27 1 285KB
BAHAN KULIAH MANAJEMEN PENDIDIKAN KEJURUAN (MKF402)
Dosen Pembina Dr. Syamsul Hadi, M.Pd., M.Ed
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2010
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 A. Pengertian Manajemen Pendidikan ....................................................................... 1 B. Karakteristik Manajemen Pendidikan ..................................................................... 3 BAB II: SEKOLAH KEJURUAN SEBAGAI SISTEM TERBUKA ......................................... 9 A. Karakteristik Pendidikan Kejuruan ......................................................................... 9 B. Sistem Terbuka Pada Manajemen Pendidikan Kejuruan ..................................... 12 BAB III: PENGAMBILAN KEPUTUSAN ........................................................................... 17 A. Optimizing Model ................................................................................................. 17 B. Satisficing Strategy .............................................................................................. 18 C. Incremental Model dan Mixed Scanning Model .................................................... 21 D. Model Kaleng Sampah dan Model Politik (Garbage-Can and Politics Models)..... 23 BAB III: PENGERTIAN DAN MODEL-MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH ....................................................................................................................... 26 BAB IV: MENYUSUN RENCANA STRATEGIS SEKOLAH/MADRASAH ........................ 45 BAB IV: KEPEMIMPINAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN KEJURUAN ........................ 66 A. Teori Kontingensi Versi Fiedler ............................................................................ 67 B. Path-Goal Theory of Leadership .......................................................................... 68 C. Kepemimpinan Transformasional ........................................................................ 70 BAB V: AKREDITASI SEBAGAI BENTUK AKUNTABILITAS PUBLIK ............................. 78 A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Akreditasi ............................................ 78 B. Proses Akreditasi ................................................................................................. 81 C. Penutup ............................................................................................................... 86
ii
BAB I: PENDAHULUAN A. Pengertian Manajemen Pendidikan Manajemen pendidikan merupakan bidang kajian yang berkaitan dengan organisasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada definisi tunggal mengenai bidang kajian itu karena perkembangannya sangat tergantung pada berbagai disiplin yang telah mapan seperti sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Harries-Jenkins (1984), “we are looking at a field of management studies caracterized by a considerable flexibility of discipline boundaries”. Penafsiran-penafsiran yang ditarik dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda tersebut tentu akan memberikan penekanan pada aspek-aspek yang berbeda dengan manajemen pendidikan. Kebanyakan definisi manajemen pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli masih bersifat parsial karena mereka umumnya hanya merefleksikan sosok tertentu dari sudut pandang mereka masing-masing. Definisi-definisi yang menerapkan
pendekatan
yang
luas
biasanya
cenderung
menunjukkan
kelemahannya. Hoyle (1987:8), misalnya, mengemukakan definisi yang “prematur” sebagai berikut: Management is a continuous process through which members of an organization seek to co-ordinate their activities and utilise their resources in order to fulfil the various tasks of the organization as efficiently as possible.
Cuthbert (1984) menyarankan bahwa manajemen “adalah sebuah aktivitas yang mencakup tanggungjawab atas keterlaksanaan sesuatu melalui orang lain”. Glatter (1979:16) mengemukakan definisi yang lebih bermanfaat karena mampu mengidentifikasi ruang lingkup manajemen pendidikan. Glatter mengemukakan bahwa studi manajemen terkait dengan: ... the internal operation of educational institutions, and also with their relationships with their environment, that is, the communities in which they are set, aand with the governing bodies to which they are formally respponsible.
Pernyataan ini membatasi ruang lingkup manajemen pendidikan akan tetapi masih tetap menyisakan pertanyaan tentang hakekat bidang itu yang sebenarnya. Misalnya, isu-isu apakah yanng merupakan inti dari pendekatan manajerial di
1
sekolah atau lembaga pendidikan lainnya? Tentu saja bahwa jantung manajemen pendidikan terletak pada tujuan pendidikan. Sebagian besar penulis di bidang manajemen pendidikan menekankan pentingnya tujuan dalam pendidikan. Culbertson (1983), misalnya, menyatakan bahwa ‘penetapan tujuan merupakan fungsi pokok administrasi’. Cyert (1975) berpendapat bahwa ‘sebuah organisasi dikembangkan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu melalui kegiatan kelompok’. Sentralitas orientasi tujuan sekolah atau lembaga pendidikan merupakan hal umum bagi kebanyakan pendekatan teoritis di bidang manajemen pendidikan. Akan tetapi masih dijumpai belum ada kesepakatan mengenai rumusan formal tujuan, rumusan siapa yang dijadikan tujuan organisasi, dan tentang bagaimana tujuan tersebut ditetapkan. Tujuan resmi pendidikan biasanya dirumuskan pada tataran yang sangat umum. Tujuan-tujuan itu biasanya menentukan substansi pendukung, namun, oleh karena rumusan itu biasanya berupa sebuah utopia, tujuan-tujuan tersebut masih tetap belum menjadi dasar yang memadai bagi tindakan manajerial. Tujuan khusus sekolah dasar atau menengah dapat dirumuskan untuk membentuk anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani rohani, cerdas, terampil, dan berkemampuan sosial yang tinggi. Tujuan semacam ini memang berfaedah namun memiliki keterbatasan jika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan. Tujuan-tujuan yang lebih spesifik biasanya lebih sulit untuk disepakati. Gagasan mengenai pengahapusan EBTANAS untuk memberikan otonomi profesional yang lebih luas kepada guru, misalnya, masih harus berhadapan dengan pandangan yang mendukung pentingnya sebuah standar pendidikan yang bersifat nasional. Pendekatan tertentu dalam manajemen pendidikan juga berkaitan erat dengan tujuan organisasional, pada saat yanng sama model yang lain menekankan pada tujuan individual. Terdapat berbagai pendapat mengenai dua pandangan itu. Gray (1979:12), misalnya, mengemukakan bahwa: ... the management process is concerned with helping the members of an organizational to attain individual as well as organizational objectives within the changing environment of the organization.
Ada kalanya tujuan individual dan tujuan organisasional saling tidak berkesesuaian atau kadang-kadang tujuan organisasi juga dapat memenuhi
2
sebagian, dan bukan seluruhnya, aspirasi individu. Dapat diasumsikan bahwa sebagian besar guru menginginkan sekolah tempat mereka bekerja melaksanakan kebijakan yang selaras denngan minat dan preferensi mereka. Oleh karena itu, adalah benar ketika Coulson (1985) menyatakan bahwa “tujuan dan motivasi semua individu yang terlibat dalam kehidupan sekolah berinterpenetrasi dengan tujuan yang secara resmi ditujukan terhadap organisasi itu.” Kepala
sekolah
khususnya
merupakan
posisi
yanng
tepat
untuk
mempromosikan tujuan pribadinya sebagai tujuan sekolah. Poster (1976) menyebutkan bahwa ‘adalah kepala sekolah pihak yang akan menentukan prioritas manajemen’. Namun demikian, pada kebanyakan sekolah penentuan tujuan biasanya merupakan kegiatan korporasi yang dilakukan oleh lembagalembaga formal (seperti pemerintah) atau kelompok-kelompok informal. Sifat proses penentuan tujuan merupakan elemen pokok dalam berbagai model manajemen pendidikan yang perlu dibahas lebih lanjut.
B. Karakteristik Manajemen Pendidikan Saat ini bidang manajemen pendidikan telah berkembang pesat. Akan tetapi pertumbuhan itu hanya mencerminkan pandangan bahwa bidang itu meningkat oleh karena banyaknya pelatihan-pelatihan yang dilakukan agar pengajaran di sekolah dapat lebih efektif. Isi dan hakekat pelatihan itu umumnya masih diperdebatkan,
terutama
adanya
ketidaksekapakatan
mengenai
apakah
manajemen pendidikan berbeda dengan manajemen organisasi lain. Lebih spesifik lagi, perdebatan itu dapat terjadi terhadap persoalan apakah manajemen pendidikan kejuruan berbeda dengan manajemen pendidikan pada umumnya atau bahkan dengan manajemen pada bidang lain yang lebih luas. Memang, terdapat prinsip-prinsip umum di bidang manajemen yang dapat diterapkan pada semua seting organisasi. Handy (1984) menyatakan bahwa sekolah memiliki hal-hal yang umum yang juga terdapat pada organisasi lainnya, yakni membawa orang bekerja bersama-sama untuk sebuah tujuan—baik itu rumah sakit, dunia usaha atau instansi pemerintah. Haag (1982) mengemukakan gagasan bahwa pendidikan memerlukan perlakukan tersendiri. Dia menyimpulkan bahwa “pendapat yang menyatakan bahwa setiap lembaga merepresentasikan kasus-kasus yang unik yang memerlukan pemecahan tersendiri merupakan hal
3
yang tidak berdasar dan bertentangan dengan kenyataan. Walker (1984) menyarankan pendidikan manajemen umum bagi para administrator pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan. Dia meyakini bahwa “these men and women learn from one another in a process of managerial symbiosis”. Kasus pendekatan umum dalam pendidikan manajer tersebut ditekankan pada fungsi-fungsi umum yang ada pada tipe-tipe organisasi yang berbeda yang meliputi manajemen keuangan, manajemen personalia, dan hubungan dengan klien dan masyarakat. Sampai sekarang
banyak yang berpandangan bahwa
lembaga pendidikan memiliki beberapa ciri khusus yang menguatkan adanya perbedaan pendekatan dalam pelatihan bagi pihak-pihak yang terkait dengan jalannya organisasi pendidikan. Glatter (1972) berpendapat bahwa ‘lembaga pendidikan memiliki perbedaan pada dimensi-dimensi yang krusial dibandingkan dengan jenis organisasi lainnya.’ Barell (1982:6) sependapat dengan pandangan yang dikemukakan oleh berbagai kalangan yang berasal dari lingkungan sekolah. Ia menyatakan: Teachers ... are often impatient when they hear about line management in school. They see it as an inappropriate attempt to introduce industrial techniques into a situation which is based on personal relationships. Education, they say, is not susceptible to the imposition of hard-headed business concepts designed to increase profit margins.
Taylor (1976) merupakan seorang akademisi yang bersikap hati-hati terhadap peningkatan penekanan pada manajemen di dunia pendidikan. Hal yang menonjol mengenai penolakan itu adalah bahwa teori dan praktik manajemen pada pokoknya dikembangkan dalam kaitannya dengan kegiatan industri dan komersial, yang dipandang berbeda secara intrinsik dengan kegiatan pada lembaga
pendidikan.
Greenfield
(1973:561),
khusus
berkenaan
dengan
perubahan dalam organisasi, menyatakan: ... we should be more careful than we usually are about making prescriptions for organisastional change that assume similar dynamic in the operation of most, if not all, organisastions. Prescriptive organisastion theory ... is often based almost exclusively upon study of economic organisastions; one seldom gets the feelling that prescriptions for educational change ara based upon theories and conceptions of schools.
Hanson (1998) secara tegas menyatakan keunikan sekolah dibanding organisasi lainnya. Menurutnya sekolah sebagai sebuah organisasi memiliki
4
karakteristik yang sangat berbeda dengan organisasi lainnya. Sekolah barangkali merupakan hal yang paling rumit diantara produk sosial lainnya. Sebagaimana layaknya organisasi formal lainnya, sekolah harus berkaitan dengan tugas-tugas strukturisasi, pengelolaan, dan pemberian arahan terhadap perpaduan yang rumit antara sumber daya manusia dan materi. Namun demikian, tidak seperti halnya organisasi-organisasi formal lainnya, sekolah harus menghasilkan produk manusia yang menimbulkan berbagai permasalah organisasi dan manajemen yang unik. Oleh karena hampir setiap orang—orang tua, masyarakat pembayar pajak, legislatif, guru, dunia usaha, pemerintah—dipandang sebagai stakeholder maka proses tata pamong (governance) sekolah menjadi sangat kompleks. Beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa pendidikan memerlukan perlakuan khusus karena sekolah memiliki berbagai karakteristik yang berbeda dengan organisasi lainnya. Bush (1986) mengidentifikasi enam bidang utama yang membedakan manajemen lembaga pendidikan dengan manajemen pada organisasi lainnya, yaitu tujuan, tolok ukur, peserta didik, karakteristik personalia, keterkaitan dengan pihak lain, dan waktu berkomunikasi antar unsur organisasi. Berikut diuraikan lebih rinci perbedaan-perbedaan itu. a. Tujuan lembaga pendidikan jauh lebih sulit untuk didefinisikan dibandingkan organisasi komersial. Tujuan pendidikan tidak mudah dirumuskan dalam ungkapan yang jelas seperti halnya kebanyakan tujuan pada dunia usaha seperti maksimalisasi keuntungan, maksimalisasi keluaran atau diversifikasi produk.
Sekolah
dan
universitas
diharapkan
untuk
mengembangkan
kemampuan personal setiap individu, untuk mengembangkan kemampuan yang berkaitan dengan etika, logika, estetika, dan kinestetika, untuk memelihara anak dan generasi muda pada kurun waktu tertentu setiap hari da untuk meyiapkan anak dan peserta didik memasuki pendidikan lebih lanjut dan, pendidikan kejuruan, untuk memasuki dunia kerja. Tujuan yang sangat ambisius ini terkadang menimbulkan berbagai konflik. Guru-guru diharapkan menjadi pekerja sosial, pelindung, atau orangtua yang juga mengembangkan kemampuan siswa dalam belajar. Mengurutkan prioritas dalam rumusan tujuan yang kompleks itu juga akan mengalami berbagai kesulitan.
5
b. Kompleksitas tujuan pendidikan tersebut menyebabkan pencapaian tujuan pendidikan lebih sulit diukur. Dalam organisasi komersial sangat dimungkinkan untuk mengukur keberhasilan dalam istilah-istilah finansial—penjualan telah meningkat, keuntungan naik, deviden lebih tinggi, dan sebagainya. Sejumlah faktor menghalangi evaluasi langsung itu dilakukan di dunia pendidikan. Berbagai
penilaian
harus
berjangka
panjang
untuk
memungkinkan
terpenuhinya jangka waktu proses pendidikan-tiga tahun, empat tahun, atau enam tahun. Bahkan aspek-aspek tertntu tidak dapat diukur secara memadai. Bagaimana kita mendapatkan ukuran yang tepat mengenai sikap demokratis, sikap profesional, atau kemampuan mengembangkan diri? Memang beberapa aspek dapat diukur melalui EBTANAS atau Ujian Nasional. Akan tetapi sejumlah ahli mengakui bahwa mengukur hasil pendidikan hanya dengan kriteria semacam itu mengandung bahaya karena aspek-aspek lain akan terabaikan. c. Keberadaan anak-anak atau generasi muda sebagai titik pusat lembaga pendidikan juga merupakan sumber kerumitan.
Anak-anak tersebut dapat
dipandang sebagai klien sekaligus keluaran sekolah. Sebagai klien mereka memiliki karakteristik yang unik. Sebagai partisipan dalam proses produksi anak-anak tersebut sangat berbeda dengan bahan baku industri atau dunia usaha. Anak tidak dapat diproses, diprogram, atau dimanipulasi. Proses belajar terbangun pada hubungan personal dengan segala keunikan dan tidak dapat diramalkan. Keberagaman manusia semacam ini menguatkan masalah pengukuran sebagaimana telah dikemukakan di atas. d. Para pemimpin dan guru yang bekerja di sekolah merupakan orang-orang yang berlatarbelakang profesional dengan segala tata nilai, pendidikan dan pengalaman masing-masing. Sebagai tenaga profesional, guru menuntut otonomi yang besar dalam proses belajar mengajar.
Sifat hubungan itu
dengan kegiatan dalam kelas atau siswa juga belum dapat disepakati untuk mengatasi definisi atau supervisi. Sifat itu juga menyarankan bahwa guru hendaknya dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di sekolah karena komitmen mereka terhadap implementasi keputusa itu merupakan hal yang mendasar jika keputusan itu dikehendaki tidak hanya sekedar ritual
6
kosong. Pada beberapa aspek, hubungan klien antara siswa dengan guru juga berbeda dengan hubungan antara kelompok profesional dengan kliennya. Guru memiliki hubungan langsung yang bersifat reguler dan lebih luas dengan siswa; sering mereka bertemu selama seminggu penuh dalam kurun waktu bertahun-tahun. Lebih dari itu, siswa memiliki peluang yang lebih kecil untuk memilih guru. Anak-anak diharuskan menghabiskan waktu sedikitnya selama dua belas tahun untuk menjadi anggota dari lembaga pendidikan dan harus menerima bahwa guru mereka akan dipilihkan oleh orang lain. Glatter (1972:8) menekankan bahwa hal itu merupakan keunikan lain dari lembaga pendidikan yang
pengaruhnya
terhadap
manajemen
tidak
dapat
dihindarkan,
sebagaimana pernyataannya: This gives organisational problems in school, and to only a slightly lesser degree in most other types of educational insitution...a fundamentally different character from those of nearly every other form of institution, evn those which employ a high portion of professional workers.
e. Terdapat struktur manajemen dan organisasi yang terpecah-pecah baik di dalam lingkungan lembaga pendidikan maupun pada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan lembaga pendidikan. Iklim pengambilan keputusan di sekolah sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pihak maupun kelompok dari luar. Pihak-pihak itu meliputi politisi, pengawas baik pada tingkat nasional maupun lokal, orang tua, dan berbagai kelompok masyarakat baik yang formal atau informal. Di lingkungan internal lembaga pendidikan itu sendiri juga terdapat berbagai titik keputusan mengenai manajemen sekolah maupun unitunit yanng ada di dalamnya—seperti jurusan, program studi, rumpun, dan sebagainya. Pecahan-pecahan ini menimbulkan kesulitan untuk melokalisir pengambilan keputusan di sekolah atau perguruan tinggi. f. Banyak manajer senior maupun menengah di sekolah tidak memiliki waktu yang banyak bagi aspek manajerial dalam pekerjaannya. Di sekolah dasar sebagian besar, semua guru merupakan guru kelas penuh-waktu. Hanya kepala sekolah yang memiliki kesempatan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan manajerial. Pada sekolah menengah kepala sekolah ada kalanya bebas dari tugas mengajar, sedangkan para wakil kepala sekolah hanya memiliki separuh dari waktu yang dijadwallkan. Guru-guru lain, apa lagi guru
7
sekolah swasta, umumnya harus menanggung beban tugas mengajar yang tinggi sehingga kegiatan manajerial hanya disisipkan di sela-sela waktu yang sangat terbatas. Keterbatasan waktu ini memiliki implikasi yang serius bagi manajemen di lembaga-lembaga pendidikan karena keputusan biasanya sering diserahkan kepada pihak-pihak yang senggang. Karakteristik khusus yang dimiliki lembaga-lembaga pendidikan tersebut berimplikasi terhadap penerapan model-model dan praktik manajemen yang diambil dari latar nonpendidikan. Tentu saja semua organisasi memiliki ciri-ciri yang bersifat umum akan tetapi kualitas sekolah yang berbeda membatasi validitas pendekatan yang dipinjam dari sektor industri atau lembaga-lembada komersial. Sebagaimana disarankan oleh Baldridge (1978:9), diperlukan adanya evaluasi dan adaptasi yang cermat terhadap model-model tersebut sebelum diterapkan secara meyakinkan terhadap organisasi pendidikan. ... traditional management theories cannot be applied to educational institutions without carefully considering whether they will well in that unique academic setting ... We therefore must be extremely careful about attempts to manage or improve ... education with ‘modern managing’ techniques borrowed from business, for example. Such borrowing may make sense, but it must be approached very carefully.
Lebih lanjut uraian pada bahan kuliah ini akan ditekankan pada pendekatan dan praktik manajemen yang dikembangkan berdasarkan pandangan sistem terbuka. Untuk kepentingan praktis, pembahasan hanya dititikberatkan pada (1) organisasi lembaga pendidikan kejuruan sebagai sebuah sistem terbuka, (2) manajemen berbasis sekolah sebagai pendekatan manajemen pengambilan keputusan yang berpijak pada pendekatan sistem terbuka, (3) kepemimpinan dalam organisasi pendidikan kejuruan, (4) supervisi pengajaran di sekolah kejuruan, dan (5) akreditasi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Untuk memperdalam pemahaman dan meningkatkan pengalaman praktis, mahasiswa diharapkan secara aktif terlibat dalam analisis dan pemecahan berbagai masalah yang akan dilakukan melalui pembahasan sejumlah contoh kasus.
8
BAB II: SEKOLAH KEJURUAN SEBAGAI SISTEM TERBUKA A. Karakteristik Pendidikan Kejuruan Pendidikan kejuruan sebagai pendidikan khusus juga memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Wenrich dan Wenrich (1974) mencatat empat karakteristik khusus dari pendidikan kejuruan yang membedakannya dengan pendidikan umum. a. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan khusus yang dirancang untuk menyiapkan peserta didik untuk memiliki kompetensi pada vokasi tertentu, atau untuk memperbaiki kompetensi bagi mereka yang telah bekerja. b. Isi pendidikan kejuruan diambil dari dunia kerja melalui analisis kompetensi, keterampilan, pemahaman, nilai dan sikap yang diperlukan bagi keberhasilan seseorang di bidang pekerjaan tertentu. c. Pembelajaran pada pendidikan kejuruan diorganisasikan kedalam urutan matapelajaran atau mata diklat yang ditujukan untuk penyiapan bidang pekerjaan tertentu atau sekelompok bidang pekerjaan yang sejenis. d. Pendidikan
kejuruan
menekankan
pada
penyiapan
pekerjaan
atau
meningkatkan emploibilitas. Di Indonesia pendidikan penyiapan tenaga kerja dikenal dengan tiga sebutan—pendidikan kejuruan, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. Secara umum ketiganya dibedakan menurut ruang lingkup dan jenjang pendidikan yang harus ditempuh oleh peserta didik. Pendidikan kejuruan dilaksanakan pada jenjang pendidikan menengah untuk mempersiakan peserta didik memasuki dunia kerja pada bidang tertentu. Pendidikan vokasi dilaksanakan pada tingkat setinggitingginya setara dengan program sarjana untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu. Sedangkan pendidikan profesi dilaksanakan pada jenjang pendidikan tinggi setelah program sarjana dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk pendidikan kejuruan dibedakan menjadi Sekolah Menengah
9
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliah Kejuruan (MAK). Secara rinci tujuan pendidikan kejuruan sebagai berikut: Tujuan Umum: a. meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga negara yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab; c. mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan, memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia; d. mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup, dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan efisien. Tujuan Khusus: a. menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya; b. menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karier, ulet dan gigih dalam berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya; c. membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi; d. membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan program keahlian yang dipilih. Sesuai dengan ciri dan tujuan pendidikan kejuruan sebagaimana dikemukakan di atas maka pendidikan kejuruan di Indonesia harus memiliki
10
karakteristik khusus yang juga berbeda dengan pendidikan umum. Karakteristik yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan itu meliputi: a. dikembangkan berdasarkan tuntutan kebutuhan dunia kerja (demand driven) dan menciptakan lapangan kerja baru (market driven). b. menganut sistem terbuka (multi entry-multi exit dan permeable). c. dikembangkan berbasis kompetensi yang dalam pelaksanaannya terutama menggunakan pendekatan pemelajaran berbasis produksi. d. proses pemelajaran berbasis kompetensi dan produksi pada tersebut harus disesuaikan dengan proses produksi di dunia industri/dunia kerja dan dalam kehidupan nyata sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan kompetensi. e. menggunakan pendekatan pendidikan sistem ganda. f. dirancang secara berkesinambungan dengan jenjang pendidikan vokasi (seamless education). g. memungkinkan perpindahan jalur antar jenis dan bidang pendidikan yang setara. h. memperhatikan keunggulan lokal dan perkembangan global. Sebagai sebuah organisasi, manajemen yang diterapkan pada lembaga pendidikan kejuruan memang tidak seluruhnya berbeda dengan organisasi atau lembaga pendidikan lain pada umumnya, namun pada aspek-aspek tertentu berbagai karakteristik khusus tersebut menuntut adanya pendekatan dan praktik manajemen yang khusus pula. Jika dicermati karakteristik yang diuraikan terakhir menunjukkan bahwa lembaga pendidikan kejuruan harus merupakan organisasi yang bersifat terbuka. Jika lembaga pendidikan ini dipandang sebagai sebuah sistem, maka organisasi pendidikan kejuruan juga merupakan sebuah sistem yang bersifat terbuka. Sebuah organisasi yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan dan selalu berinteraksi dengan lingkungan sebagaimana dialami oleh organisme hidup. Organisasi semacam ini menerima masukan (input) berupa sumber daya manusia dan materi, nilai-nilai, harapan masyarakat, dan tuntutan sosial; kemudian mentransformasikannya melalui proses produksi (misalnya kegiatan pemelajaran); dan mengeluarkan produk (misal lulusan) dengan nilai tambah. Organisasi ini menerima imbalan (misal dukungan pendanaan dari masyarakat) atas usaha yang dilakukan sehingga dapat terus bertahan hidup.
11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep manajemen yang tepat bagi lembaga pendidikan kejutuan adalah konsep yang didasarkan pada sebuah pandangan bahwa sekolah (kejuruan) sebuah sistem yang terbuka.
B. Sistem Terbuka Pada Manajemen Pendidikan Kejuruan Sebelum pembahasan lebih mendalam terhadap konsep sistem terbuka, perlu terlebih dahulu dibahas pengertian dari istilah sistem (system). Menurut Parson dan Shils sebagaimana dikutip oleh Hanson (1991:127) karakteristik sebuah sistem adalah sebagai berikut: The most general and fundamental property of a system is the interdependence of parts or variables. Interdependence consists of the existence of determinate relationships among the parts or variables as contrasted with randomness of variability. In other words, interdependence is order in the relationship among the components which enter into a system.
Unsur-unsur sebuah sistem dapat berupa simbol, seperti halnya bahasa; dapat berupa obyek, seperti bangku, buku, alat-alat, mesin yang disediakan untuk kegiatan pembelajaran; dan juga dapat berupa subyek seperti halnya peserta didik, guru, atau tenaga kependidikan di SMK. Oleh karena itu, sistem selalu terbentuk dari sekumpulan entitas hidup atau mati yang terdiri dari simbol, obyek, dan subyek yang saling memberi kontribusi terhadap ciri khas dari pola tingkah laku yang ada dalam sistem itu. Sistem dapat dikatakan sebagai wholes whithin wholes sebagaimana organ tubuh manusia yang terdiri dari sel-sel yang terbentuk dari molekul-molekul. Organisasi sebagai sebuah sistem juga terdiri dari berbagai kelompok yang tersusun dari sejumlah individu. Terdapat berbagai macam sistem yang dapat dibedakan atas dasar kompleksitasnya masing-masing. Hanson (1991) mengidentifikasi empat macam sistem yang ia sebut dengan framework, clockworks, cybernetic system, dan open system. Pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut. •
Frameworks merupakan sistem yang paling sederhana. Dalam sistem ini terdapat hubungan antar bagian bersifat statis atau pasti (fixed). Kursi atau anatomi binatang merupakan contoh dari sistem ini.
12
•
Clockworks merupakan sistem yang sederhana namun bersifat dinamis yang memungkinkan adanya gerakan yang memiliki parameter yang sangat pasti. Jam merupakan contoh dari sistem ini.
•
Cybernetic system merupakan sistem yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri secara terbatas sebagaimana terjadi pada termostat sebuah mesin.
•
Open system atau sistem terbuka merupakan sistem yang mampu mengatur keberadaannya dengan cara menerima dari dan memberi kepada lingkungannya. Di dalam sistem, terutama sistem terbuka, selalu terjadi siklus yang terdiri
dari serangkaian peristiwa. Siklus ini terjadi secara terus-menerus selama masingmasing unsur dan peristiwa yang menjadi komponen siklus itu berfungsi dengan baik. Contoh siklus dari serangkaian peristiwa yang merupakan sistem ini antara lain apa yang kita lihat pada siklus terjadinya hujan. Siklus hujan ini akan terus berlangsung selama bagian-bagian peristiwa seperti ketersediaan cahaya matahari, penguapan air laut dan air tanah, terjadinya awan, sampai timbulnya hujan berjalan dengan baik. Dengan kata lain, terdapat dua hal penting yang seharusnya menjadi perhatian dalam siklus berkelanjutan semacam itu agar sistem itu tetap tetap bertahan. Pertama siklus itu harus dapat mampu melakukan penguatan diri (self reinforceing) secara terus-menerus agar terjadi apa yang disebut proses entropi negatuf dimana sistem menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak dari yang dibutuhkan sehingga dapat terus bertahan bahkan dapat berkembang. Kedua, siklus tersebut harus berlangsung terus-menerus sehingga benar-benar terbentuk apa yang disebut sistem. Jika konsep siklus peristiwa tersebut dikaitkan dengan apa yang terjadi di sekolah, kita dapat mengidentifikasi serangkaian peristiwa yang membentuk sebuah sistem. Dalam rangkaian kegiatan tahunan, misalnya siklus diawali dengan pendaftaran murid baru, dilanjutkan dengan proses belajar mengajar, ujian, pemberian nilai, dan akhirnya siswa naik kelas atau lulus. Dalam sistem pendidikan di SMK, rangkaian ini berlangsung berulang-ulang dalam periode tahunan, tiga atau empat tahunan. Masing-masing siklus itu dapat dijabarkan
13
menjadi sub-sub-siklus yang lebih kecil yang dpat dibedakan menurut unit-unit organisasi sekolah, kurun waktu terjadinya siklus, macam-macam orang yang terlibat dalam siklus, dan sebagainya. Rangkaian peristiwa yang ada di sekolah sebagai sebuah sistem dapat dibedakan menjadi masukan (input), proses (throughput), dan luaran (output). Sebagai sistem terbuka, semua peristiwa itu berada menerima dan memberi energi dari lingkungan. Siklus hubungan antara ketiga peristiwa itu dapat disajikan sebagaimana Gambar 2.1. Input dalam sistem tersebut dapat dikelompokkan menjadi (1) manusia, yang meliputi guru, siswa, pimpinan sekolah, tenaga kependidikan di sekolah, laboran, teknisi, staf administrasi, penjaga sekolah, dan sebagainya; (2) material antara lain lahan, gedung, sarana dan prasarana kelas dan laboratorium, media pembelajaran; (3) teknologi; (4) informasi; dan (5) hambatan atau constrain yang dapat berupa harapan orang tua, ketentuan pemerintah, tatanilai dan norma yang
Lingkungan
Thruput
Input
Output
Feedback Gambar 2.1 Model Sistem Terbuka
berlaku di masyarakat. Proses throughput terdiri dari sejumlah subsistem yang saling berinteraksi untuk mengubah input menjadi output. Di sekolah, inti dari komponen ini terletak
14
pada proses belajar-mengajar. Sedangkan proses-proses lain seperti rapat guru, penegakan disiplin sekolah, dan lain-lain dipandang sebagai pendukung kegiatan belajar mengajar. Hal-hal yang termasuk dalam proses thoughputs dapat dikelompokkan menjadi (1) teknologi pembelajaran (database, teori belajar, teknik pemelajaran), (2) peran-peran formal dan informal (guru, siswa, pimpinan sekolah), (3) strategi pengambilan keputusan (sentralisasi atau desentralisasi), (4) sistem insentif (intrinsik atau ekstrinsik), (5) strategi evaluasi (kesejawatan, atau supervisif), dan sejumlah kategori lainnya. Proses keluaran meliputi unsur-unsur seperti perolehan belajar, perubahan sikap, tingkat kesiap-pakaian keterampilan, kemampuan pengendalian diri, berfikir kritis, perubahan tingkah laku, dan lain-lain sebagaimana diharapkan dalam tujuan pendidikan kejuruan yang telah ditetapkan. Jika serangkaian peristiwa tersebut berlangsung terus-menerus, sekolah akan menerima imbalan informasi dan ekonomi yang memungkinkan terjadinya peremajaan kembali siklus. Imbalan ini merupakan kontribusi masyarakat yang terus-menerus diberikan atas jasa-jasa yang telah diberikan oleh sekolah. Lingkungan merupakandalam sistem tersebut dapat terdiri dari individu, kelompok, lembaga, atau lingkungan alam yang ada di luar lingkungan sekolah. Lingkungan ini juga dapat berupa institusi sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam kaitannya dengan sekolah kejuruan, lingkungan itu dapat berupa masyarakat sekitar sekolah, asosiasi profesi, organisasi dunia usaha, berbagai peraturan pemerintah dan kondisi sosial politik (Kabupaten/Kota, Propinsi, atau Pusat), dan lain sebagainya. Sistem sekolah terikat dengan jaringan yang terdiri dari berbagai macam tipe organisasi seperti lembaga pendidikan guru, badan akreditasi, dewan pendidikan, kontraktor bangunan, lembaga keuangan pemerintah, penerbit buku, industri pembuat peralatan pembelajaran, pemerintah daerah, dan badan legislatif. Semua organisasi ini berada di luar kontrol sekolah. Pada umumnya organisasiorganisasi itu berjalan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Akan tetapi siklus input-output di lingkungan sekolah tidak dapat menghindar dari keterikatan dengan organisasi-organisasi itu. Pada saat tertentu keterikatan ini memang tidak
15
membelenggu namun justru mendukung sekolah, akan tetapi ada kalanya keterikatan itu justru membatasi dan tidak mendukung sekolah. Sebagai sebuah sistem terbuka, pengelolaan lembaga pendidikan kejuruan juga harus menerapkan proses dan fungsi-fungsi manajemen yang relevan dengan sistem itu. Perkembangan terakhir dalam bidang pendidikan kejuruan di Indonesia menunjukkan adanya perubahan mendasar terhadap kewenangan sekolah dalam pengambilan keputusan, peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu pembahan pada bab-bab berikut akan ditekankan kepada tiga fungsi manajemen itu. Di samping tiga fungsi itu, fungsi kepemimpinan pada lembaga pendidikan kejuruan juga akan dikaji lebih mendalam karena unsur manajemen ini diketahui sebagai kunci bagi keefektifan semua jenis organisasi kependidikan termasuk sekolah kejuruan.
16
BAB III: PENGERTIAN DAN MODEL-MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH
A. Pengertian Perencanaan Pengembangan Sekolah Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau memimpin (actuating atau leading), dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: “When planning is done well, the other management functions can be done well.” Perencanaan pada intinya merupakan upaya pendefinisian kemana sebuah organisasi akan menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan mengenai tugas-tugas dan penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Sedangkan rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakantindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua kata kunci dalam sebuah rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai kondisi masa depan yang ingin diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan strategis (strategic goal), kemudian berturut-turut di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis (tactical objective) kemudian tujuan operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang akan dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur. Dalam organisasi sekolah, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai pada tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak
26
dapat diukur secara langsung. Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh-oleh bagian-bagian utama organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Untuk SMK tujuantujuan taktis ini dapat berupa tujuan-tujuan yang harus dicapai pada tingkat jurusan atau program keahlian. Sedangkan tujuan operasional merupakan tujuan yang harus dicapai pada bagian-bagian yang secara struktur yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah tersebut. Tujuan mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan sebagai tujuan operasional. Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan proses perencanaan. Tujuan strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis (tactical plan) dan rencana operasional (operational plan). Perlu dicatat bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, ada atau diadakan atas dasar asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan, dasar-dasar keberadaan ini disebut dengan premis organisasi. Secara formal permis-premis perencanaan itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan lembaga dan merupakan keadaan “ideal” yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang diinginkan. Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premis-premis itu. Untuk memudahkan pemahaman, Gambar 3.1 mengilustrasikan hubungan antara premis organisasi, herarkhi tujuan, dan bentuk rencana sebagaimana diuraikan di atas.
27
28
Visi, Misi, dan NilaiNilai Dasar (Premis Organisasi)
Manajemen Puncak (Tingkat Sekolah)
Manajemen Menengah
Tujuan
Rencana
(hasil)
(alat)
Tujuan Strategis
Rencana Strategis
Tujuan Taktis
Rencana Taktis
Tujuan Operasional
Rencana Operasional
(Jurusan, Prog. Keahlian)
Manajemen Bawah (Mapel, Individu Guru)
Gambar 3.1 Hubungan antara Premis, Tujuan, dan Rencana
Perencanaan
pengembangan
sekolah
(school
development
planning)
merupakan proses pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja sebuah
sekolah
secara
berkesinambungan.
Perbedaan
pokok
rencana
pengembangan dengan rencana lainnya terletak pada tujuan. Sedangkan herarkhi tujuan dan rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga berlaku dalam rencana
pengembangan.
Tujuan
yang
akan
dicapai
dalam
rencana
pengembangan merupakan hasil-hasil yang lebih baik dari apa yang selama ini telah dicapai oleh sekolah. Rencana pengembangan sekolah disusun agar sekolah terus-menerus meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, selain
29
didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan eksternal dimana sekolah itu berada.
B. Kerangka Umum Perencanaan Pengembangan Sekolah Kerangka umum proses perencanaan pengembangan sekolah sebenarnya dapat digambarkan sebagai sebuah siklus yang bergerak mengelilingi sebuah titik pusat. Siklus itu terdiri dari empat langkah kunci: Telaah (Review) atau evaluasi diri (self evaluation), Rancangan Strategi (Strategy Design), Implementasi (Implementation), dan evaluasi. Sedangkan titik pusatnya terdiri dari: Visi, Misi, dan Tujuan. Kerangka tersebut dapat diilustrasikan dalam diagram sebagai Gambar 3.2. Untuk mengoperasionalkan siklus tersebut, langkah-langkah dalam proses perencanaan dapat diubah menjadi sejumlah pertanyaan pokok. Masing-masing langkah dapat direpresentasikan dengan sebuah pertanyaan pokok yang dijabarkan
menjadi
pertanyaan-pertanyaan
khusus.
Pertanyaan-pertanyaan
khusus ini kemudian digunakan untuk menentukan tugas-tugas utama yang harus dilaksanakan dalam proses perencanaan pengembangan. Tabel 3.1 merangkum operasionalisasi siklus tersebut. Uraian lebih rinci mengenai langkah-langkah pelaksanaan dari masing-masing operasi tersebut disajikan pada bab-bab selajutnya dalam bahan pelatihan ini.
30
Gambar 3.2. Kerangka Umum Proses Perencanaan
Tabel 3.1 Langkah-langkah, Pertanyaan Pokok, Pertanyaan Khusus, dan Tugas dalam Proses Perencanaan Pengembangan LANGKAH PERENCANAAN
PERTANYAAN POKOK
PERTANYAAN KHUSUS
TELAAH (REVIEW) Dimanakah posisi Sejauh mana kita melakukan hal-hal yang berkaitan sekolah kita sekarang? dengan: • pencapaian visi, misi, dan tujuan kita? • kinerja kita sebelumnya? • praktik-praktik terbaik (best practices)? • pemenuhan kebutuhan siswa? • pemenuhan kebutuhan orang tua dan masyarakat? • tindak lanjut terhadap tujuan pendidikan nasional? • pengelolaan perubahan (baik internal maupun eksternal)?
RANCANGAN (DESIGN)
Kemana kita akan membawa sekolah ini pada akhir siklus perencanaan?
•
Bagaimana kita akan membawa sekolah agar mencapai apa yang kita inginkan?
Bagaimana kita akan melakukan perubahan?
• •
Apa yang dapat kita raih lebih dari apa yang kita capai sekarang? Perubahan apa yang harus kita lakukan? Apakah prioritas pengembangan kita? Apa persisnya yang ingin kita capai? Tindakan-tindakan apa yang tersedia dan dapat kita pilih untuk memampukan kita mencapai tujuan kita? Tindakan terbaik mana yang sesuai untuk mencapai tujuan? Sumber daya apa yang kita butuhkan? Siapa yanng akan melaksanakan tindakantindakan itu? Bagaimana kemajuan tindakan akan diukur?
Bagaimana kita memastikan bahwa tujuan,
31
LANGKAH PERENCANAAN
PERTANYAAN POKOK
PERTANYAAN KHUSUS kebijakan, prioritas, dan rencana sekolah diketahui dan didukung oleh semua warga sekolah?
IMPLEMENTASI Apa yang seharusnya (IMPLEMENTAION) kita kerjakan untuk menghantarkan sekolah sampai pada apa yang kita inginkan?
Bagaimana seharusnya usaha kita sehari-hari mencerminkan visi, misi, dan tujuan sekolah?
Monitoring dan Telaah Formatif
Kemajuan apa yang kita capai untuk mencapai tujuan kita?
Selama implementasi, bagaimana kita akan mengecek apakah kita telah membawa sekolah ke arah yang kita inginkan?
Bagaimana kita dapat mendorong kemajuan yang terkait dengan prioritas sekolah? Apa yang harus kita lakukan untuk menjamin keberhasilan implementasi Rencana implementasi program pengembanganan?
Apakah tujuan khusus masih tepat dalam kaitannya dengan tujuan umum dan prioritas kita? Apakah tugas-tugas kita: Fisibel Tepat Tersedia sumber daya yang memadai? Apakah biaya yang dianggarkan: termanfaatkan? mampu memanfaatkan? Berdasarkan pengalaman, apakah rentang waktu yang ditetapkan dapat diterima/cukup beralasan? Penyesuaian-penyesuaian apa yang dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan Rencana Sekolah Kita?
Telaah dampak (outcomes)
Pada akhir siklus perencanaan, bagaimana kita akan mengetahui apakah kita telah membawa sekolah ke tempat yang kita inginkan?
Sampai dimana yang telah kita capai? Sejauh mana kita telah: Mencapai tujuan (objectives) dari rencana implementasi program pengembanganan yang kita buat? Mengembangkan prioritas yang kita tetapkan? Mengimplementasikan kebijakan yang kita tetapkan? Memperluas misi, visi, dan tujuan sekolah kita?
Tujuan Umum (Purpose)
Dengan cara apa kita kelak mengetahui bahwa kita telah memilih arah yang benar?
Apakah kita telah berjalan pada jalur yang benar? Dalam kaitannya dengan perubahan social budaya, sejauh mana ketepatan: Misi, visi, dan tujuan kita? Kebijakan kita? Prioritas pengembangan kita? Sasaran-sasaran (objectives) kita?
Proses
Bagaimana kelak kita akan mengetahui bahwa kita telah memilih kendaraan yang paling sesuai?
Apakah kita telah menggunakan metode terbaik untuk sampai ditujuan? Seberapa sesuaikah model proses perencanaan yang kita pilih? Seberapa efektifkah kita mengimplementaiskan model itu? Apa sajakah yang membantu dan mengemhambat kemajuan?
32
LANGKAH PERENCANAAN Rekomendasi
PERTANYAAN POKOK Kemana hendaknya kita menuju dari kondisi sekarang ini?
PERTANYAAN KHUSUS Berdasarkan pengalaman kita: Perubahan apa yang seharusnya kita lakukan terkait dengan model proses perencanaan kita? Aspek kehidupan sekolah yang mana yang harus menjadi focus pada siklus perencanaan kita berikutnya?
33
C. Model-Model Alternatif Perencanaan Pengembangan Sekolah Standar nasional pendidikan
sebagaimana telah diuraikan pada bab
sebelumnya menunjukkan bahwa proses perencanaan menjadi perangkat yang esensial
dalam
pengelolaan
sekolah.
Dalam
kaitannya
dengan
standar
pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan pengembangan lembaga yang
diterapkan
pada
setiap
sekolah
harus
mampu
memfasilitasi
dan
mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan itu—kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Model perencanaan strategis (strategic planning) hingga saat ini dipandang sebagai proses perencanaan yang demikian itu. Dengan menerapkan pendekatan perencanaan strategis, diharapkan sekolah akan terdorong untuk melakukan perencanaan secara sistematis. Sekolah diharapkan akan menyediakan waktu untuk
mentelaah
dan
menganalisis
dirinya
sendiri
dan
lingkungannya,
mengidentifikasi kebutuhannya untuk mendapatkan keunggulan terhadap yang lain, dan melakukan komunikasi dan konsultasi secara terus-menerus dengan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar lingkungan lembaga selama berlangsungnya proses perencanaan. Di samping itu perencanaan strategis juga diharapkan akan mendorong sekolah untuk menyusun langkah-langkah dalam rangka mencapai tujuan strategis, secara terus-menerus memantau pelaksanaan rencana itu, dan secara teratur melakukan pengkajian dan perbaikan untuk menjaga agar perencanaan yang dibuat tetap relevan terhadap berbagai kondisi yang terus berkembang (Nickols dan Thirunamachandran, 2000). Perencanaan strategis merupakan bagian dari proses managemen strategis yang terkait dengan proses identifikasi tujuan jangka panjang dari sebuah lembaga atau organisasi, penggalian gagasan dan pilihan-pilihan, pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan
pemantauan
(monitoring)
kemajuan
atau
kegagalan
dalam
rangka
menentukan strategi di masa depan (Nickols dan Thirunamachandran, 2000). Secara historis, perencanaan strategis bermula dari dunia militer. Perkembangan selanjutnya, perencanaan strategis diadopsi oleh dunia usaha pada tahun 1950an dan berkembang pesat dan sangat populer pada tahun 1960 hingga 1970-an,
34
dan berkembang kembali tahun 1990-an Mintzberg (1994) sebagai "process with particular benefits in particular contexts." Penerapan perencanaan strategis di dunia pendidikan baru berkembang sekitar satu dekade yang lalu. Saat mana lembaga-lembaga pendidikan dipaksa harus berhadapan dengan berbagai perubahan baik di dalam maupun di luar lingkungan lembaga, dan dipaksa harus tanggap terhadap berbagai tantangan yang
timbul
seperti
perkembangan
halnya
teknologi,
menurunnya
dukungan
dan berubahnya
struktur
keuangan,
pesatnya
kependudukan,
dan
tertinggalnya program-program akademik. Sebagai dampak dari kondisi ini, sejumlah lembaga pendidikan kemudian menggunakan perencanaan strategis sebagai alat untuk “meraih manfaat dan perubahan strategis untuk menyesuaikan diri dengan pesatnya perubahan liungkungan (Rowley, Lujan, & Dolence, 1997). Diantara model-model perencanaan strategis yang berkembang, yang hingga saat ini masih banyak diterapkan pada lembaga pendidikan antara lain: Model Dasar (Foundational Model), Perencanaan Tindakan Tahap Permulaan (Early Action Planning Model), dan Model Tiga-Unsur Sejajar (The Three-Strand Concurrent Model). Berikut diuraikan secara singkat masing-masing model yang tersebut. Pada bagian akhir bab ini diurai sebuah model perencanaan pengembangan sekolah yang pernah diterapkan di Indonesia dalam kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
1. Model Dasar (Foundational Model) Sesuai dengan namanya, model dasar ini pertama-tama difokuskan pada peletakan
landasan-landasan
yang
diperlukan
dalam
perencanaan
pengembangan dan pengembangan prasarana yang tepat, sebelum melangkah pada perencanaan pengembangan pada skala yang menyeluruh. Model ini didasarkan pada premis bahwa perencanaan pengembangan akan terlaksana lebih efektif apabila tujuan dan nilai-nilai fundamental sekolah telah diklarifikasi sehinga dapat menjadi kerangka acuan, dan bila perlu memampukan tersusunnya struktur rencana pengembangan. Model tersebut terdiri dari urutan kegiatan sebagai berikut:
35
a. Pembentukan/pengkajian struktur kolaborasi dan konsultasi dalam tahap persiapan. b. Perumuskan/pembaharuan rumusan visi, misi, dan tujuan. c. Perumuskan/pembaharuan Kebijakan Umum Sekolah yang terkait dengan bidang-bidang kunci kehidupan sekolah, seperti kedisiplinan, kesehatan dan keselatan, dan pemeliharaan kehidupan beragama. d. Perumuskan/pembaharuan kebijakan dan prosedur yang terkait dengan perencanaan terkoordinasi dalam bidang belajar mengajar yang dilakukan oleh guru, jurusan, kelompok-kelompok lintas kurikulum. e. Evaluasi/revisi kebijakan dan prosedur yang terkait dengan anggaran serta spesifikasi dan pengalokasian sumber daya. f. Merancang dan adaptasi model perencanaan pengembangan sekolah. g. Penerapan struktur umum dan prosedur yang sistematis dari operasi dasar perencanaan pengembangan: kaji, rancang, implementasi termonitor, dan evaluasi. h. Penerapan model perencanaan pengembangan.Setelah evaluasi, kembali ke langkah pertama dan ulangi proses
36
Gambar 3.3. Model Dasar Perencanaan Pengembangan Sekolah
Bagi sekolah yang baru pertama kali melaksanakan perencanaan strategis, untuk menyelesaikan langkah a sampai dengan e di atas kemungkinan diperlukan waktu selama 18 bulan. Akan tetapi apabila sekolah telah memiliki rencana strategis dan hanya perlu melakukan penyesuaian atau perubahan-perubahan, langkah a sampai dengan e dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang sangat singkat, karena kemungkinan hanya memerlukan sekedar perubahan-perubahan minor terhadap apa-apa yang sudah ada. Namun demikian, langkah-langkah itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Model dasar itu dapat diilustrasikan dalam bentuk diagram sebagaimana Gambar 3.3. 2.
Model Perencanaan Tindakan Tahap Permulaan (Early Action Planning Model)
Model Perencanaan Tindakan Tahap Awal (Early Action Planning Model) pertama-tama menitik beratkan pada identifikasi cepat sejumlah kecil prioritas jangka pendek dan inisiatif rencana implementasi program pengembanganan untuk mencapai prioritas itu. Model ini didasarkan pada premis bahwa cara terbaik untuk mendorong keberterimaan (acceptance) dan penyatuan Perencanaan Pengembangan Sekolah adalah memastikan kelancaran tindakan dan capaian pada tahap permulaan sebagai penguatan yang positif bagi partisipan dalam proses perencanaan. Pengalaman berhasil pada tahap permulaan ini akan menjadi bukti kemanfaatan perencanaan pengembangan sekolah. Dengan demikian, akan terjadi penguatan yang dapat mengurangi kecenderungan munculnya berbagai keluhan seperti: “kita hanya bicara dan bicara, akan tetapi tidak ada yang menjadi kenyataan dan tidak pernah terjadi perubahan”.
37
Gambar 3.4. Model Perencanaan-Tindakan Tahap Permulaan bagi Perencanaan Pengembangan Sekolah Selain itu juga akan memperkuat komitmen terhadap proses perencanaan dan menjadi insentif bagi keteribatan dalam prosedur perencanaan yang lebih kompleks.
Model permulaan tersebut dapat mencakup tahap-tahap kegiatan (1)
Perencanaan Tindakan Awal; (2) Refleksi, dan (3) Perencanaan Terelaborasi. 3. Model Tiga-Unsur Sejajar (The Three-Strand Concurrent Model) The Three-Strand Concurrent Model memfokus pada kerangka waktu perencanaan. Model ini mengakui bahwa pengembangan sekolah memiliki dimensi-dimensi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Model itu didasarkan pada premis bahwa tiga dimensi waktu itu harus dicapai secara bersama-sama oleh sekolah jika sekolah memang memberikan respon yang efektif terhadap kebutuhan lingkungan yang dinamis. Model itu menyarankan sebuah kerangka yang terdiri dari tiga langkah kegiatan perencanaan yang saling terkait namun berbeda-beda yang memampukan sekolah untuk mengatasi perubahan-perubatah yang rumit dan tidak dapat diprediksikan.
38
Gambar 3.5. The Three-Strand Concurrent Model untuk Perencanaan Pengembangan Sekolah Model itu meliputi unsur-unsur: (1) Berfikir Masa Depan untuk mengatasi dimensi jangka panjang dalam perencanaan sekolah (5-15 tahun), (2) Niatan Strategis dan Tujuan Strategis untuk mengatasi dimensi jangka menengah (3-5 tahun), dan Perencanaan Operasional untuk mengatasi dimensi jangka pendek (13 tahun). Three-Strand Concurrent Model tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagaimana Gambar 3.5.
4. Model Perencanaan Pengembangan Sekolah di Indonesia Digulirkannya konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) pada tahun 1999 sebenarnya merupakan rintisan diterapkannya perencanaan strategis di lembaga pendidikan menengah di Indonesia. Konsep manajemen ini menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun
39
berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mandiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat (Umaedi, 1999). Kemiripan MPMBS dengan perencanaan strategis sebagaimana diuraikan sebelumnya sangat tampak pada strategi pelaksanaan yang digariskan pada tingkat sekolah. Secara singkat langkah-langkah yang ditetapkan itu diuraikan sebagai berikut. a. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah) b. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran c. Melakukan Analisis SWOT d. Mengembangkan Langkah Pemecahan Persoalan e. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu f. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan g. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
D. Menumbuhkan Budaya Pengembangan Berencana Di Sekolah Perencanaan pengembangan sekolah pada dasarnya merupakan proses yang berlangsung terus-menerus, bukan merupakan kegiatan “sekali jadi”. Agar perencanaan pengembangan itu efektif dalam memampukan (enabling) sekolah untuk menghadapi tantangan ganda yang berkaitan dengan peningkatan kualitas dan pengelolaan perubahan, perencanaan pengembangan harus menjadi “modus operandi” normal bagi setiap sekolah. Bagi sekolah pada umumnya, perencanaan pengembangan yang sistematis akan memerlukan perubahan mendasar dari kondisi yang ada sekarang. Bab ini memaparkan tantangan inovatif yang harus diatasi
dengan
perencanaan
cermat
untuk
pengembangan
ke
menjamin dalam
keberhasilan kehidupan
pengintegrasian
sekolah,
sehingga
perencanaan akan menjadi budaya dalam manajemen sekolah. Berdasarkan penelitian internasional terhadap perubahan pendidikan pada umumnya, penumbuhan budaya perencanaan pengembangan sekolah dibagi menjadi tiga tahap:
40
Pemulaan (Inisiation): tahapan ini meliputi penetapan keputusan untuk memulai perencanaan pengembangan sekolah, menumbuhkan komitmen terhadap proses perencanaan, dan penyiapan partisipan.
Pembiasaan (Familirialisation): tahap ini mencakup siklus awal dari perencanaan pengembangan
sekolah,
dimana
masyarakat
sekolah
belajar
bagaimana
melaksanakan proses perencanaan pengembangan itu.
Penyatuan (Embedding): tahap ini terjadi ketika perencanaan pengembangan sekolah
telah
menjadi
bagian
pola
kehidupan
sekolah
sehari-hari
dalam
melaksanakan segala sesuatu.
1. Tahap Pemulaan (Inisiasi) Secara formal semua pengelola sekolah bertanggung jawab atas inisiatif perencanaan pengembangan sekolah untuk menjamin bahwa keputusan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah benar-benar terlaksana dan terwujud. Akan tetapi, pada praktiknya, inisiatif itu pada umumnya diambil oleh kepala sekolah atau komite sekolah. Komitmen guru terhadap inovasi sekolah merupakan hal yang esensial bagi keberhasilan dalam inovasi sekolah. Mereka harus benar-benar memahami halhal pokok berkaitan dengan apa, mengapa, dan bagaimana perencanaan pengembangan sekolah dilakukan. Guru-guru harus disadarkan tentang peran yang harus mereka ambil dalam proses perencanaan dan manfaat apa yang dapat mereka peroleh dari proses itu. Pemahaman mereka harus difokuskan pada keterkaitan antara proses dengan isu-isu yang penting bagi guru pada umumnya, sehingga
relevansi
proses
perencanaan
dan
kebutuhan
sekolah
dapat
disampaikan dengan jelas. Penjelasan serupa juga harus dilakukan kepada semua mitra kerja yang ada di lingkungan sekolah agar proses perencanaan pengembangan sekolah memperoleh dukungan dari mereka. Kegiatan-kegiatan berikut merupakan cara-cara yang dapat membantu warga sekolah untuk mempersiapkan partisipasinya dalam proses perencanaan pengembangan sekolah. a. Membaca berbagai panduan, buku-buku pegangan dan laporan-laporan hasil penelitian mengenai perencanaan pengembangan sekolah.
41
b. Mencari saran-saran, masukan dan dukungan dari lembaga-lembaga yang peduli terhadap pendidikan yang ada di sekitar sekolah. c. Menghadiri seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang relevan dengan perencanaan pengembangan sekolah. d. Menghubungi sekolah-sekolah lain yang dipandang lebih maju di bidang perencanaan pengembangan sekolah untuk menggali dan belajar dari pengalaman yang mereka miliki. e. Mengundang pembicara dari luar untuk menyajikan paparan tentang perencanaan pengembangan sekolah di hadapan guru, pengelola sekolah, komite sekolah, dan orang tua, baik secara bersama-sama atau terpisah. f. Mengundang tokoh-tokoh kunci di lingkungan sekolah untuk memaparkan pentingnya
perencanaan
pengembangan
sekolah
dan
mendorong
partisipasi semua pihak. g. Memanfaatkan fasilitator dari luar untuk membantu memulai dan mengimplementasikan perencanaan pengembangan sekolah.
Keluaran yang dicapai dari tahap pemulaan meliputi:
a. Telah
dibuatnya
keputusan
untuk
mengawali
(mengintroduksi)
perencanaan pengembangan sekolah. b. Semua guru memiliki pemahaman yang benar mengenai perencanaan pengembangan sekolah dan memiliki komitmen terhadap proses itu. c. Semua mitra sekolah telah diberi penjelasan pada tahap awal proses tersebut. d. Terpilihnya fasilitator untuk membantu melaksanakan proses tersebut.
2. Tahap Pembiasaan (Familirialisation) Pada tahap pembiasaan—biasanya merupakan langkah pertama dari siklus perencanaan pengembangan sekolah secara utuh—masyarakat sekolah berada dalam proses belajar dari pengalaman bagaimana melaksanakan proses perencanaan tersebut. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan tumbuh berdasarkan pengalaman dan struktur kolaborasi yang berkembang. Hasil dari
42
tahapan ini adalah terkonsolidasikannya dan menguatnya komitmen terhadap proses perencanaan. Selama berlangsungnya tahap ini, fasilitator yang terampil, koordinasi yang cermat, dan dukungan yang cukup dan berkelanjutan, termasuk di dalamnya pelatihan
dalam
jabatan,
akan
sangat
membantu
keberhasilan
proses
perencanaan. Perhatian khusus harus diberikan agar timbul penguatan yang positif di kalangan guru.
43
3. Penyatuan (Embedding) Tahap penyatuan terjadi ketika perencanaan pengembangan telah menjadi bagian dari cara-cara yang biasa dilakukan sekolah dalam melaksanakan segala sesuatu. Tatanan manajemen sekolah telah berkembang menjadi pendukung yang baik terhadap pengembangan maupun pemeliharaan sekolah yang bersangkutan, dan menjadi bagian dari pola prilaku yang berterima (acceptable) bagi semua pihak. Terdapat begitu luas ragam penggunaan rencana implementasi program pengembanganan oleh guru. Dalam hal ini rencana pengembangan sekolah harus berfungsi sebagai kerangka acuan bagi perencanaan-perencanaan yang terkoordinasi yang dilakukan oleh guru secara individual, unit-unit yang ada sekolah, tim-tim lintas kurikulum, dan dampaknya akan tampak pada praktikpraktik pembelajaran dalam kelas. Seluruh proses tersebut pada saat itu telah menjadi “cara kita melakukan segala sesuatu di sekolah ini” atau "the way we do things around here."
44
BAB IV: MENYUSUN RENCANA STRATEGIS SEKOLAH/MADRASAH A. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah/Madrasah 1. Pengertian Visi, Misi, dan Tujuan Visi, misi dan tujuan merupakan titik sentral dalam siklus perencanaan pengembangan sekolah. Ketiganya mensarikan apa yang menjadi dasar keberadaan sekolah dan apa yang ingin dicapai oleh sekolah. Oleh karena itu, ketiganya menjadi kerangka acuan dari semua langkah dalam siklus perencanaan dan berfungsi sebagai (1) konteks saat melakukan telaah, (2) arah dari rancangan dan implementasi, dan (3) tolok ukur dalam proses telaah. Visi sekolah merupakan representasi masa depan sekolah yang diinginkan. Visi mensarikan prinsip-prinsip umum dan bersifat aspirasional. Rumusan visi sekolah hendaknya mencakup: a. sosok lembaga macam apa yang diinginkan di masa depan, b. justifikasi sosial atas keberadaan sekolah yang diwujudkan dalam isu-isu pendidikan apa yang harus ditangani oleh sekolah atau masalah-masalah pendidikan mana yang akan diatasi oleh sekolah, c. apa yang harus diakui, diantisipasi, dan dijawab oleh sekolah berkaitan dengan kebutuhan dan masalah-masalah tersebut, d. siapa stakeholder utama sekolah ini, bagaimana sekolah merespon kebutuhan para stakeholder itu, dan bagaimana sekolah mengetahui keinginan yang mereka harapkan dari sekolah, dan e. apa yang membuat sekolah tersebut unik atau berbeda dengan yang lain, dan karena itu, apa yang membuat sekolah ini memiliki keunggulan kompetitif. Visi yang efektif harus memenuhi karakteristik berikut: •
Jelas dan tidak membingungkan
•
Menarik dan mudah diingat
•
Aspiratif, realistis dan dapat dicapai
•
Selaras dengan nilai-nilai, budaya, dan cara pandang sekolah
45
•
Berjangka waktu
•
Singkat, sebaiknya kurang dari sepuluh kata
•
Inspiratif dan menantang
•
Disepakati oleh semua stakeholder sekolah
•
Menyatakan dengan jelas esensi dari apa yang seharusnya dicapai oleh sekolah
•
Fleksibel dan menumbuhkan kreativitas.
Selain itu, agar benar-benar efektif, visi sekolah harus terasimilasi kedalam budaya sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab untuk terus-menerus mengkomunikasikan visi sekolah, menciptakan arahan dan bimbingan yang mengarah pada visi, bertindak sebagai role-model dengan cara menjadi simbol visi, merumuskan tujuan-tujuan jangka pendek yang sesuai dengan visi sekolah, dan mendorong warga sekolah lainnya untuk menyesuaikan visi pribadi masingmasing dengan visi sekolah. Misi sekolah merepresentasikan raison d’etre atau alasan mendasar mengapa sebuah sekolah didirikan. Rumusan misi mencakup pesan-pesan pokok tentang (1) tujuan asal-muasal (original purpose) didirikannya sekolah, (2) nilai-nilai yang dianut dan melandasi pendirian dan operasionalisasi sekolah, dan (3) alasan mengapa sekolah itu harus tetap dipertahankan keberadaannya. Banyak orang memiliki pemahaman yang salah terhadap visi dan misi sekolah/madrasah. Visi menyatakan identitas masa depan sekolah sedangkan misi menjelaskan mengapa visi akan dicapai. Visi sekolah terkonsentrasi ke masa depan.Visi bersifat lebih spesifik terkait dengan tujuan dan masa depan. Visi merupakan sebuah bentuk prestasi yang ingin dicapai. Visi sekolah dapat menstimulasi warga sekolah untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Visi sekolah menjadi sumber aspirasi dan menjadi kriteria utama dalam setiap pengambilan keputusan. Sedangkan misi sekolah mendefinisikan tujuan yang bersifat umum dan luas dari
eksistensi
sekokah
yang
bersangkutan.
Misi
merupakan
panduan
keberlangsungan sekolah yang tak berbatas waktu. Misi sekolah dapat tetap diberlakukan dalam jangka waktu yang lama. Misi sekolah menyediakan jalan menuju terwujudnya visi sekolah.
46
Mana yang lebih dulu? Visi atau misi? Berbagai referensi menyajikannya secara berbeda-beda. Bagi sekolah yang baru atau sedang memulai sebuah upaya perubahan, visi akan menjadi panduan dalam merumuskan misi sekolah berikut semua kegiatan perencanaan pengembangan sekolah lainnya. Jika sekolah telah memiliki dan menjalankan misinya secara mapan maka misi akan menjadi pemandu perumusan visi dan seluruh kegiatan perencanaan strategis lainnya. Oleh karena itu, perencana pengembangan sekolah harus benar-benar memahami dimana sekolah sekarang telah berada dalam konteks pelaksanaan misinya, sumberdaya yang telah dimiliki, hambatan-hambatan yang sedang dihadapi, dan kemana arah pengembangan sekolah akan dibawa. Tujuan sekolah merupakan pernyataan umum tentang tujuan pendidikan di sekolah
itu. Tujuan-tujuan
itu
harus
berkait
dengan
usaha
mendorong
perkembangan semua siswa baik secara intelektual, fisikal, sosial, personal, spiritual, moral, kinestetikal, maupun estetikal. Tujuan sekolah harus memberikan fokus yang jelas bagi sekolah. Tujuan sekolah harus dirumuskan dalam kerangka visi dan misi sekolah. Aspirasi semua stakeholder harus terwadahi dalam konteks yang lebih luas dari rumusan visi dan misi sekolah. Selain ketentuan yang bersifat umum tersebut visi, misi, dan tujuan strategis sekolah harus juga dirumuskan dalam kerangka visi, misi, dan tujuan pendidikan baik pada skala nasional, regional (propinsi) maupun, daerah (kabupaten/kota). Untuk mengingat kembali rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dianjurkan untuk membaca kembali Bab II materi diklat ini.
2. Mengapa Sekolah Perlu Merumuskan Visi, Misi, dan Tujuan? Di era perubahan sekarang ini, pengembangan rumusan visi, misi dan tujuan sebuah sekolah merepresentasikan kesiapan dan kemauan sekolah untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya dan untuk mengelola perubahan dengan cara-cara yang positif dalam kaitannya dengan visinya. Rumusan misi sekolah merupakan dasar bagi kebijakan dan raktik-praktik yang berlangsung di sekolah. Tidak diragukan lagi bahwa nilai-nilai dan keyakinan yang membimbing kehidupan sekolah memiliki implikasi yang penting bagi semua pilihan dan keputusan yang harus dibuat dalam pengembangan rencana sekolah.
47
Maksud dirumuskannya visi dan misi sekolah adalah: a. untuk memberikan arah yang jelas bagi usaha-usaha yang dilakukan sekolah; b. untuk mengilhami masyarakat sekolah dengan sebuah tujuan yang bersifat umum; c. untuk memberikan kerangka yang bagi penentuan kebijakan dan prioritas; d. untuk membangun pusat acuan (reference point) yang digunakan sekolah dalam mentelaah keberhasilan kegiatan-kegiatannya. Visi dan misi sekolah tidak dapat dipindah tangankan dengan mudah dari satu pihak ke pihak yang lain. Keduanya harus dikembangkan dan diklarifikasi melalui sebuah proses refleksi bersama atas nilai-nilai, keyakinan, dan aspirasi dari warga sekolah. Visi dan misi harus mencerminkan usaha sekolah untuk memadukan nilai-nilai yang sering saling bertentangan di kalangan warga sekolah. Kesadaran atas nilai-nilai personal di kalangan warga sekolah merupakan hal yang sangat penting. Sekolah akan dapat mengakomodasi sejumlah nilai asalkan terdapat nilai-nilai yang didukung oleh setiap individu warga sekolah. Nilai-nilai, apakah disadari atau tidak, merupakan inti dari tindakan yang kita lakukan. Waktu yang diluangkan khusu untuk mengeksplorasi nilai-nilai individual dan nilai-nilai kolektif kita sendiri merupakan waktu yang sangat berharga dan kelak akan berpengaruh terhaap segala sesuatu yang kita kerjakan di sekolah.
3. Langkah-Langkah Merumuskan Visi dan Misi Pengembangan rumusan visi dan misi merupakan proses yang sangat menantang bagi sekolah karena proses itu harus mampu mencapai sebuah kesepakatan di antara warga sekolah terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang dianut dan diyakini di lingkungan sekolah. Ketika kesepakatan itu telah dicapai, baru dapat dikatakan bahwa rumusan visi dan misi telah selesai. Langkah-langkah kunci dalam pengembangan Rumusan Visi dan Misi meliputi: a. Identifikasi nilai-nilai personal bersama semua staf sekolah; b. Pembahasan nilai-nilai tersebut dalam kaitannya dengan filosofi pendidikan, kebijakan pemerintah pemerintah di bidang pendidikan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat; c. Pebuatan kesepakatan terhadap nilai-nilai pokok dari kalangan staf sekolah;
48
d. Membuat rancangan (draft) rumusan bersama komite sekolah; e. Merumuskan kembali rancangan rumusan visi dan misi terkait dengan respon yang diberikan oleh semua pihak tersebut, diikuti dengan konsultasi lebih lanjut dan, bila perlu, dilakukan dirancang ulang; f. Pencapaian kesepakan yang ditekankan pada tumbuhnya rasa memiliki terhadap rumusan visi dan misi di kalangan warga sekolah; g. Penjaminan bahwa visi dan misi diwujudkan dalam tindakan; h. Mentelaah kembali rumusan visi dan misi setelah kurun waktu tertentu. Lampiran 1 menguraikan pilihan kegiatan-kegiatan pokok dan sejumlah contoh
Lembar
Kerja
yang
dapat
membantu
sekolah
dalam
proses
Pengembangan Rumusan visi dan misi sekolah. Kegiatan Pokok 1, 2 dan 3 merupakan kegiatan Pengembangan Rumusan Misi. Sekolah dapat menggunakan salah satu dari tiga kegiatan itu yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhannya.
4. Telaah Rumusan Visi dan Misi Telaah terhadap rumusan visi dan misi adalah penentuan relevansi dan validitas rumusan visi dan misi yang ada sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam telaah ini antara lain: a. Aspek-aspek mana dari rumusan visi dan misi yang ada masih relevan? b. Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan perubahan masyarakat yang berlangsung saat ini, apa yang perlu duperbarui, ditambahkan, atau dihilangkan dari rumusan visi dan misi tersebut? c. Bagaimana visi dan misi tersebut dapat dipertahankan dalam masyarakat sekolah? d. Sejauh mana kebijakan dan dokumentasi sekolah menceminkan visi dan misi tersebut? e. Sejauh mana kurikulum merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam visi dan misi sekolah? f. Sejauh mana manajemen sekolah merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang dinyatakan dalam rumusan visi dan misi?
49
g. Sejauhmana hubungan di lingkungan internal sekolah dan antara berbagai pihak di kalangan warga sekolah merefleksikan rumusan visi tersebut? h. Sejauhmana rumusan visi dan misi merefleksikan kebutuhan sebuah masyarakat multi-kultural yang kompleks? Telaah tersebut dapat dilakukan melalui survei sederhana dangan meminta warga sekolah untuk memberikan tanggapan atas rumusan visi dan misi sekolah yang telah ada. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan terdahulu dapat menjadi titik tolak untuk mengeksplorasi persepsi warga sekolah terhadap rumusan vsi dan misi yang ada dan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang memerlukan perubahan dan pengembangan. Kegiatan 2 dan 3 pada lampiran menguraikan pilihan kegiatan-kegiatan pokok dan sejumlah contoh Lembar Kerja yang dapat membantu sekolah dalam proses Eksplorasi dan Telaah terhadap Visi dan Misi dalam tindakan sehari-hari. Kegiatan 2 dan 3 merupakan kegiatan Eksplorasi dan Telaah terhadap Visi dan Misi. Sekolah dapat menggunakan salah satu dari dua kegiatan itu yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhannya. Lembar Kerja 2.1a sampai dengan 3.1d pada Lampiran dapat membantu proses perumusan visi dan misi tersebut.
5. Tujuan Yang Efektif Pada Bab II Bahan Diklat ini telah dikemukakan herarkhi tujuan yang meliputi tujuan strategis, tujuan taktis, dan tujuan operasional. Tujuan yang maksud pada bagian ini adalah tujuan pada tingkat strategis, yakni tujuan yang dirumuskan untuk dicapai oleh sekolah secara keseluruhan. Sesuai dengan sifatnya, tujuan strategis merupakan pernyataan umum tentang arah kemana kelak organisasi akan menuju di masa depan. Agar tujuan benar-benar efektif dan cukup punya peluang untuk dicapai, maka rumusan tujuan harus memenuhi sejumlah kriteria keefektifan. Kriteria keefektifan tujuan dapat dilihat dari karakteristik tujuan itu sendiri dan prilaku dalam proses tujuan itu dirumuskan. Dari segi karakteristiknya, sebuah tujuan yang efektif harus memenuhi lima kriteria: spesifik dan terukur, mencakup dimensi-dimensi kunci, menantang namun tetap realistis, terbatasi oleh kurun waktu tertentu, dan terkait dengan imbalan atau ganjaran. Dari segi prilaku dalam proses perumusannya,
50
sebuah tujuan akan efektif apabila mampu membangun kebersamaan diantara bagian-bagian dalam struktur organisasi sekolah dan adanya partisipasi dari semua unsur warga sekolah untuk mengadopsi dan mengimplementasi tujuan tersebut. Uraian berikut memaparkan secara rinci kriteria keefektifan tujuan tersebut.
Karakteristik Tujuan Spesifik dan Terukur. Jika dimungkikan sedapat mungkin tujuan dirumuskan dalam terminologi kuantitatif, misalnya peningkatan jumlah siswa yang diterima pada perguruan tinggi unggulan sebesar 5% dari kondisi tahun sebelumnya; penurunan siswa yang putus sekolah sampai dengan 0%, meningkatkan skor keefaktivan mengajar guru dari 3,72 menjadi 3,95. Apabila tujuan sulit atau tidak dapat dinyatakan dalam rumusan yang bersifat kuantitatif, maka rumusan tujuan dapat dinyatakan secara kualitatif. Akan tetapi, apabila ini dilakukan, rumusan tujuan hendaknya disertai indikator-indikator yang spesifik dan bersifat kuantitatif. Mencakup
Dimensi-Dimensi
Kunci.
Tujuan
strategis
tidak
mungkin
dirumuskan secara rinci untuk setiap unsur terkecil dari organisasi sekolah. Oleh karena itu, dimensi-dimensi yang dicakup dalam tujuan strategis hendaknya cukup pada dimensi-dimensi yang bersifat pokok atau kunci saja. Di sekolah dimensidimensi kunci itu dapat dibedakan menurut fungsi-fungsi organisatoris sekolah atau ranah kompetensi atau kualifikasi lulusan. Dari sisi fungsi organisatoris sekolah dimensi-dimensi kunci itu dapat dibedakan menjadi kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Sedangkan dari dimensi ranah kompetensi lulusan, dimensi-dimensi kunci tersebut dapat dibedakan menjadi kompetensi itelektual, kompetensi moral dan spiritual, kompetensi sosial, kompetensi personal, kompetensi estetikal, dan kompetensi kinestetikal. Selain dua perspektif itu, delapan tipe tujuan sebagaimana dikemukakan di atas juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci yang perlu dicakup dalam rumusan tujuan strategis sekolah. Menantang tapi Realistis. Tujuan harus menantang namun bukan berarti terlalu sulit untuk dicapai. Tujuan yang terlalu sulit dapat berdampak pada timbulnya keputus-asaan di kalangan staf; tapi jika terlalu mudah para staf itu
51
akan kurang merasa termotivasi. Rumusan tujuan strategis hendaknya terjamin bahwa tujuan itu dirumuskan dalam lingkup sumber daya yang tersedia dan tidak jauh di luar jangkauan sumber daya yang tersedia di sekolah, baik yang berkaitan dengan waktu, SDM, sarana dan pra-sarana, keuangan, informasi, maupun teknologi. Dibatasi Dalam Kurun Waktu Tertentu. Rumusan tujuan harus menetapkan jangka waktu pencapaiannya. Kurun waktu itu biasanya dijadikan batas waktu (deadline) mengenai kapan pencapaian tujuan tersebut akan diukur. Sebuah sekolah berstandar internasional (SBI), misalnya, dapat menetapkan tujuan pada tahun 20XX, siswa harus telah tesebar dari seluruh negara-negara di kawasan ASEAN. Terkait dengan Imbalan atau Ganjaran. Dampak akhir dari tujuan bergantung pada sejauh mana peningkatan gaji, promosi, dan imbalan lainnya didasarkan pada prestasi terkait dengan pencapaian tujuan. Siapa saja yang berhasil mencapai tujuan harus mendapatkan ganjaran. Ganjaran dapat memberi makna dan signifikansi terhadap tujuan dan akan membantu memberikan suntikan enerji kepada staf untuk berlomba-lomba mencapai tujuan.
Prilaku Perumusan Tujuan Konflik sering muncul ketika tujuan sedang dirumuskan karena ada beberapa unsur organisasi sekolah yang tidak sepakat dengan rumusan tujuan yang sedang dikembangkan. Oleh karena itu, agar tujuan efektif, komitmen semua pihak terhadap tujuan menjadi faktor yang esensial. Dua teknik untuk mendapatkan komitmen ini meliputi mambangun koalisi dan partisipasi. Pembangunan Koalisi (Coalition Building). Koalisi merupakan sebuah aliansi informal antara pihak-pihak yang mendukung tujuan tertentu. Membangun koalisi merupakan proses pembentukan aliansi di kalangan pimpinan dari berbagai unsur warga sekolah. Pembangunan koalisi mencakup negosiasi dan tawar-menawar. Tanpa adanya koalisi, individu atau kelompok-kelompok yang berpengaruh
di
sekolah
dapat
menghambat
proses
perumusan
tujuan.
Pembangunan koalisi dapat memberi kesempatan kepada para tokoh tersebut untuk berdiskusi dan berkontribusi dalam proses
perumusan tujuan, yang
52
berdampak pada peningkatan komitmen mereka terhadap tujuan yang pada akhirnya akan ditetapkan. Bangunan koalisi sering terjadi pada tingkat pimpinan dimana ketidak-pastian sangat tinggi. Partisipasi. Pada struktut organisasi yeng lebih rendah, setiap pimpinan atau individu, semua pendidik dan tenaga kependidikan, seharusnya mengadopsi tujuan yang sejalan dengan tujuan strategis. Akan tetapi jika tujuan-tujuan yang lebih rendah tersebut bersifat preskriptif dari pihak atasan, dari atas ke bawah (top-down), kemungkinan besar para pendidik dan tenaga kependidikan tersebut tidak manganggap tujuan tersebut sebagai miliknya. Proses yang efektif untuk mencegah hal ini adalah dengan mendorong bawahan untuk berpartisipasi dalam proses perumusan tujuan. Dalam hal ini kepala sekolah dapat bertindak sebagai konselor yang membantu warga sekolah lainnya merumuskan berbagai macam pilihan tujuan, mendiskusikan apakah tujuan itu realistis dan spesifik,
dan
menentukan apakah tujuan telah sejalan dengan tujuan organisasi. Diskusi itu harus mempertimbangkan minat dan kemampuan bawahan. Melalui komunikasi dua arah, diharapkan tujuan yang dirumuskan konsisten dengan tujuan strategis sekolah dan semua warga sekolah memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan itu. Untuk memudahkan kita mengingat, tujuh kriteria tujuan yang efektif tersebut dapat diringkas menjadi lima kriteria yang disingkat SMART. Kelima kriteria itu meliputi:
spesifik
(spesific),
dapat
dikelola
pencapaiannya
(manageable),
disepakati (agreed upon) oleh semua warga sekolah, didukung sumber daya yang memadai (resources supported) , dan terdapat batasan waktu (time-bound).
B. Evaluasi Diri Tujuan evaluasi diri adalah untuk memampukan (enabling) warga sekolah: (1) mendefinisikan kondisi dari sekolah saat ini; (2) menganalisis kondisi saat ini dalam kaitannya dengan bagaimana dan seperti apa sekolah kelak diinginkan di masa depan; dan (3) mengidentifikasi perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Evaluasi diri dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbedabeda. Uraian berikut ini menyajikan garis-garis besar sejumlah pendekatan yang dapat diadaptasi sesuai dengan kondisi yang beragam.
53
1. Merencanakan Evaluasi diri a. Pastikan bahwa evaluasi diri difokuskan pada isu-isu yang berkembang, bukan pada pribadi-pribadi Anggota staf yang tidak terbiasa dengan proses evaluasi diri yang sistematis dapat merasa tidak nyaman. Pengakuan terhadap adanya sensitifitas semacam itu dan pengarahan berbagai bentuk ekspresi atas dasar kesadaran membuka diri merupakan hal yang penting. Dengan demikian, perlu ditekankan sejak awal bahwa fokus evaluasi diri adalah pada isu yang berkembang, bukan pada pribadipribadi. Selain itu pembahasan mengenai keterbatasan yang ada di sekolah hendaknya dilakukan secara santun dan dalam niatan untuk membangun.
b. Pastikan bahwa proses evaluasi diri memiliki orientasi positif Dalam rangka memperkuat moral, manfaatkan peluang yang ada untuk membangkitkan kesadaran mengenai kekuatan sekolah dan untuk mengakui prestasi yang dicapai sekolah. Jika fokusnya terletak pada bagaimana membuat sekolah yang baik menjadi lebih baik, evaluasi diri dapat berupa pemberian energi pengalaman.
c. Arahkan ruang lingkup evaluasi diri pada kondisi sekolah secara utuh Perlu diingat bahwa evaluasi diri bukan merupakan akhir dari segalanya akan tetapi merupakan alat untuk memperjelas jalan menuju masa depan yang lebih baik. Keefektifan evaluasi diri diukur dari apa yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, ruang lingkup evaluasi diri harus memadai dalam memampukan warga sekolah untuk melakukan penilaian yang realistis terhadap kebutuhan dan peluang sekolah sebagai dasar perencanaan yang akan dilakukan. Namun demikian, evaluasi diri hendaknya tidak terlalu luas sehingga menguras energi warga sekolah secara berlebihan, yang dapat berakibat pada tidak adanya daya untuk bertindak yang mengarah pada pencapaian dampaknya. Akan sangat membantu apabila kita berfikir bahwa sekolah merupakan sebuah mekanisme yang terdiri dari ratusan bagian yang sama-sama bergerak. Mekanisme itu memerlukan pemeliharaan secara teratur untuk menjamin
54
kesinambungan kinerja yang optimal. Mekanisme itu memerlukan bongkar-pasang secara periodik yang dapat mencakup pemasangan bagian-bagian baru dalam rangka membuatnya mampu memenuhi standar-standar baru. Akan tetapi apabila Anda memisah-misahkannya untuk mengetahui apa yang membuatnya muncul, evaluasi diri dengan sendirinya akan terhenti. Dan semakin lengkap telaah tersebut dipisah-pisahkan, semakin sulit untuk memulainya lagi. Atau, sekolah dapat diibaratkan sebagai organisme hidup yang rumit. Untuk menjamin kesehatannya agar selalu optimal, sekolah memerlukan asupan gizi dan pemeliharaan secara terus-menerus. Apabila dikehendaki agar kegiatan dan dinamikanya terus jaga, sekolah memerlukan perlakukan periodik untuk mencegah terjadinya luka dan sakit. Jika Anda memecah-belah sekolah untuk memahami struktur dan prosesnya, berarti Anda membunuhnya.
2. Struktur Evaluasi Diri Struktur dan format evaluasi diri sebenarnya sangat beragam bergantung pada kebutuhan masing-masing sekolah. Namun demikian komponen-komponen pokok berikut harus tercantum dalam setiap evaluasi diri. a. Analisis lingkungan eksternal yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi sekolah. Analisis dilakukan terhadap kondisi dan situasi diluar sekolah, baik pada tingkat lokal, nasional, dan international. Aspek-aspek yang dievaluasi terkait dengan kecenderungan perubahan (ideologi, politik, kultur dan budaya, ilmu pengetahuan, sistem pendidikan), kebutuhan stakeholders dan pasar kerja (industri, masyarakat, pemerintah, dan kemungkinan bagi lulusan untuk menciptakan pasar kerja). b. Evaluasi kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Aspek-aspek yang dievaluasi meliputi kekuatan dan/atau kelemahan lulusan, siswa, kurikulum, proses pembelajaran, kegiatan ekstra kurikuler, pembangunan karakter, program layanan khusus, dan sebagainya. c. Evaluasi sumber daya pendidikan. Sumber daya yang dievaluasi meliputi sumberdaya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), sarana dan prasarana sekolah, sistem informasi, dan keuangan.
55
d. Manajemen dan kepemimpinan sekolah. Aspek-aspek yang dievaluasi meliputi organisasi dan tata kelola sekolah, kepemimpinan, serta budaya dan iklim sekolah.
3. Pengumpulan Data Evaluasi diri harus mampu menyajikan (a) fakta, dan (b) pandanganpandangan warga sekolah, dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sekolah yang sedang ditelaah. Evaluasi diri harus menjamin bahwa proses telaah memberikan hasil penilaian yang realistis mengenai kebutuhan pengembangan sekolah. Oleh karena itu, proses evaluasi diri harus mencakup pengumpulan, pengorganisasian, analisis dan interpretasi data. Kita dapat mebedakan data-data itu kedalam dua kategori:
data yang siap terekam di sekolah, seperti catatan kehadiran siswa, guru dan staf sekolah, hasil-hasil ujian, nilai rapor, dan data-data keuangan;
data yang masih harus dikumpulkan secara khusus dalam rangka kepentingan Telaah tersebut, misalnya data mengenai pandangan staf sekolah, siswa, orang tua terhadap aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sekolah. Dengan demikian, kita dapat membedakan dua aspek yang dievaluasi secara
umum: penelitian dokumen (desk research) dan penelitian lapang (field research).
a. Penelitian Dokumen (Desk Research) Penelitian ini meliputi pelacakan dan pengorganisasian data dan informasi yang telah tersedia di sekolah. Kegiatan ini mencakup penataan dan penyajian data dalam bentuk-bentuk yang dapat memfasilitasi dilakukannya penilaian terhadap pola-pola yang bermakna. Sebagai misal, penelitian ini dapat mencakup:
tabulasi data yang diambil dari rekaman absensi untuk menunjukkan pola-pola absensi pada hari Senin dan Sabtu.
tabulasi hasil-hasil ulangan untuk menunjukkan kecenderungan dari tahun ketahun atau antara satu mata pelajaran dengan yang lain.
membangun populasi siswa dalam kaitannya dengan karakterisktik tertentu, seperti pekerjaan atau tingkat pendidikan orangtua.
56
Penelitian dokumen akan lebih mudah dilakukan apabila pencatatan yang ada di sekolah terekam dan tersedia dengan lengkap dan reliabel, dan jika sekolah menggunakan format-format standar untuk merekam semua jenis informasi mengenai kegiatan yang bersifat rutin. Akan tetapi dalam kenyataannya, karena berbagai alasan ada kalanya rekaman data di sekolah tidak lengkap atau tidak tertata-tata rapi. Masalah ini harus benar-benar disadari dan mendapat perhatian khusus.
b. Penelitian Lapang (Field Research) Penelitian lapang meliputi pengumpulan dan pengorganisasian informasi yang secara khusus diperlukan untuk keperluan evaluasi diri. Penelitian ini memerlukan pemilihan dan rancangan instrumen yang tepat untuk mengumpulkan data-data yang relevan. Instrumen-instrumen pengumpulan data yang dapat digunakan oleh sekolah antara lain: kuesioner, daftar cek, pedoman wawancara, format-format terstandar, dan log.
4. Analisis Data Pada dasarnya data hanya ada 2 katagori, yaitu (1) data profil (profile data) dan (2) data kinerja (performance data). Data profil adalah data yang diambil saat itu, sedangkan data kinerja adalah data yang diambil dalam kurun waktu tertentu. Dengan perkataan lain, data kinerja adalah terdiri dari sederetan data profil yang disusun berdasarkan waktu pengambilan data profil tersebut. Untuk data profil, interpretasi dilakukan dengan membandingkan antara data tersebut dengan indikator kinerja sekolah yang dapat dianggap standar yang ingin di capai. Kesimpulan dari interpretasi tersebut, umumnya adalah gradasi buruk sampai dengan baik. Dikatakan baik, apabila data profile sesuai atau melebihi standar yang diacu, demikian juga sebaiknya. Interpretasi adalah sejauhnya jarak atau gap antara data profil dengan standar. Untuk data kinerja, yang harus dicermati adalah kecenderungan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perlu di prediksi kelanjutan kecenderungan tersebut dimasa mendatang. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, baru melakukan SWOT Analysis.
57
Analisis SWOT merupakan metode yang bermanfaat untuk mengumpulkan data mengenai persepsi terhadap situasi sekolah: kekuatan dan kelemahan internal dan peluang dan ancaman dari faktor-faktor eksternal. SWOT Analysis terkategorisasi dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber sacara bersama-sama dalam rangka membangun gambaran komposisi yang koheren mengenai situasi sekolah.
5. Strategi Pengembangan Strategi Pengembangan adalah rencana pengembangan yang secara ringkas disampaikan pada akhir laporan evaluasi diri. Rencana pengembangan tersebut adalah
gambaran
secara
global,
ringkas
dan
jelas
tentang
rencana
pengembangan sekolah, baik untuk perbaikan masalah dan kelemahan yang berhasil di identifikasi maupun untuk mendapat keunggulan kompetitif (competitive advantage). Strategi pengembangan pada evaluasi diri harus ada keterkaitan yang logis dan runut (“benang merah”) mulai dari masalah yang berhasil di identifikasi, solusi alternatif, garis besar program pengembangan yang diusulkan. Selain itu rencana pengembangan pada laporan evaluasi diri juga memiliki keterkaitan yang logis dan runut (“benang merah”) mulai dari proses identifikasi kekuatan yang dimiliki dan peluang yang dapat dimanfaatkan (analisa SWOT) sampai program unggulan yang diusulkan. Dari hasil analisa SWOT, dapat diketahui secara cepat kondisi institusi pada saat ini (current condition) dan arah pengembangan institusi dimasa mendatang.
a. Pengertian Strategi Hasil dari tahapan evaluasi diri adalah serangkaian keputusan tentang prioritas pengembangan sekolah selama kurun waktu siklus perencanaan yang disusun. Prioritas-prioritas itu dapat dinyatakan sebagai strategi. Keputusan tidak akan berdampak apapun jika tidak diwujudkan dalam tindakan yang bersifat strategis. Strategi adalah “suatu pertimbangan dan pemikiran yang logis, analitis serta konseptual mengenai hal-hal penting atau prioritas (baik dalam jangka panjang,
58
pendek maupun mendesak), yang dijadikan acuan untuk menetapkan langkahlangkah, tindakan, dan cara-cara (taktik) ataupun kiat (jurus-jurus) yang harus dilakukan secara terpadu untuk terlaksananya kegiatan operasional dan penunjang dalam menghadapi tantangan yang harus ditangani dengan sebaikbaiknya sesuai dengan tujuan ataupun sasaran-sasaran dan hasil (out put) yang harus dicapai serta kebijaksanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Strategi paling baik didefinisikan sebagai ”melakukan hal yang benar” sementara taktik adalah “melakukan segalanya dengan benar”. Strategi yang baik datang dari cara berfikir yang benar. Dalam mengembangkan strategi, dua pertanyaan mendasar harus dijawab, yaitu: 1) Apa yang harus dilakukan? 2) Bagaimana melakukannya? Daft (1988) mendefinisikan strategi sebagai rencana implementasi program pengembanganan yang berupa penentuan alokasi sumber daya dan kegiatan untuk bergelut dengan lingkungan dan membantu organisasi mencapai tujuannya. Pada level tertinggi dalam sebuah struktur organisasi, tingkat sekolah misalnya, strategi yang digunakan disebut dengan grand strategy. Strategi ini diartikan sebagai rencana umum mengenai tindakan utama malalui mana sebuah organisasi berniat untuk mencapai tujuan jangka panjangnya.
b. Macam-Macam Strategi Namun demikian, di bidang manajemen strategis dikenal berbagai opsi strategi yang dapat dipilih oleh sekolah dalam rangka mencapai tujuan strategisnya. Beberapa tipologi strategi tersebut dapat dikategorikan menurut (1) strategi berbasis SWOT analysis,
(2) kategorisasi grant strategy, (3) Tipologi
Strategi Adaptif dari Miles dan Snow, (4) Strategi Kompetitif dari Porterdan, dan (5) model Matriks MacMillan
1) Strategi Berbasis SWOT Analysis SWOT Analysis merupakan sebuah metode untuk menguji strategi-strategi yang potensial yang dikembangkan atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Melalui pengombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang
59
telah trekumpul sebagai hasil analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan perbaikan strategi yang selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategi-strategi baru. Matrik SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan menggunakan alat SWOT Analysis ini. Strategi berbasis SWOT analysis merupakan strategi yang banyak digunakan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Pada dasarnya, ada dua strategi pengembangan sekolah yang didasarkan atas hasil analisa SWOT, yaitu (1) arah pengembangan yang sifatnya ekspansi dan (2) arah pengembangan yang sifatnya konsolidasi. Arah pengembangan yang sifatnya ekspansi, baru dapat dilaksanakan apabila (1) Kekuatan (Strengths) yang di miliki institusi jauh lebih banyak (baik jumlah dan intensitasnya) jika dibandingkan dengan kelemahan (weaknesses) yang dimilikinya dan (2) Peluang (opportunities) yang berhasil di identifikasi jauh lebih banyak (baik jumlah dan intensitasnya) jika dibandingkan dengan ancaman (threats) yang dihadapinya. Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities (O), Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities (O), Weaknesses (W) dan Threats (T). Terdapat empat pilihan strategi dalam matrik SWOT: competition, mobilization, investment/divestemen, dan damage control.
Strategi competition
diterapkan apabila sekolah berada dalam posisi yang
kuat dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Strategi ini merupakan pemanfaatan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki.
Strategi mobilization dipilih apabila organisasi memiliki kekuatan yang cukup, tetapi diluar sana banyak ancaman yang harus dihadapi (S-T). Dengan kata lain, organisasi harus menanggulangi ancaman dengan memanfaatkan kekuatan yang ada.
Strategi investment/divestment diambil apabila organisasi dalam kondisi yang lemah akan tetapi banyak peluang yang tersedia (W-O). Dengan strategi ini organisasi
memanfaatkan
peluang
yang
ada
untuk
meningkatkan
kekuatannya.
60
Strategi damage control dipakai apabila organsasi berada pada kondisi lemah dan harus banyak menghadapi ancaman (W-T). Dengan strategi ini organisasi harus menekan kelemahan dan ancaman secara bersama-sama.
Format matrik SWOT dimaksud adalah sebagai berikut:
Matrik SWOT OPPORTUNITIES 1. …………………… 2. …………………… 3. …………………… 4. ……………………
THREATS 1. …………………… 2. …………………… 3. …………………… 4. ……………………
STRENGTH 1. …………………… 2. …………………… 3. …………………… 4. ……………………
SO Competition
ST Mobilization
WEAKNESS 1. …………………… 2. …………………… 3. …………………… 4. ……………………
WO Investment/Divestmen
WT Damage control
2) Kategorisasi Grant Strategy Grant strategy dibedakan menjadi tiga kategori: pertumbuhan, stabilitas, dan penghematan atau retrenchment. Pertumbuhan. Pertumbuhan atau growth dapat didorong dari dalam dengan cara meningkatkan investasi dalam bentuk peningkatan kesempatan akses masyarakat
atau
meningkatkan
difersifikasi
layanan
pendidikan
atau
meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar yang berlaku umum. Stabilitas. Stabilitas, kadang-kadang disebut strategi berhenti sesaat (pause strategy), berarti bahwa sekolah ingin tetap berada pada kondisinya sekarang atau tumbuh perlahan-lahan dan tetap terkendali. Ketika sebuah sekolah telah mengalami pertumbuhan yang pesat dan berhasil mencapai puncak visi yang diinginkan, sekolah itu biasanya memfokuskan diri pada strategi stabilitas untuk mengintegrasikan semua unit yang ada agar berada pada kondisi puncak itu dengan terus meningkatkan efisiensi.
61
Penghematan. Penghematan berarti bahwa sekolah melakukan pengurangan layanan pendidikan dengan mempersempit jenis program pendidikan yang diberikan. Cara ini dapat dilakukan dengan menutup sejumlah program keahlian yang tidak diminati masyarakat atau mengurangi jumlah siswa yang diterima. Hal ini tentu akan berdampak pada pengurangan sumber daya yang diinvestasikan, baik SDM maupun sumberdaya lainnya.
3) Matriks MacMillan Kisi-kisi strategi ini, yang dikembangkan oleh Dr. Ian Macmillan, dirancang khusus untuk membantu organisasi nir-laba, seperti sekolah, untuk merumuskan strategi organisasi. Terdapat tiga asumsi yang menjadi dasar pendekatan ini: (1) kebutuhan sumber daya pada dasarnya bersifat kompetitif dan semua organisasi yang ingin bertahan hidup harus menyadari dinamika itu; (2) oleh karena sumber daya yang tersedia itu sangat terbatas, maka tidak ada ruang untuk duplikasi layanan jasa kepada satu konstituen karena hal ini dipandang sebagai pemborosan dan tidak efisien; (3) layanan jasa yang berkualitas rendah atau biasa-biasa saja dan diberikan kepada kahlayak luas kurang disukai dibandingkan dengan jasa berkualitas tinggi dan diberikan kepada khalayak khusus. Asumsi-asumsi ini memberi implikasi yang sulit dan menyakitkan bagi kebanyakan sekolah. Hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penghentian programprogram tertentu untuk meningkatkan jasa dan kompetensi utama, memberikan program-program dan khalayak sasaran yang lebih efisien dan efektif, atau berkompetisi secara agresif melalui program-program yang tingkat efesiensi dan efektifitasnya rendah. Matrik MacMillan menguji empat dimensi program yang dapat
membantu
penempatan
dalam
kisi-kisi
strategi
tersebut
dan
mengindikasikan strategi yang dapat dipilih.
Kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan
Program-program sekolah yang tidak sejalan dengan visi, misi, dan tujuan, tidak dapat sekolah mampu didukung oleh pengetahuan dan keterampilan organisasi, tidak memampukan sekolah untuk melakukan penggunaan sumber
62
daya bersama, dan/atau tidak memampukan sekolah untuk melakukan koordinasi kegiatan lintas program sebaiknya dikurangi.
Posisi Kompetitif
Posisi kompetitif mengacu pada sejauh mana sekolah memiliki kekuatan dan potensi yang lebih kuat untuk mendanai program dan memberikan layanan berbasis klien dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya.
Kemenarikan Program
Kemenarikan program dilihat dari kompleksitasnya terkait dengan pengelolaan porgram itu sendiri. Program-program dengan penolakan yang rendah dari klien, mengalami pertumbuhan layanan berbasis klien, mudah keluar dari hambatan yang dihadapi, dan didukung sumber daya keuangan yang stabil merupakan program yang sederhana dan “mudah dikelola.” Level kemenarikan program juga mencakup perespektif ekonomi atau telaah terhadap peluang investasi sekarang dan masa yang akan datang.
Cakupan Alternatif
Cakupan alternatif adalah banyaknya organisasi lain yang berusaha untuk memberikan atau ingin berhasil melaksanakan program yang sama di wilayah yang sama dan kepada konstituen yang sama pula. Matrik MacMillan (Tabel 4.1) terdiri dari sepuluh sel untuk menempatkan program-program yang telah ditelaah atas dasar empat dimensi tersebut. Masingmasing sel digunakan untuk menetapkan strategi yang mengarahkan langkah ke depan dari program-program yang tercantum dalam sel itu.
63
Tabel 4.1. Matrik MacMillan Kemenarikan Program Tinggi: Program "Mudah"
Kesesuaian dengan Visi, Misi, & Tjuan Baik
Kesesuaian dengan Visi, Misi, & Tjuan Rendah
Kemenarikan Program Rendah: Program "Sulit"
Cakupan Alternatif Tinggi
Cakupan Alternatif Rendah
Cakupan Alternatif Tinggi
Cakupan Alternatif Rendah
Posisi Kompetitif Kuat
1. Kompetisi Agresif (Aggressive competition)
2. Pertumbuhan Agresif (Aggressive growth)
5. Meniru pesaing yang terbaik (Build up the best competitor)
6. "Soul of the Agency"
Posisi Kompetitif Lemah
3. Divestasi Agresif (aggressive divestment)
4. Membangun Kekuatan atau berhenti (build up strength or get out)
7. Divestasi dengan Teratur (orderly disvestment)
8. "Bantuan dari Luar" (Foreign Aid) atau Kerja Sama
9. Divestasi Agresif (aggressive divestment)
10. Divestasi Dengan Teratur (orderly disvestment)
C. Rencana Implementasi Pengembangan (RIP)
Komitmen sekolah untuk melaksanakan perencanaan strategis terkait dengan sejauh mana: (1) sekolah mewujudkannya dalam rencana implementasi pengembangan untuk mencapai strategi yang dirumuskan dan (2) melaksanakan berbagai metode untuk memverifikasi dan mengevaluasi implementasi nyata dari rencana implementasi program pengembangan itu. Masalah utama yang sering muncul saat proses perencanaan sampai pada tahap penyusunan RIP ini antara lain pihak perencana telah mengalami kelelahan setelah menyelesaikan tahap-tahap perencanaan sebelumnya. Penyusunan RIP terasa lebih njelimet dan membosankan dibandingkan tahap-tahap perencanaan strategis sebelumnya yang terkesan lebih besifat kreatif. Oleh karena itu, penyusunan RIP sering terabaikan, dan membiarkan hasil-hasil yang diperoleh pada tahap-tahap sebelumnya lebih sebagai “lamunan”—pernyataan-pernyataan filosofis yang tidak bermanfaat dan tidak membumi pada realitas kegiatan sekolah
64
sehari-hari. Langkah-langkah penting yang telah dilakukan dalam perencanaan strategis itu menjadi sama sekali tidak berguna. RIP
merupakan bagian dari proses perencanaan strategis. Pada saat
penyusunan RIP, perencana harus telah menuntaskan tugas-tugas: perumusan atau telaah ulang visi, misi, dan tujuan serta analisis strategis yang meliputi evaluasi diri, analisis SWOT, identifikasi isu-isu strategis, dan penetapan strategi. RIP secara khusus mencakup pembuatan keputusan tentang siapa yang akan mengerjakan apa dan kapan dan dengan langkah-langkah bagaimana untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. Rancangan dan implementasi perencanaan implementasi bergantung pada sifat dan kebutuhan masing-masing sekolah.
a. Struktur RIP Penyusunan RIP merupakan proses yang memampukan sekolah: (1) mengidentifikasi secara tepat apa yang diinginkan atau apa yang dibutuhkan untuk mencapai hal-hal yang terkait dengan masing-masing prioritas, (2) merencanakan dan mendokumentasikan sejumlah tindakan untuk mencapainya, dan (3) melakukan monitoring dan evaluasi agar praktik-praktik tersebut dapat diperbaiki seiring dengan berkembangnya pengalaman. Sebuah RIP
harus difokuskan pada kebijakan tertentu. Dalam kaitannya
dengan kebijakan ini, Rencana implementasi program pengembangan mencakup: a)
Program Pengembangan b) Tujuan
:
Program yang terkait dengan RIP yang akan disusun apa yang akan dicapai
:
c) Kegiatan
:
jenis dan tahap-tahap pekerjaan yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran itu.
d) Sumber Daya
:
e) Pendelegasian f) Jadwal Kegiatan
: :
g) Kriteria Keberhasilan
:
h) Prosedur Monitoring dan Evaluasi
:
sumber daya manusia, finansial, organisasi, fasilitas fisik yang dibutuhkan dalam implementasi. siapa mengerjakan apa kapan pekerjaan sesungguhnya dilaksanakan; batas waktu tugas harus diselesaikan hasil yang akan menjadi indikator bahwa rencana tersebut sedang atau telah mencapai sasara yang diinginkan. Bagaimana monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan capaian tujuan program akan dievaluasi.
65