40 0 987KB
LAPORAN KASUS
ATRESIA DUODENUM Oleh Nur Rahmat Wibowo, S.Ked I11106029
Pembimbing dr. Hermanto, Sp.B, Sp.BA
SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEDARSO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul :
“Atresia Duodenum”
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Bedah di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak
Pontianak, Januari 2012 Pembimbing
Disusun oleh :
dr. Hermanto, Sp.B, Sp.BA
Nur Rahmat Wibowo,S.Ked
NIP.19560130 198302 1 001
NIM. I11106029
2
BAB I PENDAHULUAN Atresia Duodenum adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus. Atresia duodenum merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa ditemui didalam ahli bedah pediatrik dan merupakan lokasi yang paling sering terjadinya obstruksi usus di hampir semua kasus osbtruksi.1. Atresia duodenum dijumpai satu diantara 6.000─10.000 kelahiran hidup. Dasar embriologi terjadinya atresia duodenum disebabkan karena kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase padat intestinal bagian atas dan terdapat oklusi vascular di daerah duodenum dalam masa perkembangan fetal.2 Setengah dari semua bayi baru lahir dengan atresia duedenal juga mempunyai anomali kongenital pada sistem organ lainnya. Lebih dari 30% dari kasus kelainan ini ditemukan pada bayi dengan sindrom down. Adapun kelainan lain yang dapat ditemui diantaranya pancreas annulare (23%), Penyakit jantung congenital (22%), malrotasi (20%), atresia esophagus (8%) dan lainnya (20%).1 Laporan lain menyebutkan bahwa atresia duodenum berkaitan dengan prematuritas (46%), maternal polyhidramnion (33%), down syndrome (24%), pankreas annulare (33%) dan malrotasi (28%).3 Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana mengakibatkan bayi dapat mengalami asfiksia, dehidrasi, hiponatremia dan hipokalemia yang diakibatkan muntah-muntah.2 Berikut ini akan diuraikan sebuah kasus bayi dengan atresia duodenum dari aspek teori, penatalaksanaan, serta kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.4 2.2 Embriologi Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang lempeng usus,shg terdapat sumbatan usus. Seiring pertumbuhan usus, mulai pula proses vakuolisasi sehingga terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir minggu 8─10. Penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia,web/ diafgrama mukosa. Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila vateri.4 Atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat hubungan kelainan perkembangan khususnya dengan pancreas dalam bentuk baji yang interposisi antara bagian proksimal dan distal atresia; pancreas anulare.4
Gambar 1. Tipe anomali rekanalisasi duodenum. Dilatasi segmen proksimal yang normal diperlihatkan pada masingmasing tipe. A. Diafragma; B. Solid cord dan atresia; C. segmental absence.5
4
Pendapat lain mengungkapkan bahwa pancreas bagian ventral duodenum mengadakan putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat putaran berlangsung ujung pancreas bagian ventral melekat pada duodenum maka berbentuk cincin pancreas (anulare) yang melingkari duodenum. Duodenum tidak tumbuh sehinnga terbentuk stenosis atau atresia. Akhir saluran empedu umumnya duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan bawah atresia sehingga empedu dapat dijumpai baik diproksimal ataupun distal atresia.6 2.3 Epidemiologi Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000─10.000 kelahiran. Obstruksi duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi duodenal kongenital (atresia duodenal 40─60%, duodenal web 35─45%, pankreas anular 10─30%, stenosis duodenum 7─20%). Tidak terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini. Sekitar setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi duodenal mempunyai kelainan congenital dari sistem organ lain.7 Tabel 1. Congenital Anomalies Associated With Duedenal Atresia3 Type
No. (%) of cases
Cardiac Renal Esophageal atresia or tracheoesophageal fistula Imperporata anus Skeletal Central nervous system Other*
53 (38) 19 (14) 8 (6) 7 (5) 8 (6) 4 (3) 11 (8)
*Other indicates additional anomalies Laporan lain menyebutkan (Arnold, 2003) bahwa anomali yang berhubungan dengan obstruksi duodenal adalah Down syndrome (28%), Pankreas annulare (23%),
Penyakit
jantung
kongenital
(23%),
Malrotasi
(20%),
Atresia
esofagus/fistula trakheaesofageal (9%), Kelainan traktus Genitourinaria (8%), Anomalies anorektal (4%), kelainan usus lainnya (4%) dan anomali lainnya (11%).8
5
2.4 Etiologi Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia duodenum.4 2.5 Patologi Dapat disebabkan faktor intrinsik didalam duodenum, dapat total atau parsial, atau tanpa diafragma mukosa. Diameter bukaan dapat kecil sekali atau besar, mendekati diameter lumen normal. Faktor ekstrinsik tekanan laur duodenum seperti pita Ladd.6 Ladd mengklasifikasikan obstruksi duodenal menjadi instrinsic and extrinsic lesion. Beberapa penyebab paling umum diperlihatkan pada table di bawah ini. Tabel 2. Ladd Clasification: Several congenital lesion Whether intrinsic or extrinsic can cause complete or partial obstruction7 Instrinsic Lession
Extrinsic Lession
Duodenal atresia Duodenal stenosis Duodenal web
Annular pancreas Malrotation Peritoneal bands Anterior portal vein
6
2.6 Klasifikasi Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:7 1) Tipe I (92%) Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak. 2) Tipe II (1%) Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak. 3) Tipe III (7%) Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat (Complete separation Tipe III atresia).
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Gambar 2. Atresia duodenal; 3 tipe anatomis9
7
2.7 Patofisiologi Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30─60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik
ini
tampaknya
memainkan
peranan
sangat
penting
dalam
mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum. 2.8 Diagnosis 2.8.1 Manifestasi Klinis Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi. Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula nonbiliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.10,11
8
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas. Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid, sehingga obstruksi intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi
intravena
belum
dimulai,
maka
timbullah
alkalosis
metabolik
hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Jaundice terlihat pada 40% pasien, dan diperkirakan karena peningkatan resirkulasi enterohepatik dari bilirubin.11 Riwayat kehamilan dengan penyulit polihidramnion dan bayi dengan sindroma Down harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.10,11
Gambar 3. Pasien dengan Sindrome Down yang menderita atresia duodenal1 2.8.2 Pemeriksaan Penunjang a) Foto polos abdomen Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung
9
mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus2,12
Gambar 4. Foto polos abdomen posisi AP dan lateral yang memperlihatkan gambaran “the double-bubble sign” pada atresia duodenum.5 b) USG Abdomen Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.10,11
10
Gambar 5. Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik memberikan gambaran double bubble sign pada fetus dengan atresia duodenum. In utero, the stomach (S) dan duodenum (D) terisi oleh cairan.12 2.8 Tatalaksana 2.8.1 Persiapan Prabedah Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.2 2.8.2 Pembedahan Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir. Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasive.7 Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis
11
duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran Wirsungi.6 Prosedur pembedahan dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi di dalamnya untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk mendapatkan gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior duodenum, dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan. 7
Gambar 6. Transverse supraumbilical abdominal incision.13
Terdapat dua bentuk anastomosis duodenduodenostomy yang dapat dilakukan yaitu bentuk 1) Side to side duodenostomy dan 2) Proksimal tranverse to distal longitudinal (Diamond Shaped Duodenoduodenostomy).7
12
Gambar 7.
Tindakan
Side-to-side Duodeno-duodenostomy and “diamond-shaped” anastomosis13 operasi
Diamond
Shaped
Duodenoduodenostomy
(DSD)
dilakukan sebagai berikut. Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum distal Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow Orientasi penyambungan seperti pada gambar di atas (gambar) Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen distal yang dibuat. 20─30 ml saline hangat diinjeksikan Cateter kemudian dilepas
Biagio Zuccarello et al (2009) melakukan modifikasi teknik Kimura untuk tindakan pembedahan pada atresia duodenal, yaitu sebagai berikut.14
13
Gambar 8. Personal modification (inverted diamond-shaped anastomosis): (a-b) longitudinal incision on the proximal dilated duodenum and transverse incision on the distal duodenum; (c-d-e-) anastomosis of posterior duodenal wall in a single layer with interrupted sutures;(f-g) anastomosis of the anterior duodenal wall.14
2.9 Komplikasi Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. Penelitian Laura K et al3 (1998) yang dilakukan terhadap 92 neonatus dengan atresia duodenal (Tipe I 64%, Tipe II 17%, Tipe III 18%) dengan melakukan tindakan pembedahan Duodenoduodenostomy (86%), duodenotomy with web excision (7%) and duodenojejunostomy (5%), didapatkan komplikasi postoperative (Postoperative Complications) yaitu 4 neonatus (3%) dengan obstruksi, congestive heart failure (9%), ileus paralitik yang berkepanjangan (4%), pneumonia (5%), infeksi luka superfisialis (3%). Komplikasi lanjut termasuk perlekatan obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang menghasilkan megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan gastroesophageal
14
refluks disease yang tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).3 Angka kematian (Operative Mortality Rate) adalah 4% (5/138). 5 Kasus kematian terjadi dalam 30 hari postoperative dan berhubungan dengan complex congenital heart anomalies. 14 kasus (10%) berhubungan dengan sepsis dan Multi organ system failure termasuk gagal jantung pada 6 kasus (4%).,meningitis pada 1 kasus (0,7%), gagal hati pada 1 kasus (0,7%) dan penyakit jantung kongenital kompleks pada 4 kasus (3%). 2 kasus (1%) tidak diketahui penyebab kematiannya.3 2. 10 Prognosis Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.4,7 Tabel 3. Survival Data for Duedenal Atresia3 Location of Atresia Duedenal Atresia
Source, Years deLorimier et al, 1969 Nixon and Tawes, 1971 Stauffer and Irving, 1977 Kullendorf, 1983 Grosfeld and Rescoria, 1993 Mooney et al, 1987 Current study
Survival, % 60 60 69 90 95 95 86
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomaly lain yang dialami khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complex cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah prematuritas, BBLR dan keterlambatan diagnosis.15
15
BAB III PENYAJIAN KASUS
I.
IDENTITAS Nama
: By. Ny R
Umur
: 1 hari
Jenis kelamin : Laki-laki Agama
: Islam
Alamat
: Rasau Jaya III
Tanggal masuk : 13 Januari 2012 No MR
: 748985
II. ANAMNESIS Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 15 Januari 2012. Keluhan Utama: Muntah hijau Riwayat Penyakit Sekarang: Dua belas jam setelah lahir pasien muntah-muntah hebat yang berwarna hijau, muntah menyemprot dan setiap kali diberikan susu botol selalu dimuntahkan. Perut bagian atas pasien terlihat kembung. Perut yang kembung tersebut menjadi kempes kembali setelah muntah. Dua puluh jam Setelah Masuk Rumah Sakit pasien buang air besar, warna biasa, tidak ada lendir dan darah. Riwayat Penyakit Dahulu Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal care pada usia kehamilan 32 minggu dengan mengunakan USG diperoleh informasi bahwa terdapat cairan amnion yang banyak pada kehamilan ibu pasien (Polihidramnion).
16
Riwayat Kelahiran Bayi lahir kurang bulan (36 minggu), ditolong oleh dokter Spesialis kebidanan melalui operasi seksio sesarea atas indikasi CPD dan langsung menangis. Apgar score 9/10. Air ketuban berwarna kuning keruh. Berat badan lahir: 2300 gram dengan panjang badan lahir 45 cm. Riwayat Keluarga, Sosial dan Ekonomi Pasien adalah anak pertama, orangtua pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, Biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah (Jamkesmas). III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Kompos mentis dengan GCS E4M6V5=15
Nadi
: 115 x/mnt, isi cukup reguler
Suhu
: 36,2C
Pernapasan
: 50 x/mnt
Status generalis Kepala
: Oksiput yang datar
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), mata cekung (-/-)
THT
: Sekret (-),Hidung kesan hipoplastik
Mulut
: bibir kering (+), sianosis (-), terpasang OGT dengan residu berwarna hijau ± 5 cc
Leher
: Simetris, pembesaran kelenjar (-), deviasi trakea (-)
Dada Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC V 1 jari lateral Linea Midklavikula sinistra
Perkusi
: batas jantung kiri di SIC V Linea Midklavikula sinistra, pembesaran jantung (-)
Auskultasi
: SI-SII murni, reguler, murmur(-),gallop (-)
17
Paru Inspeksi
: Pergerakkan simetris, statis, dinamis kanan dan kiri
Palpasi
: Stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi
: Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler + / +, Suara tambahan : - / -
Abdomen Inspeksi
: Abdomen lebih tinggi dari dinding dada, Distensi (+) epigastrium, luka bekas operasi (-)
Auskultasi
: Bising usus (+)
Palpasi
: Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: Timpani
Ekstremitas
: Superior
Inferior