22 2 471KB
MAKALAH PERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL “PERAWATAN PALIATIF PADA PENDERITA GAGAL JANTUNG KONGESTIF”
Dosen pengampu : Ns. Suhaimi Fauzan., M.Kep
Disusun oleh : Sri Wahyuni
I1031161004
Aldy Shadiyanto
I1031161006
Yasinta Alawiyah
I1031161021
Wulan Apriliani
I1031161025
Muhamaad Adil Farhan
I1031161031
Heti Triana
I1031161038
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kelompok kami dapat menyusun makalah berjudul “Perawatan Paliatif Pada Penderita “Gagal Jantung kongehestif” ini dengan tepat pada waktunya. Tak lupa pula shalawat serta salam kami curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Semoga dengan makalah ini khususnya kelompok kami dan pembacanya mendapatkan syafaat dari beliau di akhir zaman. Dengan pembimbing Mata Kuliah Keperawatan Palliative oleh dosen Ns. Suhaimi Fauzan, M. Kep. Pembuatan makalah ini, kami mendapat referensi dari buku, e-book, dan jurnal yang tersedia di sekeliling kami. Serta kami juga berterimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan dari Allah SWT. Dengan segala keterbatasan, kami berharap tugas ini bermanfaat bagi kelompok kami khususnya serta para pembaca pada umumnya.
Pontianak, Mei 2018
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2 C. Tujuan .............................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3 A. Definisi Perawatan Paliatif .............................................................................. 3 B. Definisi Kongestive Heart Failure (CHF) ........................................................ 3 C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif ................................................................. 3 D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif .............................................................. 5 E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif ...................................................... 5 F.
Tahapan perawatan pada pasien CHF .............................................................. 6
G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif ........................................... 6 H. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif ..................................................... 10 I.
Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif ................ 12
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14 A. Kesimpulan .................................................................................................... 14 B. Saran .............................................................................................................. 14 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization (WHO), 2016). Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%, kanker 34%, penyakit pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes 4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%.Pada tahun 2011 terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25%, pada usia 0-14 tahun yaitu 6%. Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua Pasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22% (WHO,2014). Kasus stroke sekitar 1.236.825 dan 883.447 kasus penyakit jantung dan penyakit diabetes sekitar 1,5% (KEMENKES, 2014).Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016). Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan psikososial, emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim kesehatan yang serius. CHF (Congestive Heart Failure) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam sistem kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika Serikat menderita CHF. Menurut American Heart Association (AHA)
1
tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal jantung (Padila, 2012). Penderita gagal jantung di Indonesia pada tahun 2012 menurut data Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Resiko kematian yag diakibatkan oleh CHF adalah skitar 5-10% per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-40% pada gagl jantung berat. Menurut penelitia, sebagian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Kowalak, 2011). B. Rumusan Masalah Bagaimanakah perawatan paliatif pada penderita gagal jantung Kongestif ?
C. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami definisi dari perawatan palliatif ; 2. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal jantung Kongestif ; 3. Mengetahui dan memahami klasifikasi gagal jantung Kongestif ; 4. Mengetahui dan memahami manifestasi pada gagal jantung Kongestif; 5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gagal jantung Kongestif ;dan 6. Mengetahui dan memahami perawatan paliatif pada gagal jantung Kongestif.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Perawatan Paliatif Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalahmasalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
B. Definisi Kongestive Heart Failure (CHF) Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015). Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif.Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis.Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran tersebut.Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara bersamaan (McPhee, 2010) C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013) klasifikasi dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut : a. Stage A Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan
3
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins). b. Stage B Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik. c. Stage C Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat. d. Stage D Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat. The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal jantung dalam empat kelas, meliputi : a. Kelas I Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi. b. Kelas II Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF). c. Kelas III Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF). d. Kelas IV
4
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe CHF) D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya ;dipsnea ,ortopnea , pernapasan cheyne-stoke , paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), asites piting edema ,berat badan meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak nafas pada
malam
hari,
yang
mungkin
muncul
tiba-tiba
dan
menyebabkan
penderitaterbangun (udjianti,2011) , munculnya berbagai gejala jenis pada pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah tidur seperti adanya nyeri dada pada aktivitas , dispnea pada istirahat atau aktivitas , letargi dan gangguan tidur.
E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif 1. Terapi non farmakologi a. Diet Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat. b. Merokok : Harus dihentikan. c. Aktivitas fisik Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien. d. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil. e. Bepergian Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).
5
F. Tahapan perawatan pada pasien CHF Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III) Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untuk memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan pengasuh, dan didukung manajemen diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang kondisi mereka termasuk nama, etiologi, pengobatan, dan prognosisnya Pemantauan reguler dan peninjauan yang tepat sesuai dengan pedoman nasional dan protokol local. Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV) Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional kunci diidentifikasi di masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja sama dengan spesialis gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya Tujuan perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol gejala dan kualitas hidup yang optimal Sebuah penilaian holistik dan multidisipliner terhadap kebutuhan pasien dan perawat dilakukan Kesempatan untuk mendiskusikan prognosis dan kemungkinan penyakit yang diderita secara lebih rinci disediakan oleh para profesional, termasuk rekomendasi untuk menyelesaikan rencana perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja didokumentasikan dalam rencana perawatan jika terjadi kerusakan akut Tahap 3: fase perawatan Terminal Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan ginjal, hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung untuk kontrol gejala dilanjutkan dan status resusitasi diklarifikasi, didokumentasikan, dan dikomunikasikan kepada semua penyedia perawatan Jalur perawatan terpadu untuk orang yang sekarat dapat diperkenalkan untuk menyusun perencanaan perawatan Peningkatan dukungan praktis dan emosional untuk pengasuh disediakan, terus mendukung berkabung Penyediaan dan akses ke tingkat yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009) G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif 1. Home Based Exercise Training (HBET)
6
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bed rest yang bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akut terlewati, pasien berada pada fase recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatu saran yang kontroversial karena dapat memicu menurunnya level toleransi aktivitas dan memperberat gejala gagal jantung seperti sesak disertai batuk. Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan kekuatannya termasuk dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2013). Pasien gagal jantung biasanya berpikiran bahwa melakukan aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal jantung sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebih memilih untuk bed rest pada fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula. Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas seharihari akan mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan kemampuan fungsional. Pada pasien gagal jantung, kapasitas fungsional sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup pasien. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan melakukan latihan fisik. Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi, dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien (Suharsono, 2013). Aktivitas dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson, 2007). Aktivitas latihan fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010). Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah satu pilihan latihan fisik dan alternatif solusi rendahnya partisipasi pasien mengikuti latihan fisik. Pasien yang stabil dan dirawat dengan baik dapat memulai program home based exercise training setelah mengikuti tes latihan dasar dengan bimbingan dan
7
instruksi. Tindak lanjut yang sering dilakukan dapat membantu menilai manfaat program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga, dan akan memungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan yang lebih tinggi jika tingkat kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi dengan baik (Piepolli, 2011). Menurut Suharsono (2013), intervensi yang dilakukan berupa home based exercise training berupa jalan kakiselama 30 menit, 3 kali dalam semingguselama 4 minggu dengan intensitas 40-60% heart rate reserve, dan peningkatan kapasitas fungsional dilakukan dengan SixMinute Walk Test (6MWT). 2. Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada Gagal Jantung Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan dengan gejala seperti sesak napas saat beraktivitas dan membaik saat beristirahat, tanda retensi cairan berupa kongesti pulmoner, edema ekstremitas, serta abnormalitas struktur dan fungsi jantung. Keadaan tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi pompa jantung. Penurunan fungsi pompa jantung dapat terjadi akibat infark miokard, hipertensi kronis, dan kardiomiopati. Dalam hal ini, jantung mengalami remodelling sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi yang kompleks daakhirnya menurunkan fungsi jantung. Metroprolol merupakan salah satu jenis beta blocker yang berfungsi meningkatkan fungsi jantung dengan menghambat
remodelling pada
jantung.
Metoprolol
secara
signifikan
meningkatkan fungsi ventrikel dosis tinggi 200 mg (n=48) sebagai terapi anti remodeling, terbukti dengan penurunan LVESV 14 mL/m2 dan peningkatan EF sebanyak 6% (Amin, 2015). Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh (Siswanto dkk, 2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup Indikasi pemberian penyekat β yaitu: a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
8
d. diberikan e. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, f. tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi g. cairan berat). Sedangkan kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu: a. Asma b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit) Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu: a.
Inisiasi pemberian penyekat β
b.
Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien dekompensasi secara hati-hati
c.
Naikan dosis secara titrasi
d.
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4
e.
minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
f.
Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β adalah: a.
Hipotensi simtomatik
b.
Perburukan gagal jantung
c.
Bradikardia
3. Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Barofleks Arteri Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang berdampak pada kualitas hidup klien. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada baroreflek arteri. Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah. Hasil penerapan evidance based nursing, latihan nafas dalam dapat memberikan pengaruh terhadap sensitivitas barorefleks. Hasil setelah diberikan intervensi selama seminggu terdapat peningkatan tekanan darahsistolik dari 80 mmHg menjadi 100 mmHg, nilai
9
denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali/menit menjadi 80 kali/menit dan pada frekuensi pernafasan terjadi penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18 kali/menit. sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan dengan bernafas lambat. Halini menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis yang dapat menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan tekanan darah dan reflek kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup nafas secara lambat dan dalam. Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah dalam sistem saraf manusia terdapat sistemsaraf pusat dan sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakantangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis misalnya fungsi digestif dan kardiovaskuler. Sistem saraf otonom terdiridari dua sistem yang kerjanya saling berlawanan yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis bekerja
meningkatkan
rangsangan
atau
memacu
organ-organ
tubuh
meningkatkan denyut jantung dan pernapasan serta menimbulkan penyempitan pembuluh darah perifer dan pembesaran pembuluh pusat. Saraf parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatis. Pada waktuorang mengalami ketegangan dan kecemasanyang bekerja adalah sistem saraf simpatis sehingga denyut jantung, tekanan darah, jumlah pernafasan, aliran darah keotot sering meningkat (Balady, 2007). H. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif 1. Mendengarkan Murrotal Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit (Asman, 2008). Perubahan tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodi-latasi dan peningkatan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan penurunan frekuensi detak jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti mengaktifan selsel tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang ditangkap
10
oleh tubuh, menurunkan rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan opioid natural endogen. Opioid ini bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri. Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di telinga dalam serta menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea. Selanjutnya melalui saraf Koklearis menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang berperan dalam gelombang suara yaitu jaras retikuler-talamus, hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak yang berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia. Kemudian melalui Hipotalamus memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem limbik. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi perna-pasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain. Selanjutnya, melalui akson neuron berdifusi mempersarafi neo-korteks (Qadri, 2003). Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa mendegarkan bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer. Adapun pengaruh yang terjadi berupa adanya perubahan arus listrik di otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan penambahan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekuensi denyut jantung. Kemajuan tehnologi
telah mendeteksi
secara akurat
bahwa
mendengarkan ayat-ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan organ tubuh, serta memberikan aura positif pada tubuh 11
manusia. Bacaan Al-Quran berefek pada sel-sel dan dapat mengembalikan keseimbangan. Otak merupakan organ yang mengontrol tubuh, dan darinya muncul perintah untuk relaksasi tubuh, khususnya sistem imunitas (Rilla, 2014)
I.
Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi : a. Praktik di Klinik Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan pendekatan baru untuk mengatasi nyeri yang dikembangkanberdasarkan standar perawatan di rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengankemajuan ilmu pengetahuan keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yangkomplek dapat perawat praktikan dengan melakukan pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya
b. Pendidik Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasarkeilmuan/pendidikannya
yang
meliputi
mengatasi
nyeri
neuropatik,berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.
12
c. Peneliti Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditunjukan padapertanyaanpertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
d. Bekerja sama (collaborator) Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psikososialspiritual
dan
penatalaksanaannya.
Perawat
membangun
dan
mempertahankan hubungan kolaborasi dan mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat memfasilitasi dalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.
e. Penasihat (Consultan) Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam proses penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk mengetahui proses asuhan keperawatan dalam perawtan paliatif. Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien paliatif dengan menggunakan pendekatan metodologi proses keperawatan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etika profesi dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang mencakup seluruh proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Ilmi, 2016)
13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015). Umumnya pasien yang mengalami penyakit ini yang sudah berada pada fase akhir sulit untuk melakukan aktivitas dan biasanya pasien sudah tidak kooperatif lagi untuk melakukan berbagai macam hal dalam proses penyembuhan, sehingga diperlukan peranana perawat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga pasien dalam proses menjelang ajal dalam keadaan damai.
B. Saran Diharapkan kepada pembaca makalah ini mengetahui hal apa saja yang dapat dilakukan dalam melakukan penanganan pada pasien yang menderita penyakit terminal, pasien menjelang ajal. seorang perawat harus senantiasa memperbarui ilmu pengetahuannya sehingga ketika turun di lapangan seorang perawat tersebut mampu mengaplikasikannya dalam dunia kerja.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arovah, N. I. (2010). Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Gagal Jantung. Medikora (Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga), Vol. 6, No. 1, 11-22. Balady, G. (2007). Core Components of cardiac rehabilitation/secondary prevetion programs. Corculation AHA, 115. Fachrunnisa, & dkk. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILUR. JOM Vol 2 No 2, 1094-1105. Ilmi, N. (2016). Analisi Perilaku Perawat dalam Melakukan Perawatan Paliatif Pada pasien Gagal Ginjal Kronik Du RSI Faisal Makassar Dan RSUD Labuang Baji Makassar. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 66-72. Jaarsma, T. e. (2009). Palliative care in heart failure: a position statement from the palliative care workshop of the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. European Journal of Heart Failure , 433–443. McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC. Nicholson, C. (2007). Heart Failure, A Clinical Nursing Handbook. John Willey & Sons. Piepolli, M. F. (2011). Exercise training in heart failure: from theory to practice. A consensus document of the Heart Failure Association and the European Association for Cardiovascular Prevention and Rehabilitation. European Journal of Heart Failure, Volume 13, Issue 4, 347-357. Rilla, E. (2014). Terapi Murttal Efektif Menurunkan Tingkat Nyeri Dibandingkan Terapi Musik Pada Pasien Pasca Bedah. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 17, No.2, Juli 2014, hal 74-80, 74-80. Suharsono, T. d. (2013). Dampak Home Based Exercise Training terhadap Kapasitas. Jurnal Keperawatan, Volume 1, No. 1, 12-18. Wirawan, R. P. (2009). Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, 61-71.
15
Yancy, C. e. (2013). ACFF / AHA Guidline For The Management Of Heart Failure: Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology, Vol. 62, No. 16, 2013 ISSN 0735-109, 1-45.
16