36 0 178KB
MAKALAH PESIKOLOGI VERSUS DAN PRO AGAMA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Pesikologi Agama Dosen Pengampu : Ibu Fatimtus Zahro, M.S.I
OLEH : ADIB ULIN NUHA RIFQI MUHAMMAD S.U MUHAMMAD ALI ALHAFID
NIM : 114034 NIM : 114047 NIM : 114044
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TAHUN 2016
PESIKOLOGI VERSUS DAN PRO AGAMA 1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum menjadi ilmu yangotonom, psikologi agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup lama.Karena itu psikologi agama dinilai sebagai cabang psikologi yang relative masih muda.Perbedaan pendapat
yang
belatar
belakangi
perbedaan
sudut
pandang
antaraagamawan dan para psikolog agama sempat menunda munculnya psikologi agama sebagaidisiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga psikologi agama sebagai cabang psikologi barutumbuh sekitar penghujung abad ke-19, setelah sejumlah tulisan dan buku-buku yang menjadipendukungnya diterbitkan dan beredar.Dalam usianya yang menjelang seabad ini tampaknya psikologi agama kian diterimaoleh berbagai kalangan termasuk para agamawan yang semula menggugat keabsahannyasebagai disiplin ilmu yang otonom. Sejalan dengan hal itu maka kemajuan danpengembangan psikologi agama di lapangan dinilai
banyak
membantu
pemahaman
terhadappermasalahan
keagamaan dalam kaitannya dengan tugas-tugas kependidikan.Maka penulisan makalah ini membahas psikologi agama selain sebagai tugaspendidikan juga untuk mempelajari sejarah perkembangan psikologi agama lebih jauh b. Rumusan Masalah Sebagaimana diatas bahwa rumusan maslah dalam makalah ini adalaha sebagai berikut : 1. Apa pengertian Psikologi dan Agama ? 2. Mengapa Psikologi Versus Dengan Agama ? 3. Mengapa Pesikologi Pro Dengan Agama ? 2. PEMBAHASAN a. Pengertian Psikologi Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada
1
dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya. Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan psikologi adalah konseling. Bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang digunakan, dan proses penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai konseling dapat pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling psychology). b. Pengertian Agama Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan. Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu
yang
menjadi
urusan
terakhir baginya. Artinya,
bagi
kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya. Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan oranglain dan berusaha untuk bergabung dengan oranglain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya. c. Psikologi Versus Agama Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada
2
gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan dirii.
1
Dimana dalam hal Psikologi versus agama ini terdapat beberapa sudut pandang yaitu sebagai berikut : 1. Pandangan Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual. Menganggap agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical Psychology, terbitan 1980 : “ Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang
secara
dogmatis
mempercayai
agama
tertentu
mempercayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional. 2. Pandangan Agama Yang Negatif Terhadap Psikologi Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan agamawan yang mencampurkan psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang menegaskan posisi psikologi 1 Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama. Hlm, 152-174 3
dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan Psikologi. Pada salah satu artikelnya yang berjudul “First Things : Faith and Terapy” (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan di Boston College ini menulis : “Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak ada kompromi antara agama kristen dan kelompok psikologi”. Satu-satunya menyibakkan
cara
kabut
ini
yang
paling
perkasa
adalah
cahaya
wahyu.
untuk Wahyu
mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional bukanlah segala-galanya. Al-kitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat dosa, kita harus memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik memasuki kerajaan surga dengan psyche yang mengalami represi ketimbang memasuki tempat lain dengan dipenuhi penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur puncak dalam teori-teori para psikolog. Psikolog sangat sedikit berbicara tentang kebanyakan manusia yang menderita di dunia ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa kita semua akan mati. 3. Keyakinan agama para psikolog Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, skularisasi
perlahan-lahan
menyeret
agama
kepinggiran
kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang Eropa, pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat dalam kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan paling rendah sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa utara, ‘kata Hoge (1997:23). Di Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan orang banyak, keterlibatan dalam kegiatan agama tidak berkurang;
dalam
beberapa
aspek
keagamaan,
bahkan
bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa “agama dapat menjawab semua atau kebanyakan problem 4
masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57% berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445). Mereka juga ternyata
menaruh
kepercayaan
kepada
lembaga-lembaga
agama: karena kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan kedua setelah institusi militer (Hastings &Hastings, `1994 : 313). Lalu, dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi paling jelas menunjukkan dampaknya di kalangan academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa lulusan perguruan
tinggi
menganggap
agama
kurang
penting
dibandingkan dengan orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam tinjauan literature yang dilakukan oleh Beit Hallahmi (1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para dosen
menyatakan
tidak
menganut
agama
apapun,
dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup, Jr. 1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan agama kurang penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika kita membandingkan penelitian ini dengan study yang dilakukan Leuba, salah seorang perintis psikologi agama, kita menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami perubahan.. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan bahwa makin terkemuka seorang ilmuan, makin rendah keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa psikologi paling kecil kemungkinannya untuk “Percaya kepada Tuhan yang menjawab do’a”. Menurut Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol : kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara menjelimet. Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang yang beragama untuk merasa berdosa dan
takut
akan
hukuman 5
tuhan.
Dari
situlah,
Freud
membandingkan
unsure-unsur
ini
dengan
gejola
obsesif
neurosis, yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam
menghadapi
impuls
yang
tidak
dapat
diterima.
Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan, berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam situasi hidup lainnya sekali lagi membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra Tuhan sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang disebut Freud, “merupakan akar setiap bentuk agama”, ditandai dengan kegamangan. Pasalnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahan penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang sudah lama hilang. Karena itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh hambatan-hambatan berfikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi yang ditimbulkan oleh ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi masyarakat yang memaksakan penekanan naluri melalui hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu, karena orang6
orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan bukan karena pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma agama
yang
membenarkan
memporak-porandakan
larangan
cultural
masyarakat.Hanya
ini
akan
dengan
meninggalkan agam dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud, dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan
berkembang
melewati
tahap
kekanak-kanakannya.
Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima banyak celah yang ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita tentang realitas, sambil dengan berani menghadapi situasi tak berdaya dan tak bermakna yang menjadi nasib kita semua. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas. 4. Agama Pada Masa Pranatal dan Anak- Anak Ketika berada didalam kandungan bayi sudah bisa merespon sinyal-sinyal yang ada di luar. Apa yang didengar ataupun yang dirasakan oleh ibu dapat dirasakan oleh bayi tersebut. Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tunbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacammacam
emosi
dan
dorongan 7
yang
saling
bertentangan.
Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus. Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Orang bijak telah menunjukkan pada manusia berbagai macam benda yang akan menarik perhatiannya dan menjadi objek konsentrasinya untuk menenangkan fikirannya: karena dalam fikiran yang tenang, Tuhan akan menjelma.2 5. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. walupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan
pengembangan
melalui
bimbingan
dan
pemeliiharaan yang mantap, lebih-lebih usia dini. Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan 2 Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama,(Yogyakarta: Putra Langit, 2003) hal. 96
8
lainnya. Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, antara lain: a. Rasa ketergantungan (Sense of depand) Bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. b. Rasa keagamaan Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink
diantaranya
instink
keagamaan.
Belum
terlihatnya keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi
kejiwaan
yang
menopang
kematangan
berfungsinya instink itu belum sempurna. 6. Tahap perkembangan agama pada anak. Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah, dan
dalam
masyarakat
lingkungan.
Semakin
banyak
pengalaman yang bersifat agama(sesuai dengan ajarannya), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian yang mana sebagai berikut : a. The Fairly Tale Stage (Tingkat dongeng) Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng. Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa 9
anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanakkanakannya.
Dengan
caranya
sendiri
anak
mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan
ungkapannya
tentang
Tuhan
lebih
bernada
individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis. b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan) Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada
emosi
berubah
menggunakan
pada
hubungan
pikiran
dengan
atau
logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai
permulaan
wajarlah
bila
anak
pertumbuhan harus
logis,
diberi
sehingga
pelajaran
dan
dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya) c. The Individual Stage (Tingkat Individu). Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga bagian. 1. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. 2. Konsep ketuhanan
yang
lebih
murni,
dinyatakan dengan pandangan yang bersifat Personal. 3. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.3 3 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005) hal. 67 10
Dalam kehidupan seehari-hari, ternyata tidak semua anak
dapat
menyesuaikan
diri
dengan
baik
terhadap
lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang “miskin” kepribadiannya ataupun kehidupan sosialnya, merasa tidak bahagia dan mengalami kesukaran dalam mengatasi masalah yang
timbul.
Itu
semua
karena
banyak
faktor
yang
mempengaruhi keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri. 4 Berkaitan dengan masalah ini. Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu: a. Fase dalam kandungan Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terrjadinya perjanjian antara manusi dengan Tuhannya. b. Fase bayi Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak. c. Fase kanak-kanak. Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orangorang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal
Tuhan
disekelilingnya.
Ia
melalui
ucapan-
melihat
ucapan
orang
orang
yang
perilaku
mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada
usia
kanak-
kanak
belum
mempunyai
4 D Gunarta Singgih, dkk, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1986) hal. 94-95
11
pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakantindakan agama sekalipun sifatnya meniru. d. Masa Anak Sekolah Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang. d. Psikologi Pro-Agama Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di kalangan “mainstream” psikologi dan psikiatri-agama di anggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa “jika religiusitas di korelasikan dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek yang di temukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental,seperti dinyatakan oleh Elis dan lain-lain. Sebanyak 47% menunjukan hubungan positif, dan 30% hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil penelitian bertentangan dengan teori efek negatif agama”. Secara singkat, Koenig (1999) melaporkan dalam bukunya, The Healing Power Of Faith, bahwa keluarga yang religius umumnya: 1. Punya keluarga yang lebih bahagia 2. Punya gaya hidup yang lebih sehat 3. Dapat mengatasi stress 4. Hidup lebih lama dan lebih sehat 5. Terlindungi dari penyakit kardiovaskular 6. Punya sistem imun yang lebih kuat 7. Lebih sedikit menggunakan jasa rumah sakit Selain itu, khusus untuk kesehatan mental, yang ,menjadi perhatian
para
psikolog
dan
psikoterapis,
agama
perlu
dipertimbangkan dan di pelajari karena 5 alasan yang di kemukakan Koenig : 1. Dengan
mengetahui
latar
belakang
dan
pengalaman
keagamaan pasien, terapis akan lebih memahami konflik yang 12
terjadi pada diri pasien. Misalnya, pasien yang sedang bergulat menghadapi
perasaan
bersalah
tidak
akan
berhasil
di
sembuhkan dengan psikterapi tradisional. Dengan meneliti latar belakang agama pasien, psikolok mengetahui bahwa pasien dibesarkan dalam keluarga fundamentalis yang exstrime. Pasien menderita karena ketakutan akan akibat dosanya. 2. Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan peranan yang di mainkanya pada kehidupan sekarang, terapis akan dapat melakukan intervensi kognitif dan bihavioral dengan cara-cara yang dapat di terima oleh sistem kepercayaan pasien. 3. Pengetahuan tentang komitmen, prilaku, dan kepercayaan agama pasien akan membantu terapis untuk mengidentifikasi sumber daya agama yang sehat, yang bisa di percaya untuk melengkapi terapi tradisional. 4. Pengalaman
agama
yang
negatif
sebelumnya,
dapat
merintangi pasien untuk menggunakan sumber daya imanya dalam
mengatasi
persoalan
hidupnya
yang
sekarang.
Mempelajari dan membntu pasien mengelola pengalaman negatifnya itu dapat membebaskan dia untuk sekali lagi menggunakan sumber daya agamanya. 5. Menyentuh masalah keagamaan akan menyampaikan kepada pasien kesan bahwa terapis tidak hanya lengkap dan menyeluruh dalam penilain diagnostiknya, tetapi juga ia peka pada wilayah kehidupan pasien yang sangat bermakna bagi orang yang bersangkutan. 1. Efek Agama Pada Kesehatan Fisik Dan Mental. Berdasarkan penelitian yang tealh di lakyukan sebelumnya, kita sampai pada kesimpulan yang agak tentative tentang hubungan agama dan kesehatan. Salah satu kesimpulan yang dapat kita nyatakan dalam tingkat kepercaytaan yang tinggib adalah bahwa agama adalah, terutama yang di dasarkan kepada kepercayaan Judeo-Kristiani, tidak berpengaruh negative terhadap kesehatan. Tentu saja tidak termasuk kesini cult, seperti yang terlibat dalam pembantaian Jonestown dan Waco, juga kelompok-kelompok 13
agama yang menyimpang dan berada di pinggiran masyarakat atau di luar tradisi agama yang sudah mapan. Tidak ada satupun penelitian yang mendukung pengaruh negative pada kesehatan mental dan fisik dari kehadiran gereja, sembahyang, membaca al kitab, atau keterlibatan dalam ritus-ritus keagamaan, terutama sekali yang terjadi dalam konteks tradisi agama Judeo-Kristiani. a) Efek pada kesehatan Mental Secara umum,kesalehan mengikuti kegiatan agama, baik sendirian ataupun bersama, berhubungan dengan kesehatan mental yang baik. Secara spesifik:Sejumlah besar penduduk amerika (sekitar 20-40%) mengatakan bahwa agama ialah salah satu dari factor penting yang membantu mereka mengatasi situasi hidup yang penuh stress. Penggunaan agama sebagi perilaku koping berkaitan dengan harga diri yang lebih tinggi dan depresi yang lebih rendah, terutama di kalangan orang-orang yang cacat fisik. Agama juga dapat meramalkan siapa yang akan tau tidak akan mengalami depresi. Komitmen agama yang taat (terutama keberagman intrinsic) berkaitan dengan tingkat depresi yang lebioh rendah, penyembuhan dari depresi yang lebih cepat, kesejahteraan dan moril yang lebih tinggi, harga diri yang lebih baik, locus control yang internal, perkawinan yang bahagia, penyesuaian diri yang lebih cepat pada pasien yang menbderita dimensia atau kanker stadium akhir. Pengunjung
gereja
atau
sinagog
yang
rajin,
nberkaitan dengan 40-50% pengurangan resiko depresi, tingkat bunuh diri lebih rendah, tingkat kecemasan lebih rendah, tingkat alkoholisme dan penggunaan zat adiktif lebih rendah, di bdukung sosial yang lebih tinggi; kebahagiaan, penyesuaian, dan kesejahteraan yang lebih besar, harga diri yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih tinggi, dan
14
meramalkan perasaan positif 12 tahun kemudian pada orang dewasa muda. Kegiatan agam sendirian, seperti sembahyang dan mmbaca alkitab, berkaitan dengan kesehatan yang lebih besar, kepuasan hidup yang lebih tinggi, kecemasan mati yang lebih rendah, dan tingkat alkoholisme dan penggunaan obat yang lebih rendah gula. b) Efek pada Kesehatan Fisik Efek keparcayaan dan pengalaman agama pada kesehatan fisik sama dengan pada kesehatan mental. Pada umumnya, orang yang beragama lebih sehat daripada yang tidak. Secara spesifi: Pada tingkat tertentu penyakit kronis, lelaki yang lebih religious menganggap kemampuannya untuk berfungsi secara lebih tinggi daripada orang yang tidak religious. Frekuensi kunjungan ke gereja dapat meramalkan tingkat ketidakmampuan fisik yang lebih rendah pada orangorang tua, pada satu, dua, atau tiga tahun berikutnya. Keberagaman meramal penyembuhan lebih cepat dari praktur tulang paha (diukur dari beberapa meter berjalan dan status ambulans pada saat keluar dari rumah sakit). Intensitas kepercayaanh agama dan kehadiran di tempat ibadah berkaitan dengan tingkat sakit yang lebih rendah. 3. PENUTUP. a. Kesimpulan Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai 15
cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan. Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan diri. Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di kalangan “mainstream” psikologi dan psikiatri-agama di anggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa “jika religiusitas di korelasikan dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek yang di temukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental,seperti dinyatakan oleh Elis dan lain-lain. Sebanyak 47% menunjukan hubungan positif, dan 30% hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil penelitian bertentangan dengan teori efek negatif agama”. Secara singkat, Koenig (1999) melaporkan dalam bukunya, The Healing Power Of Faith, bahwa keluarga yang religius umumnya:
16
DAFTAR PUSTAKA Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama, ogyakarta: Putra Langit, 2003 Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005 D Gunarta Singgih, dkk, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1986 http://dokumen.tips/documents/psikologi-versus-agama.html
diakses
tanggal
18
Oktober 2016 http://kusmawatiheny.blogspot.com/2013/03/psikologi-vs-agama.html tanggal 17 Oktober 2016
17
diakses