Abidin dan H. Aminuddin mengatakan ada beberapa kewajiban istri terhadap suami diantaranya : 1. Taat dan patuh terhadap suami 2. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman 3. Mengatur rumah tangga dengan baik 4. Menghormati keluarga suami 5. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami 6. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju 7. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami 8. Selalu berhemat dan suka menabung 9. Selalu berhias, bersolek untuk suami 10. Jangan selalu cemburu buta.212 Sementara dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut : 212

Slamet dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, ( Bandung: CV Pustaka Setia 1999) Cet, ke-1, h.172 Fiqih Munakahat 167

Pasal 83 Kewajiban Istri 1.

2.

Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hokum Islam Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84 1.

2.

3. 4.

Istri dapat dianggap nusyuzjika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 (1), kecuali dengan alas an yang sah. Selama sitri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b (a.) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. (b.) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak) tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

168 Fiqih Munakahat