LP + Askep Bella Novitaa [PDF]

  • 0 0 0
  • Gefällt Ihnen dieses papier und der download? Sie können Ihre eigene PDF-Datei in wenigen Minuten kostenlos online veröffentlichen! Anmelden
Datei wird geladen, bitte warten...
Zitiervorschau

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN DIANGNOSA MEDIS HEMATOTHORAX DI RUANG INTENSIVE GAWAT DARURAT RSUD DR DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Disusun Oleh : Bella Novita NIM :2017.C.09a.0828

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2020

BAB 1 Tinjauan Pustaka 1.

Konsep Dasar Penyakit

1.1

Definisi Akumulasi darah dalam dada, atau hemothoraks adalah masalah yang

relative umum, paling sering akibat cedera untuk struktur intrathoracic atau dinding dada. (Bararah, 2013) Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura. (Muttaqin, 2012) Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Meskipun beberapa penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit minimal 50% diperlukan untuk membedakan hemothorax dari perdarahan efusi pleura, kebanyakan penulis tidak setuju pada setiap perbedaan spesifik (Mancini, 2015) 1.2

Etiologi Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang akan

menyebabkan rongga paksa tumpul pada rongga thorak (hemothoraks) dan rongga abdomen. Trauma tajam dapat disebabkan oleh tikaman dan tembakan. (Bararah, 2013) Penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hemotoraks juga dapat terjadi pada pasien dengan defek pembekuan darah, operasi toraks atau jantung, kanker pleura atau paru, dan tuberculosis. Selain itu, penyebab lainnya adalah pemasangan kateter vena sentral dan tabung torakostomi. Laporan kasus melibatkan terkait gangguan seperti penyakit hemoragik pada bayi baru lahir (misalnya, kekurangan vitamin K), Henoch-Schönlein purpura, dan beta thalassemia / penyakit E hemoglobin. Kongenital malformasi adenomatoid kistik sesekali menghasilkan hemothorax. (Mancini, 2015)

1.3

Patofisiologi Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat

tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah.

HEMATOTHORAX

WOC

Etiologi : Penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma toraks.

Pengertian : Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura

B1

Hemotoraks juga dapat terjadi pada pasien dengan defek pembekuan darah, operasi toraks atau jantung, kanker pleura atau paru, dan tuberculosis. Selain itu, penyebab lainnya adalah pemasangan kateter vena sentral dan tabung torakostomi.

B2

Lakalantas pukulan benda tumpul

Trauma Tumpul

Trauma Tumpul

B3

Gerakan pragmen costa menyebabkan gesekan

perdarahan Robekan jaringan pembuluh darah

Tertumpu benda berat/tumpul

Aliran darah menurun

Stimulasi saraf

B4

Perdarahan

Suplai darah ginjal menurun

Filtrasi menurun

Hematorax HB menurun MK : Nyeri Akut

tek. Hidrostatik MK: Syok Hipovolemik

Kebocoran cairan kapiler Adanya secret/cairan Difusi O2 terhambat

-

Bersihan jalan nafas tidak efektif

-

Pola nafas tidak efektif

-

Perfusi jaringan perifer tidak efektif

B5

Stress lokal

Katekolamin Meningkat

B6

Thorak tertumpu setir

Perdarahan

Asam lambung meningkat

hipoxia

Mual muntah

Penurunan kesadran

Oliguri

MK : Gngguan eliminasi Urin MK : Resiko defisit Nutrisi

MK : intoleransi Aktivitas

1.4

Pathway

Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah. Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah. Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami

dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari. Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan utama. Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai. Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah. Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis. (Mancini, 2015) 1.5

Komplikasi Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,

pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akanmenjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam decadeterakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Nugroho, 2015).

1. Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yangpaling sering terjadi.Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. 1) Kegagalan pernapasan 2) Kematian 3) Fibrosis atau parut dari membran pleura 4) Syok Hipovolemia 2. Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupuntidak langsung. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. 3. Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. 4. Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kalidisertai dengan fraktur kosta multipel. 5. Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang palingumum terjadi. 6. Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks pada trauma tumpul toraksterjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan rupture alveolus. Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu 1.6

Klasifikasi Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3

golongan, yaitu: 1. Hematothoraks ringan 1) Jumlah darah kurang dari 400 cc 2) Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto thoraks 3) Perkusi pekak sampai iga IX

2. Hematothoraks sedang 1) Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc 2) 15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks 3) Perkusi pekak sampai iga VI 3. Hematothorax berat 1) Jumlah darah lebih dari 2000 cc 2) 35% tertutup bayangan pada foto thoraks 3) Perkusi pekak sampai iga IV 1.7

Pemeriksaan Diagnostik 1.

Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari

trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain. 2.

Radiologi : Foto Thorax (AP) Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien

dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks. 3.

Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan

pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan

analisa

gas

darah

dikenal

juga

dengan

nama

pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.

Didalam tabel berikut ini dapat dilihat nilai normal dari GDA dan pH, serta kemungkinan diagnosis terhadap perubahan nilai dari hasil pemeriksaannya: Nilai Normal

Asidosis

Alkaliosis

pH (7,35 s/d 7,45)

Turun

Naik

HCO3 (22 s/d 26)

Turun

Naik

PaCO2 (35 s/d 45)

Naik

Turun

BE (–2 s/d +2)

Turun

Naik

PaO2 ( 80 s/d 100 )

Turun

Naik

Pemeriksaan AGD dan pH tidak hanya dilakukan untuk penegakan diagnosis penyakit tertentu, namun pemeriksaan ini juga dapat dilakukan dalam rangka pemantauan hasil / respon terhadap pemberian terapi / intervensi tertentu kepada klien dengan keadaan nilai AGD dan pH yang tidak normal baik Asidosis maupun Alkaliosis, baik Respiratori maupun Metabolik. Dari pemantauan yang dilakukan dengan pemeriksaan AGD dan pH, dapat diketahui ketidakseimbangan sudah terkompensasi atau belum / tidak terkompensasi. 4.

CT-Scan Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul

toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi. 5.

Ekhokardiografi Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan

diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini

bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%. 6.

EKG (Elektrokardiografi) Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi

akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung. 7.

Angiografi Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan

adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa. Hb (Hemoglobin) : Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan tubuh.  1.8 Pemeriksaan penunjang 1.

Sinar X dada 1) Menunjukkan akumulasi cairan pada area pleura 2) Dapat menunjukkan penyimpangan struktur mediastinal (jantung)

2.

GDA 1) Tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan

mekanik

pernapasan,

dan

kemampuan

mengkompensasi 2) PaCO2 mungkin normal atau menurun 3) Saturasi oksigen biasanya menurun 3.

Torasentesis

Menunjukkan darah/cairan serosanguinosa (hemothoraks) 4.

Full blood count

1)

Hb menurun

2)

Hematokrit menurun

 1.9 Penatalaksanaan 1.

Resusitasi cairan Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah

yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi. Bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest tube (WSD) 2.

Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti : 1) Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock. 2) Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya. 3) Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik. 3.

Thoracotomy

Tindakan ini dilakukan bila dalam keadaan: 1) Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. 2) Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi perdarahan tetap berlangsung terus. 3) Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam waktu 2 – 4 jam.

4) Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di daerah posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemungkinan diperlukannya torakotomi 1.10 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS 1.

Pengkajian 1) Pengkajian primer 1) Airway dan cervical control Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. 2) Breathing dan ventilation Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. 3) Circulation dan hemorrhage control 1) Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. 2) Kontrol Perdarahan 3) Disability Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. 4) Exposure dan Environment control Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

2) Pengkajian sekunder 1) Pemeriksaan fisik 1. Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004). 2. Wajah Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS. a. Mata

: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies

visus

dan

acies

campus),

apakah

konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia b. Hidung

:periksa

adanya

perdarahan,

perasaan

nyeri,

penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)

lakukan

palpasi

akan

kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. c.

Telinga

:periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum

d. Rahang atas

: periksa stabilitas rahang atas

e. Rahang bawah

: periksa akan adanya fraktur

f. Mulut dan faring : pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri 3. Vertebra servikalis dan leher Pada saat memeriksa leher, periksa adanya

deformitas tulang atau

krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.. 4. Toraks Inspeksi

: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan

belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005) Palpasi

: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi

: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi

: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

5. Abdomen Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010). 6. Pelvis (perineum/rectum/vagina) Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010). Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada

wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,

Sebuah sampel urin harus

diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). 7. Ektremitas Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik. Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan

berat

pada

ekstremitas

dapat

terjadi

tanpa

disertai

fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh

syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini

hanya

dapat

didiagnosa

dengan

foto

rongent.

Pemeriksaan

muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah 1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal 2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali. 3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). 8. Bagian punggung Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan

pemeriksaan

punggung

(Tim

YAGD

118,

2010).

Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas. 9. Neurologis Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah

bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori 2.

Diagnosa Keperawatan 1)

Hipovolemia

berhubungan

dengan

penurunan

volume

cairan

intravaskuler 2)

Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.

3)

Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

4)

Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.

5)

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

6)

Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.

7)

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.

8)

Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

3.

Intevensi Keperawatan

1)

Hipovolemia

berhubungan

dengan

penurunan

volume

cairan

intravaskuler Tujuan : Cairan terpenuhi Kriteria hasil : 1. Memperlihatkan nadi kembali normal 2. Suhu tubuh normal 3. Volume urin meningkat 4. Tidak pucat 5. Akral kembali hangat / normal Intervensi : 2)

Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.

Tujuan : Pola pernapasan efektive. Kriteria hasil : 1. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive. 2. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. 3. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab Intervensi : 1.

Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.

2.

Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.

3.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.

4.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

3) Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. Tujuan : Jalan napas lancar/normal Kriteria hasil :

1. Menunjukkan batuk yang efektif. 2. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. 3. Klien nyaman. Intervensi : 1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. 2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. 3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. 4. Lakukan pernapasan diafragma. 5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. 4) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. Tujuan : Nyeri berkurang/hilang. Kriteria hasil : 1. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. 2. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri. 3. -Pasien tidak gelisah Intervensi : 1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan

pereda nyeri

nonfarmakologi dan non invasif. 2. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. 3. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung. 4. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. 5. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.

BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN Kasus : Tn. D (30 tahun) dibawa keluarganya ke rumah sakit Doris Sylvanus karena mengalami kecelakaan bermobil. Pasien mengalami penurunan kesadaran. Keluarga mengatakan dada korban membentur stir dan sempat muntah darah. Keaadaan pasien saat di IGD klien mengalami penurunan kesadaran, napas cepat dan dangkal, auskultasi suara gurgling Terdapat bengkak dan jejas di dada sebelah kiri. Hasil pemeriksaan GCS 6(E2V2M2) kesadaran sopor, hasil pemeriksaan TTV, TD: 110/80 mmHg, nadi: 110x/menit, RR :35x/menit, suhu 37, SpO2 89%., akral teraba dingin, tanpak sianosis, CRT >2 detik, pasien tampak pucat. 2.1

2.2

Identitas Pasien Nama

: Tn. D

Umur

: 30 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Suku/ Bangsa

: Dayak Indonesia

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Alamat

: Jl. Bukit Raya

Tanggal MRS

: 03 Oktober 2020 / 08.30 WIB

No. MR

: XXXX

Prioritas Kasus Prioritas Triase : Prioritas I (Merah) Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran Post KLL Diagnosa Medis : (Hematothorax)

2.3

Data Primer 1.

Airway Hasil pemeriksaan ditemukan ada sumbatan jalan napas berupa cairan darah, pada jalan nafas.

2.

Breathing Pasien mengalamai sesak napas, RR = 35 x/menit, napas dangkal, irama tidak teratur, suara nafas gurgling, tidak terdapat penggunaan otot bantu napas, tipe pernapasan dada dan perut.

3.

Circulation Frekuensi Nadi: 110x/menit, TD: 110/80 mmHg, denyut nadi teraba kuat dan teratur, akral teraba dingin, CRT 2 detik,

2.

Riwayat penyakit dahulu/ atau Riwayat Pengobatan Keluarga klien mengatakan Keluarga mengatakan Klien belum pernah masuk rumah sakit dan mengalami kecelakaan berat seperti sekarang ini dan baru pertama kali masuk rumah sakit

3.

Riwayat AMPLE A

: Keluarga pasien mengatakan tidak ada alergi obat-obatan maupun makanan.

M

: Keluarga pasien mengatakan bahwa pasian tidak ada mengkonsumsi obat

P

: Klien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya

L

: Sebelum kejadian dan masuk rumah sakit pasien tidak mengomsumsi obat-obatan

E

: Klien mengalami kecelakaan mobil tertabrak dengan truk dan setelah

kejaidian

pasien

langsung

mengalami

penuruan

kesadaran 2.6 No

Terapi Medis Nama Terapi 1. 1Dobutamin

Dosis 150 gr Kontinyu

Cara

Golongan

Pemberian

Obat

I.V

Obat jantung

Indikasi Dobutamin adalah obat yang digunakan oleh penderita gagal jantung untuk membantu jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Dobutamin diberikan ketika gagal jantung yang diderita pasien sudah tidak bisa dikompensasi oleh

Nama

No

Terapi

Dosis

Cara

Golongan

Pemberian

Obat

Indikasi tubuh, yang dapat menimbulkan turunnya tekanan darah

2.

Ringer

500cc

Laktat

kontinyu

I.V

Elektrolit

untuk menggantikan cairan eletkrolit yang hilang dalam tubuh. Berikut adalah beberapa kondisi di mana ringer laktat digunakan : syok, kekurangan cairan/darah

3.

Asam Traneksamat

3X 10

I, V

ml

Antifbrinol itik

obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan. Ketika mengalami perdarahan, tubuh otomatis akan membekukan darah perdarahan

4.

Omeperazole 1x40 ml

I.V

Analgetik

adalah obat untuk mengatasi  gangguan lambung, seperti penyakit asam lambung dan tukak lambung. Obat ini dapat mengurangi produksi asam di

No

Nama Terapi

Dosis

Cara

Golongan

Pemberian

Obat

Indikasi dalam lambung.

2.7

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan laboraturium Pemeriksaan Glukosa sewaktu Urea Kreatinin SGOT SGPT K Na Cl HbsAg WBC RBC HGB HCT

Hasil 140 32 1,00 23 14 41 145 99 Negatif 14,59 3,99 10,3 32,6

Satuan mg/dl mg/dl mg/dl u/L u/L Mmol/L Mmol/L Mmol/L

Nilai normal 70-140 10-50 0,5-1,2 0-31 0-32 3,4-5,4 135-155 95-108

[10^3/uL] [10^6/uL] [g/dL] [%]

4,8-10,8 4,2-5,4 12-16 37-47

ANALISA DATA Data Subjektif dan Data

Kemungkinan

Objektif

Penyebab

DS :

Trauma tumpul

Masalah Syok Hivopolemik (Hivopolemia)

1. Keluarga pasien mengatakan pasien sempat muntah darah

Perdarahan

DO : 2. KU : Penurunan Kesadaran 3. Kesadaran : Sopor

Aliran darah menurun

4. TTV : RR: 35x/m, N : 110x/M

Hb menurun

S : 370C Spo2 : 89% TD: 110/80 mmHg 5.

Px tampak pucat

6.

CRT