41 0 388KB
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI
Disusun oleh: Nama
: Fatma Mardhotillah
NIM
: 72020040052
Jurusan
: Profesi Ners
RS / Ruang
: RSUD RAA Soewondo Pati/ R. Mawar
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS JL. GANESHA 1 PURWOSARI KUDUS 59316 Telp. (0291) 437218 TAHUN 2021
A. KONSEP LANSIA 1. Definisi Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2010). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia atau menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang menyebabkan penyakit degenerative misal, hipertensi, arterioklerosis, diabetes mellitus dan kanker (Nurrahmani, 2012). 2. Batasan Lansia Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi dalam Sunaryo (2016), batabatas umur yang mencakup batas umur lansia sebagai berikut a. Menurut undang-undangn Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mmencapai usia 60 tahun ke atas”. b. Menurut Wordl Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di batsu 90 tahun. c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase, yaitu: pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (Fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 sampai tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setypnegoro masa lanjut usia (geriatric age) > 65 tahun, atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi
menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75- 80 tahun), dan very old (> 80 tahun) (Efendi & Makhfudli, 2009). Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008). 3. Karakteristik lanjut usia menurut Budi Anna Keliat (2009): a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang Kesehatan) b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif. c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi 4. Tipologi Lansia a. Tipe Arif Bijaksana Kaya dengan hikmah pengalaman , menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sedehana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. b. Tipe Mandiri Mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatankegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta memenuhi undangan. c. Tipe tidak Puas Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar , mudah tersinggung, menuntut sulit dilayani dan pengkritik. d. Tipe Pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis gelap dating terang, emgikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan. e. Tipe Bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh Orang lanjut usia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe yang bergantung kepada karakter pengalaman, kehidupannya, lingkungan, fisik, mental, sosial dan ekonomi. Antara lain : 1) Tipe optimis, santai dan riang : tipe kursi goyang ( rocking chairman)
2) Tipe konstruktif 3) Tipe ketergantungan ( dependen ) 4) Tipe defensif 5) Tipe militan dan serius 6) Tipe marah dan frustrasi (the angry man) 7) Tipe putus asa (benci pada diri sendiri) ; self heating man Sebagai seorang perawat perlu mengenal berbagai tipe dari lanjut usia sehingga perawat akan dapat menghindari kesalahan atau kekeliruan dalam melaksanakan pendekatan perawatan. Tentu saja tipe-tipe tersebut hanya suatu pedoman dasar dan dalam prakteknya dapat ditemui dalam berbagai variasi. 5. Mitos Lansia a. Mitos konservatif Ada pandangan bahwa lansia pada umumnya: 1) Konservaatif 2) Tidak kreatif 3) Menolak inovasi 4) Berorientasi ke masa silam 5) Merindukan masa lalu 6) Kembali ke masa kanak-kanak 7) Susah menerima ide baru 8) Susah berubah 9) Keras kepala 10) Cerewet Faktanya : tidak semua lansia bersikap, berfikiran, dan berperilaku demikian. b. Mitos berpenyakit dan kemunduran Lansia sering kali dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai dengan berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit yang menyertai proses menua (lansia merupakan masa berpenyakitan dan kemunduran) Faktanya : memang proses menua disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh dan metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit. Akan tetapi, saat ini telah banyak penyakit yang dapat dikontrol dan diobati.
c. Mitos senilitas Lansia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh adanya kerusakan sel otak. Faktanya: banyak lansia yang masih tetap sehat dan segar bugar, daya pikirnya masih jernih dan cenderung cemerlang, bnyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat. d. Mitos ketidakproduktifan Lansia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif, bahkan menjadi beban keluarganya.Lansia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif, bahkan menjadi beban keluarganya. Faktanya: tidak demikian, banyak individu yang mencapai kebenaran, kematangan, kemantapan, serta produktifitas mental dan material dimas lanjut usia. e. Mitos asektualitas Ada pandangan bahwa pada lansia, minat, dorongan, gairah, kebutuhan, dan daya seks menurun. Faktanya: kehidupan seks pada lansia berlangsung normal, dan frekuensi hubungan seksual menurun sejalan meningkatnya usia, tetapi masih tetap tinggi. f. Mitos tidak jatuh cinta Lansia sudah tidak lagi jatuh cinta, tidak tertarik atau bergairah kepada lkawan jenis. Faktanya: perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa, perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi lansia. g. Mitos kedamaian dn ketenangan Lansia dapat santai menikmati hasil kerja dan jerih payahnya di masa muda dan dewasanya. Badai dan berbagai goncangan kehidupan seakan-akan telah berhasil dilewatinya. Faktanya:L sering ditemukan stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit, kecemasan, kekhawatiran, depresi, paranoid, dan psikotik.
6. Teori Penuaan a. Teori biologis Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi tubuh selama masa hidup (Reny Yuli, 2014). Teori ini lebih menekankan pada perubahan kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh, termasuk didalamnya adalah pengaruh agen patologis. 1) Teori genetik Menurut teori ini menua telah diprogram secara genetic untuk spesiesspesies tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam nuclei (inti sel) suatu jam yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar, jadi menurut konsep ini bila jam berhenti akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal. 2) Teori Non-genetik a) Teori penurunan system imun tubuh (auto immune theory) Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri. Jika mutasi yang merusak membrane sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan peyakit auto imun pada lanjut usia. b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory) Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti: Asap kendaraan bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi, sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigment dan kolagen pada proses menua. c) Teori menua akibat metabolisme Bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori menyebabkan kegemukan dan memperpendek umur. d) Teori rantai silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis dan kehilangan fungsi pada proses menua b. Teori Psikologis 1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory) Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah menua Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari usia lanjut. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dengan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia. 2) Kepribadian Berlanjut (Continuty Theory) Menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya. 3) Teori Pembahasan (Disengagement Theory) Putusnya pergualan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi anda kehilangan (triple loss), yakni : kehilangan peran (loss of role), hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationships), berkurangnya komitmen (reduced commitment to social moes and values). (Azizah, 2011) 7. Masalah perubahan yang terjadi pada lansia Perubahan – Perubahan yang terjadi pada Lansia menurut Reny Yuli Aspiani, 2014 : a. Perubahan Fisik : 1) Sel : Jumlahnya lebih sedikit, ukurannya lebih besar, TBW (jumlah cairan tubuh berkurang) dan cairan intra seluler menurun, menurunnya
proporsi protein di otak, ginjal, otot darah dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel. 2) Sistem Kardiovaskuler : Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun sehingga menurunnya kontraksi dan volume jantung, kehilangan elastisitas pembuluh darah, oksigenisasi tidak adekuat, mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah cenderung tinggi karena meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. 3) Sistem Persarafan : Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak tiap individuberkurang setiap hari), respon dan waktu untuk bereaksi lambat, atropi saraf panca indra (berkurangnya penglihatan, pendengaran, pencium
&
perasa,
dengan rendahnya
lebih
ketahanan
sensitif
terhadap
terhadap dingin),
perubahan kurang
suhu sensitif
terhadapsentuhan. 4) Sistem Pendengaran : Prebiakusis (hilangnya kemampuan untuk daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap suara nada tinggi, suara yg tidak jelas, sulit mengerti kata-kata) 50% terjadi pada usia >65th, atropi membran tympani, menyebabkan otosklerosis (kekakuan pada tulang bagian dalam), terjadinya pengumpulan cerumen dapat mengeras karena peningkatan keratin, pendengaran bertambah menurun pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa/stress. 5) Sistem Penglihatan : Lensa lebih suram (kekeruhan lensa) menjadi katarak, kornea lebih berbentuk sferis (bola kecil), respon terhadap sinar menurun, daya adaptasi terhadap gelap lebih lambat, hilangnya daya akomodasi mata, lapang pandang menurun, sulit membedakan warna biru dan hijau pada skala. 6) Sistem Respirasi : Otot - otot pernafasan kehilangan kekuatan (lemah) dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas silia, elastisitas paru berkurang, kapasitas residu meningkat, menarik nafas berat, dan kedalaman bernafas menurun O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg; CO2 arteri tidak berganti kemampuan untuk batuk berkurang, kemampuandinding, dada & kekuatan otot pernafasan menurun sejalan dengan tambah usia.
7) Sistem Genitourinari : Ginjal mengecil dan nefron atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang; kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin; berat jenis urin menurun, proteinuria (+1), otot-otot vesika urinaria melemah, kapasitasnya menurun 200 ml sedangkan frekuensi
buang
air
kecil
meningkat. Pada pria
lansia, vesika urinari sulit dikosongkan akibatnya meningkatkan retensi urin. Prostat membesar (dialami 75% pria usia 65 tahun keatas), atropi vulva, selaput lendir kering, elastisitas menurun, permukaan lebih licin, perubahan warna.Seksual intercourse masih. 8) Sistem Reproduksi : Menciutnya ovari dan uterus, atropi payudara, pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meski ada penurunan secara berangsur-angsur, selaput lendir vagina menurun, permukaan lebih halus, sekresi berkurang, reaksi sifatnya alkali, perubahan- perubahan warna, dorongan Seksual masih. 9) Sistem Gastrointestinal : Kehilangan gigi, karena kesehatn gigi buruk atau gizi buruk, indra pengecap menurun, iritasi kronis selaput lendir, atropi indra pengecap, hilangnya sensisitifitas saraf pengecap di lidah tentang rasa manis, asin, dan pahit, dilambung, sensisitifitas rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan juga menurun, peristaltik lemah sehingga biasa timbul konstipasi, daya absorbsi terganggu. 10) Sistem Endokrin : Produksi hormon menurun, termasuk hormon tiroid, aldosteron, kelamin (progesteron, estrogen, testosteron), menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR= basal metabolic rate, fungsi paratiroid & sekresinya tidak berubah. 11) Sistem Integumen : Kulit keriput, akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan
kulit
kasar dan bersisik,
(kaku,
rapuh dan keras),
karena kehilangan proses keratinisasi, perubahan ukuran dan bentuk bentuk sel epidermis, menurunnya respon terhadaptrauma, mekanisme proteksi kulit menurun : Produksi serum menurun, gangguan pigmentasi kulit. Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung
dan
telinga
menebal,
berkurangnya
elastisitas,
akibat
menurunnya cairan & vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku pudar dan kurang bercahaya, kuku jari menjadi keras dan rapuh,
kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsi. 12) Sistem Muskuloskeletal : Tulang kehilangan density (cairan), makin rapuh, kifosis, pinggang, lutut dan jari pergelangan, pergerakannya terbatas, Discus intervertebralis menipis, menjadi pendek (tingginya berkurang), persendian membesar dan kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atropi serabut otot bergerak menjadi lambat, otototot kram dan tremor, otot polos tidak begitu terpengaruh b. Perubahan Psikososial 1) Pensiun : Produktivitas dan identitas – peranan (kehilangan financial, kehilangan status, kehilangan relasi), 2) Sadar akan kematian, 3) Perubahan dalam cara hidup 4) Penyakit kronis dan ketidakmampuan. 5) Hilanganya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap body image, perubahan konsep diri. c. Perubahan Mental 1) Faktor-faktor yang pengaruhi perubahan mental : Perubahan fisik, organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, herediter, lingkungan. 2) Perubahan kepribadian yang drastis. 3) Berkurangnya
adaptasi
untuk
kebiasaan
baru,
berkurangnya
kemampuan nyatakan sopan santun. 4) Merasa kadang tidak diperhatikan atau dilupakan. 5) Cenderung menyendiri, bermusuhan. 6) Mudah tersinggung akibat egoisme atau reaksi kemunduran ingatan. 7) Tidak memperhatikan kebersihan, penampilan. 8) Lupa meletakan barang, menuduh orang mencuri, gelisah, delirium pada malam hari. 9) Pola tidur berubah (tidur seharian atau sulit tidur di malam hari). 10) Mengumpulkan barang yang tidak berharga. d. Perubahan Memori 1) Kenangan jangka panjang : berjam-jam sampai berhari-hari. 2) Kenangan jangka pendek atau seketika : 0-10 menit, kenangan buruk.
e. IQ (Intellgentia Quotion) Akibat proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan otak seperti perubahan intelegenita quantion (IQ) yaitu fungsi otak kanan mengalami penurnan sehingga lansia akan mengalami penurunan sehingga lansia
akan
mengalami
kesulitan
dalam
berkomunikasi
nonverbal,
pemecahan masalah, konsentrasi dan kesulitan mengenal wajah seseorang. Perubahan yang lain adalah perubahan ingatan, karena penurunan kemampuan otak maka seorang lansia akan kesulitan untuk menerima rangsangan yang diberikan kepadanya sehingga kemampuan untuk mengingat pada lansia juga menurun (Mujahidullah, 2012).
f. Perkembangan Spiritual Pada umumnya lansia akan semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal tersebut bersangkutan dengan keadaan lansia yang akan meninggalkan kehidupan dunia. g. Masalah Fisik Sehari-Hari Yang Sering Ditemukan Pada Lansia 1) Mudah jatuh 2) Mudah lelah, disebabkan oleh : Faktor psikologis, Gangguan organis, Pengaruh obat. 3) Kekacauan mental karena keracunan, demam tinggi, alkohol, penyakit metabolic, dehidrasi. 4) Nyeri dada karena PJK, aneurisme aorta, perikarditis, emboli paru, dsb. 5) Sesak nafas pada waktu melakukan aktifitas fisik karena kelemahan jantung, gangguan sistem respiratorius, overweight, anemia. 6) Palpitasi karena gangguan irama jantung, penyakit kronis, psikologis. 7) Pembengkakan kaki bagian bawah karena edema gravitasi, gagal jantung, kurang vitamin B1, penyakit hati, penyakit ginjal, kelumpuhan, dsb. 8) Nyeri pinggang atau punggung karena osteomalasia, osteoporosis, osteoartritis, batu ginjal, dsb. 9) Nyeri sendi pinggul karena artritis, osteoporosis, fraktur/dislokasi, saraf terjepit. 10) Berat badan menurun karena nafsu makan menurun, gangguan saluran cerna, faktor sosio-ekonomi.
11) Sukar menahan BAK karena obat-obatan, radang kandung kemih, saluran kemih, kelainan syaraf, faktor psikologis. 12) Sukar menahan BAB karena obat-obatan, diare, kelainan usus besar, kelainan rektum. 13) Gangguan ketajaman penglihatan karena presbiopi, refleksi lensa berkurang, katarak, glaukoma, infeksi mata. 14) Gangguan pendengaran karena otosklerosis, ketulian menyebabkan kekacauan mental. 15) Gangguan tidur karena lingkungan kurang tenang, organik dan psikogenik (depresi, irritabilitas). 16) Keluhan pusing-pusing karena migren, glaukoma, sinusitis, sakit gigi, dsb. 17) Keluhan perasaan dingin dan kesemutan anggota badan karena ganguan sirkulasi darah lokal, ggn syaraf umum dan lokal. 18) Mudah gatal-gatal karena kulit kering, eksema kulit, DM, gagal ginjal, hepatitis kronis, alergi2. 8. Penyakit yang menyerang pada lansia a. Penyakit
persendian
dan
tulang,
misalnya
rheumatik,
osteoporosis,
osteoartritis. b. Penyakit Kardiovaskuler. Misalnya: hipertensi, kholesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida tinggi, anemia. c. Penyakit Pencernaan yaitu gastritis, ulcus pepticum. d. Penyakit Urogenital. Seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), Gagal Ginjal Akut/Kronis, Benigna Prostat Hiperplasia. e. Penyakit Metabolik/endokrin. Misalnya; Diabetes mellitus, obesitas. f. Penyakit Pernafasan. Misalnya asma, TB paru. g. Penyakit Keganasan, misalnya; carsinoma/ kanker. h. Penyakit lainnya. Antara lain; senilis/pikun/dimensia, alzeimer, parkinson, dan sebagainya. 9. Faktor faktor yang mempengaruhi lansia 1. Hereditas (keturunan/ genetik) 2.
Nutrisi / makanan
3. Status kesehatan. 4. Pengalaman hidup
5. Lingkungan 6. Stress 10. Pengkajian pengkajian pada lansia a. KATZ INDEKS Mengukur kemampuan pasien dalam melakukan 6 kemampuan fungsi : bathing, dressing, toileting, transfering, feeding, maintenance continence. Biasa digunakan untuk lansia, pasien dengan penyakit kronik (stroke, fraktur hip). b. BARTHEL INDEKS Indeks Barthel merupakan suatu instrument pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan keseimbangan. c. SPSMQ merupakan instrument pengkajian sederhana yang digunakan untuk menilai fungsi intelektual maupun mental dari lansia d. GDS Geriatric Depression Scale (GDS) merupakan salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis depresi pada usia lanjut. e. APGAR KELUARGA merupakan kuesioner skrining singkat yang dirancang untuk merefleksikan kepuasan anggota keluarga dengan status fungsional keluarga dan untuk mencatat anggota-anggota rumah tangga. f. MMSE Mini Mental State Examination (MMSE) adalah pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi kognitif.
B. PENYAKIT/ GANGGUAN LANSIA 1. DEFINISI Hipertensi adalah keadaan seseorang yang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal sehingga mengakibatkan peningkatan angka morbiditas maupun mortalitas, tekanan darah fase sistolik 140 mmHg menunjukkan fase darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 mmHg menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung (Triyanto,2014). WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah diatas 160/95 mmHg (Sarif La Ode, 2012). Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya (Sylvia A. Price, 2015). 2. ETIOLOGI Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia menurut Triyanto (2014) adalah terjadinya perubahan-perubahan pada : a. Elastisitas dinding aorta menurun b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, datadata penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut : a. Faktor keturunan Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
b. Ciri perseorangan Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah: 1) Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat ) 2) Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan ) 3) Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih ) 4) Kebiasaan hidup Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah : a) Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr) b) Kegemukan atau makan berlebihan c) Stress d) Merokok e) Minum alcohol f) Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin ) Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit-penyakit seperti Ginjal, Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor, Vascular, Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol, Vaskulitis, Kelainan endokrin, DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme, Saraf, Stroke, Ensepalitis. Selain itu dapat juga diakibatkan karena Obat–obatan Kontrasepsi oral Kortikosteroid. 3. PATOFISIOLOGI Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2010).
4. MANIFESTASI KLINIK Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016), tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi: a) Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan darah tidak teratur. b) Gejala yang lazim Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : 1) Mengeluh sakit kepala, pusing 2) Lemas, kelelahan 3) Sesak nafas 4) Gelisah 5) Mual 6) Muntah 7) Epistaksis 8) Kesadaran menurun 5. KLASIFIKASI a. Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. 2016), klasifikasi hipertensi klinis berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik yaitu : Klasifikasi derajat hipertensi secara klinis
b. Menurut World Health Organization (dalam Noorhidayah, S.A. 2016) klasifikasi hipertensi adalah: 1) Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan 140 mmHg dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg. 2) Tekanan darah perbatasan (border line) yaitu bila sistolik 141-149 mmHg da n diastolik 91-94 mmHg. 3) Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan 95 mmHg. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut NIC-NOC, 2015
a. Pemeriksaan Penunjang 1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas)
dan
dapat
mengindikasikan
faktor
resiko
seperti
:
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/ kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal. 3) Glucosa : hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal da nada DM.
5) Kolestrol total serum. 6) Kolestrol LDH dan HDL serum. 7) Trigliserida serum (puasa). b. Ct scan : mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. EKG : dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda penyakit jantung hiprtensi.
d. IUP : mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti : batu ginjal, perbaikan ginjal. 7. PENATALAKSANAAN a. Penatalaksanaan Non Farmakologi (Keperawatan) 1) Pengaturan diet Beberapa diet yang dianjurkan : a) Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan darah pada klien hipertensi. dengan pengurangan konsumsi garam dapat mengurangi sistem reninangiotensin sehingga dapat berpotensi sebagai anti hipertensi jumlah intake sodium yang dianjurkan 50-100 mmol atau setara dengan 3-6 gram per hari. b) Diet tinggi potassium, dapat menurunkan tekanan darah tapi mekanisme nya belum jelas. Pemberian potassium secara intravena dapat menyebabkan vasodilatasi, yang dipercaya di mediasi oleh nitric oxide pada dinding vascular. c) Diet kaya buah dan sayur. d) Diet rendah kolestrol sebagai pencegah terjadinya jantung koroner. Diet DASH (Dietary Approaches to stop Hypertension) menurut Priscilla Lemone, 2015
Gandum : tujuh sampai delapan sajian per hari.
Sayuran : empat sampai lima sajian per hari.
Buah : empat sampai lima sajian per hari.
Produk susu tanpa lemak/ rendah lemak : dua sampai tiga kali sajian per hari.
Daging, unggas, dan ikan : dua atau kurang 3 ons sajian per hari.
Kacang, biji-bijian, dan kacang kering : empat sampai lima per minggu.
Lemak dan minyak : dua sampai tiga sajian per hari.
2) Penurunan berat badan Penurunan berat badan mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi beban kerja jantung dan volume sekuncup juga berkurang.
3) Olahraga Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda, bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan jantung. Olahraga terartur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali dalam satu minggu sangat
dianjurkan
untuk
menurunkan
tekanan
darah.
olahraga
meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi terbentuknya arterosklerosis akibat hipertensi. 4) Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat Berhenti merokok dan tidak mengkonsumsi alcohol, penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok di ketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dapat meningkatkan kerja jantung (Reny Yuli, 2014). 5) Terapi Relaksasi Otot Progresif Menurut Herodes, Terapi Relaksasi Otot Progresif adalah teknik relaksasi otot yang tidak menggunakan imajinasi, ketekunan atau sugesti. Berdasarkan keyakinan bahwa tubuh manusia berespon pada kecemasan dan kejadian yang merangsang pikiran dengan ketegangan otot. Teknik Relaksasi Otot Progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks. Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi (Setyoadi, 2011). a) Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif (Herodes, 2010) 1) Menurunkan Ketegangan Otot, Kecemasan, Nyeri Leher, dan Punggung, Tekanan Darah Tinggi, Frekuensi Jantung dan Laju Metabolik. 2) Mengurangi Disritmia Jantung, Kebutuhan Oksigenasi. 3) Meningkatkan gelombang alfa otak yang trejadi ketika klien sadar dan tidak memfokuskan perhatian serta relaks. 4) Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi. 5) Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress. 6) Mengatasi insomnia, depresi kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia ringan, gagap ringan.
7) Membangun emosi positif dari emosi negative. b) Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif 1) Lansia yang mengalami gangguan tidur. 2) Lansia yang sering mengalami stress. 3) Lansia yang mengalami kecemasan. 4) Lansia yang mengalami depresi. c) Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif Persiapan Persiapan alat dan lingkungan, kursi, bantal, serta lingkungan yang tenang dan sunyi. Persiapan klien : 1)
Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar persetujuan terapi kepada klien.
2) Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup dengan menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut, atau duduk di kursi dengan kepala di topang, hindari posisi berdiri. 3) Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu. 4) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya mengikat ketat. Prosedur Gerakan 1 : Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan 1) Genggam tangan kiri sambil membuat satu kepalan. 2) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. 3) Pada saat kepalan dlepaskan, klien dipandu untuk merasakan relaks selama 10 detik. 4) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami. 5) Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
Gerakan 2 : Ditujukan untuk melatih otot tangan bagian belakang, gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga otototot di tangan bagian
belakang
dan
lengan
bawah
menegang,
jari-jari
menghadap ke langit-langit. Gerakan 3 : Ditujukan untuk melatih otot biseps (Otot besar pada bagian atas lengan). 1) Genggam kedua tangan sehingga membuat kepalan. 2) Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot biseps akan menjadi tegang. Gerakan 4 : Ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur 1) Angkat kedua bahu setinggi tingginya seakan akan menyentuh kedua telinga. 2) Fokuskan perhatian gerakan pada kontras ketegangan yang terjadi dibahu, punggung atas, dan leher. Gerakan 5 dan 6 : Ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti otot dahi, mata, rahang dan mulut). 1) Gerakan otot dahi dengan cara mengerukan dahi dan alis sampai otot terasa dan kulitnya keriput. 2) Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata. Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot rahang, katupan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut, bibir di moncongkan sekuat kuatnya sehingga akan di rasakan ketegangan di sekitar mulut. Gerakan 9 : Ditujukan untuk merelakskan otot leher bagian depan maupun belakang.
1) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. 2) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat. 3) Letakkan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas. Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan. 1) Gerakan membawa kepala ke muka. 2) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka. Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung. 1) Angkat tubuh dari sandaran kursi. 2) Punggung di lengungkang. 3) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian relaks. 4) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot menjadi lemas. Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada. 1) Tarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyak nya. 2) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada sampai turun ke perut, kemudian di lepas. 3) Saat ketegangan di lepas, lakukan nafas normal dengan lega. 4) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan relaks. Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut. 1) Tarik dengan kuat perur ke dalam. 2) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan bebas. 3) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut ini.
Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha dan betis). 1) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang. 2) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan pindah ke otot betis. 3) Tahan posisi tegang selama 10 detik. d) Ulangi setiap gerakan masing-masing 2 kali
6) Terapi relaksasi nafas dalam Menurut Brunner dan Suddart (2013), relaksasi napas adalah pernapasan abdomen dengan frekuensi lambat dan perlahan, berirama, dan nyaman yang dilakukan dengan memejamkan mata. Teknik relaksasi meliputi berbagai metode untuk perlambatan bawah tubuh dan pikiran. Meditasi, relaksasi otot progresif, latihan pernafasan, dan petunjuk gambar merupakan teknik relaksasi yang sering digunakan dalam pengaturan klinis untuk membantu mengatur stress dan reaksi untuk mencapai kesejahteraan secara keseluruhan. Distraksi atau pengalihan perhatian akan menstimulasi sistem control desenden, yaitu suatu sistem serabut yang berasal dari dalam otak bagian bawah dan bagian tengah dan berakhir pada serabut intemeural inhibitor dalam kornu dorsalis dari medulla spinalis, yang mengakibatkan berkurangnya stimulasi nyeri yang di tramisikan ke otak (Smeltzer, 2012). b. Penatalaksanaan Medis 1) Terapi oksigen. 2) Pemantauan hemodinamik. 3) Pemantauan jantung. 4) Obat-obatan. a) Diuretik bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi curah jantung dengan mendorong ginjal meningkatkan garam dan airnya. b) Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos jantung atau arteri, sebagian penyekat saluran kalsium bersifat lebih spesifik
untuk saluran lambat kalsium otot jantung. Sebagian yang lebih spesifik untuk saluran kalsium otot polos vascular. c) Penghambat enzim mengubah angiotensin 2 atau inhibitor ACE berfungsi untuk menurunkan angiotensin 2 dengan menghambat enzim yang diperlukan untuk mengubah angiotensin 1 menjadi angiotensin 2. Kondisi ini menurunkan tekanan darah secara langsung dengan menurunkan tekanan TPR, dan secara tidak langsung dengan menurunkan sekresi aldosterone, yang akhirnya meningkatkan pengeluaran natrium pada urin kemudian menurunkan volume plasma dan curah jantung. d) Antagonis (penyekat) reseptor beta (beta-blocker), terutama penyekat selektif, bekerja pada reseptor beta di jantung untuk menurunkan kecepatan denyut dan curah jantung. e)
Antagonis reseptor alfa (beta-bloker) menghambat reseptor alfa di otot polos vascular yang secara normal berespon terhadap rangsangan saraf simpatis dengan vasokontriksi. Hal ini akan menurunkan TPR
f) Vasodilator arterior langsung dapat digunakan untuk menurunkan TPR misalnya : Natrium, Nitropusida, Nikardipin, Hidralazin, Nitrogliserin. (Reny Yuli, 2014). 8. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2. c. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular serebral d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik pada ekstremitas kanan bagian bawah e. Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan otot 9. INTERVENSI KEPERAWATAN Diagnosis Keperawatan Tujuan Keperawatan Resiko penurunan curah Setelah dilakukan
Intervensi Keperawatan 1. Pantau tekanan darah,
jantung berhubungan
tindakan keperawatan
ukur pada kedua
dengan perubahan
tidak terjadi penurunan
tangan/ paha untuk
afterload
curah jantung dengan
evaluasi awal. Gunakan
kriteria hasil: 1. Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, Nadi, Reprasi) 2. Dapat mentoleransi
ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat. 2. Auskultasi bunyi jantung dan bunyi nafas. 3. Berikan lingkungan
aktivitas, tidak ada
tenang, nyaman, kurang
kelelahan
aktivitas/keributan
3. Tidak ada edama paru, perifer dan tidak ada asites 4. Tidak ada
lingkungan, batasi pengunjung. 4. Lakukan tindakan yang nyaman, seperti pijatan
penurunan
punggung, leher,
kesadaran
meninggikan kepala tempat tidur. 5. Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan. 6. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat sesuai indikasi : a. Diuretik tiazid, misal kolorotiazid (diuril), hidroklorotiazid (esidrix atau hidrodiuril), bendroflumentiazid (naturetin). b. Diruretik loop, misal furosemide (Lasix), asam
etakrinic (edecrin) bumetamid (burmex). 1. Kaji respon fisiologi
Intoleransi aktivitas
Setelah dilakukan
berhubungan dengan
tindakan keperawatan
terhadap aktivitas,
imobilisasi, kelemahan
tidak terjadi intoleransi
observasi, frekuensi
umum,
aktifitas dengan kriteria :
nadi >20 x/menit diatas
ketidakseimbangan
1. Meningkatkan
frekuensi istirahat,
antara suplai dan
energy untuk
peningkatan tekanan
kebutuhan O2.
melakukan
darah selama/ sesudah
aktifitas sehari-
aktivitas
hari 2. Menunjukkan
2. Bantu klien mengidentifikasi faktor
penurunan gejala-
yang meningkatkan
gejala intoleransi
atau menurunkan
aktifitas
toleransi aktivitas. 3. Ajarkan keluarga untuk membantu klien untuk melakukan aktivitas. 4. Dorong klien melakukan aktifitas sebagai sumber energy 5. Kolaborasi dengan
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan dengan tekanan serebral
peningkatan tindakan keperawatan vascular klien dapat mengontrol nyeri dengan kriteria : 1. Mengenal faktor nyeri 2. Tindakan pertolongan nonfarmakologi 3. Mengenal tanda
pemberian obat 1. Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas 2. Observasi reaki nonverbal dan ketidaknyamanan 3. Ajarkan penggunaan teknik non
pencetus nyeri
farmakologi : teknik
untuk mencari
relaksasi progresif
pertolongan 4. Melaporkan nyeri
4. Berikan analgetik sesuai anjuran
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri mobilitas Setelah dilakukan
Hambatan fisik
berhubungan tindakan keperawatan
dengan kelemahan fisik mobilitas fisik pada ekstremitas kanan dipertahankan dengan bagian bawah
kriteria : 1. Mempertahankan keutuhan tubuh secara optimal
1. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi, kemampuan motorik. 2. Inspeksi kulit terutama pada daerah tertekan, beri bantalan lunak. 3. Ambulasi dengan bantuan.
seperti tidak
4. Lakukan ROM.
adanya kontraktur
5. Konsultasikan dengan
2. Mempertahankan
ahli fisioterapi,
kekuatan fungsi
kolaborasi pemberian
tubuh secara
obat, relaksasi otot
optimal 3. Mendemonstrasika n teknik perilaku melakukan aktivitas 4. Mempertahankan integritas kulit 5. Kebutuhan ADL Resiko berhubungan penurunan otot
terpenuhi jatuh Setelah dilakukan dengan tindakan keperawatan kekuatan resiko jatuh tidak terjadi dengan kriteria : 1. Klien mampu
1. Kaji kemampuan klien dalam berdiri dan berjalan. 2. Berikan pencahayaan yang cukup.
menunjukkan tingkat keamanan. 2. Mampu meminimalkan terjadinya resiko jatuh. 3. Mampu memodifikasi lingkungan yang aman.
3. Anjurkan klien untuk menggunakan alat bantu saat beraktivitas. 4. Lakukan program latihan fisik ROM. 5. Bantu klien dalam pergerakan sendi, batasan-batasan sendi.
DAFTAR PUSTAKA Naga S. S. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Diva Prss. Jogjakarta Suratun dkk. 2010. Klien Gangguan Sistem Musculoskeletal:Seri Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta Lukman, Ningsih, Nurna. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jilid 1. Jakarta : Salemba Medika. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Aajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Cet.1. Jakarta : EGC Wijaya, M. (2012). Ekstraksi Annonaceous Acetogenin dari Daun Sirsak, Annona Muricata, sebagai Senyawa Bioaktif Anti Kanker. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Zahara, (2013). Artritis Gout Metakarpal Dengan Perilaku Makan Tinggi Purin Diperberat Oleh Aktifitas Mekanik Pada Kepala Keluarga Dengan Posisi Menggenggam Statis. Yogyakaarta: Nuha Medika.